Category: Blog

  • Tentang Kesendirian

    Bundaran HI di Jakarta

    Tugu Pahlawan di Surabaya
    Tak usah cemas, tak usah jumawa
    Nikmati hidupmu sekarang juga
    Bepergian ke Semarang
    Beli bandeng presto dan lumpia
    Jangan sekali-kali tinggalkan sembahyang
    Agar hidup kita bahagia
    Beli tahu di Kediri
    Lalu berwisata ke Batu
    Nasib kita di tangan sendiri
    Jangan takut, jangan ragu untuk maju
    Belajar pidato di masa SMA
    Latihan mengaji sejak belia
    Takdir sudah digariskan Yang Maha Kuasa
    Kita tinggal optimalkan upaya dan doa
    Pergi menyelam ke Pulau Banda
    Berwisata kuliner di Jayapura
    Semua yang kita miliki hanyalah sementara
    Menjadi titipan dari-Nya
    Ada sedih, ada bahagia
    Kadang menangis, kadang tertawa
    Semua masalah menguji kita
    Untuk kembali kepada Sang Pencipta
    Nasib orang tak ada yang tahu
    Semua menjadi rahasia Tuhan
    Teruslah maju, janganlah ragu
    Pupuk keyakinan sampai tercapai tujuan
  • Kelana Waktu

    Naik kereta ke Tanjungbarat

    Lalu gojek ke Kebagusan
    Jangan biasakan terlambat
    Karena itu pangkal dari kehancuran
    Sembahyang di awal waktu
    Mensyukuri segala ketentuan-Nya
    Ayo kawan menimba ilmu
    Demi masa depan yang lebih bercahaya
    Gonggong itu lezat rasanya
    Hanya ada di Tanjungpinang
    Kebahagiaan menjadi harapan kita semua
    Ikhlas menjalani hidup di kala sedih dan senang
    Panggang Gandu enak sekali
    Bisa Anda temukan di Magetan
    Hidup ini hanya sekali
    Pastikan Anda meninggalkan jejak yang berkesan
  • Kunci Transformasi Digital

  • Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI?

    Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI?

    Proses transisi dari siswa menjadi mahasiswa merupakah salah satu momen penting di kalangan akademisi. Banyak sekali hal berbeda yang akan dihadapi khususnya di awal masa perkuliahan. Tidak jarang hal ini menyebabkan shock di kalangan beberapa mahasiswa baru (maba), mulai dari kultur belajar, bobot materi di dalam perkuliahan, interaksi sosial antar mahasiswa/mahasiswi, kegiatan organisasi dan lainnya. Untuk meminimalisir shock tersebut biasanya di kampus diadakan berbagai kegiatan dalam menyambut maba yang biasa disebut masa orientasi (atau apalah namanya). Hal ini diharapkan dapat mengenalkan maba kepada lingkungan barunya sehingga dapat mempermudah proses adaptasi dari maba dengan agenda-agenda yang ada di kampus.

     

    Jika masa orientasi tersebut diadakan oleh kampus untuk mengenalkan maba terhadap dunia perkuliahan, begitu pula dengan buku yang ditulis oleh Agung Setiyo Wibowo. M.Si. Buku dengan judul “Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI?” ini layaknya buku panduan bagi para calon maba yang berminat untuk bergabung dalam jurusan Hubungan Internasional. Buku ini ditulis oleh salah seorang HI-sir yang merupakan salah satu dosen yang aktif mengajar di Universitas Satya Negara Indonesia Jakarta. Hubunganinternasional.id mencoba mewawancarai penulis terkait buku karangannya tersebut. Mari simak wawancaranya!

     

    Hubunganinternasional.id (hi.id): Bisa anda jelaskan apa motivasi anda menulis buku ini?

     

    Agung Setiyo Wibowo (ASW): Buku ini merupakan salah satu bukti kegelisahan saya dengan kualitas lulusan hubungan internasional. Faktornya tidak lain ialah nihilnya buku panduan (populer) yang mengenalkan calon mahasiswa tentang jurusan hubungan internasional. Sehingga, banyak yang mengambil jurusan ini karena ikut-ikutan teman, dipaksa orang tua, atau sekedar coba-coba. Akibatnya, kualitas mereka ketika tamat belum dapat mencapai titik optimal.

     

    Mengapa saya gelisah? Karena saya menemukan banyak teman seangkatan kuliah maupun mahasiswa HI pada umumnya yang memprihatinkan proses belajarnya. Hal ini dipicu oleh minimnya pengetahuan mereka mengenai potensi diri sendiri (seperti minat, bakat, passion) dan “kebutaan” mereka tentang jurusan hubungan internasional.

     

    (hi.id): Beberapa hal yang ditulis dalam buku anda menggambarkan dunia perkuliahan khususnya di jurusan Hubungan Internasional dengan sangat baik. Apakah ini berasal dari sebuah pengalaman pribadi anda ketika duduk di bangku kuliah?

     

    (ASW):  Semua buku saya berbasis riset, termasuk buku “Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI? Cerita Seorang Alumnus Hubungan Internasional dan Teman-temannya.” Tentu ada cerita pribadi yang mewarnai. Namun, hasil riset lebih menonjol. Karena data yang saya ambil melibatkan alumni HI lintas generasi, almamater dan profesi dari seluruh wilayah di tanah air.

    (hi.id): Menurut pendapat anda, apa tantangan terbesar yang dihadapi oleh maba ketika awal bergabung dalam jurusan Hubungan Internasional?

     

    (ASW):  Kebutaan mengenai jurusan hubungan internasional menyebabkan mereka kaget. Karena persepsi mereka mengambil program studi ini tidak jarang yang berbeda dengan kenyataan di lapangan. Banyak yang menikmati proses perkuliahan hingga tamat. Namun, tidak sedikit yang berhenti di tengah jalan karena merasa “salah jurusan”.

     

    Image: Agung Setiyo Wibowo, Penulis Buku “Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI?”

     

    (hi.id): Writing and Speaking! Seberapa penting skill ini bagi mahasiswa Hubungan Internasional?

     

    (ASW):  Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, dunia telah berubah dengan sedemikian cepatnya. Oleh karena itu, memiliki sifat agile tidak bisa ditawar lagi untuk memenangkan era disrupsi yang dikenal dengan VUCA (VolatilityUncertaintyComplexity & Ambiguity) ini. Tentu alumni hubungan internasional bisa beraktualisasi di bidang apa saja ketika unggul dalam Writing dan Speaking. Entah menjadi diplomat, aktivis NGO, staf organisasi internasional, jurnalis, penyiar, dosen, peneliti, trainer, penulis, pemasar, atau yang lainnya. Itu mengapa saya (masih) ingat dan sepakat dengan pendapat Charles Darwin bahwa bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling mampu menyesuaikan diri dalam menanggapi perubahan.

     

    (hi.id): Organisasi kemahasiswaan menyita waktu dan energi yang cukup banyak pada masa perkuliahan. Tidak jarang anggotanya dihadapkan pada pilihan antara memprioritaskan organisasi atau perkuliahan. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi kemahasiswaan juga mampu memberikan hal-hal positif kepada mahasiswa/mahasiswi. Menurut pendapat anda, apa pentingnya bergabung dalam organisasi kemahasiswaan?

     

    (ASW): Keaktifan berorganisasi mampu menempa Soft Skill mahasiswa. Kelak itu bisa menjadi modal dalam memenangkan pasar kerja – khususnya jika mau bertarung di level regional dan global. Siapapun yang ingin menjadi pemimpin dalam sektor bisnis, pemerintahan, swasta, maupun sosial wajib mengembangkan diri melalui “kendaraan” organisasi.

     

    (hi.id): Go internasional menjadi salah satu cita-cita bagi mahasiswa/mahasiswi Hubungan Internasional. Terlebih jika hal ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan akademik yang dapat menunjang perkuliahan. Menurut pendapat anda, event akademik seperti apa yang layak menjadi alasan mahasiswa/mahasiswi Hubungan Internasional untuk “go internasional”?

     

    (ASW): Saya kira belakangan makin banyak cara untuk bisa “go international” ya. Untuk ranah akademik bisa memanfaatkan konferensi internasional, forum regional maupun Model United Nations (MUN). Untuk yang non-akademik bisa mempertimbangkan pertukaran pemuda (mahasiswa) hingga international camp.

     

    (hi.id): Pengabdian pada masyarakat menjadi salah satu elemen penting dalam Tridarma Perguruan Tinggi. Menurut pendapat anda, pengabdian kepada masyarakat yang seperti apa bisa dilakukan oleh mahasiswa/mahasiswi Hubungan Internasional?

     

    (ASW): Pengabdian masyarakat bisa dilakukan dengan banyak cara. Bergantung apa keterampilan, minat, dan passion. Namun yang lebih penting lagi ialah mampu menjawab persoalan yang terjadi di akar rumput. Karena sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

     

    (hi.id): Selain berbicara masa-masa kuliah, di buku ini anda juga menjelaskan terkait tahapan awal karir. Menurut pendapat anda apa yang menjadi tantangan terbesar di awal menghadapi dunia kerja?

     

    (ASW): Kurikulum HI di berbagai kampus banyak yang tidak terkait dan selaras (link & match) dengan pasar kerja. Ini diperburuk dengan minimnya assessment potensi diri maupun pelatihan seputar karir dari pihak perguruan tinggi. Jadi, banyak lulusan HI yang tidak siap dengan dunia kerja. Singkat kata, kualitas lulusan HI sangat beragam dari individu yang satu dengan yang lainnya.

     

    Image: Agung Setiyo Wibowo, Penulis Buku “Jadi, Kamu Pilih Jurusan HI?”

     

    (hi.id): Tantangan dalam dunia kerja yang akan dihadapi oleh HI-bro dan HI-sis sekarang tentu berbeda dengan zaman anda kuliah dulu. Untuk itu, tolong sebutkan satu soft skill yang menurut anda perlu dipersiapkan dengan baik sejak duduk di bangku kuliah guna menghadapi dunia kerja kelak ketika mereka lulus kuliah. Berikan alasannya!

     

    (ASW): Menurut pendapat saya ialah agility (kelincahan). Pasalnya, orang yang lincah biasanya cenderung lebih peka dengan keadaan. Jadi, mereka lebih terdorong untuk memaksimalkan kemampuan berpikir analitis maupun kreatif, menyelesaikan masalah, dan di saat yang bersamaan terasah kecerdasan sosialnya.
    Era disrupsi dewasa ini sarat dengan volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas (VUCA). Hanya orang-orang yang terus-menerus mengembangkan diri yang akan menjadi pemenang.

     

    (hi.id): Apa pesan yang ingin anda sampaikan kepada pembaca melalui tulisan ini?

     

    (ASW): Kenalilah potensi diri sendiri sebelum mengambil jurusan kuliah dan profesi. Karena setiap orang unik dan memiliki bakat maupun kelebihan masing-masing. Selanjutnya gunakan minat, bakat, passion, pengetahuan, dan keterampilan yang Anda miliki untuk menyelesaikan masalah-masalah di sekitar – khususnya yang paling Anda gelisahkan dan pedulikan.

     

    (hi.id): Pada sesi berikut ini, anda akan diberikan beberapa pertanyaan maupun pilihan. Anda harus menjawab atau memilih salah satu jawaban dan menjelaskan jawaban anda. Jika saya diberikan pilihan antara berkarir menjadi dosen atau berkarir sebagai diplomat, maka saya memilih menjadi …. Jelaskan!

     

    (ASW): Sejak kecil saya ingin menjadi guru. Itu mengapa saat ini saya aktif sebagai konsultan, coach, konselor, penulis, pembicara publik dan trainer sekaligus. Saat ini saya memutuskan untuk menjadi dosen luar biasa. Meskipun tidak menutup kemungkinan akan menjadi dosen penuh waktu kelak.
    Misi hidup saya ialah membantu individu dan organisasi memaksimalkan potensi terbaik mereka. Berbeda dengan kebanyakan calon mahasiswa maupun lulusan HI, saya tidak pernah ingin menjadi diplomat. Itu mengapa saya tidak pernah mendaftar CPNS karena sudah tahu apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup.

     

    (hi.id): Jika saya bisa mendorong mahasiswa/mahasiswi saya, maka saya memilih untuk mengarahkan mereka mempublikasikan artikelnya atau memberdayakan masyarakat?

     

    (ASW): Saya akan mengarahkan mereka untuk memberdayakan masyarakat. Karena di situlah mereka bisa memanfaatkan ilmu yang diperoleh di kelas. Lantaran di sanalah “kualitas” diri sesungguhnya diuji.

     

    Semakin banyak masalah yang mahasiswa/i pecahkan, semakin besar manfaat yang mereka tebarkan untuk sesama. Karena bukankah tujuan kita hidup itu untuk mengabdi, melayani, berbagi, memberi, dan menawarkan solusi untuk orang lain?

     

    (hi.id): Menurut saya, mahasiswa/mahasiswi Hubungan Internasional akan mendapatkan banyak pengalaman berharga melalui magang atau Kuliah Kerja Nyata (KKN)?

     

    (ASW): Keduanya baik dan saling melengkapi. Magang bisa membuka cakrawala mahasiswa/i akan sengitnya persaingan kerja. Jadi, mereka bisa mengukur diri mengenai kesiapan dan kemampuan diri sendiri di lapangan. Sementara itu, KKN bisa membantu mereka keluar dari “menara gading kampus” yang terkadang justru membatasi imaginasi.

     

    (hi.id): Berkarir sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri Indonesia menjadi angan-angan dari banyak mahasiswa/mahasiswi Hubungan Internasional. Menurut saya hal tersebut ….

     

    (ASW):  Tidak salah dengan angan-angan menjadi diplomat. Yang perlu mereka sadari, lulusan HI bisa berkarya di mana saja sesuai dengan potensi diri. Jadikan pengalaman belajar di jurusan HI sebagai “gerbang emas” masa depan – bukan justru membatasi diri!

     

    (hi.id): Menurut pendapat saya, jika lulusan Hubungan Internasional tidak mampu meraih angan-angan berkarir sebagai diplomat, maka pekerjaan yang cocok untuk mereka adalah …. Jelaskan alasannya!

     

    (ASW): Pekerjaan apa saja yang sesuai dengan minat, bakat, keterampilan, passion dan “kebutuhan” pasar. Sebagaimana yang saya tulis dalam buku, banyak kok lulusan HI yang justru “bersinar” di luar profesi diplomat. Mulai dari penulis, penyiar, penyanyi, pebisnis, pembicara publik, aktivis sosial, bankir, jurnalis dan lainnya.

     

    (hi.id): Jika ada satu negara yang dapat saya rekomendasikan kepada HI-bro dan HI-sis untuk melanjutkan studinya, maka saya akan merekomendasikan mereka untuk melanjutkan kuliahnya di Negara …. Jelaskan alasannya!

     

    (ASW): Ehmmm, ini sangat subyektif. Karena bukankah hidup ialah kumpulan dari keputusan atau pilihan kita sendiri? Jika saya yang ditanya, maka saya sangat merekomendasikan HI-bro dan HI-sis untuk belajar di Amerika Serikat. Meskipun belakangan Tiongkok makin menunjukkan tajinya, Amerika Serikat saya rasa masih menjadi pusat peradaban dunia – setidaknya hingga satu hingga tiga dekade mendatang.

     

    (hi.id): Jika saya diberikan kesempatan untuk memilih, suatu saat nanti saya ingin mengajar di Universitas … Alasannya?

     

    (ASW): Saya lahir dan besar di Magetan, Jawa Timur. Jika Tuhan memberikan kesempatan, suatu saat saya ingin mengajar di kampus-kampus yang tidak jauh dari kampung halaman saya.

     

    (hi.id): Bagi saya menjadi dosen itu ….

     

    (ASW): ialah panggilan. Karena masa depan bangsa Indonesia ada pada kualitas manusianya.

     

    (hi.id): Jika saya tidak menjadi dosen, saya memilih menjadi …. Jelaskan alasannya!

     

    (ASW): Penulis dan Pebisnis Sosial. Karena dua profesi ini merupakan cerminan jiwa saya. Dengan menulis saya bisa “menyihir” orang lain melalui kata-kata. Dengan berbisnis sosial, saya bisa menyelesaikan masalah sosial yang paling saya pedulikan dengan mandiri – dengan cara saya sendiri.

     

     

    Sumber: hubunganinternasional.id, 24 November 2018 

  • Pola Pikir Yang “Ramah VUCA”

                     Dalam tiga tahun terakhir, pelaku dan pengamat bisnis dihebohkan oleh apa yang disebut dengan VUCA. Suatu istilah yang merupakan kependekan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Satu kata yang seakan telah melekat dengan era disrupsi.

    Jika kita telisik lebih jauh, gegap gempita VUCA di Indonesia sejatinya relatif lambat. Pasalnya, VUCA sudah mulai bergaung di Amerika Serikat jauh sebelum saya lahir – lebih tepatnya pada tahun 1987. Istilah tersebut merujuk pada teori kepemimpinan yang dikumandangkan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus untuk menggambarkan kondisi dunia yang sarat dengan gejolak, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas.

    Jika istilah VUCA di Negeri Paman Sam sudah menjadi bahan perbincangan sejak berakhirnya Perang Dingin – khususnya mulai tahun 2002, di tanah air baru “meledak” belakangan. Hal itu nampaknya ditopang oleh masifnya bisnis digital yang mengejutkan banyak pihak. Ditandai oleh munculnya berderet startup yang “mencuri” perhatian publik seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak, Tokopedia, dan seterusnya.

    Era VUCA memang telah melahirkan “wajah baru” dalam belantika bisnis tanah air. Di saat yang bersamaan, para pemain lama yang tak inovatif terpaksa gulung tikar.

    Era VUCA dianggap sebagai biang keladi hilangnya beberapa profesi yang dulu kala menjadi primadona. Secara paralel, menjadi berkah bagi banyak orang dengan lahirnya berderet profesi baru.

    Belakangan ini, saya bersama tim membantu salah satu perusahaan plat merah dalam program transformasi digital. Dalam misi tersebut, saya diingatkan betapa para manajer dan pemimpin di sekitar kita banyak yang “kelabakan”. Khususnya dalam menyikapi gegap gempita VUCA.

    Salah satu temuan paling sederhana ialah tidak sedikit di antara mereka yang ketakutan dengan “tsunami digital”. Berbagai perusahaan seakan-akan tidak mau kalah antara satu dengan yang lainnya. Ada yang menjalankannya secara mandiri, ada pula yang mempercayakan pada konsultan.

    Sejauh pengamatan saya, tidak semua perusahaan yang menjalankan program transformasi digital benar-benar “melek” dengan apa yang dilakukannya. Artinya, mereka mungkin bisa saja merombak habis-habisan intrastruktur dan strategi untuk “ramah” dengan dunia digital. Namun, mereka sering kali melupakan “ruh” dari transformasi itu sendiri.

    Yang pertama dan paling utama dalam proses transformasi digital sejatinya ialah transformasi pola pikir. Karena dari situ bisa mendorong transformasi kapabilitas dan transformasi budaya organisasi.

    Apa guna infrastruktur dan strategi transformasi digital jika orang-orang yang menjalankannya belum “siap mental”? Apa jadinya jika pucuk pimpinan perusahaan dan kepala bagian SDM menggembor-gemborkan transformasi digital jika pola pikirnya tidak diubah lebih dulu? Apa hasil dari transformasi digital yang tidak didukung oleh kumpulan individu dan tim yang lincah?

    Pada ekosistem digital seperti dewasa ini; Anda, saya, dan kita semua dituntut untuk memiliki inovasi yang agile guna menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang belum diketahui. Oleh karena itu, urgensi untuk memiliki empat pola pikir digital di bawah tak terelakkan lagi.

    Pertama, pola pikir cheetah untuk menjawab situasi yang cepat berubah-ubah. Caranya dengan membayangkan, memikirkan, menanggapi atau memberdayakan orang-orang di sekitar kita. Kata kuncinya, buruan!

    Kedua, pola pikir hamster untuk menjawab ketidakpastian. Saya dan Anda dituntut untuk mengandalkan intuisi dengan terus mencoba-coba guna mendapatkan solusi terbaik untuk organisasi kita masing-masing. Kata kuncinya, bereksperimenlah!

    Ketiga, pola pikir penjelajah untuk menjawab kompleksitas. Artinya, kita diwajibkan untuk menyederhanakan sekaligus melakukan apa saja dengan memanfaatkan data guna memvalidasi masalah. Kata kuncinya, benarkah ini masalahnya?

                    Keempat, pola pikir penyerang untuk menjawab ambiguitas. Maksudnya? Berpikiran terbuka, terus menerus mengembangkan diri dan mendisrupsi apa yang dapat kita lakukan ialah kewajiban. Kata kuncinya, disrupsilah sebelum terdisrupsi!

                    Apakah Anda setuju dengan empat pola pikir di atas? Apapun jawaban Anda, perlu saya ingatkan lagi dan lagi bahwa teknologi sendiri bukanlah disruptor-nya. Namun yang pasti tidak berorientasi pelangganlah yang membuat bisnis atau organisasi Anda tersingkir dari peredaran.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat oleh Intipesan pada 21 November 2018 

  • Tentang Ilmu

    Menuntut ilmu di Jakarta

    Demi mengejar asa dan cita
    Apa guna menumpuk harta
    Bila jauh dari Sang Pencipta
    Memasak sayur di rumah mertua
    Ditemani keponakan tercinta
    Aduhai senangnya berumahtangga
    Disayang sanak sekeluarga
    Jeruk Medan manis asam rasanya
    Rambutan Bandung sungguh menggoda
    Wahai kawanku semuanya
    Jangan lupakan menyantuni kaum dhuafa
    Jalan-jalan ke Denpasar
    Dilanjutkan melancon ke Gianyar
    Oh bahagianya memiliki anak pintar
    Cerdas bersosial, cakap bernalar
    Balikpapan kota yang maju
    Begitupun Samarinda tetangganya
    Hilangkah cemas, singkirkan ragu
    Dalam mengabdi kepada Tuhan dan sesama
    Berlibur sepekan di Semarang
    Menginap semalam di Yogyakarta
    Ujian kehidupan pergi dan datang
    Menempa mental, jiwa, dan raga