Satu kata yang mungkin paling banyak dituliskan, dipikirkan, dirasakan dan dibicarakan oleh umat manusia ialah masalah. Kata ini bisa jadi bersaing dengan kata-kata populer harian seperti makan, minum, bekerja, sakit, bahagia, Tuhan, bahkan asmara sekalipun. Lantas seberapa signifikan peran masalah dalam eksistensi seseorang?
Tidak ada seorang pun yang terhindar dari masalah dalam hidupnya.Tidak ada seorang pun yang memiliki masalah yang sama dalam segala aspeknya. Tidak ada seorang pun yang “naik kelas” dalam arti apapun sebelum melaluinya.
Cara menyikapi masalah adalah tolok ukur paling mudah dalam mengetahui kepribadian, karakter, dan “kualitas” seseorang. Masalahlah yang membedakan pemenang dan pecundang, si kaya dan si miskin, yang bahagia dan yang sedih, pemimpin dan pengikut, hingga pada akhirnya melahirkan “strata tak tertulis” yang diamini.
Dalam kehidupan yang singkat ini kita sering kali bersahabat dengan masalah. Ada pula yang merasa menjadi “korban” tak berkesudahan karenanya. Menjadi sahabat atau musuh masalah adalah pilihan. Tapi tidak banyak orang yang menyadari akan konsekuensinya.
Banyak tokoh besar yang justru tampil sebagai pemenang kehidupan karena “berkah” dari masalah. SBY menemukan titik baliknya untuk menjadi “seseorang” lantaran keretakan rumah tangga kedua orangtuanya. Mahathir Muhammad menjadi Malaysian Maverick lantaran sejak kecil mampu membalikkan Inferiority Complex. KH Ahmad Dahlan tergerak mendirikan Muhammadiyah karena menemukan praktek Islam yang “tidak seharusnya” di lingkungannya. Oprah Winfrey menjadi milyuner wanita pertama keturunan Afrika di Amerika Serikat, karena terdorong masa lalunya yang super kelam. Demikian seterusnya.
Bagi banyak orang, masalah sering dijadikan alasan untuk kalah. Tapi, tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai tantangan untuk “naik kelas”.Ibarat di dunia pendidikan, masalah tidak lebih dari sebuah “ujian” yang menentukan prasyarat untuk kelulusan, atau melenggang ke tahap berikutnya. Oleh karenanya, barang siapa yang dengan bijak bestari menyikapinya maka akan dapat mereguk kebaikan yang tak terduga di kemudian hari.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada pesan seseorang belakangan ini. Seorang pimpinan di salah satu lembaga tertinggi negara asal Jawa Tengah. Berdasarkan sharing beliau, dapat disimpulkan bahwa mulusnya menaiki tangga karir tidak lain adalah keberhasilannya memenangkan masalah yang menghadang di setiap fase.
Banyak pemimpin yang terlahir dari krisis yang sarat masalah. Banyak pula pecundang yang merasa menjadi korban’ hingga tersungkur ke titik nadir karena masalah. Keduanya ibarat dua sisi pisau yang memberikan kita pilihan. Kalau sudah mafhum seperti ini, sudahkah kita memupuk “persahabatan” dengan masalah?