Belum lama ini saya berjumpa dengan “emak-emak”. Sebut saja bernama Mawar. Ia merupakan salah satu “teman setia” jogging pagi di sebuah taman di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan.
Saya: “Nggak terasa sudah tanggal 1 Oktober aja ya bu.”
Mawar: “Ya. Cepet banget ya. Kayaknya hari berlari aja. Ngomong-ngomong kamu tinggal sebulan lagi ya dik nikahnya?”
Saya: “Benar bu. Mohon doanya aja bu.”
Mawar: “Kamu sudah tidak bekerja lagi di H** ya? Trus ngapain aja tiga bulan terakhir?”
Saya: “Saya penulis penuh waktu bu. Sesekali mengajar di salah satu perguruan tinggi. Pekerja lepas lah intinya mah.”
Mawar: “Wah, ntar mau kamu kasih makan apa anak dan istrimu? Mau nikah kok malah nggak kantoran?”
Saya: “Ehmmm mohon doanya aja ya bu. Saya kurang cocok bekerja di perusahaan besar ehhehe.”
***
Percakapan saya dengan Mawar ini nyata. Tidak saya buat-buat. Saya yakin banyak kawula millennial yang pernah mengalami hal serupa.
Era telah berubah. Generasi juga berbeda. Apa yang dikatakan Mawar memang sangat masuk akal menurut Baby Boomer dalam dalam tingkat tertentu Gen X. Namun belum tentu berlaku untuk Gen Y.
Mawar merupakan potret dari orang yang “berotak sampul”. Maksudnya, orang-orang yang menilai sesuatu seperti sampul. Mempersepsikan apapun dari kulit atau apa yang tampak dari luar.
Bekerja dalam benaknya mungkin harus menjalani ritual 8-5. Berkarya sepertinya harus “kantoran” dalam benaknya.
Otak sampul ada di mana-mana. Mereka ada di sekitar saya dan Anda. Orang-orang yang menilai sesuatu dari apa yang terlihat oleh mata telanjang.
Sebagai “orang visual”, saya sih sama sekali tidak tersinggung. Ya wajarlah ya. Bagaimanapun, “penampilan” atau “kemasan” masih dianggap lebih seksi dari “isi”.
Saya ambil saja sisi positifnya. Di dunia yang sangat disruptif seperti dewasa ini, terkadang kita perlu “memoles” sebaik mungkin agar dipandang dengan nilai tertentu. Agar apa yang kita suarakan lebih mudah diterima.
Mungkin Anda memiliki pendapat berbeda?
Kebagusan, 6 Oktober 2018