“Nerimo ing pandum.” Bagi orang Jawa falsafah ini begitu mengakar kuat dari generasi ke generasi. Tak terkecuali Gen Y seperti saya.
Secara harfiah, falsafah itu berarti “menerima pemberian-Nya.” Secara praktik, tidak jauh berbeda maknanya. Kita, manusia mau tidak mau, suka tidak suka, cepat lambat harus menyadari bahwa segala hal yang kita lalui di duni ini adalah semata-mata karena rida-Nya.
Mungkin, falsafah ini begitu mudah dicerna. Namun, apakah juga mudah dipraktikkan?
Di dunia yang penuh dengan kompetisi ini, setiap orang – apapun latar belakang pendidikan dan strata sosialnya – seakan-akan dituntut untuk menjadi yang terbaik. Tak mengherankan, mungkin setiap individu terus berpacu dengan ritmenya masing-masing dalam mengejar ambisinya. Entah menumpuk harta, mencari ketenaran, meraih jabatan atau apapun itu sasarannya.
Apalagi, bagi kalangan terdidik, kita seolah-olah telah dicuci otaknya untuk hanya mengandalkan logika. Oleh karena itu, prinsip seperti “1 +1 = 2”; “Barang siapa menanam, ia akan memanen”; “Gagal merencanakan sama halnya dengan merencanakan kegagalan” begitu terpatri di benak kita.
Namun, apalah daya manusia. Apakah segala hal yang diinginkan tercapai? Tidak. Apakah segala sasarannya terpenuhi? Tidak juga.
Percaya atau tidak, setiap orang memiliki takdir. Karena Sang Hyang telah menetapkan “takaran” pemberian untuk masing-masing hamba-Nya yang konon tak pernah tertukar.
Nrimo ing pandum mengajarkan kita untuk ikhlas. Untuk menerima apapun pemberian-Nya.
Kadang-kadang kita diberi “lebih” sehingga membuat kita senang bukan kepalang. Tak jarang kita mendapati sebaliknya yang mendorong kita untuk merasa menjadi orang paling sial.
Lantas, apa pelajarannya? Hidup ini begitu sederhana. Kita tinggal menjalani, menikmati dan mensyukurinya.
Itu bukan berarti kita diajarkan untuk pasif. Untuk bermalas-malasan. Atau menunggu. Sebaliknya, kita diberi tugas untuk mengupayakan, berusaha, berikhtiar. Hasilnya?
Hasil, pencapaian, atau apa yang kita dapatkan sesungguhnya di luar kontrol diri kita. Dalam Islam, kita hanya dituntut untuk memberikan yang terbaik sebagai wujud kepatuhan kita kepada-Nya. Karena tawakal menjadi keharusan.
Sekali berarti, setelah itu mati. Lantas, apa yang pantas kita risaukan lagi jika semua adalah titipan-Nya? Mengapa kita terlalu khawatir dengan “pemberian” yang hanya diciptakan untuk menguji kita?
Selamat berbahagia. Di manapun, sekarang juga.
Agung Setiyo Wibowo
Karanganyar, 7 Juli 2019