Buku yang “Menyelamatkan” Hidupku

Buku telah menyelamatkan hidup saya . .

Ungkapan di atas mungkin terdengar begitu berlebihan. Namun faktanya itu yang saya alami.

Terlahir dari keluarga petani gurem, sejak kecil saya didorong oleh kedua orang tua saya untuk mencapai apa yang disebut dengan “kesuksesan” versi orang desa. Apa itu?

Ya  minimal tidak menjadi pengangguran selepas sekolah. Syukur-syukur kalau bisa membanggakan orang-orang di sekitar.

Lahir dan dibesarkan di pelosok desa yang warganya mayoritas sebagai buruh tani, TKI dan petani gurem; sejak belia saya memiliki dorongan untuk mengubah nasib. Meskipun pada kenyataannya, perjalanan saya untuk menggapai mimpi tidak selalu berjalan dengan mulus.

Mengapa buku saya anggap telah menyelamatkan hidup saya?

Karena dari bukulah saya terinspirasi untuk maju. Dari bukulah saya bisa melihat dunia. Dari bukulah saya terdorong untuk terus-menerus mengembangkan diri. Dan dari bukulah tentu saja saya terdorong untuk mengubah nasib.

Berikut alasan saya menyebut buku sebagai “penyelamat” hidup saya.

Pertama, mendapatkan “tiket” beasiswa S1. Saya begitu bersyukur bisa menerbitkan buku pertama saya di tahun 2007, tahun kelulusan SMA saya. Dan buku itulah yang saya rasa menjadi pertimbangan pewawancara untuk meloloskan saya sebagai penerima beasiswa penuh S1 bernama Paramadina Fellowship. Sebuah kesempatan emas yang mengantarkan saya untuk belajar ilmu hubungan internasional di Universitas Paramadina.

Mungkin buku memang bukan satu-satunya faktor yang membuat saya “beruntung”  menjadi penerima beasiswa tersebut. Karena ada unsur penilaian lain seperti nilai rapor, rekam jejak organisasi, prestasi memenangkan perlombaan dan seterusnya. Namun, entah mengapa saya begitu yakin bahwa bukulah yang membuat para dosen akhirnya memberikan “tiket” bernama beasiswa. Terima kasih diriku yang telah berinisiatif untuk menerbitkan buku pertama selepas SMA.

Kedua, keluar dari jeratan Quarter-Life Crisis. Berkat membaca dan menulis buku, saya bisa berhasil dari masa kegalauan yang mengerikan. Salah satu fase terburuk yang mengantarkan saya pada titik terendah dalam hidup sebelum akhirnya menemukan titik balik. Sebuah periode yang begitu fluktuatif.  Sebuah pengalaman hidup yang mendorong saya untuk menulis buku menjadi Mantra Kehidupan

Ya, berkat membaca ribuan bukulah saya pada akhirnya menyadari bahwa menulis buku merupakan salah satu panggilan hidup saya. Membaca buku terbukti membantu saya mengenal diri sendiri lebih baik. Begitu pun proses menulis buku.

Terima kasih diriku yang telah mau berjuang melewati fase yang tidak mudah. Dan membaca buku maupun menulis buku telah “menyelamatkan” masa depan saya.

Ketiga, menjadi sumber penghidupan. Sebagai manusia biasa, saya tidak terlepas dari yang namanya kesulitan keuangan. Saya pernah merasa begitu pesimis untuk bisa keluar dari jeratan utang yang mirip “gali lubang, tutup lubang”.

Saya sempat Down. Saya mencari segala cara untuk bisa keluar dari “lingkaran setan” bernama utang. Saya mencari segala peluang yang ada di depan mata. Dari meminta umpan balik dari teman dekat hingga browsing  di internet, saya sempat “tergiur” untuk menjalani (berbagai) profesi yang nampaknya menjanjikan untuk dijalani.

Long story short, saya tidak bisa bertahan lama di profesi-profesi baru tersebut. Meskipun memang saya kerjakan secara paruh waktu a.k.a sambilan.

Entah “energi” dari mana yang mendorong saya, saya lagi-lagi diselamatkan oleh buku. Saya merasa menulis buku merupakan aktivitas yang mengasyikkan dan menghasilkan. Setelah fokus di situ, ternyata memang benar adanya. Ratusan juta saya dapatkan hanya dalam hitungan beberapa bulan.  Dan tentu saja peluang mendapatkan milyaran atau triliunan dari menulis buku bukan tidak mungkin kelak terjadi. Nikmat mana lagi yang saya dustakan?

Ini bukan tentang profit. Bukan tentang ego atau kebahagiaan semu dari aktivitas bernama menulis buku. Namun  bagi saya, ini adalah tentang amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Dan menulis bagi saya merupakan cara saya untuk mensyukuri sisa umur yang diberikan Sang Khalik. Kini, saya begitu bangga menyebut diri saya sebagai seorang penulis buku. Karena ini bukan semata-mata untuk mendapatkan cuan. Namun lebih dari itu. Menulis buku bagi saya merupakan panggilan yang bahkan jika tidak dibayar pun, saya ikhlas melakukannya. Karena saya menyukainya.

Setidaknya  itulah tiga alasan yang membuat buku menjadi “penyelamat” hidup di mata saya. Entah masih ada berapa banyak alasan lagi di masa depan.

Tulisan ini saya sengaja saya buat sebagai wujud terima kasih kepada diri sendiri yang tak pernah lelah untuk menulis. Terima kasih diriku.

Teruslah menulis, Agung!

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply