Pemicu Utama Pengunduran Diri

 Mengundurkan diri (resign) adalah bukan hal yang aneh di dunia kerja. Itu terjadi jika sudah tidak ada lagi “titik temu” ekspektasi karyawan dengan “penyedia kerja”. Bisa juga muncul lantaran hal-hal lain yang menyebabkan karyawan tidak mungkin lagi bertahan seperti sakit, mengikuti suami (atau isteri) dinas ke luar kota, hingga melanjutkan studi di luar negeri.

Secara acak,  alasan karyawan “tega” meninggalkan pekerjannya adalah seperti:

  • Atasan yang payah
  • Tidak adanya jenjang karir
  • Terdorong untuk membuka bisnis sendiri
  • Terbersit untuk fokus “menjual” keahlian yang dimilikinya secara serius (self-employed)
  • Besaran gaji yang “belum” memenuhi harapan
  • Budaya perusahaan/institusi yang kurang mendukung
  • Menghadapi kejenuhan atau kebosanan di bidang yang digeluti
  • Jarak antara kantor dengan rumah yang relatif jauh
  • Tidak sesuainya keterampilan yang dimiliki dengan yang diharapkan oleh institusi
  • Terbatasnya kesempatan untuk “berkembang”
  • Nihilnya apresiasi dari Manajemen atas prestasi karyawan
  • Tidak berjalannya sistem Reward & Punishment
  • Rendahnya passion
  • Dan lain-lain

Dari beragam riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga terkemuka sekelas Harvard Business Review, Gallup, maupun Times; ternyata faktor atasan menduduki peringkat wahid. Mengagetkan kah?

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sependapat dari hasil riset tersebut. Memutuskan pengunduran diri bukanlah semata-mata disetir oleh alasan Rupiah,  memenuhi ekspektasi orang lain, ataupun sebatas passion. Pengunduran diri adalah momen yang bukan dihasilkan dari keputusan semalam. Ia adalah “keputusan besar” yang tidak main-main. Kira-kira selevel dengan keputusan untuk memilih jodoh dan menentukan jurusan kuliah.

Mengapa faktor atasan sebegitu berpengaruh? Tidak ada jawaban yang bisa membuat Anda semua mengiyakan. Karena pola pikir, persepsi, dan nilai-nilai individu menentukan bagaimana ia memandang “atasan” itu sendiri. Tapi, kalau boleh diutarakan kira-kira seperti ini:

  • Atasan adalah mitra kerja yang “bersama” karyawan dalam waktu yang tidak sebentar. Katakanlah Anda bekerja 8 jam perhari, berapa waktu yang Anda habiskan dengannya selama setahun?
  • Atasan secara profesional (idealnya, walaupun tidak selalu) merupakan Supervisor, Coach, Role Model, Guru, Mentor, atau teman yang dapat diandalkan untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Bagaimana jika menemukan atasan yang sebaliknya?
  • Atasan seyogyanya mampu menerapkan konsep P-C-D-C-A (Plan, Coordinate, Do, Check, Act) dalam mendelegasikan segala pekerjaan ke bawahannya agar lebih efektif dan efisien. Bagaimana kalau salah satu dari pilar itu tidak terlaksana?
  • Atasan ada baiknya (tapi sebenarnya harus) mau memberi dan menerima feedback kepada anggota timnya. Problema yang jamak ditemukan adalah masih banyaknya atasan yang menjunjung tinggi benih-benih “feodalisme” dengan pendekatan Top-Down yang mengunci rapat-rapat aspirasi dari bawahannya (Bottom-Up)
  • Atasan yang baik adalah yang mampu mengembangkan anggota timnya. Senada dengan pemimpin sejati yang mampu mencetak pemimpin lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Kenyataannya, masih ada atasan yang tidak mau “tersaingi” oleh anggota timnya.  Tidak sedikit juga atasan yang tidak mau (dan mampu) memberikan arahan, mengutarakan umpan balik, melakukan evaluasi, dan mendengarkan dengan hati dari bawahannya.

Apapun karakter atasan yang Anda miliki saat ini, tidak ada manusia sempurna. Sebagai atasan, sudah seyogyanya Anda mampu menjadi pemimpin, teman, mitra, dan coach bagi anggota. Sebagai bawahan, sudah sepantasnya Anda dapat menjadi pengikut yang baik. Karena syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik adalah menjadi pengikut yang baik.

Sudahkah Anda menjadi atasan yang baik? Apakah Anda pernah resign karena faktor atasan?

 

(*) Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 4 Agustus 2017 

 

 

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply