Author: Agung Wibowo

  • Buku yang “Menyelamatkan” Hidupku

    Buku telah menyelamatkan hidup saya . .

    Ungkapan di atas mungkin terdengar begitu berlebihan. Namun faktanya itu yang saya alami.

    Terlahir dari keluarga petani gurem, sejak kecil saya didorong oleh kedua orang tua saya untuk mencapai apa yang disebut dengan “kesuksesan” versi orang desa. Apa itu?

    Ya  minimal tidak menjadi pengangguran selepas sekolah. Syukur-syukur kalau bisa membanggakan orang-orang di sekitar.

    Lahir dan dibesarkan di pelosok desa yang warganya mayoritas sebagai buruh tani, TKI dan petani gurem; sejak belia saya memiliki dorongan untuk mengubah nasib. Meskipun pada kenyataannya, perjalanan saya untuk menggapai mimpi tidak selalu berjalan dengan mulus.

    Mengapa buku saya anggap telah menyelamatkan hidup saya?

    Karena dari bukulah saya terinspirasi untuk maju. Dari bukulah saya bisa melihat dunia. Dari bukulah saya terdorong untuk terus-menerus mengembangkan diri. Dan dari bukulah tentu saja saya terdorong untuk mengubah nasib.

    Berikut alasan saya menyebut buku sebagai “penyelamat” hidup saya.

    Pertama, mendapatkan “tiket” beasiswa S1. Saya begitu bersyukur bisa menerbitkan buku pertama saya di tahun 2007, tahun kelulusan SMA saya. Dan buku itulah yang saya rasa menjadi pertimbangan pewawancara untuk meloloskan saya sebagai penerima beasiswa penuh S1 bernama Paramadina Fellowship. Sebuah kesempatan emas yang mengantarkan saya untuk belajar ilmu hubungan internasional di Universitas Paramadina.

    Mungkin buku memang bukan satu-satunya faktor yang membuat saya “beruntung”  menjadi penerima beasiswa tersebut. Karena ada unsur penilaian lain seperti nilai rapor, rekam jejak organisasi, prestasi memenangkan perlombaan dan seterusnya. Namun, entah mengapa saya begitu yakin bahwa bukulah yang membuat para dosen akhirnya memberikan “tiket” bernama beasiswa. Terima kasih diriku yang telah berinisiatif untuk menerbitkan buku pertama selepas SMA.

    Kedua, keluar dari jeratan Quarter-Life Crisis. Berkat membaca dan menulis buku, saya bisa berhasil dari masa kegalauan yang mengerikan. Salah satu fase terburuk yang mengantarkan saya pada titik terendah dalam hidup sebelum akhirnya menemukan titik balik. Sebuah periode yang begitu fluktuatif.  Sebuah pengalaman hidup yang mendorong saya untuk menulis buku menjadi Mantra Kehidupan

    Ya, berkat membaca ribuan bukulah saya pada akhirnya menyadari bahwa menulis buku merupakan salah satu panggilan hidup saya. Membaca buku terbukti membantu saya mengenal diri sendiri lebih baik. Begitu pun proses menulis buku.

    Terima kasih diriku yang telah mau berjuang melewati fase yang tidak mudah. Dan membaca buku maupun menulis buku telah “menyelamatkan” masa depan saya.

    Ketiga, menjadi sumber penghidupan. Sebagai manusia biasa, saya tidak terlepas dari yang namanya kesulitan keuangan. Saya pernah merasa begitu pesimis untuk bisa keluar dari jeratan utang yang mirip “gali lubang, tutup lubang”.

    Saya sempat Down. Saya mencari segala cara untuk bisa keluar dari “lingkaran setan” bernama utang. Saya mencari segala peluang yang ada di depan mata. Dari meminta umpan balik dari teman dekat hingga browsing  di internet, saya sempat “tergiur” untuk menjalani (berbagai) profesi yang nampaknya menjanjikan untuk dijalani.

    Long story short, saya tidak bisa bertahan lama di profesi-profesi baru tersebut. Meskipun memang saya kerjakan secara paruh waktu a.k.a sambilan.

    Entah “energi” dari mana yang mendorong saya, saya lagi-lagi diselamatkan oleh buku. Saya merasa menulis buku merupakan aktivitas yang mengasyikkan dan menghasilkan. Setelah fokus di situ, ternyata memang benar adanya. Ratusan juta saya dapatkan hanya dalam hitungan beberapa bulan.  Dan tentu saja peluang mendapatkan milyaran atau triliunan dari menulis buku bukan tidak mungkin kelak terjadi. Nikmat mana lagi yang saya dustakan?

    Ini bukan tentang profit. Bukan tentang ego atau kebahagiaan semu dari aktivitas bernama menulis buku. Namun  bagi saya, ini adalah tentang amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

    Dan menulis bagi saya merupakan cara saya untuk mensyukuri sisa umur yang diberikan Sang Khalik. Kini, saya begitu bangga menyebut diri saya sebagai seorang penulis buku. Karena ini bukan semata-mata untuk mendapatkan cuan. Namun lebih dari itu. Menulis buku bagi saya merupakan panggilan yang bahkan jika tidak dibayar pun, saya ikhlas melakukannya. Karena saya menyukainya.

    Setidaknya  itulah tiga alasan yang membuat buku menjadi “penyelamat” hidup di mata saya. Entah masih ada berapa banyak alasan lagi di masa depan.

    Tulisan ini saya sengaja saya buat sebagai wujud terima kasih kepada diri sendiri yang tak pernah lelah untuk menulis. Terima kasih diriku.

    Teruslah menulis, Agung!

  • Daya Tahan

    Daya tahan?

    Ya, diksi ini tak lekang di makan waktu maknanya.
    Karena bukankah daya tahan “teman” kita menuju keberhasilan.
    Motivasi, goal, perencanaan, dan komunikasi tak akan efektif bila daya tahan absen.
    Jadi, teman-temanku …
    Sekuat apa daya tahanmu untuk menggapai cita?
    Apakah kamu rela membayar “harga” demi mimpi?
    Selamat berkarya.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 31 Oktober 2022
  • Bertahan

    Hidup ini tentang bertahan. Betul?

    Tidak semata-mata bertahan dari kelaparan, kecukupan sandang, papan atau lainnya.
    Namun, tentu lebih dari itu.
    Bertahan dari goncangan mentallah yang paling penting. Karena bukankah kesehatan mental sering terabaikan?
    Kawan, bertahanlah demi tujuan hidupmu.
    Bertahanlah demi kebahagiaanmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 24 Oktober 2022
  • Membumikan Stoicism

    Belakangan ini, stoicism semakin banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Buku-buku mengenai topik itu laris manis di pasaran. Berbagai kanal podcast berlomba-lomba mempopulerkan. Namun, apakah mempraktikkannya semudah yang dibayangkan?  Apakah Anda benar-benar telah memahami makna stoicism?

    Stoicism, stoic, atau stoisisme, berasal dari bahasa Yunani yaitu “stoikos”. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut bisa diartikan sebagai “dari stoa (seramba atau beranda). Hal itu merujuk pada Stoa Poikile, atau “Beranda Berlukis” yang berada di Athena — tempat para filsuf stoik Zeno dari Citium yang memberikan pengaruh besar pada stoisisme mengajar.

    Singkat kata, stoicism adalah pandangan atau filosofi hidup yang didukung oleh dua pilar mendasar yakni cardinal virtues atau dasar-dasar kebajikan dan dichotomy of control atau dualitas pengaturan hidup.

    Pilar pertama bernama cardinal virtues  atau  dasar-dasar kebajikan yaitu kebijaksanaan praktis, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan. Maksudnya adalah mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi diri sendiri. Sedangkan untuk keberanian, tidak hanya terpaku pada keberanian fisikal, tapi juga keberanian dalam memperjuangkan moral. Kebajikan berikutnya adalah keadilan yang tak hanya terpaku pada keadilan individu, namun keadilan bagi orang lain. Kebajikan terakhir adalah kesederhanaan untuk mengukur level yang tepat saat menjalani hidup, tidak berlebihan maupun tidak kekurangan.  Mirip dengan petuah leluhur orang Jawa yaitu “Samadya” yang menekankan pada kehidupan sederhana, tidak berlebihan atau mengambil secukupnya. 

    Pilar kedua merupakan dualitas kontrol kehidupan. Pilar itu tidak lain adalah implementasi stoicism yang menciptakan kebahagiaan dalam hidup. Disebut dualitas karena manusia hanya dihadapkan oleh dua kemungkinan, yaitu hal-hal yang bisa dikontrol dan hal-hal yang diluar kontrol. Untuk mendapatkan kebahagiaan, seorang stoic perlu melatih dirinya untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikontrol.

    Stoicism adalah filosofi praktis dengan tujuan menjalani kehidupan yang bermakna, dan menjadi versi terbaik diri sendiri. Kaum Stoa percaya dalam menjalani kehidupan yang bajik, kehidupan yang berpotensi memberi kita kebahagiaan dan ketentraman pribadi. Dan itulah salah satu alasan seseorang mungkin memilih untuk hidup mengikuti mode mereka. Lagi pula, apa gunanya filsafat jika pada akhirnya tidak memberi kita kebahagiaan? Tetapi dalam filosofi Stoic, pengejaran kebajikan dan karakter yang baiklah yang memungkinkan kita untuk sampai ke sana. Bagi orang Stoa, mengejar kebajikan adalah mengejar kebahagiaan. Jika kita bisa hidup dengan bajik, kehidupan yang baik akan mengikuti.

    Tetapi apa artinya mengejar kebajikan?

    Sederhananya, bertindak bajik berarti berjuang menuju cita-cita pribadi dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dengan menjadi orang yang kita inginkan, kita akan bahagia. Tetapi kaum Stoa juga mengajari kita bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi kita. Hal pertama dan terpenting yang dapat kita lakukan adalah mengambil kepemilikan atas siapa diri kita dan keadaan hidup kita. Hanya dengan begitu kita bisa menjadi orang yang kita inginkan, dan menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup kita.

    Berpijak dari filosofi itu, berikut adalah beberapa prinsip Stoic yang dapat membantu kita menjadi orang yang lebih baik dan lebih bahagia.

    Pertama, berhenti mengkhawatirkan apa yang tidak dapat kita kendalikan. Stoicism dibangun pada gagasan dasar bahwa kita tidak dapat mengendalikan dunia di sekitar kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita menanggapinya. Stoic mengingatkan diri mereka sendiri bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang sama sekali tidak dapat kita kendalikan, ada hal-hal yang kita kendalikan sebagian, dan ada hal-hal yang sepenuhnya kita kendalikan. Satu-satunya cara kita dapat memiliki kedamaian dalam hidup kita adalah menerima ini, melepaskan apa yang tidak dapat kita kendalikan, dan kemudian fokus pada apa yang kita kendalikan.

    Apa yang tidak kita kendalikan?

    Kita tidak dapat mengontrol dunia di sekitar kita, peristiwa eksternal, orang lain, alam, genetika kita, atau masa lalu. Mencoba, atau mengkhawatirkan hal-hal ini tidak ada gunanya, dan hanya membuat hidup lebih sulit. Ketika kita terus-menerus mencoba mengendalikan hal-hal ini, kita akhirnya menderita. Tidak mengherankan bila penulis Peaceful Warrior yang legendaris bernama Dan Millman pernah mengatakan bahwa “Penderitaan adalah resistensi psikologis kita terhadap apa yang terjadi. Peristiwa dapat menyebabkan rasa sakit fisik, tetapi peristiwa itu sendiri tidak menciptakan penderitaan. Perlawanan menciptakan penderitaan. Satu-satunya masalah dalam hidup kita adalah penolakan pikiran kita terhadapnya saat hal itu terungkap.”

    Ketidakbahagiaan kita, pada umumnya, disebabkan oleh pemikiran bahwa kita mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Dalam arti tertentu, ini seperti berdebat dengan kenyataan, dan itu adalah akar dari banyak, jika bukan sebagian besar masalah kita. Jadi, pertama-tama menerima bahwa ada hal-hal yang tidak kita kendalikan adalah penting jika kita ingin maju dengan hidup kita.

    Kedua, fokus dengan apa yang dapat kita kendalikan. Jika kita tidak dapat mengendalikan dunia, peristiwa eksternal, atau orang lain, apa yang tersisa dalam kendali kita? Kaum Stoa berpendapat bahwa hanya dua hal yang kita kendalikan secara mutlak yaitu pikiran dan tindakan kita. Kita tidak dapat mengontrol dunia di sekitar kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita menanggapinya melalui penilaian dan reaksi kita. Tak pelak lagi, hal-hal akan terjadi dalam hidup yang tidak dapat kita kendalikan, tetapi persepsi kita tentang peristiwa yang diikuti oleh bagaimana kita menanggapinyalah yang membuat hal-hal ini menjadi baik atau buruk.

    Praktik paling penting bagi Stoic adalah membedakan keduanya, dan kemudian fokus pada apa yang dapat kita kendalikan: penilaian dan tindakan sukarela kita, dan pilihan kita. Kita tidak dapat sepenuhnya mengontrol apa yang terjadi pada kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita melihatnya, dan bagaimana kita memilih untuk merespons dan bereaksi. Di situlah letak kekuatan kita.

    Tentu saja, memahami dikotomi ini hanya sebagian saja. Yang juga harus kita lakukan adalah mengingatnya. Semakin kita mengingatkan diri kita akan hal ini, semakin sedikit kita akan menderita ketakutan dan kecemasan, dan semakin mudah bagi kita untuk menginvestasikan energi dan upaya kita untuk menjadi orang yang kita inginkan.

    Ketiga, memikirkan kematian. Kita semua tahu bahwa kita akan mati kelak, namun kita hidup seolah-olah hidup kita akan bertahan selamanya. Jadi, sebaiknya kita tidak membuang banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak melakukan apa-apa untuk menggerakkan kita ke arah yang ingin kita tuju. Kita seringkali membuang waktu, dan kemudian kita mengeluh bahwa kita tidak memiliki cukup waktu. Padahal, kematian menggantung di atas bahu kita dengan setiap detik yang berlalu.

    Kenyataannya adalah bahwa hidup ini cukup lama untuk melakukan apa yang penting bagi kita. Bisa kita anggap singkat karena tidak ada waktu untuk disia-siakan. Waktu kita di dunia ini terbatas. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita putar kembali. Jadi, kita tidak boleh menghabiskannya untuk hal-hal sepele atau tidak perlu. Jika kita ingin bahagia, kita harus membiarkan pikiran tentang kematian mengubah hubungan kita dengan waktu. Biarlah itu mengajari kita untuk hadir sepenuhnya, dan memanfaatkan setiap momen sebaik-baiknya.

    Kenyataannya adalah bahwa hidup ini singkat jika kita membuang-buang waktu. Waktu adalah satu hal yang tidak akan pernah bisa kembali. Oleh karena itu, kita arus menggunakan waktu dengan bijak. Jadi, mari renungkan kematian. Biarkan itu memperjelas siapa yang kita inginkan. Kemudian biarkan itu mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar, menggunakan setiap momen untuk menjadi orang yang kita inginkan.

    Pikiran tentang kematian tidak perlu membuat kita takut, juga tidak perlu membuat kita tertekan. Sebaliknya, itu  justru bisa memotivasi kita. Faktanya, kematian adalah sumber motivasi terkuat yang pernah ada. Tidak ada yang lebih menarik daripada gagasan bahwa hidup kita atau kehidupan orang yang kita cintai dapat berakhir kapan saja. Ini menciptakan rasa urgensi, dan mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar-benar membuat hidup kita bermakna. Itu memotivasi kita untuk secara agresif mengejar apa yang penting, memenuhi kita dengan tujuan, dan juga mendorong kita untuk bertindak benar.

    Untuk menjadi orang yang kita inginkan, kita harus merenungkan kefanaan kita, dan kita harus sering melakukannya. Hanya melalui pengetahuan bahwa hidup kita suatu hari nanti akan berakhir, kita dapat belajar untuk benar-benar menjalaninya.

    Keempat, menginginkankan lebih sedikit. Salah satu pelajaran paling menonjol dalam Stoicism adalah belajar untuk menginginkan lebih sedikit. Kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan muncul dengan memperoleh lebih banyak dari sesuatu. Kita percaya bahwa kebahagiaan adalah memiliki lebih banyak hal seperti kesuksesan, uang, ketenaran, bakat,  atau harta benda. Begitu kita mencapai hal-hal ini, kita percaya masalah kita akan hilang, dan akhirnya kita bisa bahagia dengan hidup kita. Masalahnya adalah keinginan kita yang tak ada henti-hentinya  hanya membuat hidup kita lebih sulit. Kita menjadi budak keinginan kita sendiri. Tetapi sebaliknya juga benar. Kaum Stoa mengajarkan bahwa kita dapat membebaskan diri kita hanya dengan menginginkan lebih sedikit.

    Menjalani kehidupan yang baik tidak terjadi melalui pencapaian lebih banyak hal. Faktanya, bahkan jika kita mendapatkan semua hal yang kita inginkan, itu tidak pernah cukup. Tetapi juga, kenyataannya adalah bahwa kita tidak akan mendapatkan semua yang kita inginkan. Jika kita melekatkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang tidak kita miliki, kita akan semakin tidak bahagia.

    Sebaliknya, kita bisa belajar untuk menginginkan apa yang sudah kita miliki. Karena hidup telah memberi kita banyak hal, kita hanya perlu mengenalinya. Ini bukan hanya soal bersyukur, ini tentang bersikap pragmatis. Lihatlah apa yang kita miliki, dan kemudian manfaatkan dengan baik. Kita tidak dapat mengontrol apa yang tidak kita miliki, tetapi kita dapat mengontrol apa yang kita miliki. Kekayaan dan kekuasaan sejati muncul dari kemampuan kita untuk memanfaatkan apa yang kita miliki. Apa yang memberi nilai adalah bagaimana kita menggunakannya, bukan hanya dalam memilikinya.

    Jika kita berharap hidup memberi kita semua yang kita inginkan, kita akan terus-menerus kecewa dan kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Jauh lebih baik untuk menerimanya apa adanya, mengenali apa yang kita miliki, dan kemudian memanfaatkannya sebaik mungkin.

    Ya, tidak apa-apa untuk menginginkan hal-hal tertentu seperti kebutuhan hidup yang nyaman, berkembang, dan juga baik untuk memiliki impian, cita-cita, dan tujuan. Kita harus berusaha untuk meningkatkan taraf hidup kita, dan untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan orang yang kita cintai. Hal-hal ini adalah bagian dari perbaikan diri kita dan kehidupan kita. Orang Stoa tidak menyuruh kita untuk menghilangkan keinginan sepenuhnya, tetapi mereka hanya mendorong kita untuk menginginkan hal yang benar, mempraktikkan apresiasi atas apa yang kita miliki, dan kemudian menggunakannya untuk keuntungan kita. Semua yang kita butuhkan sudah kita miliki.

    Kelima, menyederhanakan hidup kita. Stoicism adalah, pada intinya, tentang kesederhanaan. Ini tentang menyederhanakan hidup kita dalam segala hal. Kaum Stoa mengajarkan bahwa apa yang penting untuk kehidupan yang baik adalah apa yang kita kendalikan: karakter kita. Kemampuan kita untuk menciptakan kebahagiaan berasal dari ini. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa yang benar-benar kita butuhkan untuk kebahagiaan adalah diri kita sendiri.

    Ya, ada juga kebutuhan dasar yang kita butuhkan, tetapi kebanyakan dari kita telah sepenuhnya mengacaukan hidup kita dengan hal-hal yang tidak kita butuhkan. Yang bisa kita lakukan adalah menghilangkan semua yang tidak perlu. Pada hakekatnya, kita memikirkan terlebih dahulu membersihkan hal-hal materi, meskipun bukan hanya hal-hal materi yang harus kita hilangkan, tetapi juga pikiran dan tindakan kita.

    Kita harus selalu memperhatikan apakah pikiran dan tindakan kita melakukan sesuatu untuk memajukan kita atau meningkatkan kehidupan kita. Yang diperlukan adalah apa yang membuat kita maju dan membuat kita lebih baik dan lebih bahagia. Yang lainnya sesungguhnya tidak kita perlukan. Jadi, untuk segala sesuatu dalam hidup kita, hal-hal, pikiran, dan tindakan, terus tanyakan apakah kita benar-benar memerlukannya. Jika tidak, kita bisa menghilangkan atau mengabaikannya.

    Kesimpulan

    Sebenarnya ada banyak jurus di seluruh spektrum filosofi dan pengembangan diri yang dapat digunakan untuk menciptakan kebahagiaan dalam hidup kita. Stoicism tidak mengklaim memiliki semua jawaban; juga tidak dapat memberitahu kita dengan tepat bagaimana menjadi bahagia. Sebaliknya Stoicism mengajarkan kita bahwa kita secara pribadi bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, dan terserah pada kita untuk menciptakan kebahagiaan melalui tindakan kita.

    Stoicism adalah pendekatan praktis untuk hidup, yang tidak menghindar dari kenyataan bahwa hidup itu sulit, dan kesulitan adalah sifatnya. Alih-alih melawan ini, lari darinya, atau mencoba mencapai kebahagiaan seolah-olah itu adalah akhir dari dirinya sendiri di mana semua masalah kita tidak ada lagi, Stoicism mengajarkan kita menerima kenyataan, menerimanya, dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ini mengajarkan kita untuk mendekati kebahagiaan sebagai lebih dari sebuah proses yang paralel dengan peningkatan diri dan pengejaran diri kita yang lebih tinggi. Hanya melalui proses ini kita dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjadi orang yang kita inginkan, dan, pada akhirnya, menciptakan kebahagiaan yang kita cari.

  • Kepuasan yang Tak Berujung

    Hidup ini singkat, bukan?

    Iya, singkat banget.
    Dan setiap dari diri kita memiliki parameter kesuksesan masing-masing. Apa yang menurut kita mendatangkan kepuasan itulah definisi sukses itu.
    Sayangnya, kepuasan manusia senantiasa tak berujung. Jika A telah tercapai, puas sesaat lalu hampa. Begitupun jika B, C, D atau E tercapai.
    Menyadari hal itu kita perlu instropeksi. Apakah definisi kepuasan kita telah benar? Apakah parameter kesuksesan kita sesuai dengan nurani?
    Hanya diri kita masing-masing yang tahu.
    Selamat berkelana sahabatku.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 17 Oktober 2022
  • Saatnya Menikmati Ketidaksempurnaan

    “Saya ingin menjalani hidup saya tanpa stres dan kekhawatiran. Saya tidak perlu kaya atau terkenal. Saya hanya ingin bahagia.” 
    ~Anonim


    Pernahkah Anda menetapkan tujuan dan kemudian menjadi terobsesi dengannya lalu menjadikannya sebagai fokus hidup Anda? Apakah Anda berpikir bahwa hanya setelah Anda mencapai tujuan Anda, Anda akan benar-benar santai dan bahagia?

    Saya sudah melakukan ini berkali-kali sebelumnya.

    Sejak remaja hingga menemukan panggilan hidup di usia 28 , saya telah mengukur kebahagiaan saya dengan prestasi saya. Saya begitu ambisius untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah, lalu fokus untuk kuliah di perguruan tinggi ternama, lalu mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi.

    Namun, bahkan setelah mendapatkan semua itu, saya tidak kunjung bahagia. Setelah mencapai beberapa mimpi saya, mereka merasa biasa saja, tidak sehebat yang saya kira.

    Perasaan meraih sejumlah prestasi ternyata tidak begitu mengagumkan.

    Saya menyalahkan pencapaian saya atas ketidakpuasan saya—bahwa itu tidak cukup luar biasa bagi saya untuk merasa bahagia. Jadi saya pikir saya harus berbuat lebih banyak. Saya pun menemukan gol baru, dan saya jatuh ke dalam perangkap lagi.

    Saya selalu memiliki sesuatu untuk dikejar, dan saya tidak pernah bisa merasa bahagia sampai saya mencapai segalanya.

    Saya meninggalkan hal-hal lain dalam hidup saya untuk mengejar mereka. Alasan saya adalah “Saya tidak bisa beristirahat sekarang. Saya sibuk melakukan ABCD. Saya akan melakukannya setelah saya mencapai ABCD. Saya akan santai dan menikmati hidup saya hanya setelah ABCD.”

    “ABCD” saya terus berubah dari satu hal ke hal lainnya. Dan saya tidak pernah membiarkan diri saya beristirahat. Saya menunda hidup saya untuk masa depan. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menikmati hidup. Itulah yang dulu saya benar-benar saya jalani.

    Bahkan ketika saya pergi keluar dengan suami saya untuk kencan malam, saya tidak pernah bisa benar-benar menikmati waktu saya.

    Perasaan bersalah selalu menghantui saya, menyalahkan saya karena membolos pekerjaan, karena santai dan malas. Hanya ketika saya merasa sengsara dan lelah, rasa bersalah itu memudar.

    Saat itulah saya menyadari ada sesuatu yang tidak beres.


    Masalah Mengukur Kebahagiaan  dengan Prestasi 
    Dalam beberapa hari berikutnya, saya berusaha untuk berhenti memikirkan bagaimana mencapai tujuan saya dan memberi perhatian penuh pada apa yang saya rasakan. Saya meluangkan waktu untuk diri saya sendiri, hanya untuk memikirkan hidup saya.

    Dan itu adalah kesadaran yang menyakitkan bahwa bukan hanya saya tidak menikmati hidup saya, tetapi saya kehilangan banyak hal dalam prosesnya.

    Pertama, saya melupakan tujuan akhir hidup. Semua orang ingin bahagia, termasuk saya. Tujuan utama saya adalah menikmati hidup saya. Tetapi saya terus-menerus menunda kebahagiaan saya sambil bekerja mengejar tujuan jangka pendek lainnya. Saya pikir saya bertanggung jawab atas hidup dan kebahagiaan saya, tetapi ternyata tidak. Saya membiarkan tujuan jangka pendek itu mengendalikan hidup saya.
    Kedua, saya mengesampingkan waktu bersama keluarga. Dalam visi saya tentang kehidupan yang bahagia, saya selalu ada bersama keluarga saya dan untuk keluarga saya. Tetapi kenyatannya, saya acapkali mengesampingkan mereka.
    Alasan kuat saya perlu mencapai “lebih banyak” adalah agar bisa bersama mereka dengan pencapaian ini dan itu. Namun, ternyata bukan itu yang mereka inginkan. Mereka “hanya” membutuhkan saya — bukan prestasi yang hanya memberikan kesenangan semu.
    Ketiga, saya menyakiti perasaan sendiri. Ketika saya sibuk mengejar hidup yang sempurna dan mengukur harga diri dengan prestasi, saya justri semakin tidak mencintai diri sendiri. Pasalnya ketika  saya tidak memenuhi target saya, saya merasa tidak layak dan saya menyalahkan diri sendiri.
    Ketika saya mendapatkan sesuatu, itu tidak cukup luar biasa untuk dibanggakan. Saya bahkan menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha lebih keras untuk menerima sesuatu yang lebih besar.
    Keempat, kesehatan saya tergadaikan. Karena saya terpaku pada pencapaian mimpi saya di atas segalanya, saya mengabaikan tubuh saya ketika dia “berteriak” untuk istirahat. Saya pikir saya hanya pantas beristirahat ketika saya tidak bisa lagi bekerja, ketika semua energi saya hilang.

    Jika saya beristirahat sebelum energi saya habis, saya pikir saya adalah pecundang. Seorang pecundang tidak akan mencapai apapun.

    Saya bekerja dengan cara saya sampai kelelahan hanya untuk mendapatkan diri saya istirahat. Secara fisik  sistem kekebalan tubuh saya begitu hancur.

    Belajar Bahagia dengan Hidupku yang Tidak Sempurna
    Kita semua memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Saya tumbuh dengan keyakinan bahwa hidup adalah perlombaan, dan saya mencoba menjadi kuda tercepat.

    Media sosial telah membuat ini lebih buruk. Kami melihat orang-orang sukses lainnya dan kami mendambakan prestasi mereka. Kita berpikir jika kita sesukses mereka, sekaya mereka, seberbakat mereka, kita akan bahagia seperti mereka.

    Hanya ini yang tidak terjadi.

    Yang benar adalah bahwa kita adalah orang yang berbeda, kita memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda, tetapi itu bukan faktor yang menentukan kebahagiaan kita.

    Kebahagiaan bukanlah hasil dari usaha kita. Itu tidak bisa diukur dengan pencapaian kita.

    Kebahagiaan adalah arah yang kita pilih dan cara kita menjalani hidup kita. Bagi sebagian orang, kebahagiaan adalah mendengar suara ibumu di telepon setiap hari. Mungkin juga mendengar semua hal lucu yang terjadi pada keponakan Anda yang berusia satu tahun. Atau sorot mata suami Anda saat Anda menghabiskan waktu berkualitas dengannya.

    Kebahagiaan mungkin bisa diukur dengan tawa. Jauh di lubuk hati, kebahagiaan adalah cinta dan cinta diri. Ini menyadari betapa indahnya hidup Anda sebenarnya.

    Berikut adalah beberapa hal yang telah saya lakukan untuk menemukan kebahagiaan saya.

    Meditasi
    Meditasi memungkinkan saya untuk mengatur napas, memperlambat, dan melihat hidup saya dengan perspektif yang sama sekali berbeda. Dulu saya berpikir saya tidak akan pernah bisa bermeditasi karena saya tidak bisa duduk diam dan tidak memikirkan apapun. Tetapi saya memulai dari yang kecil dengan delapan menit sehari, dan saya mengejutkan diri saya sendiri.

    Saya akhirnya belajar bahwa meditasi bukanlah tentang menjernihkan pikiran dan tidak memikirkan apa pun; ini tentang benar-benar menerima siapa Anda dan tidak membiarkan pikiran liar Anda mengendalikan Anda. Ini membantu saya mengenali dan melepaskan diri dari pikiran saya; untuk melepaskan semua kekacauan dalam hidupku.

    Bagi pemeluk Islam, salat malam (Tahajud) sangat direkomendasikan untuk dipraktikkan secara rutin. Tidak hanya membuat diri kita tenang. Ibadah yang satu itu juga dapat mengontrol emosi, menjernihkan dan mendongkrak kepercayaan diri.
    Mempraktikkan Mindfulness 
    Setelah saya mulai berlatih meditasi, saya mulai menerima setiap detik secara penuh kesadaran. Awalnya tidak mudah, karena pikiran saya selalu “berkeliaran” untuk terlalu banyak berpikir. Tetapi begitu saya menerima sepenuhnya pada masa kini, saya mulai muncul dan benar-benar hidup di saat ini.

    Saya tidak lagi mencoba membaca buku sambil makan siang. Saya tidak lagi memikirkan pekerjaan saya saat memasak atau mandi. Sebaliknya, saya mencoba mencicipi makanan di setiap gigitan, mendengarkan berbagai suara yang saya buat di dapur, merasakan air hangat mengalir di tubuh saya, tidak melihat linimasa media sosial ketika bersama anak dan seterusnya.

    Tak perlu dikatakan, saya tidak pernah merasa lebih hidup. Sekarang saya menyadari betapa indah dan berwarnanya hidup saya.

    Menerapkan Journaling
    Mulailah menulis jurnal rasa syukur. Saya mengakhiri hari saya dengan menulis jurnal rasa syukur. Awalnya terasa konyol atau mungkin terdengar lebay. Tapi cara itulah yang membuat saya lebih menghargai hidup sebagai sebuah perjalanan, dan tentunya membantu meningkatkan kesehatan mental saya.
    Tidak peduli seberapa keras kita mencoba, kita tidak pernah bisa merasa positif sepanjang waktu. Hidup terkadang kejam. Namun, jurnal rasa syukur membantu saya melepaskan hal-hal negatif dan merasa bersyukur atas hal-hal yang saya miliki. Teknik itulah terbukti ampuh membuat saya berbahagia tanpa syarat. 
    Mengafirmasi Diri
    Saya memulai hari saya dengan mengatakan pada diri sendiri betapa berharganya hidup ini, dan betapa saya mencintai diri saya sendiri. Sebelum saya bangun dari tempat tidur saya, saya tersenyum dan berkata pada diri sendiri, “Terima kasih ya Allah atas kesempatan yang masih diberikan kepada saya untuk bernafas, berkarya, dan menjadi berkat bagi banyak orang.”
    Ketika saya meletakkan kaki saya di lantai, saya berterima kasih pada diri sendiri dan berkata pada diri sendiri “Saya mencintai takdir saya”. Saya menegaskan ini lima puluh kali sehari, dan sebagai hasilnya, saya mulai percaya pada diri saya sendiri.

    Ini membuka mata dan mengubah hidup untuk melihat betapa berharganya memiliki hari lain untuk hidup, merasakan cinta dan menikmati hidup sepenuhnya.

    Epilog
    “Hari ini mungkin tidak sempurna, tetapi ini adalah hari yang sempurna untuk merasa bahagia.” ~Lori Deschene
    Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar di masa depan. Kebahagiaan tersedia sekarang, di mana pun Anda berada. Ketika kita berhenti mengejar bayang-bayang kebahagiaan, kita mulai menyadari bahwa semua hal yang kita butuhkan untuk bahagia telah bersama kita selama ini.

    Saya masih menetapkan tujuan untuk dikejar, tetapi saya tidak lagi mengatur hidup saya di sekitar mereka. Saya sudah berhenti membandingkan diri saya dengan orang lain. Saya sudah berhenti berusaha menjadi orang yang saya pikir akan bahagia suatu hari nanti. Dan sekarang saya menyadari apa yang benar-benar penting bagi saya.

    Saya mengikuti lentera jiwa saya. Saya membiarkan hati saya memberi tahu saya siapa diri saya sebenarnya.  Saya melihat, mendengar, mencium, dan merasakan sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.

    Saya menikmati semua waktu berkualitas yang saya miliki dengan anak saya, saya menikmati menelepon orang tua saya setiap akhir pekan untuk mengetahui kabarnya. Saya menikmati duduk dengan tenang dan mendengarkan apa yang jiwa saya katakan.

    Meskipun hidup mengalami pasang surut, sekarang saya tahu semua emosi memang saya perlukan untuk menggapai kebahagiaan. Karena bukankah kita tidak bisa merasakan apa itu kebahagiaan tanpa merasakan apa yang disebut dengan kesengsaraan, penderitaan, atau kesedihan? Bukankah kita akan menghargai musim kemarau jika sepanjang tahun hampir setiap hari turun hujan? Saya menghargai bahwa saya masih bisa merasakannya.

    Dan saya tahu hidup saya tidak sempurna, tetapi hari ini adalah waktu yang tepat untuk merasa bahagia.