Category: Blog

  • Ikhlas Tanpa Syarat

                    Ikhlas. Apa yang ada di benak Anda jika mendengar kata yang satu ini? Saya yakin jawabannya gado-gado yah.

    Yang pasti, ikhlas tidak asing di telinga kita. Pasalnya, setiap saat saya maupun Anda senantiasa diuji oleh berbagai tantangan yang mengharuskan bersikap seperti itu.

    Baru-baru ini misalnya. Saya berjumpa dengan kawan SMA yang hampir depresi karena bisnis yang digelutinya bangkrut. Ia down karena “merasa” telah berusaha sebaik mungkin, tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Lain lagi dengan rekan S1 saya yang secara mengejutkan cukup kecewa dengan tabiat pasangannya. Ia “merasa” telah memberikan yang terbaik, namun tidak mendapatkan “balasan” yang setimpal.

    Dalam Islam, ikhlas sering disebut  sebagai intisadari dari iman. Itu mengapa dalam salah satu ayat kitab suci disebutkan bahwa sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan mati kita hanya untuk Tuhan.

    Konon, orang yang ikhlas cenderung lebih bahagia daripada yang terlalu “hitung-hitungan”. Pasalnya, mereka senantiasa berusaha ikhtiar yang terbaik tanpa “terikat” dengan hasil akhir.

    Ikhlas mungkin sepele di mata Anda. Namun, ia merupakan dasar dari “cinta”. Karena apa yang kita lakukan untuk orang lain semata-mata untuk Tuhan. Bukan agar mendapatkan balasan, imbalan, keuntungan dan semacamnya.

    Di dunia yang sungguh disruptif ini, saya agak kesulitan menemukan orang yang benar-benar ikhlas dalam kesehariannya. Segala sesuatu nampaknya bersifat transaksional atau bersifat bisnis.

    Coba tengok. Berapa politisi yang benar-benar tulus melayani publik? Susahkah Anda mendapati pemuka agama yang tidak “sok ngartis”?

    Ya, jika dipikir-pikir lagi, semua orang memang ada “maunya”. Tidak salah memang. Namun, jika niat agar mendapatkan “sesuatu” terlalu mendominasi, sulit rasanya untuk mencapai titik bahagia.

    Karena bahagia ada dalam keikhlasan. Dalam cinta. Dalam melayani, mengasihi, memberi, mengabdi, dan berbagi. Bukan dalam mental “mengharapkan”.

    Sekarang, renungkan saja hidup Anda. Sudahkah ibadah dan berkarya Anda telah benar-benar ikhlas? Hanya Anda yang bisa menjawab.

     

    Kebagusan, 10 Oktober 2018

  • Dua Jam Bersama Resi

                    Sejak kecil, saya sangat tertarik dengan ketauhidan. Pasalnya, saya lahir dan dibesarkan di keluarga yang mendalami tasawwuf. Tak mengherankan jika ketuhanan menjadi topik yang sudah saya kenal di usia balita.

    Saya mengenyam pendidikan agama di tingkat dasar dan menengah. Dimulai dari sebuah Islam di bawah yayasan PSM di tingkat SD, dilanjutkan dengan sebuah madrasah tsanawiyah negeri, hingga “terdampar” di sebuah “penjara suci” selama 5 (lima) tahun.

    Spiritual seakan-akan sudah menjadi “ruh” saya sejak kecil. Nilai-nilai agama seolah-olah sudah mendarah-daging dalam diri. Dan upaya menjadi Sufi yang “benar” mulai digembleng ketika belajar di asrama SMA.

    Memasuki bangku perguruan tinggi, orientasi hidup saya seperti “bergeser”. Saya memang masuk di sebuah kampus yang “bernafaskan” Islam. Namun, falsafah yang dimiliki tidak serta-merta sesuai dengan fondasi ketauhidan yang saya imani sejak belia.

    Beruntung, saya termasuk orang yang sangat cair. Pandai menyesuaikan diri ibarat bunglon. Saya “meleburkan diri” di tempat baru secara total.

    Awalnya, saya tidak mendapati masalah ketika menanggalkan prinsip yang telah “diprogram” orang tua saya. Namun, selepas meninggalkan dunia akademik, berbagai masalah berdatangan. Saya mengalami “badai” hidup yang bernama krisis identitas.

    Beruntung, saya tidak berlama-lama terjerembab dalam “gua” kegelisahan. Karena saya rela meluangkan waktu belasan bulan “hanya” untuk mencari tahu apa yang benar-benar saya inginkan. Saya mengikuti suara hati untuk mengikuti panggilan jiwa.

    Di tengah lembah kehausan spiritual, saya berjumpa dengan ribuan orang dari berderet latar belakang. Baik dari perspektif gender, suku, agama, ras, afiliasi politik, profesi, renjana, minat, asal daerah, dan strata pendidikan.

    Semua orang yang saya temui saya anggap sebagai guru dengan caranya masing-masing. Semua masalah yang saya lalui saya pandang sebagai pelajaran. Dan semua tempat yang pernah saya singgahi saya ibaratkan sekolah.

    Belum lama ini, saya bertemu dengan seorang resi. Memang tidak lama. Hanya dua jam. Pertemuan empat mata beda generasi ini tidak lain ialah membahas makna hidup. Lebih spesifik lagi mengulas arti kebahagiaan.

    Resi yang satu ini sesungguhnya memberikan wejangan saya begitu banyak. Namun ada satu yang masih teringat dalam benak saya. Bahwa, dalam hidup kita dianjurkan untuk ikhlas. Maksudnya?

    Ya, menjalani apa yang ada di depan mata. Tidak perlu merisaukan apa yang belum terjadi. Tidak usah menyesali apa yang telah dilalui.

    Dalam hidup, kita diajarkan untuk tidak banyak berharap. Karena apa? Itulah sumber kekecewaan.

    Lantas, apakah tidak boleh memiliki hasrat yang menggebu-gebu lalu berusaha mati-matian untuk mengejar cita? Tidak ada salahnya. Namun, batin kita tidak boleh terikat dengan batin. Karena itulah sumber kesengsaraan, ketidaktentraman, kehampaan, dan kekosongan jiwa.

    Dua jam bersama resi. Rasanya masih kurang untuk membas A ke Z. Namun, saya masih bersyukur untuk dapat secara langsung mendapatkan wejangannya.

     

    Kebagusan, 9 Oktober 2018

  • Keajaiban Persepsi

                      Perbedaan.

    Apa sih yang ada di benak Anda ketika mendengarnya?

    Apakah langsung mengingat perselisihan rumah tangga tetangga? Mungkin Anda menghubungkannya dengan debat kusir para Wakil Rakyat? Ataukah konflik antaragama yang seakan tak ada titik temunya?

    Ya, perbedaan merupakan keniscayaan. Tanpa perbedaan dunia ini tidak seru. Coba bayangkan ketika pelangi itu hanya terdiri dari satu warna? Apakah namanya masih pelangi? Tentu tidak kan.

    Sama halnya dengan manusia. Apa jadinya jika penduduk bumi ini hanya terdiri dari satu etnis atau agama? Coba imaginasikan, apakah seru jika penduduk Indonesia ini terdiri dari satu profesi?

    Mengingat perbedaan, saya langsung teringat dengan persepsi. Sebuah topik yang sangat menarik untuk dikupas hingga tuntas.

    Satu kejadian bisa memberikan 1000 persepsi. Karena 1000 orang yang memandangnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

    Ya, persepsi seorang individu dipengaruhi oleh banyak aspek. Mulai dari pola asuh orang tua, pendidikan, nilai-nilai, kepribadian, pengetahuan, hingga pengalaman.

    Konflik, perselisihan, perang, percekcokan, keributan, atau segala macam pertentangan bisa jadi dimulai dari persepsi. Oleh karena itulah dalam Islam, kita diajarkan untuk mengenal satu sama lain. Pasalnya, melalui cara itu kita bisa berpeluang menebarkan kebaikan bersama.

    Saya kira persepsi begitu ajaib. Karena dari sinilah segala macam kebaikan dan keburukan berasal. Pesannya apa?

    Kenali orang lain. Rayakan perbedaan. Setuju?

     

    Kebagusan, 8 Oktober 2018

  • Kupu-Kupu Atau Permata?  

     

                     Berinteraksi dengan orang ialah “hobi bawaan” yang dimiliki oleh seorang ekstrovert. Bertemu, bertukar pikiran, atau sekedar mengobrol santai menjadi keasyikan tersendiri.

    Tak terkecuali dengan diri saya. Berinteraksi dengan sesama ibarat baterai yang sedang diisi (charging). Pasalnya, saya bisa “menyerap energi” orang yang saya ajak bicara. Jadi, berapapun lamanya saya berbincang-bincang, tidak pernah merasa lelah.

    Sebaliknya, orang ekstrovert akan merasa “loyo” ketika sendirian. Energi seakan-akan habis. Sehingga, tidak akan betah jika berlama-lama menyendiri.

    Menyadari sifat alamiah ini, saya berusaha bertemu dengan kawan lama atau kenalan sesering mungkin. Karena selain menambah dan merekatkan hubungan persaudaraan, aktivitas ini memang membawa banyak positif. Itu mengapa benar-benar membuat ketagihan.

    Belum lama ini saya bersua dengan Mahatma (bukan nama sebenarnya). Beliau merupakan salah satu “resi” yang cukup tersohor di nusantara. Maksud kedatangan saya tidak lain ialah untuk mewawancarainya guna memperkaya riset saya.

    Sesungguhnya ada begitu banyak pelajaran hidup yang saya “curi” dari Mahatma. Namun, ada satu hal yang paling saya ingat. Yakni analogi kupu-kupu dan permata.

    Maksudnya apa Mas Agung? Sebagian besar manusia di dunia ini fokus mengejar kupu-kupu. Sehingga, semakin lama mereka mengejar, kupu-kupu malah semakin menjauh.

    Sebaliknya, hanya segelintir saja manusia yang menggali permata. Padahal, semakin lama permata digali dari dalam tanah, maka semakin banyak “keindahan” yang diterima. Semakin dalam galiannya, peluang untuk mendapatkan permata berkualitas prima semakin besar.

    Kupu-kupu dan permata hanyalah simbol. Bahwa sebagian besar orang cenderung mengejar kupu-kupu yang merupakan perumpamaan dari kebahagiaan. Mereka sulit untuk mendapatkannya karena mengejar apa yang ada di luar dirinya. Itu mengapa banyak orang yang tidak bahagia meski kekayaan, ketenaran dan kekuasaan dalam genggaman. Karena manusia memang merasa kurang, kurang, dan kurang.

    Hanya sedikit manusia yang mau menggali “permata” di dalam dirinya. Padahal kebahagiaan sejati ada di dalam diri sendiri. Lantaran kebahagiaan ialah perihal hati yang menyatu jiwa dan ilahi.

    Jadi, selama ini mana yang Anda dambakan? Mengejar kupu-kupu atau menggali permata? Hidup adalah pilihan.

    Kebagusan, 7 Oktober 2018

     

  • Otak Sampul

                    Belum lama ini saya berjumpa dengan “emak-emak”. Sebut saja bernama Mawar. Ia merupakan salah satu “teman setia” jogging pagi di sebuah taman di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan.

    Saya: “Nggak terasa sudah tanggal 1 Oktober aja ya bu.”

    Mawar: “Ya. Cepet banget ya. Kayaknya hari berlari aja. Ngomong-ngomong kamu tinggal sebulan lagi ya dik nikahnya?”

    Saya: “Benar bu. Mohon doanya aja bu.”

    Mawar: “Kamu sudah tidak bekerja lagi di H** ya? Trus ngapain aja tiga bulan terakhir?”

    Saya: “Saya penulis penuh waktu bu. Sesekali mengajar di salah satu perguruan tinggi. Pekerja lepas lah intinya mah.”

    Mawar: “Wah, ntar mau kamu kasih makan apa anak dan istrimu? Mau nikah kok malah nggak kantoran?”

    Saya: “Ehmmm mohon doanya aja ya bu. Saya kurang cocok bekerja di perusahaan besar ehhehe.”

    ***

    Percakapan saya dengan Mawar ini nyata. Tidak saya buat-buat. Saya yakin banyak kawula millennial yang pernah mengalami hal serupa.

    Era telah berubah. Generasi juga berbeda. Apa yang dikatakan Mawar memang sangat masuk akal menurut Baby Boomer dalam dalam tingkat tertentu Gen X. Namun belum tentu berlaku untuk Gen Y.

    Mawar merupakan potret dari orang yang “berotak sampul”. Maksudnya, orang-orang yang menilai sesuatu seperti sampul. Mempersepsikan apapun dari kulit atau apa yang tampak dari luar.

    Bekerja dalam benaknya mungkin harus menjalani ritual 8-5. Berkarya sepertinya harus “kantoran” dalam benaknya.

    Otak sampul ada di mana-mana. Mereka ada di sekitar saya dan Anda. Orang-orang yang menilai sesuatu dari apa yang terlihat oleh mata telanjang.

    Sebagai “orang visual”, saya sih sama sekali tidak tersinggung. Ya wajarlah ya. Bagaimanapun, “penampilan” atau “kemasan” masih dianggap lebih seksi dari “isi”.

    Saya ambil saja sisi positifnya. Di dunia yang sangat disruptif seperti dewasa ini, terkadang kita perlu “memoles” sebaik mungkin agar dipandang dengan nilai tertentu. Agar apa yang kita suarakan lebih mudah diterima.

    Mungkin Anda memiliki pendapat berbeda?

     

    Kebagusan, 6 Oktober 2018

  • Bukan Sumber (Air) Mencari Timba

                      Belum lama ini saya bertemu dengan Maharishi (bukan nama sebenarnya). Beliau merupakan salah satu “guru spiritual” saya. Kami bertemu di padepokannya yang begitu asri. Lebih tepatnya di sebuah desa kecil di lereng Gunung Lawu.

    Percakapan kami dimulai dengan basa-basi. Beliau menanyakan kesibukan saya selama dua tahun terakhir. Sementara itu, saya penasaran apa resep awet muda beliau. Karena meskipun beliau sudah berusia 50an, wajahnya seakan-akan masih seperti pria di pertengahan 30.

    Sebenarnya  tidak cukup untuk menuliskan obrolan kami yang hampir memakan waktu 3 jam. Namun, jika boleh saya sarikan, di bawah ini poin utamanya.

     

    Saya                       :  Romo, mengapa panjenengan tidak mempromosikan diri seperti para pemuka agama  lainnya? Mengunggah kajian di Youtube, menyebarkan tulisan di blog, mengirim                      pemikiran ke media massa, atau menyewa praktisi kehumasan untuk “melambungkan                            nama?”Bukankah itu  akan mendongkrak citra pesantren ini? Sehingga, makin banyak                            santri yang belajar di sini. Makin besar pula manfaat yang romo berikan?

    Maharishi            :  Buat apa? Jika demikian apa bedanya saya dengan para “pelacur ilmu?” Timba itu    mencari sumber (mata air). Bukan sebaliknya.

    Saya                       :  Hemmmm. Benar juga ya. Jadi, kalau banyak kaum cendekia yang mem-PR-kan dirinya bagaimana dong? Apakah itu salah? Kan maksudnya baik juga?

    Maharishi            :  Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung niatnya. Agung pikirkan saja sendiri.

     

    ***

    Apakah Anda bisa menangkap pesan dari guru spiritual saya di atas? Jika ya, bagaimana pendapat Anda?

    Di abad informasi ini, pengetahuan jauh lebih mudah diperoleh. Hanya dengan modal sentuh, klik, dan share; siapapun bisa mengaku menjadi ahli meski kapasitas keilmuannya diragukan.

    Bisa jadi sosok seperti Maharishi, guru spiritual saya di atas kini semakin langka. Orang yang sangat berilmu tapi tidak mempromosikan dirinya habis-habisan. Karena beliau berpikir, oran-orang yang butuh ilmunyalah yang akan mendekat kepadanya.

    Di sisi lain, bisa jadi 99% orang yang Anda anggap sebagai pakar, guru atau suhu di luar sana sebaliknya. Barangkali keilmuannya masih “setetes.” Namun, dorongan untuk menjadi terkenal dan cepat kaya raya; membuat mereka berani melacurkan pengetahuan.

    Pada akhirnya, semua memang bergantung pada niatnya. Saya dan Anda hanya bisa membuat persepsi dari apa yang terlihat dari permukaan. Sementara itu, hanya Sang Penciptalah yang benar-benar mengetahui hatinya.

    Jadi, apakah Anda yakin selama ini telah berguru kepada orang yang tepat? Atau justru percaya pada para pelacur ilmu? Bukan sumber (air) mencari timba . . .

     

    Kebagusan, 5 Oktober 2018