Sayur sawi sungguh bergizi
Author: Agung Wibowo
-
Tentang Ketenangan
Juga dengan Mangga ManalagiAyo kawan kenali diri sendiriUntuk menjaga kedamaian hatiBerselancar di BanyuwangiMenjelajahi Taman Nasional BaluranHidup itu hanya sekaliJanganlah sekali-kali menyia-nyiakanMampir sepekan di TulungagungBelanja marmer segala rupaHanya Allah tempat bergantungDari segala urusan duniaBuah duku, bunga kemitirBuah durian, bunga kambojaTak usah ragu dan khawatirDari ujian di duniaJalan-jalan ke MinahasaLalu berpetualang ke MorowaliIngatlah Allah sepanjang masaKarena ia tempat kembaliMakan siang di Tanah DeliLalu tamasya ke BrastagiWaktu yang pergi tak pernah kembaliBuat hidupmu sungguh berarti -
Menari Dalam Perubahan
Teman.
Menurutmu, apa yang pasti dalam kehidupan ini? Apakah kesuksesan, kebahagiaan, kesehatan, ketenaran, kekuasaan atau apa lagi?
Jika kamu mengatakan demikian, bolehlah kita berpikir ulang.
Dalam hidup, tidak ada yang pasti teman. Yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.
Perubahan adalah keniscayaan. Masalah silih berganti menyertai kita. Orang-orang pun, datang dan pergi. Satu-satunya kepastiannya adalah keharusan kita untuk “menari” dalam perubahan.
Mengapa menari?
Menari menggambarkan keluwesan, fleksibilitas dan dinamika. Karena disuguhkan untuk menghibur orang lain, sang penari berlenggak-lenggok memberikan sebaik mungkin kemampuannya. Harapannya, penonton pulang dengan hati riang.
Bagi sebagian orang, menari identik dengan permainan. Karena dianggap bukan aktivitas primer. Bukankah kehidupan di dunia demikian? Kita hanya bermain sesaat sebelum akhirnya benar-benar kembali kepada Sang Khaliq. Singgah sesaat untuk mengumpulkan bekal demi kehidupan abadi.
O ya, menari berlangsung begitu singkat. Aktivitas itu sementara saja. Demikian halnya dengan kehidupan berdunia. Kita diajarkan untuk menjalani kesementaraan ini dengan keikhlasan.
Hari ini mungkin kita berlimpah harta, besok bisa jadi tak punya apa-apa. Hari ini mungkin kamu dipuja-puja, besok mungkin dikutuk oleh siapa saja. Hari ini mungkin jabatan melenakanmu, tapi siapa tahu besok justru meresahkanmu.
Menarilah teman.
Menarilah teman.
Perubahan adalah keniscayaan.
Satu-satunya kepastian dalam hidup adalah ketidapastian itu sendiri.
Rayakan dengan tarian. Kenali dirimu. Cintai takdirmu.
Agung Setiyo Wibowo,
Mega Kuningan, 16 Agustus 2019
-
Nrimo Ing Pandum
“Nerimo ing pandum.” Bagi orang Jawa falsafah ini begitu mengakar kuat dari generasi ke generasi. Tak terkecuali Gen Y seperti saya.
Secara harfiah, falsafah itu berarti “menerima pemberian-Nya.” Secara praktik, tidak jauh berbeda maknanya. Kita, manusia mau tidak mau, suka tidak suka, cepat lambat harus menyadari bahwa segala hal yang kita lalui di duni ini adalah semata-mata karena rida-Nya.
Mungkin, falsafah ini begitu mudah dicerna. Namun, apakah juga mudah dipraktikkan?
Di dunia yang penuh dengan kompetisi ini, setiap orang – apapun latar belakang pendidikan dan strata sosialnya – seakan-akan dituntut untuk menjadi yang terbaik. Tak mengherankan, mungkin setiap individu terus berpacu dengan ritmenya masing-masing dalam mengejar ambisinya. Entah menumpuk harta, mencari ketenaran, meraih jabatan atau apapun itu sasarannya.
Apalagi, bagi kalangan terdidik, kita seolah-olah telah dicuci otaknya untuk hanya mengandalkan logika. Oleh karena itu, prinsip seperti “1 +1 = 2”; “Barang siapa menanam, ia akan memanen”; “Gagal merencanakan sama halnya dengan merencanakan kegagalan” begitu terpatri di benak kita.
Namun, apalah daya manusia. Apakah segala hal yang diinginkan tercapai? Tidak. Apakah segala sasarannya terpenuhi? Tidak juga.
Percaya atau tidak, setiap orang memiliki takdir. Karena Sang Hyang telah menetapkan “takaran” pemberian untuk masing-masing hamba-Nya yang konon tak pernah tertukar.
Nrimo ing pandum mengajarkan kita untuk ikhlas. Untuk menerima apapun pemberian-Nya.
Kadang-kadang kita diberi “lebih” sehingga membuat kita senang bukan kepalang. Tak jarang kita mendapati sebaliknya yang mendorong kita untuk merasa menjadi orang paling sial.
Lantas, apa pelajarannya? Hidup ini begitu sederhana. Kita tinggal menjalani, menikmati dan mensyukurinya.
Itu bukan berarti kita diajarkan untuk pasif. Untuk bermalas-malasan. Atau menunggu. Sebaliknya, kita diberi tugas untuk mengupayakan, berusaha, berikhtiar. Hasilnya?
Hasil, pencapaian, atau apa yang kita dapatkan sesungguhnya di luar kontrol diri kita. Dalam Islam, kita hanya dituntut untuk memberikan yang terbaik sebagai wujud kepatuhan kita kepada-Nya. Karena tawakal menjadi keharusan.
Sekali berarti, setelah itu mati. Lantas, apa yang pantas kita risaukan lagi jika semua adalah titipan-Nya? Mengapa kita terlalu khawatir dengan “pemberian” yang hanya diciptakan untuk menguji kita?
Selamat berbahagia. Di manapun, sekarang juga.
Agung Setiyo Wibowo
Karanganyar, 7 Juli 2019
-
Bahan Bakar Itu Bernama Nilai
Nilai. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar satu nama itu?
Mungkin sebagian dari diri Anda menghubungkannya dengan angka. Sebagian lainnya bisa jadi mengaitkannya dengan ukuran. Sisanya barangkali hanya geleng-geleng kepala.
Nilai yang saya maksud di sini ialah apa yang paling kita anggap penting dalam hidup. Suatu hal yang berkaitan erat dengan kepercayaan, prinsip, dan filosofi hidup pribadi.
Mengapa nilai begitu penting?
Karena kita sadari atau tidak, nilai merupakan bahan bakar diri kita. Apa yang kita alami sejauh ini merupakan buah darinya. Nasib kita sekarang pun tak bisa dilepaskan begitu saja darinya.
Nilai menjadi unsur sentral dalam pengambilan keputusan. Nilai paling memengaruhi kita dalam memprioritaskan apa saja. Nilai mewarnai kita dalam membuat sasaran, target, dan tujuan hidup. Intinya, nilai menunjukkan siapa kita.
Apakah itu berlebihan?
Sebelum Sabbatical, saya tidak peduli dengan nilai. Karena dulu saya pikir, apa gunanya sih memikirkan sesuatu yang abstrak? Namun, masalah demi masalah menyadarkan saya betapa pentingnya kita mengetahui jati diri. Dan itu bisa terbantu jika kita mengenali nilai-nilai yang kita pegang.
Seorang pengusaha yang berani ambil risiko memiliki nilai tidak sama dengan seorang Aparatur Sipil Negara. Seorang politisi yang haus kekuasaan memiliki nilai berbeda dengan seorang artis yang haus ketenaran. Seorang guru idealis di pedesaan tentu memiliki nilai yang tidak serupa dengan guru di sebuah sekolah internasional di kota besar.
Derajat kesuksesan setiap individu dipengaruhi oleh nilai. Begitu pun profesi, cara pengambilan keputusan, pola asuh mendidik anak, kepemimpinan, hingga kebahagiaan.
Jadi, bagaimana dengan diri Anda? Sudahkan Anda mengenal “bahan bakar” yang tersembunyi dalam diri Anda.? Selamat berkelana!
Agung Setiyo Wibowo
Depok, 25 Mei 2019
-
Antara Ketakutan dan Harapan
Setiap orang memiliki masalah masing-masing. Tapi, mengapa tidak semuanya merasakan apa yang disebut dengan kebahagiaan?
Jawabannya sangat sederhana. Setidaknya dalam perspektif saya. Beberapa waktu yang lalu misalnya, saya dikejutkan oleh tulisan nyentrik di sebuah badan truk di pinggiran Jakarta. Saya memang lupa bagaimana kalimat persisnya karena ditulis dalam bahasa Jawa.
Yang pasti, truk tersebut mengingatkan saya akan satu hal yaitu keikhlasan. Apa pasal?
Karena jika kita mau jujur, ada berapa ratus juta orang yang gagal bahagia karena ketakutan? Takut gagal. Takut bisnisnya bangkrut. Takut kehilangan pekerjaan. Takut tidak lulus ujian. Atau takut masa depan.
Sebaliknya, ada juga orang-orang yang terlalu berharap dengan masa depan. Mereka terbawa arus halusinasi. Apa pasal? Berharap memang sah-sah saja. Namun, ketika apa yang kita lakukan semata-mata harapan itu sendiri, biasanya kita akan dihadapkan pada kekecewaan yang mengerikan. Dalam dimensi waktu berikutnya, ini juga bisa memicu penyelasan lantaran harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Jadi, harus bagaimana dong?
Ya itu tadi. Ikhlas. Ikhlas. Ikhlas. Hidup ini untuk dijalani saja, kok!
Hidup tidak cukup untuk dipikirkan. Tapi untuk diisi sebaik mungkin dengan tingkat kepasrahan tertinggi.
Lakukan saja yang terbaik. Jangan takut melangkah. Jangan terlalu banyak berharap. Itu aja. Sederhana kan?
Mega Kuningan, 10 Mei 2019
-
Memaknai Purpose Dalam Bekerja
Bekerja. Apa yang di benak Anda ketika mendengar kata itu? Sekedar aktivitas untuk mengisi waktu? Rutinitas 8-5 yang membosankan? Kegiatan untuk mewujudkan dapur tetap mengebul? Aktualisasi diri? Atau mungkin wujud pengabdian kepada Tuhan?
Apapun pendapat Anda, sah-sah saja. Karena mau-tidak mau, suka-tidak suka, setiap individu digariskan oleh Sang Pencipta untuk bekerja.
Lagi pula, bekerja merupakan aktivitas utama yang Anda sadari atau tidak menyedot sebagian besar waktu dalam hidup. Jika standar “kerja kantoran” kata banyak orang adalah 8 jam dan kemacetan jalan “memakan” 1-3 jam, berapa lama waktu yang Anda korbankan untuknya? Itu belum termasuk lembur yang kadang-kadang tidak menentu.
Bekerja memang menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup kita. Meski tidak selalu, ia sering menjadi “identitas” diri.
Bekerja bisa dikatakan sebagai “impian” anak muda. Teliti saja kalau tidak percaya. Bukankah para mahasiswa ketika mengambil jurusan tertentu memiliki berderet motivasi untuk menjalani profesi tertentu?
Bekerja merupakan “harapan” bagi jutaan saudara kita yang sedang menganggur lantaran terbatasnya lapangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah mati-matian untuk mendapatkannya. Dari menebar riwayat hidup, mondar-mandir dalam bursa kerja, hingga berjejaring di platform sekelas Linkedin.
Bekerja merupakan faktor pendorong urbanisasi. Cek saja daerah asal orang-orang yang berkantor di kota-kota besar. Bukankah mereka para pendatang?
Menyadari hal itu, sudah semestinya setiap orang bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena alangkah ruginya jika dikerjakan asal-asalan belaka.
Menurut penelitian saya tiga tahun terakhir, ada tiga tingkatan seseorang dalam bekerja. Pertama, menganggap pekerjaan hanya sebagai kewajiban. Orang-orang semacam ini memandang pekerjaan sebagai “beban”. Mereka menghabiskan waktu di tempat kerja tidak lebih dari sekedar mencari uang untuk hidup. Mereka sering bosan, mengeluh, menyalahkan keadaan, dan gampang putus asa. Tak mengherankan jika karier mereka biasa-biasa saja. Mereka adalah potret dari sebagian besar pekerja di dunia.
Kedua, menganggap pekerjaan sebagai karya. Orang-orang di tingkatan ini sadar akan potensi diri mereka. Dari kekuatan, minat, bakat, passion, dan peluang. Ambisi mereka luar biasa. Berbagai kursus, kuliah bergelar maupun non-gelar, sesi networking, hingga seminar, lokakarya, atau segala jenis forum diikutinya untuk mengembangkan diri. Orientasi mereka ialah karier. Tak mengejutkan, jika mereka adalah para “bintang” di bidang masing-masing. Mereka seringkali ialah orang-orang yang Anda anggap “sukses” dari sisi keuangan, jabatan, popularitas, atau sisi duniawi lainnya. Meskipun oleh orang lain telah dianggap mencapai derajat “sukses”, kebahagiaan masih sulit mereka wujudkan. Karena orientasi mereka masih berkutat untuk diri sendiri, memuaskan ego sendiri, atau mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Ketiga, menganggap pekerjaan sebagai panggilan. Orang-orang yang berada pada tingkatan ini berkarya karena “terpanggil” untuk memecahkan masalah, melayani sesama, membantu orang lain, atau menciptakan nilai tambah. Mereka bekerja bukan semata-mata untuk mencari nafkah, tapi bekerja sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan. Merekalah orang-orang yang telah “selesai” dengan (atau melampaui) diri sendiri. Karena orientasinya ialah Sang Pencipta – bukan lagi uang, pengakuan manusia, jabatan, popularitas atau hal-hal duniawi lainnya. Mereka cenderung lebih berbahagia karena prinsip hidupnya ialah memberi, berbagi, atau melayani orang lain.
Sekarang, jujurlah dengan diri Anda sendiri. Masuk dalam tingkatan yang manakah Anda? Akhir kata, saya jadi teringat dengan petuah salah satu mentor saya. Untuk berkarya dengan purpose (tujuan). Bukan bekerja karena diharuskan, lantaran diawasi atasan, atau takut tidak mendapatkan nafkah.
Bukankah sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat untuk orang lain? Dan kunci kebermanfaatan itu bisa kita temukan dalam bekerja.(*)
*) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan pada 12 April 2019.