Category: Blog

  • Membalikkan Inferiority Complex

    Sepanjang 2016 saya menghabiskan waktu produktif saya dengan Sabbatical. Sebuah episode hidup yang saya isi dengan kontemplasi, menekuni hobi, jalan-jalan dan menjadi sukarelawan pengajar di sebuah pulau yang hanya terpaut satu jam perjalanan via ferry dari Singapura dan Malaysia.

    Belakangan setelah saya renungkan kembali, Career Break tersebut merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil dalam hidup. Kendati tidak begitu populer di tengah masyarakat yang lebih menghargai “kesibukan”.

    Mungkin sebagian dari Anda bertanya-tanya, “bagaimana mungkin saya menyia-nyiakan usia emas saya dengan kegiatan yang tak menghasilkan materi? ”Bisa jadi sebagian lainnya menambahkan, “apa untungnya mengambil Gap Year?”

    Apapun kata orang, saya begitu menikmati masa jeda. Suatu fase yang memberikan saya kesempatan wawancara dengan ribuan orang dan membaca ribuan buku.

    Salah satu tokoh yang saya pelajari kisah hidupnya pada masa Sabbatical ialah Mahathir Mohamad – mantan perdana menteri sekaligus Bapak Pembangunan Malaysia. Sosok yang lahir di Alor Setar, Kedah ini pada tahun 2017 berusia 92 tahun. Ayah beliau merupakan keturunan India yang berprofesi sebagai guru. Sedangkan ibunya merupakan kaum Melayu semenanjung. Secara ekonomi keduanya hidup secara pas-pasan. Terlebih lagi pada masa itu pengaruh kolonial Inggris masih sangat kental. Sehingga, hanya warga keturunan raja atau “penjajah” yang dapat hidup makmur. Tak berbeda jauh dengan realita di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

    Mahathir tampil sebagai sosok yang sangat pemberani, cemerlang di bidang akademik, dan tak mau kalah (kiasu). Tamat dari jenjang SMA, beliau sempat ‘down’ lantaran impian untuk kuliah Hukum di Inggris kandas walaupun prestasinya begitu memukau. Tak mau berlarut-larut dalam kegalauan, ia sempat berdagang di pasar local bersama teman-temannya. Di tahun berikutnya, beliau mendapatkan beasiswa di Singapura dengan jurusan Kedokteran.

    Semasa kuliah di Singapura, beliau aktif dalam berorganisasi. Prestasi akademiknya berhasil dipertahankan. Yang paling mengesankan, pemikirannya kerap kali diterbitkan dalam harian berpengaruh The Strait Times walau harus memakai nama samaran. Lulus dari Singapura, beliau mengamalkan ilmunya melalui praktek kedokteran sebagaimana dokter-dokter muda lainnya. Selang beberapa lama, beliau membuka klinik sendiri atas bantuan kakak iparnya. Di usia 30 tahun, beliau terpanggil hatinya untuk berpolitik guna mengembalikan (atau lebih tepatnya mengangkat) marwah kaum Melayu yang menjadi budak di negeri sendiri.

    Berkat kegigihannya, beliau berhasil menjadi perdana menteri selama 22 tahun dengan pencapaian yang “tidak main-main”. Walau dikenal sangat rasis, beliau dikenal sebagai “bapak pembangunan”, yang menyulap Malaysia dari negara antah berantah menjadi negara yang cukup disegani. Hal itu ditandai dengan menara kembar Petronas, hadirnya sirkuit Sepang, dibangunnya Putrajaya, jaringan tol yang menghubungkan tepian Semenanjung hingga Sarawak dan Sabah, kenaikan signifikan pendapatan perkapita warganya dan masih banyak lagi.

    Namun tak banyak yang tahu apa rahasia di balik keberhasilan Mahathir. Apakah karena sebuah keberuntungan ataukah memang sungguh-sungguh diupayakan. Namun yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana perjalanannya semenjak usia kanak-kanak hingga remaja. Serta bagaimana gaya mendidik orang tuanya, sehingga mampu melahirkan sosok fenomenal sepertiitu.

     

    Dari Inferiority Complex ke Superiority Complex

    Ditinjau dari kacamata psikologi, Mahathir sejatinya mengalami apa yang disebut dengan Inferiority Complex. Adalah sebuah kesehatan mental yang ditandai dengan rendahnya harga diri, keraguan, dan ketidakpastian. Dari alam bawah sadar, orang seperti ini cenderung memiliki rasa dendam, keterasingan, dan depresi. Adapun bagi banyak orang, keadaan ini disulut oleh kombinasi antara karakateristik kepribadian genetik dan pengalaman pribadi.

    Inferiority Complex sebenarnya merupakan masalah psikologis yang jelas merugikan diri sendiri. Orang yang mengidap kondisi ini biasanya melabeli diri sendiri sebagai orang yang lemah, bodoh, jelek, tertinggal, kalah, tak berdaya, dan hal-hal negative lainnya. Hal tersebut ditunjukkan mulai dari lingkungan RT sampai sekolah. Pun diperparah dengan adanya penolakan dari teman dan keluarga. Juga harapan yang terlalu tinggi dari orang lain yang menjadikan dirinya makin terpuruk.

    Namun, seorang Mahathir tidak menyerah begitu saja ketika mengidap Inferiority Complex. Dia dari kecil menyadari sebagai orang yang cukup asing. Terlahir bukan dari keturunan raja Melayu semenanjung. Bukan dari keturunan kolonial Inggris. Bukan dari keturunan China yang biasanya sukses berdagang. Ia hanya terlahir dari keluarga keturunan India yang serba pas-pasan. Apalagi, ia dibesarkan di sebuah kota kecil yang tidak semaju Penang, Melaka, atau Kuala Lumpur.

    Menyadari segala kekurangan yang tersemat pada dirinya, Mahathir dididik oleh orang tuanya dengan tidak sembarangan. Sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara, ia mewarisi tiga nilai dari ayahnya: disiplin, kerja keras, dan perbaikan diri sendiri. Nilai itu menjadi “cambuk” bagi dirinya untuk menjadi yang terbaik.

    Sejak remaja, Mahathir bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin. Menyadari hal itu, ia selalu berusaha untuk mewujudkannya dari hal-hal yang terkecil. Selalu  get things done. Menjadi aktivis politik di kampus, menulis pemikirannya di harian ternama dan meluaskan pengaruhnya dengan strategi yang kreatif.

    Mahathir berhasil membalikkan Inferiority Complex menjadi Superiority Complex. Merasa sebagai “orang luar” (keturunan India) yang besar dan tumbuh di tengah kaum Melayu yang tertinggal, ia menasbihkan dirinya sebagai pemimpin. Oleh karenanya, di setiap tangga karirnya selalu memberikan yang terbaik. Dengan mewujudkan hal-hal yang oleh orang banyak dianggap tidak masuk akal. Ia memiliki kemauan yang kuat untuk mengikuti visinya, tidak gentar dengan segala kritikan, berani mengambil keputusan tidak populer, dan tidak pernah lelah untuk memberi dampak bagi orang banyak.

    Satu kutipan yang saya ingat dari Mahathir Mohamad adalah fight harder, shout louder & build bigger.  Bagi beliau untuk mewujudkan visi yang luhur kita harus berani untuk berjuang lebih keras, bersuara lebih lantang dan membangun sesuatu yang lebih besar dari orang kebanyakan. Tapi itu saja tidak cukup. Kita harus berani bersikap, berpikiran, dan bertindak layaknya Maverick. Sebuah kata yang menurut Kamus Oxford diartikan sebagai An unorthodox or independent -minded person. Seorang yang menurut etnis Sunda harus kekeuh  dalam mewujudkan apa yang benar-benar diinginkan dalam hidupnya.

    Are you ready to turn your inferiority complex to become a maverick like Mahathir Mohamad?

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 16 Agustus 2017

  • Bersahabat Dengan Masalah

    Satu kata yang mungkin paling banyak dituliskan, dipikirkan, dirasakan dan dibicarakan oleh umat manusia ialah masalah. Kata ini bisa jadi bersaing dengan kata-kata populer harian seperti makan, minum, bekerja, sakit, bahagia, Tuhan, bahkan asmara sekalipun. Lantas seberapa signifikan peran masalah dalam eksistensi seseorang?

    Tidak ada seorang pun yang terhindar dari masalah dalam hidupnya.Tidak ada seorang pun yang memiliki masalah yang sama dalam segala aspeknya. Tidak ada seorang pun yang “naik kelas” dalam arti apapun sebelum melaluinya.

    Cara menyikapi masalah adalah tolok ukur paling mudah dalam mengetahui kepribadian, karakter, dan “kualitas” seseorang. Masalahlah yang membedakan pemenang dan pecundang, si kaya dan si miskin, yang bahagia dan yang sedih, pemimpin dan pengikut, hingga pada akhirnya melahirkan “strata tak tertulis” yang diamini.

    Dalam kehidupan yang singkat ini kita sering kali bersahabat dengan masalah. Ada pula yang merasa menjadi “korban” tak berkesudahan karenanya. Menjadi sahabat atau musuh masalah adalah pilihan. Tapi tidak banyak orang yang menyadari akan konsekuensinya.

    Banyak tokoh besar yang justru tampil sebagai pemenang kehidupan karena “berkah” dari masalah. SBY menemukan titik baliknya untuk menjadi “seseorang” lantaran keretakan rumah tangga kedua orangtuanya. Mahathir Muhammad menjadi Malaysian Maverick lantaran sejak kecil mampu membalikkan Inferiority Complex. KH Ahmad Dahlan tergerak mendirikan Muhammadiyah karena menemukan praktek Islam yang “tidak seharusnya” di lingkungannya. Oprah Winfrey menjadi milyuner wanita pertama keturunan Afrika di Amerika Serikat, karena terdorong masa lalunya yang super kelam. Demikian seterusnya.

    Bagi banyak orang, masalah sering dijadikan alasan untuk kalah. Tapi, tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai tantangan untuk “naik kelas”.Ibarat di dunia pendidikan, masalah tidak lebih dari sebuah “ujian” yang menentukan prasyarat untuk kelulusan, atau melenggang ke tahap berikutnya. Oleh karenanya, barang siapa yang dengan bijak bestari menyikapinya maka akan dapat mereguk kebaikan yang tak terduga di kemudian hari.

    Kenyataan ini mengingatkan saya pada pesan seseorang belakangan ini. Seorang pimpinan di salah satu lembaga tertinggi negara asal Jawa Tengah. Berdasarkan sharing beliau, dapat disimpulkan bahwa mulusnya menaiki tangga karir tidak lain adalah keberhasilannya memenangkan masalah yang menghadang di setiap fase.

    Banyak pemimpin yang terlahir dari krisis yang sarat masalah. Banyak pula pecundang yang merasa menjadi korban’ hingga tersungkur ke titik nadir karena masalah. Keduanya ibarat dua sisi pisau yang memberikan kita pilihan. Kalau sudah mafhum seperti ini, sudahkah kita memupuk “persahabatan” dengan masalah?

     

    Artikel ini dimuat  di Inti Pesan, 15 Agustus 2017 

  • Jebakan Hedonic Treadmill

    Mungkin sebagian besar (atau semua) orang mengamini bahwasannya kebahagiaan adalah yang paling dicari dalam hidup ini.Begitu juga dengan kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan. Tapi jika diminta untuk memilih atau dibuat skala prioritas, saya yakin kebahagiaan ada di urutan pertama.

    Peliknya, kebahagiaan bersifat relatif. Standar setiap insan berbeda. Pun cara bagaimana mereka memaknai, menghayati, memandang dan menjalani kebahagiaan.

    Yang menggelikan, tidak sedikit orang yang (masih) mengukur kebahagiaan dari materi. Oleh karena itu, ada satu kata yang terngiang di hatinya dari detik ke detik. Uang, uang, dan uang. Masalahnya, apa benar makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi juga potensi kebahagiaan dalam dirinya? Mengapa yang kebanyakan terjadi tidak selalu linear?

    Ternyata, semakin tinggi pendapatan justru semakin menurunkan peran uang dalam menghasilkan kebahagiaan. Lah, kok bias begitu? Gambarannya kira-kira seperti ini.Saat pendapatan 5 juta per bulan, tinggal di rumah kontrakan tidak jadi soal. Saat pendapatan 50 juta perbulan, punya rumah tipe C sudah cukup girang. Saat pendapatan setengah milyar perbulan, punya 1 rumah dan 1 apartemen belum juga puas. Saat pendapatan 50 milyar perbulan, punya aset di mana-manapun tetap saja masih merasa kurang. Apa ada yang salah?

    Dalam kamus Psikologi Keuangan, fenomena tersebut dikenal dengan Hedonic Treadmill. Dinamakan demikian karena anak manusia sekonyong-konyong berjalan di atas treadmill. Terus saja berjalan, akan tetapi sejatinya tidak maju alias “jalan di tempat”. Kebahagiaan yang dicari-cari tidak kunjung ada karena nafsu terhadap kepemilikan duniawi yang tak berkesudahan. Kebahagiaan yang didambakan jaraknya laksana bumi dengan langit karena nafsunya yang tidak berbeda dengan hewan.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hedonic Treadmill erat kaitannya dengan kata hedonisme/he·do·nis·me/ /hédonisme/ n yaitu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

    Hedonic Treadmill mendorong keinginan akan materi yang meletup-letup, tak ada habisnya. Itu mengapa kebahagiaan yang diperolehmenjadi stagnan meski penghasilan berlipat-lipat. Hal itu sama halnya dengan salah satu cerita populer di masyarakat. Seseorang yang mendapatkan “rezeki nomplok”, katakanlah undian berhadiah senilaiRp 100 miliar. Ketika ditelusuri 1 tahun kemudian, tingkat kebahagiaan orang tersebut sama dengan kebahagiaan sebeleum mendapatkan “durian jatuh” tersebut.

    Saya jadi teringat nukilan kutipan Andrew Carnagie, seorang pengusaha besar pada awal abad ke-20. Beliau merupakan filantropi  terkenal yang menyumbangkan 90% kekayaannya untuk kemanusiaan. Dalam sebuah kesempatan Andrew pernah mengatakan,

    “Saya sudah bisa mendapatkan jutaan dollar, tapi rasa bahagianya tak bisa mengalahkan ketika saya mendapatkan bayaran mingguan pertama saya”.

    Lantas, apakah salah mengejar pendapatan yang tinggi?  Ya, tidak ada yang salah dong. Kalau kata orang bijak, justru sebagai manusia kita sebaiknya mengejar penghasilan setinggi-tingginya, menggunakan seperlunya, lalu mendermakan sebanyak-banyaknya. Karena, kebahagiaan tercipta ketika kita mau (dan mampu) memberi, melayani, atau menolong sesama yang (paling) membutuhkan.

    Bagaimana dengan Anda?

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 11 Agustus 2017

  • Kebebasan Yang Seperti Apa?

    Kebahagiaan, keberhasilan, dan kesehatan. Tiga kata itu nampaknya paling populer disuarakan oleh siapa saja dalam “berjuang” menjalani kehidupan yang hanya sementara ini.

    Ya, setiap orang saban hari “bersaing” dengan egonya sendiri untuk mencapai titik bahagia. Demikian halnya untuk mencapai derajat keberhasilan, siapapun sepertinya akan berusaha sekuat tenaga – lahir dan bathin – untuk mencapainya. Tak ketinggalan, untuk mereguk kesehatan siapa saja harus rutin berolahraga, tidur cukup, tidak kekurangan air mineral, dan menjaga asupan gizi.

    Belakangan, ada satu kata lagi yang “tidak kalah” tenar diperbincangkan. Apa itu? Ya, Anda benar. Ia adalah kebebasan.

    Setiap orang secara naluriah tidak ingin hidupnya diatur oleh orang lain. Setiap anak Adam pada hakikatnya (jika tidak ada hambatan finansial) ingin bersenang-senang memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Siapapun sepertinya mendambakan kebebasan waktu untuk melakukan A ke Z. Sesuka hatinya.

    Lalu, adakah sejatinya kebebasan itu? Jika ada, seperti apa? Nampaknya, perdebatan kusir tiga hari tiga malam tidak akan cukup untuk mencapai mufakat guna memaknai kebebasan. Ya, kebebasan itu relatif. Setiap “kepala” punya definisi masing-masing.

                Oxford Dictionary saja memaknai kebebasan sebagai The power of right to act, speak, or think as one wants.Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akar kata “bebas” dengan “lepas sama sekali” yaitu tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.

    Saya secara pribadi langsung teringat curahan hati beberapa rekan dekat saya.

    Si A, 25 tahun, lajang. Profesi sehari-hari sebagai agen asuransi dan pemasaran jaringan. Penghasilan mencapai lebih dari 1 Miliar rupiah perbulan. Setiap kali bertemu dengan teman lama dan kenalan baru ia “menggoda” (dan membujuk) agar yang bersangkutan mengikuti profesinya dengan dalih kebebasan waktu. Si A ini secara finansial (kelihatannya) memang berkelimpahan, pun waktu. Tapi sejatinya dia tidak “sebebas” yang ia koarkan. Bisa saja sih dia liburan setiap hari ke manapun yang ia mau, membeli apapun yang ia suka, dan berleha-leha di ranjang. Tapi, tidak demikian dengan A. Setiap saat dia terus bekerja, bekerja, dan bekerja. Kadang kala ia kesepian karena tidak ada yang mendikte dirinya. Oleh karena itu, ia harus mau dan mampu memimpin diri sendiri agar dapat “bebas”. Si A masih punya sederet daftar mimpi untuk dikejar.

    Si B, 75 tahun, menikah dengan 2 anak dan 4 cucu. Beliau adalah mantan CEO perusahaan multinasional yang saat ini menjadi pimpinan organisasi nirlaba dengan fokus pendidikan untuk anak kurang beruntung. Dari kacamata finansial dan waktu, beliau sebenarnya “berpeluang” besar untuk ongkang-ongkang kaki, menghabiskan usia senjanya dengan jalan-jalan, bersenang-senang, atau hal lainnya. Tapi mengapa beliau memilih untuk “menyibukkan diri” dengan mendermakan waktunya untuk pendidikan di Indonesia? Kenapa dia ingin bersusah payah seperti itu? Karena, itu merupakan panggilan hidup.

    Si C, 7 tahun, anak jalanan. Sehari-hari C ini merupakan satu dari puluhan ribu anak yang memadati jalanan Jakarta. C merupakan yatim piatu yang sekarang menggantungkan nasibnya kepada dirinya sendiri, tidak bergantung orang lain. Karena (mungkin) tidak neko-neko, C nampak bahagia. Setiap saat dia “menyumbangkan” suaranya kepada para penumpang bus dalam kota Jakarta dengan imbalan beberapa perak Rupiah saja. Sesekali dia berlibur semaunya. Tidur di mana saja. Makan seadanya. Tidak ada yang mengatur. Tidak ada beban. Tidak ada yang digelisahkan. C bebas sebebas-bebasnya.

    Apa yang bisa dipetik dari tiga profil nyata di atas? Ya, Anda benar. Setiap orang punya definisi masing-masing dalam memandang kebebasan. Tidak ada definisi pasti sebagaimana halnya rumus Matematika yang rumit – setidaknya bagi saya.

    Akhirnya, tugas kita dalam menjalani hidup nan singkat ini adalah menikmati apa yang kita miliki sekarang sepenuh hati. Seperti petuah Ki Ageng Suryomentaram saiki, ing kene, ngene, aku gelem”. Yang kira-kira bermakna: sekarang, di sini, apapun yang terjadi atau yang dihadapi, saya (mau) menerima dengan ikhlas.”

     

    Artikel ini dimuat di Pedenesia, 10 Agustus 2017

  • Pilar-Pilar Keseimbangan Hidup

    “Sukses ialah mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita dapatkan”. Ungkapan seperti ini terdengar begitu klise di telinga kita. Bukankah demikian?

    Seorang ayah bisa dikatakan sukses jika mampu mendidik putera-puterinya. Seorang pemimpin bisa dikatakan sukses jika mampu mewujudkan tujuan organisasi yang dinahkodainya.Seorang manajer penjualan bisa dikatakan sukses jika dapat mencetak closing sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan ukuran kesuksesan Anda?

    Setiap orang terlahir unik. Oleh karena itu masing-masing, memiliki patokan untuk menilai kesuksesan.Kendati demikian kesuksesan dalam hidup, alangkah baiknya jika dipandang secara holistik. Tidak dinilai secara sepotong-sepotong.

    Buat apa banyak uang tapi sakit-sakitan? Apa makna popularitas jika menjadikan narkoba sebagai pelarian? Untuk siapa jabatan bergengsi bila bahtera rumah tangga tergadaikan? Apa guna sembahyang jika hubungan horizontal berantakan?

    Saya yakin setiap orang menginginkan keseimbangan dalam hidup. Karena bahagia akan datang ketika aspek-aspek kesuksesan menemukan titik keseimbangan. Tidak ekstrem di salah satu sisi saja.

    Menyadari hal itu, rekan-rekan saya di Yayasan PIBAS memiliki visi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup di negeri ini. Melalui survei  dalam jaringan yang bisa diakses secara cuma-cuma, yayasan tersebut telah mempopulerkan konsep yang dikenal dengan Balanced Pillar (BALPIL). Sebuah pendekatan untuk mengukur keseimbangan hidup dalam empat pilar, yakni spiritual, intelektual, sosial, dan fisik (kesehatan).

    Dikembangkan oleh tim profesional dalam bidang kesehatan dan psikologi, Tes BalpilTM bisa dikatakan sebagai tes paling komprehensif yang mengukur keseimbangan individu secara paripurna. Sisi spiritual menguji apakah kesadaran diri, agama/kepercayaan, dan integritas berjalan dengan baik atau tidak.Sisi intelektual memeriksa apakah faktor pendidikan, pengalaman di lapangan, dan “latihan otak” berlaku semestinya atau tidak dalam menjalani keseharian. Sisi sosial memetakan apakah kita telah mampu memberikan dampak positif kepada keluarga/kerabat, teman/kolega, dan masyarakat luas atau belum. Sisi fisik mengetes apakah kita telah memberikan porsi yang seharusnya untuk olahraga, makanan, hingga istirahat atau belum.

    Hingga Maret 2016 saja, Yayasan PIBAS telah menguji lebih dari 26.270 responden pada rentang usia 17-30 tahun dari Sabang sampai Merauke. Hasil survei yang terdiri dari 100 pertanyaan tersebut menunjukkan, masyarakat di kepulauan ini cukup baik dalam aspek spiritual dan sosial namun masih memprihatinkan dalam aspek intelektual dan fisik. Apakah Anda kaget dengan temuan tersebut?

    Coba kita amati dari fenomena yang sederhana saja. Mengapa kita dengan begitu mudah menyebarkan hoax tanpa terlebih dahulu mencerna dan menggunakan akal sehat? Mengapa banyak pihak yang masih mengunggulkan orang yang pandai menghafal daripada yang berpikir kritis ? Mengapa sebagian dari saudara kita baru sadar akan pentingnya kesehatan setelah mengalami sakit?

    Untuk mendayagunakan potensi terbaiknya, segenap warga negara Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus memperhatikan keseimbangan hidupnya. Karena kebahagiaan hakiki, hanya dapat dicapai jika keempat aspek kehidupan berjalan berimbang. Jadi bukan kesuksesan secara parsial.

    Revolusi Mental pun tidak akan berjalan baik tanpa diiringi oleh keseimbangan hidup di tingkat individu. Bukan semata-mata program pemerintah yang dipandang secara politis.

    Saatnya kita turut andil untuk mewujudkan Garuda bisa terbang lebih tinggi lagi. Kepakan kedua sayap yang menuntut keseimbangan hanya dapat diwujudkan oleh sinergi bersama dari saya, Anda dan kita semua sebagai anak bangsa.Sudahkah Anda menjadi insan yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala?

    Mungkin kita wajib mengamini kata Thomas Merton bahwa “happiness is not a matter of intensity but of balance, order, rhythm and harmony.”

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 7 Agustus 2017

  • Pemicu Utama Pengunduran Diri

     Mengundurkan diri (resign) adalah bukan hal yang aneh di dunia kerja. Itu terjadi jika sudah tidak ada lagi “titik temu” ekspektasi karyawan dengan “penyedia kerja”. Bisa juga muncul lantaran hal-hal lain yang menyebabkan karyawan tidak mungkin lagi bertahan seperti sakit, mengikuti suami (atau isteri) dinas ke luar kota, hingga melanjutkan studi di luar negeri.

    Secara acak,  alasan karyawan “tega” meninggalkan pekerjannya adalah seperti:

    • Atasan yang payah
    • Tidak adanya jenjang karir
    • Terdorong untuk membuka bisnis sendiri
    • Terbersit untuk fokus “menjual” keahlian yang dimilikinya secara serius (self-employed)
    • Besaran gaji yang “belum” memenuhi harapan
    • Budaya perusahaan/institusi yang kurang mendukung
    • Menghadapi kejenuhan atau kebosanan di bidang yang digeluti
    • Jarak antara kantor dengan rumah yang relatif jauh
    • Tidak sesuainya keterampilan yang dimiliki dengan yang diharapkan oleh institusi
    • Terbatasnya kesempatan untuk “berkembang”
    • Nihilnya apresiasi dari Manajemen atas prestasi karyawan
    • Tidak berjalannya sistem Reward & Punishment
    • Rendahnya passion
    • Dan lain-lain

    Dari beragam riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga terkemuka sekelas Harvard Business Review, Gallup, maupun Times; ternyata faktor atasan menduduki peringkat wahid. Mengagetkan kah?

    Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sependapat dari hasil riset tersebut. Memutuskan pengunduran diri bukanlah semata-mata disetir oleh alasan Rupiah,  memenuhi ekspektasi orang lain, ataupun sebatas passion. Pengunduran diri adalah momen yang bukan dihasilkan dari keputusan semalam. Ia adalah “keputusan besar” yang tidak main-main. Kira-kira selevel dengan keputusan untuk memilih jodoh dan menentukan jurusan kuliah.

    Mengapa faktor atasan sebegitu berpengaruh? Tidak ada jawaban yang bisa membuat Anda semua mengiyakan. Karena pola pikir, persepsi, dan nilai-nilai individu menentukan bagaimana ia memandang “atasan” itu sendiri. Tapi, kalau boleh diutarakan kira-kira seperti ini:

    • Atasan adalah mitra kerja yang “bersama” karyawan dalam waktu yang tidak sebentar. Katakanlah Anda bekerja 8 jam perhari, berapa waktu yang Anda habiskan dengannya selama setahun?
    • Atasan secara profesional (idealnya, walaupun tidak selalu) merupakan Supervisor, Coach, Role Model, Guru, Mentor, atau teman yang dapat diandalkan untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Bagaimana jika menemukan atasan yang sebaliknya?
    • Atasan seyogyanya mampu menerapkan konsep P-C-D-C-A (Plan, Coordinate, Do, Check, Act) dalam mendelegasikan segala pekerjaan ke bawahannya agar lebih efektif dan efisien. Bagaimana kalau salah satu dari pilar itu tidak terlaksana?
    • Atasan ada baiknya (tapi sebenarnya harus) mau memberi dan menerima feedback kepada anggota timnya. Problema yang jamak ditemukan adalah masih banyaknya atasan yang menjunjung tinggi benih-benih “feodalisme” dengan pendekatan Top-Down yang mengunci rapat-rapat aspirasi dari bawahannya (Bottom-Up)
    • Atasan yang baik adalah yang mampu mengembangkan anggota timnya. Senada dengan pemimpin sejati yang mampu mencetak pemimpin lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Kenyataannya, masih ada atasan yang tidak mau “tersaingi” oleh anggota timnya.  Tidak sedikit juga atasan yang tidak mau (dan mampu) memberikan arahan, mengutarakan umpan balik, melakukan evaluasi, dan mendengarkan dengan hati dari bawahannya.

    Apapun karakter atasan yang Anda miliki saat ini, tidak ada manusia sempurna. Sebagai atasan, sudah seyogyanya Anda mampu menjadi pemimpin, teman, mitra, dan coach bagi anggota. Sebagai bawahan, sudah sepantasnya Anda dapat menjadi pengikut yang baik. Karena syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik adalah menjadi pengikut yang baik.

    Sudahkah Anda menjadi atasan yang baik? Apakah Anda pernah resign karena faktor atasan?

     

    (*) Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 4 Agustus 2017