Sejak kecil, saya sangat tertarik dengan ketauhidan. Pasalnya, saya lahir dan dibesarkan di keluarga yang mendalami tasawwuf. Tak mengherankan jika ketuhanan menjadi topik yang sudah saya kenal di usia balita.
Saya mengenyam pendidikan agama di tingkat dasar dan menengah. Dimulai dari sebuah Islam di bawah yayasan PSM di tingkat SD, dilanjutkan dengan sebuah madrasah tsanawiyah negeri, hingga “terdampar” di sebuah “penjara suci” selama 5 (lima) tahun.
Spiritual seakan-akan sudah menjadi “ruh” saya sejak kecil. Nilai-nilai agama seolah-olah sudah mendarah-daging dalam diri. Dan upaya menjadi Sufi yang “benar” mulai digembleng ketika belajar di asrama SMA.
Memasuki bangku perguruan tinggi, orientasi hidup saya seperti “bergeser”. Saya memang masuk di sebuah kampus yang “bernafaskan” Islam. Namun, falsafah yang dimiliki tidak serta-merta sesuai dengan fondasi ketauhidan yang saya imani sejak belia.
Beruntung, saya termasuk orang yang sangat cair. Pandai menyesuaikan diri ibarat bunglon. Saya “meleburkan diri” di tempat baru secara total.
Awalnya, saya tidak mendapati masalah ketika menanggalkan prinsip yang telah “diprogram” orang tua saya. Namun, selepas meninggalkan dunia akademik, berbagai masalah berdatangan. Saya mengalami “badai” hidup yang bernama krisis identitas.
Beruntung, saya tidak berlama-lama terjerembab dalam “gua” kegelisahan. Karena saya rela meluangkan waktu belasan bulan “hanya” untuk mencari tahu apa yang benar-benar saya inginkan. Saya mengikuti suara hati untuk mengikuti panggilan jiwa.
Di tengah lembah kehausan spiritual, saya berjumpa dengan ribuan orang dari berderet latar belakang. Baik dari perspektif gender, suku, agama, ras, afiliasi politik, profesi, renjana, minat, asal daerah, dan strata pendidikan.
Semua orang yang saya temui saya anggap sebagai guru dengan caranya masing-masing. Semua masalah yang saya lalui saya pandang sebagai pelajaran. Dan semua tempat yang pernah saya singgahi saya ibaratkan sekolah.
Belum lama ini, saya bertemu dengan seorang resi. Memang tidak lama. Hanya dua jam. Pertemuan empat mata beda generasi ini tidak lain ialah membahas makna hidup. Lebih spesifik lagi mengulas arti kebahagiaan.
Resi yang satu ini sesungguhnya memberikan wejangan saya begitu banyak. Namun ada satu yang masih teringat dalam benak saya. Bahwa, dalam hidup kita dianjurkan untuk ikhlas. Maksudnya?
Ya, menjalani apa yang ada di depan mata. Tidak perlu merisaukan apa yang belum terjadi. Tidak usah menyesali apa yang telah dilalui.
Dalam hidup, kita diajarkan untuk tidak banyak berharap. Karena apa? Itulah sumber kekecewaan.
Lantas, apakah tidak boleh memiliki hasrat yang menggebu-gebu lalu berusaha mati-matian untuk mengejar cita? Tidak ada salahnya. Namun, batin kita tidak boleh terikat dengan batin. Karena itulah sumber kesengsaraan, ketidaktentraman, kehampaan, dan kekosongan jiwa.
Dua jam bersama resi. Rasanya masih kurang untuk membas A ke Z. Namun, saya masih bersyukur untuk dapat secara langsung mendapatkan wejangannya.
Kebagusan, 9 Oktober 2018