Mungkin sebagian besar (atau semua) orang mengamini bahwasannya kebahagiaan adalah yang paling dicari dalam hidup ini.Begitu juga dengan kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan. Tapi jika diminta untuk memilih atau dibuat skala prioritas, saya yakin kebahagiaan ada di urutan pertama.
Peliknya, kebahagiaan bersifat relatif. Standar setiap insan berbeda. Pun cara bagaimana mereka memaknai, menghayati, memandang dan menjalani kebahagiaan.
Yang menggelikan, tidak sedikit orang yang (masih) mengukur kebahagiaan dari materi. Oleh karena itu, ada satu kata yang terngiang di hatinya dari detik ke detik. Uang, uang, dan uang. Masalahnya, apa benar makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi juga potensi kebahagiaan dalam dirinya? Mengapa yang kebanyakan terjadi tidak selalu linear?
Ternyata, semakin tinggi pendapatan justru semakin menurunkan peran uang dalam menghasilkan kebahagiaan. Lah, kok bias begitu? Gambarannya kira-kira seperti ini.Saat pendapatan 5 juta per bulan, tinggal di rumah kontrakan tidak jadi soal. Saat pendapatan 50 juta perbulan, punya rumah tipe C sudah cukup girang. Saat pendapatan setengah milyar perbulan, punya 1 rumah dan 1 apartemen belum juga puas. Saat pendapatan 50 milyar perbulan, punya aset di mana-manapun tetap saja masih merasa kurang. Apa ada yang salah?
Dalam kamus Psikologi Keuangan, fenomena tersebut dikenal dengan Hedonic Treadmill. Dinamakan demikian karena anak manusia sekonyong-konyong berjalan di atas treadmill. Terus saja berjalan, akan tetapi sejatinya tidak maju alias “jalan di tempat”. Kebahagiaan yang dicari-cari tidak kunjung ada karena nafsu terhadap kepemilikan duniawi yang tak berkesudahan. Kebahagiaan yang didambakan jaraknya laksana bumi dengan langit karena nafsunya yang tidak berbeda dengan hewan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hedonic Treadmill erat kaitannya dengan kata hedonisme/he·do·nis·me/ /hédonisme/ n yaitu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Hedonic Treadmill mendorong keinginan akan materi yang meletup-letup, tak ada habisnya. Itu mengapa kebahagiaan yang diperolehmenjadi stagnan meski penghasilan berlipat-lipat. Hal itu sama halnya dengan salah satu cerita populer di masyarakat. Seseorang yang mendapatkan “rezeki nomplok”, katakanlah undian berhadiah senilaiRp 100 miliar. Ketika ditelusuri 1 tahun kemudian, tingkat kebahagiaan orang tersebut sama dengan kebahagiaan sebeleum mendapatkan “durian jatuh” tersebut.
Saya jadi teringat nukilan kutipan Andrew Carnagie, seorang pengusaha besar pada awal abad ke-20. Beliau merupakan filantropi terkenal yang menyumbangkan 90% kekayaannya untuk kemanusiaan. Dalam sebuah kesempatan Andrew pernah mengatakan,
“Saya sudah bisa mendapatkan jutaan dollar, tapi rasa bahagianya tak bisa mengalahkan ketika saya mendapatkan bayaran mingguan pertama saya”.
Lantas, apakah salah mengejar pendapatan yang tinggi? Ya, tidak ada yang salah dong. Kalau kata orang bijak, justru sebagai manusia kita sebaiknya mengejar penghasilan setinggi-tingginya, menggunakan seperlunya, lalu mendermakan sebanyak-banyaknya. Karena, kebahagiaan tercipta ketika kita mau (dan mampu) memberi, melayani, atau menolong sesama yang (paling) membutuhkan.
Bagaimana dengan Anda?