Stories

  • Saatnya Tidak Mengejar Kebahagiaan

    Kebahagiaan adalah dambaan  — jika tidak mau dikatakan sebagai tujuan — setiap orang. Setiap detik apa yang kita lakukan mencerminkan apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan. Entah mendapatkan penghasilan sebesar mungkin, meraih followers di media sosial sebanyak mungkin, mencapai jabatan sebergengsi mungkin, membeli barang bermerek, mengelilingi dunia, berkumpul bersama berkeluarga atau sekadar bisa “me time” di rumah.

    Meskipun kebahagiaan sejatinya tanpa syarat, banyak orang yang “gagal” meraihnya. Tanyakan saja diri kita sendiri dengan jujur, “Apakah saya bahagia saat ini? ”

    Menurut Iris Mauss, PhD, seorang profesor psikologi di University of California, Berkeley; ketika kita mengajukan pertanyaan seperti itu kepada diri kita sendiri, kita justru kurang bahagia.

    Pasalnya, Mauss telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari sebuah fenomena yang oleh beberapa orang disebut sebagai “paradoks kebahagiaan”. Paradoksnya adalah ketika orang berusaha keras untuk bahagia — ketika mereka menjadikan perasaan bahagia sebagai tujuan — mereka justru menderita atau merasa tidak tentram.

    Ada banyak alasan untuk hal itu. Entah karena pengaruh budaya, agama, hingga cara kita mendefinisikan dan mengejar kebahagiaan.

    Tetapi pelajaran utama dari penelitian kebahagiaan adalah bahwa semakin kita terobsesi dengan keadaan emosional diri sendiri — semakin penting perasaan diri sendiri, dan semakin kita mencoba mengarahkannya — semakin besar kemungkinan kita mengalami masalah emosional dan psikologis.

    Beberapa waktu lalu, Mauss dan kolaborator penelitiannya meminta orang untuk mendefinisikan kebahagiaan. Mereka menemukan banyak variasi dalam cara orang menjawab. Beberapa orang mengatakan kebahagiaan berarti memiliki perasaan yang baik, yang mungkin merupakan respons paling intuitif. Tetapi ketika ditanya perasaan baik apa yang mereka bicarakan, beberapa menyebutkan “kegembiraan” atau “kesenangan”. Sementara yang lain mengatakan “kedamaian.”

    Beberapa orang tidak membicarakan perasaan sama sekali. Mereka mendefinisikan kebahagiaan dalam hal pengetahuan – pengetahuan bahwa hidup mereka bermakna, atau pengetahuan bahwa mereka adalah orang yang lebih baik daripada lima tahun lalu. Yang lain mengakui gagasan mereka tentang kebahagiaan adalah memperoleh lebih banyak harta benda.

    Di belahan bumi manapun, terkecuali di Nusantara ini; kebahagiaan bersifat relatif individualistis. Fakta bahwa kita bahkan tidak dapat menyepakati apa itu kebahagiaan mungkin sebagian menjelaskan mengapa menumbuhkan lebih banyak kebahagiaan adalah sebuah tantangan.

    Namun, Mauss dan rekan-rekannya menemukan bahwa definisi kebahagiaan seseorang, apa pun definisinya, cenderung berkorelasi dengan ukuran kesejahteraan yang lebih baik. Kegembiraan dan kedamaian dan pengetahuan bahwa hidup kita bermakna — itu semua hal yang baik.

    Menurut Mauss, ada satu pengecualian besar. Ketika orang mendefinisikan kebahagiaan dalam hal harta benda, itu dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih buruk.

    Mauss menemukan wawasan yang lebih berguna saat mengerjakan studi tahun 2015 yang muncul di Journal of Experimental Psychology. Untuk proyek itu, ia dan rekan-rekannya meneliti bagaimana orang-orang dalam budaya yang berbeda di seluruh dunia memikirkan dan mengejar kebahagiaan.

    Berdasarkan temuan Mauss, kebahagiaan bersifat relatif individualistis di Amerika Serikat. Orang Amerika dalam studinya cenderung berfokus pada pengalaman emosional pribadi mereka dan cara terbaik untuk memperbaikinya. Dan sekali lagi, menilai kebahagiaan dengan cara ini dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih rendah.

    Tetapi di Asia Timur, di mana gagasan tentang kebahagiaan lebih bersifat sosial dan kolektivis, daripada berorientasi pada diri sendiri, pola-pola ini terbalik. Semakin seseorang menghargai kebahagiaan, semakin besar kesejahteraannya.

    Di sana, Mauss dan kelompoknya menemukan bahwa pengejaran kebahagiaan tampak berbeda dibandingkan di Amerika. Kebahagiaan sering kali melibatkan membantu orang lain atau menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman dan keluarga. Orang juga cenderung mengasosiasikan kebahagiaan dengan sentimen seperti “melihat orang lain puas” atau “membuat orang yang saya sayangi merasa senang.”

    Salah satu “produk sampingan” yang tidak diinginkan dari memprioritaskan kebahagiaan — yang mudah diabaikan — adalah kita akhirnya menghabiskan banyak waktu untuk memantau dan menilai perasaan kita. Misalnya dengan memancing dengan pertanyaan, “Bagaimana kabar saya sekarang?”, “Apakah ekspektasi hidup saya”, “Bagaimana perasaan saya saat ini?”, dan seterusnya.

    Apa pun jawaban yang kita berikan, Mauss mengatakan bahwa pemeriksaan diri emosional semacam ini dapat memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan.

    Jika emosi kita menyenangkan, berhenti sejenak untuk memeriksanya dapat mengurangi kepositifannya dengan menarik diri kita keluar dari momen itu. Pengalaman “mengalir” — tenggelam sepenuhnya dalam sesuatu — adalah ciri khas dari banyak kegiatan yang dihargai atau dinikmati orang. Memeriksa keadaan emosi kita mengganggu aliran itu; itu merobek sebagian perhatian kita dari pengalaman yang menyenangkan.

    Di sisi lain, jika “check-in” emosional kita mengungkapkan bahwa kita tidak bahagia, kita cenderung melihat ini sebagai masalah yang harus diperbaiki. Sisi lain dari menghargai kebahagiaan adalah bahwa kita dapat memprioritaskan penghindaran atau penekanan emosi negatif, dan melakukan itu terkait dengan banyak hasil negatif, termasuk depresi dan kesejahteraan yang lebih rendah.

    Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari temuan riset Mauss? Perasaan pada dasarnya tidak baik atau buruk, melainkan netral. Kitalah yang melabeli atau memberikan penilaian.

    Beberapa mungkin lebih menyenangkan daripada yang lain, tetapi semuanya memiliki tujuan. Mereka ada untuk membantu menginformasikan perilaku kita. Membuat mereka lebih dari itu — mengubahnya menjadi tujuan mulia untuk dikejar atau hantu untuk ditakuti — memberi mereka kendali besar atas hidup kita.

    Marilah kita mengingat momen ketika kita mengejar bayang-bayang diri sendiri ketika berada di bawah terik mentari. Semakin kita mengejar bayang-bayang diri sendiri, semakin menjauhlah bayang-bayang itu.

    Begitupun kebahagiaan dalam hidup yang fana ini.  Semakin kita mengejarnya, semakin menjauhlah kebahagiaan itu. Karena kebahagiaan sejatinya ada di dalam diri tanpa syarat — bukan bergantung orang, peristiwa atau keadaan tertentu.

    Selamat berkarya sahabatku. Jangan lupa bahagia.


  • Mengapa Menulis bisa Menyembuhkan dan Membahagiakan?

    Banyak orang memiliki trauma, fobia, luka batin dan berderet penyakit yang berhubungan dengan emosi lainnya. Sayangnya, tidak setiap orang mau dan mampu mengekspresikan atau melepaskannya. Setelah sekian lama dipendam, semua itu akan “meledak” menjadi penyakit yang berdampak fatal. Seperti jantung, ginjal, kanker, diabetes, paru-paru dst.
    Kabar baiknya, kita semua mampu mengatasi itu semuanya dengan cara yang mudah. Salah satunya melalui terapi menulis.
     
    Menulis (secara ekspresif) memang tidak hanya dapat membantu kita memproses apa yang telah kita lalui dan membantu kita saat kita membayangkan jalan ke depan. Namun, itu juga dapat menurunkan tekanan darah kita, memperkuat sistem kekebalan kita, dan meningkatkan kesejahteraan umum kita. Menulis ekspresif dapat mengurangi stres, kecemasan, dan depresi; meningkatkan tidur dan kinerja kita; dan memberi kita fokus dan kejelasan yang lebih besar.


    Efek menulis sebagai alat untuk penyembuhan bukanlah pepesan kosong, namun sudah dibuktikan oleh para pakar. James Pennebaker, seorang psikolog sosial di University of Texas di Austin, mempelajari dampak dari jenis tulisan tertentu pada kesehatan mental pada tahun 1986. Sejak itu, lebih dari 200 penelitian telah melaporkan bahwa “menulis  emosional” dapat meningkatkan kesehatan fisik dan emosional seseorang. . Dalam studi klasik, subjek yang menulis tentang pergolakan pribadi selama 15 menit sehari selama tiga atau empat hari mengunjungi dokter untuk masalah kesehatan lebih jarang dan melaporkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Menurut sebuah studi 2019, intervensi menulis enam minggu meningkatkan ketahanan, dan mengurangi gejala depresi, stres yang dirasakan, dan perenungan di antara mereka yang melaporkan trauma pada tahun lalu. Tiga puluh lima persen peserta yang memulai program dengan indikator kemungkinan depresi klinis mengakhiri program tidak lagi memenuhi kriteria ini.
     

    Mengapa intervensi menulis berhasil? Meskipun mungkin tampak berlawanan dengan intuisi bahwa menulis tentang pengalaman negatif memiliki efek positif, beberapa orang berpendapat bahwa menceritakan kisah peristiwa negatif masa lalu atau kecemasan yang sedang berlangsung “membebaskan” sumber daya kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa trauma merusak jaringan otak, tetapi ketika orang menerjemahkan pengalaman emosional mereka ke dalam kata-kata, mereka mungkin mengubah cara mengaturnya di otak.

     

    Tetapi apa yang mungkin sulit untuk diungkapkan dengan lantang dapat dengan mudah diberikan suara melalui tulisan.

    Penyembuhan sangat penting untuk kesehatan kolektif kita, dan tulisan ekspresif telah terbukti menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan pekerja penuh waktu lainnya. Menurut pracetak Juli 2020 dari sebuah studi oleh peneliti Emily Round, Mark Wetherell, Vicki Elsey, dan Michael A. Smith, kursus “penulisan ekspresif positif,” yang berarti menulis secara khusus tentang pengalaman yang sangat positif selama tiga hari berturut-turut, tidak hanya mengurangi “kecemasan keadaan” segera setelah menulis tetapi meningkatkan kesejahteraan terkait pekerjaan dan kepuasan kerja empat minggu kemudian. Para peneliti meminta penelitian lebih lanjut tentang efek penulisan ekspresif pada hasil organisasi, menunjukkan bahwa menulis bahkan dapat meningkatkan kualitas kerja dan kreativitas di tempat kerja.

     
    Saya jadi teringat dengan isi buku Writing as a Way of Healing: How Telling Our Stories Transforms Our Lives karya Louise DeSalvo, sebuah buku yang terkenal berdasarkan berbagai studi ilmiah tentang kemanjuran menggunakan tulisan sebagai alat restoratif. Jadi, seperti apa praktiknya, dan bagaimana kita bisa menerapkan alat yang ampuh ini?
     

    Menulis yang Menyembuhkan
    Menulis ekspresif secara luas didefinisikan sebagai tulisan yang membantu kita memahami pikiran dan emosi kita. Menulis ekspresif dapat mengambil banyak sekali bentuk, termasuk jurnal, memoar, puisi, bahkan opini atau pemikiran. Tapi apa yang kita tulis kurang penting daripada bagaimana menuliskannya.

    Tulisan yang paling menyembuhkan, menurut peneliti, harus mengikuti seperangkat parameter kreatif. Dan yang paling penting, itu bisa hanya untuk diri kita sendiri. Itu harus mengandung detail konkret, otentik, eksplisit. Penulis harus menghubungkan perasaan dengan peristiwa. Tulisan seperti itu memungkinkan seseorang untuk menceritakan sebuah cerita yang lengkap, kompleks, koheren, dengan awal, tengah, dan akhir. Dalam penceritaan, tulisan seperti itu mengubah penulis dari korban menjadi sesuatu yang lebih kuat: narator dengan kekuatan untuk mengamati. Singkatnya, ketika kita menulis untuk mengekspresikan dan membuat masuk akal, kita mendapatkan kembali kekuatan untuk memegang kendali dalam hidup. Kita akan lebih menyadari bahwa bahagia atau tidaknya diri kita bergantung cara kita merespon peristiwa atau keadaan.

     
    Setelah Holocaust, misalnya, banyak orang yang selamat menulis cerita tentang pengalaman mereka. Victor Frankl, yang bukunya tahun 1946 Man’s Search for Meaning ditulis selama sembilan hari menjadi salah satu buktinya. Jenis proses penulisan reflektif yang mendalam ini dapat membantu kita menyatukan kembali diri kita sendiri bahkan setelah masa-masa yang paling tak terbayangkan.

    Dalam menulis cerita kita, kita mempertahankan kepengarangan atas hidup kita.
     
    Teknik Menulis yang Menyembuhkan dan Membahagiakan

    Untuk mencoba menulis sebagai alat untuk penyembuhan dan kebahagiaan, berikut adalah tiga teknik yang dapat kita coba. 

     

    Pertama, jangan menahan diri. Karena tulisan itu memang untuk diri kita. Jangan khawatir tentang tata bahasa atau ejaan. Jangan khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan orang lain atau apakah itu ditulis dengan baik atau baik atau adil. Atur penghitung waktu selama sepuluh menit, gerakkan tangan kita, dan “tulis bebas” sebagai respons terhadap perintah tertentu. Tanpa terlalu memikirkannya, tuliskan kata, catatan, frasa, kalimat — apa pun yang muncul ketika kita memikirkan momen dramatis dari suatu peristiwa, momen yang tetap ada, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Jika kita kehabisan hal untuk dikatakan, tulislah itu (“kehabisan hal untuk dikatakan”) sampai sebuah pikiran baru muncul di benak kita.

     
    Kedua, tulis sedetail mungkin. Untuk mendapatkan perasaan dan kebenaran dari pengalaman kita, biarkan pikiran kita pergi ke saat-saat tertentu yang terperinci. Kekuatan ada dalam detail karena mereka membuatnya nyata bagi kita. Akses apa yang sebenarnya terjadi dengan kembali ke momen-momen kecil, hal-hal kecil, yang mendasari kita dalam pengalaman itu. Kita mungkin menemukan bahwa detail terkecil memunculkan kebenaran atau perasaan terbesar. Berikan ruang untuk semua itu, dan tangkap pengalaman kita dalam luas dan dalamnya.  
     

    Ketiga, ambil hikmah dari setiap momen.Karena dunia telah berubah di sekitar kita, kita juga telah berubah. Kita mungkin telah belajar tentang apa yang penting, apa yang tidak, atau apa yang membuat kita berhasil. Kita mungkin telah belajar tentang diri kita sendiri. Raihlah pelajaran-pelajaran itu saat kita menulis. Manusia adalah mesin pembuat makna, dan menulis adalah cara alami untuk mencapainya. 

     
    Epilog

    Rumi, yang merupakan seorang mistikus dan penyair sufi abad ke-13 menulis, “Luka adalah tempat cahaya memasukimu.” Pemikir dari Freud hingga Brené Brown telah mempopulerkan gagasan bahwa ada kekuatan dalam merangkul kerentanan kita. Ketika kita menggunakan tulisan untuk mengungkapkan kebenaran kita, kita tetap menjadi protagonis dalam hidup kita, bukan korban dari keadaan di luar kendali kita.

    Tentu saja, menulis ekspresif bukanlah obat mujarab yang langsung “cespleng” dalam sekali praktik. Kendati demikian, menulis secara ekspresif dapat membantu kita menerima tanpa syarat takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan kepada kita. 

     
    Pemulihan juga tidak selalu menjadi tujuan. Seperti yang dibuktikan oleh banyak penulis memoar terkenal, kita menulis tentang pengalaman menyakitkan untuk tidak melewatinya tetapi untuk melewatinya tanpa dihancurkan.

    Menulis secara ekspresif juga bisa membawa kita menuju harapan.  Kita dapat menulis perjalanan hidup kita untuk diingat, dihormati, ditampilkan, disaksikan, dan  dibayangkan kembali secara utuh di kemudian hari. Kita dapat menulis untuk duduk bersama dan menentukan makna dari pengalaman dan keberadaan manusiawi kita yang mendalam.
     

    Mari kita tidak hanya menulis jalan keluar kita; mari kita menulis jalan kita ke arah yang baru.

    Bagaimanapun, kita semua berubah. Dan setelah kita menulis untuk diri kita sendiri, mungkin kita bisa membagikan tulisan kita secara selektif untuk berhubungan kembali secara autentik yang lebih dalam dengan rekan kerja, keluarga, teman, serta dengan diri kita sendiri. 
     
    Kita tidak harus menjadi penulis profesional untuk menggunakan tulisan guna membantu kita memahami kontur pengalaman kita, menyembuhkan, dan akhirnya berkembang, memulihkan, memperbaiki, memperbarui. Kita hanya perlu mengambil pena kita dan mulai.

  • Menulis itu Membuat Bahagia, Bener Nggak?

    Menulis itu membahagiakan. Bener nggak sih?

    Kalau pengalaman pribadi saya sih, iya! Menulis membuatku bahagia. Karena saya bisa mengekspresikan diri dengan leluasa tanpa takut dikritik oleh orang lain.

    Dari 16 tahun pengalaman menulis sejauh ini, ada begitu banyak momen yang semakin membuat saya yakin bahwa menulis itu membahagiakan.

    Pertama, mendapatkan “tiket” beasiswa S1. Berkat menerbitkan buku selepas SMA, saya mendapatkan “keberuntungan” untuk mendapatkan beasiswa penuh senilai Rp 110 juta dari Pak Theodore Permadi Rachmat (Mantan CEO PT Astra International Tbk dan Pendiri Triputra Group). Sebuah kesempatan yang mengantarkan saya bisa belajar Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Paramadina.

    Kedua, membantu saya keluar dari Quarter-Life Crisis. Di usia 27 saya merasa “stuck” dalam hidup. Sehingga mendorong saya untuk Resign dari pekerjaan untuk saya manfaatkan menikmati #CareerBreak selama setahun penuh dalam misi #Sabbatical. Berkat membaca ribuan buku dan (belajar) menulis buku secara otodidak, saya bisa keluar dari masa yang penuh turbulensi tersebut.

    Ketiga, membantu saya keluar dari jeratan utang. Karena pernah terlilit utang yang tidak sedikit, saya mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Segala upaya telah saya kerahkan untuk mewujudkannya. Dan pada akhirnya, bukulah yang membantu saya keluar dari “lingkaran setan” bernama utang.

    Berkat menulis bukulah saya bisa meraup ratusan juta dalam hitungan beberapa bulan saja. Bukan tidak mungkin kelak bisa mencapai milyaran bahkan trilyunan dari #menulis. Suatu hal yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.

    Keempat, kesempatan berbagi. Berkat menulis saya telah menjelajahi berbagai negara, kota, dan pulau. Sebagai orang yang ketika masih kecil ingin sekali menjadi guru, rasanya menjadi penulis adalah salah satu pencapaian terbaik bagi diri saya meskipun saya akui bahwa saya bukan penulis sempurna. Berkat menulis, saya diundang untuk mengisi berbagai acara seperti pelatihan, seminar, lokakarya, atau event terkait.

    Kelima, meraih pengakuan. Sejujurnya, tujuan saya menulis hanyalah berbagi. Namun tak bisa saya pungkiri, di awal merintis karier menulis, tujuan saya memang mendapatkan pengakuan dari orang lain. Seiring berjalannya waktu, saya merasa tujuan menulis untuk mendapatkan pengakuan itu menyesatkan. Karena itu begitu egois. Dan bisa menjadi bumerang jika tidak tercapai.

    Dalam enam tahun terakhir, saya sama sekali tidak berniat mendapatkan pengakuan sebagai tujuan saya. Namun, ketika saya menulis sebaik mungkin, lalu ada orang yang mengapresiasi itu lain soal, bukan? Saya begitu percaya bahwa biarlah karya yang akan “bersuara” sendiri.  Kalau karya kita bermanfaat untuk orang banyak, bukankah itu lebih dari cukup?

    Keenam, membuat saya terus-menerus membaca. Sejak kecil hobi saya memang membaca. Dari bangku SD sampai perguruan tinggi, saya selalu menjadi pelajar yang paling banyak meminjam buku. Tidak percaya? Silakan cek sendiri ke almamater-almamater saya. Semoga mereka masih menyimpan rekapnya ya 🙂

    Bagi saya, membaca itu membuat kecanduan dalam arti positif. Dan memang sebagai penulis,  hobi membaca itu menurut saya sebuah keharusan – bukan paksaan.

    Ketujuh, membuat saya terus merasa bodoh. Jika Anda menuliskan nama lengkap saya di Google, Anda akan menemukan bahwa topik buku yang saya tulis maupun yang saya tuliskan untuk klien begitu beragam.

    Nah, itu artinya saya terpacu untuk terus belajar berkat menulis. Dan itu membuat saya bahagia bukan main. Karena bukankah jika merasa pintar kita tidak bisa #LevelUp?

    Kedelapan, mendapatkan ucapan terima kasih. Saya rasa inilah yang paling utama. Mendapatkan ucapakan terima kasih dari orang lain tidak pernah terlintas dari pikiran saya.

    Namun, sudah tidak terhitung orang yang mengucapkan terima kasih karena mereka merasa mendapatkan “sesuatu” dari buku saya. Dari yang menjadikan buku saya sebagai referensi tesis, skripsi, maupun disertasi di kampus-kampus dalam negeri dan luar negeri; hingga tiba-tiba mendapatkan surat elektronik, SMS maupun pesan singkat di Whatsapp karena buku saya dianggap “mengubah hidup?

    Karena menulis membuat saya bahagia, saya akan terus melakukannya. Karena harta tak dibawa mati, namun buku akan membuat nama kita abadi.

     

    Setiabudi, 24 November 2023

    Agung Setiyo Wibowo


  • Berapa Tarif Ghostwriter?

    Apakah Anda ingin menerbitkan buku tapi terkendala waktu atau tidak memiliki kompetensi menulis? Tenang saja. Anda bisa memakai jasa Ghostwriter.

    Ghostwriter adalah orang yang membantu menerjemahkan pemikiran Anda menjadi sebuah buku. Merekalah orang yang membantu mewujudkan impian Anda melihat buku sendiri di rak buku tanpa ribet.

    Sayangnya, masih banyak orang masih awam. Mereka bingung untuk menentukan “harga yang pantas” untuk memakai jasa Ghostwriter.

    Keraguan publik memang bisa dimaklumi. Profesi Ghostwriter setahu saya belum diatur oleh pemerintah. Bahkan setahu saya belum ada asoasi Ghostwriter di tanah air. Kalau asosiasi penulis sudah banyak.

    Nah, berapa tarif Ghostwriter yang lazim di Indonesia? Sejujurnya ini sangat bervariasi. Karena setiap Ghostwriter mematok tarif berbeda-beda.

    Tentunya itu bukan tanpa alasan. Karena jam terbang, spesialisasi kepakaran, dan reputasi Ghostwriter turut mempengaruhi.

    Ada Ghostwriter yang mematok tarif per buku. Ada pula Ghostwriter yang memasang tarif per halaman. Bahkan ada Ghostwriter yang menentukan biaya per kata.

    Jadi, balik lagi kepada Anda. Berapa budget  yang Anda punya? Anda tinggal mencari beberapa Ghostwriter di internet. Hubungi satu per satu Ghostwriter yang menurut Anda meyakinkan. Bandingkanlah tarif masing-masing dengan mempertimbangkan jam terbang, portofolio, reputasi, atau referensi dari teman.

    Berdasarkan survei saya selaku Ghostwriter dengan para Ghostwriter di Indonesia, harga satu buku berkisar antara Rp 20 juta hingga ratusan juta. Mahal atau tidaknya bergantung dari tenggat waktu, kompleksitas kebutuhan Anda, dan spesialisasi Ghostwriter.

    Nah, bagaimana dengan diri Anda? Apakah tertarik memakai jasa Ghostwriter? Jika iya, jangan ragu untuk berdiskusi dengan saya. Siapa tahu berjodoh.

    Maju terus literasi Indonesia!

     


  • Tips Memilih Ghostwriter Profesional

    Buku merupakan salah satu alat Personal Branding yang paling Powerful. Meskipun kini kita sudah ada di era internet, bisa menerbitkan buku masih memiliki prestise tersendiri.

    Sayangnya, banyak pakar yang ingin menerbitkan buku tidak tahu harus mulai dari mana. Tak sedikit juga yang tidak memiliki waktu untuk menulis buku.

    Nah, di situlah peran Ghostwriter berada. Ghostwriter  membantu orang-orang yang ingin menerbitkan buku tanpa perlu repot menuliskannya sendiri.

    Sayangnya menemukan Ghostwriter  yang tepat gampang-gampang susah. Kebanyakan Ghostwriter  mungkin pandai dalam menulis, namun apakah mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan di bidang yang ingin kita tulis?

    Di situlah tantangannya. Ada begitu banyak Ghostwriter. Tak percaya? Ketik “Jasa Ghostwriter Jakarta” atau “Jasa Ghostwriter “, “Jasa Ghostwriter  profesional” atau kata kunci-kata kunci lainnya.

    Anda akan menemukan begitu banyak orang yang mengaku sebagai Ghostwriter  profesional. Permasalahannya adalah, siapa Ghostwriter  yang perlu Anda pilih? Apakah si X, Y, atau Z?

    Nah, berikut tips memilih Ghostwriter  profesional dari kaca mata saya sebagai seorang Ghostwriter.

    Pertama, nilailah portofolionya. Apakah portofolio Ghostwriter  yang sedang Anda pertimbangkan meyakinkan? Ataukah jangan-jangan masih pemula?

    Ghostwriter profesional biasanya telah terbukti mampu mengantarkan kliennya menembus penerbit besar. Ghostwriter  profesional bukan orang yang baru sekali menerbitkan buku di area tertentu. Ghostwriter profesional adalah mereka yang mampu menuturkan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca.

    Kedua, seleksilah sejumlah Ghostwriter. Mudah saja bagi Anda untuk mendapatkan kontak Ghostwriter  di internet. Biasanya mereka mencantumkan email dan ponsel. Hubungilah beberapa Ghostwriter  yang meyakinkan di mata Anda. Ajak ketemuan. Lalu tanyakan kepada mereka sebanyak mungkin sebelum Anda benar-benar memilih Ghostwriter  yang cocok.

    Ketiga, mintalah referensi dari teman. Anda bisa menemukan Ghostwriter  dari referensi. Jika Anda belum atau tidak kenal dengan teman yang memiliki rekanan Ghostwriter, tenang saja. Tanyakan kepada teman-teman Anda di media sosial — baik Facebook, Instagram, TikTok, LinkedIn dan seterusnya.

    Pada akhirnya, menemukan Ghostwriter  itu ibarat menemukan jodoh. Gampang-gampang susah. Kita perlu telaten dalam mencari sampai benar-benar mendapatkan yang Anda inginkan.

    Apakah Anda ingin mencari jasa Ghostwriter? Jika iya, hubungi saya. Siapa tahu kita berjodoh. Kalau pun tidak, saya bisa menghubungkan Anda dengan ribuan Ghostwriter  dari seluruh penjuru dunia di bidang apa pun.

     


  • Buku yang “Menyelamatkan” Hidupku

    Buku telah menyelamatkan hidup saya . .

    Ungkapan di atas mungkin terdengar begitu berlebihan. Namun faktanya itu yang saya alami.

    Terlahir dari keluarga petani gurem, sejak kecil saya didorong oleh kedua orang tua saya untuk mencapai apa yang disebut dengan “kesuksesan” versi orang desa. Apa itu?

    Ya  minimal tidak menjadi pengangguran selepas sekolah. Syukur-syukur kalau bisa membanggakan orang-orang di sekitar.

    Lahir dan dibesarkan di pelosok desa yang warganya mayoritas sebagai buruh tani, TKI dan petani gurem; sejak belia saya memiliki dorongan untuk mengubah nasib. Meskipun pada kenyataannya, perjalanan saya untuk menggapai mimpi tidak selalu berjalan dengan mulus.

    Mengapa buku saya anggap telah menyelamatkan hidup saya?

    Karena dari bukulah saya terinspirasi untuk maju. Dari bukulah saya bisa melihat dunia. Dari bukulah saya terdorong untuk terus-menerus mengembangkan diri. Dan dari bukulah tentu saja saya terdorong untuk mengubah nasib.

    Berikut alasan saya menyebut buku sebagai “penyelamat” hidup saya.

    Pertama, mendapatkan “tiket” beasiswa S1. Saya begitu bersyukur bisa menerbitkan buku pertama saya di tahun 2007, tahun kelulusan SMA saya. Dan buku itulah yang saya rasa menjadi pertimbangan pewawancara untuk meloloskan saya sebagai penerima beasiswa penuh S1 bernama Paramadina Fellowship. Sebuah kesempatan emas yang mengantarkan saya untuk belajar ilmu hubungan internasional di Universitas Paramadina.

    Mungkin buku memang bukan satu-satunya faktor yang membuat saya “beruntung”  menjadi penerima beasiswa tersebut. Karena ada unsur penilaian lain seperti nilai rapor, rekam jejak organisasi, prestasi memenangkan perlombaan dan seterusnya. Namun, entah mengapa saya begitu yakin bahwa bukulah yang membuat para dosen akhirnya memberikan “tiket” bernama beasiswa. Terima kasih diriku yang telah berinisiatif untuk menerbitkan buku pertama selepas SMA.

    Kedua, keluar dari jeratan Quarter-Life Crisis. Berkat membaca dan menulis buku, saya bisa berhasil dari masa kegalauan yang mengerikan. Salah satu fase terburuk yang mengantarkan saya pada titik terendah dalam hidup sebelum akhirnya menemukan titik balik. Sebuah periode yang begitu fluktuatif.  Sebuah pengalaman hidup yang mendorong saya untuk menulis buku menjadi Mantra Kehidupan

    Ya, berkat membaca ribuan bukulah saya pada akhirnya menyadari bahwa menulis buku merupakan salah satu panggilan hidup saya. Membaca buku terbukti membantu saya mengenal diri sendiri lebih baik. Begitu pun proses menulis buku.

    Terima kasih diriku yang telah mau berjuang melewati fase yang tidak mudah. Dan membaca buku maupun menulis buku telah “menyelamatkan” masa depan saya.

    Ketiga, menjadi sumber penghidupan. Sebagai manusia biasa, saya tidak terlepas dari yang namanya kesulitan keuangan. Saya pernah merasa begitu pesimis untuk bisa keluar dari jeratan utang yang mirip “gali lubang, tutup lubang”.

    Saya sempat Down. Saya mencari segala cara untuk bisa keluar dari “lingkaran setan” bernama utang. Saya mencari segala peluang yang ada di depan mata. Dari meminta umpan balik dari teman dekat hingga browsing  di internet, saya sempat “tergiur” untuk menjalani (berbagai) profesi yang nampaknya menjanjikan untuk dijalani.

    Long story short, saya tidak bisa bertahan lama di profesi-profesi baru tersebut. Meskipun memang saya kerjakan secara paruh waktu a.k.a sambilan.

    Entah “energi” dari mana yang mendorong saya, saya lagi-lagi diselamatkan oleh buku. Saya merasa menulis buku merupakan aktivitas yang mengasyikkan dan menghasilkan. Setelah fokus di situ, ternyata memang benar adanya. Ratusan juta saya dapatkan hanya dalam hitungan beberapa bulan.  Dan tentu saja peluang mendapatkan milyaran atau triliunan dari menulis buku bukan tidak mungkin kelak terjadi. Nikmat mana lagi yang saya dustakan?

    Ini bukan tentang profit. Bukan tentang ego atau kebahagiaan semu dari aktivitas bernama menulis buku. Namun  bagi saya, ini adalah tentang amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

    Dan menulis bagi saya merupakan cara saya untuk mensyukuri sisa umur yang diberikan Sang Khalik. Kini, saya begitu bangga menyebut diri saya sebagai seorang penulis buku. Karena ini bukan semata-mata untuk mendapatkan cuan. Namun lebih dari itu. Menulis buku bagi saya merupakan panggilan yang bahkan jika tidak dibayar pun, saya ikhlas melakukannya. Karena saya menyukainya.

    Setidaknya  itulah tiga alasan yang membuat buku menjadi “penyelamat” hidup di mata saya. Entah masih ada berapa banyak alasan lagi di masa depan.

    Tulisan ini saya sengaja saya buat sebagai wujud terima kasih kepada diri sendiri yang tak pernah lelah untuk menulis. Terima kasih diriku.

    Teruslah menulis, Agung!