Slow Living entah kita sadari atau tidak telah menjadi tren besar. Tapi pesan dasarnya adalah tentang mengkonsumsi lebih sedikit dan mengambil pendekatan yang lebih lambat untuk kehidupan sehari-hari.
Gerai makanan cepat saji misalnya. Dewasa ini banyak yang telah menawarkan menu vegan dan aplikasi yang tak terhitung jumlahnya untuk membantu kita bermeditasi dan mengurangi waktu online kita.
Marie Kondo adalah contoh lainnya. Wanita Jepang yang dijuluki the tidies woman in the world itu semakin digandrungi masyarakat di berbagai belahan dunia karena metode merapikan rumah yang dikenal dengan Konmari. Tak mengejutkan bila kian banyak saja orang-orang yang memilih hidup lebih minimalis karena inspirasinya.
Dan siapa yang tidak memiliki botol air yang dapat digunakan kembali?
Tampaknya semua orang berjuang untuk kehidupan yang lebih sederhana, berkelanjutan, dan bermakna. Dorongannya adalah menuju kesederhanaan, entah itu merapikan atau melangsingkan rencana perjalanan liburan kita.
Di Instagram, tagar seperti #theartofslowliving menggambarkan cangkir teh yang mengepul di atas seprai. Mereka menunjukkan kesenangan hidup sederhana yang dimaksudkan untuk dinikmati. Dan mereka bahkan mungkin menginspirasi kita untuk menyisihkan handphone sejenak.
Namun, apa sesungguhnya Slow Living itu?
Definisi Slow Living
Slow Living adalah pola pikir yang mana kita menyusun gaya hidup yang lebih bermakna dan sadar dengan apa yang paling kita hargai dalam hidup. Itu berarti melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat. Alih-alih berusaha melakukan sesuatu dengan lebih cepat, kita berfokus untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik. Seringkali, itu berarti memperlambat, melakukan lebih sedikit, dan memprioritaskan untuk menghabiskan jumlah waktu yang tepat untuk hal-hal yang paling penting bagi pribadi.
Dengan memperlambat dan dengan sengaja menempatkan nilai-nilai sejati kita di “jantung” gaya hidup kita, Slow Living mendorong kita untuk hidup dalam kesadaran diri dan membuat keputusan yang sadar dan terarah demi tercapainya kebahagiaan.
Slow Living menyangkal bahwa sibuk sama dengan sukses atau penting. Ini berarti hadir dan “merayakan” kualitas daripada kuantitas, hidup dengan tujuan, sadar dan penuh makna. Dengan cara ini kita dapat memberikan ruang untuk refleksi dan kesadaran diri. Karena detik demi detik waktu kita tidak lagi semata-mata dikejar-kejar lagi atas nama deadline atau mengejar target.
Slow living berarti hidup lebih baik, bukan lebih cepat.
Bermula dari Slow Movement
Slow Living adalah bagian dari Slow Movement yang dimulai pada 1980-an di Italia. Menghadapi pembukaan McDonald’s di jantung kota Roma, Carlo Petrini dan sekelompok aktivis membentuk Slow Food, sebuah gerakan yang membela tradisi makanan setempat. Gerakan itu kini memiliki pendukung di lebih dari 150 negara dan terus melindungi tradisi gastronomi, mempromosikan pembayaran yang adil bagi produsen, mendorong kenikmatan makanan berkualitas baik dan terlibat dalam upaya keberlanjutan.
Carl Honoré, salah satu penulis dan pembicara paling terkenal tentang Slow Movement, membantu membawa konsep Slow Living ke arus utama pada tahun 2004 dengan penerbitan bukunya
In Praise of Slowness. Honoré mengeksplorasi bagaimana
Slow Food memicu gerakan
Slow Living yang lebih luas dengan ‘lambat’ sekarang diterapkan ke bidang kehidupan lain yang telah mengalami percepatan besar, termasuk pekerjaan, pengasuhan anak, dan waktu luang.
Sejak buku itu diterbitkan, kecepatan hidup kita hanya terus meningkat, begitu pula kesadaran akan gerakan hidup lambat. Hari ini, perjalanan lambat, mode lambat, kebugaran lambat, berkebun lambat, interior lambat, desain lambat, pemikiran lambat, berita lambat, dan kerja lambat adalah contoh cabang lebih lanjut dari gerakan hidup lambat. Semakin banyak orang yang mengakui bahwa lebih cepat tidak selalu lebih baik.
Dengan semakin banyak orang yang “dipaksa” untuk memperlambat dan menyederhanakan gaya hidup, minat terhadap Slow Movement telah meningkat selama pandemi Covid-19. Faktanya, Google melaporkan peningkatan 4x dalam jumlah video YouTube dengan judul ‘slow living’ pada tahun 2020 vs 2019. Peningkatan tersebut menunjukkan keinginan untuk terhubung kembali dengan hobi, alam, dan diri kita sendiri yang bermakna.
Manfaat Slow Living
Slow Living sejatinya menawarkan begitu banyak manfaat. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, memberikan lebih banyak “Me Time”. Dengan memotong aktivitas yang mengalihkan perhatian Anda (misalnya terlalu lama memelototi media sosial) atau aktivitas yang tidak memuaskan kita, kita akan mendapatkan kembali waktu untuk perawatan diri.
Kedua, membuat kita lebih “waras”. Slow Living berarti menjadikan kita lebih sadar, lebih mampu mengendalikan stres dan lebih mendorong kita untuk menghargai momen demi momen. Kita akan “terhanyut” untuk menikmati proses, tidak sekadar mengejar hasil akhir dalam menunaikan segala sesuatu.
Ketiga, membangun hubungan yang lebih kuat. Mengurangi stres, mendapatkan lebih banyak “Me Time”, dan hidup dengan penuh kesadaran dapat membantu meningkatkan waktu berkualitas kita bersama orang-orang yang paling kita sayangi.
Keempat, menyelaraskan diri dengan alam. Slow Living berarti peduli dengan alam. Kita akan menjadi lebih sadar akan dampak negatif dari gaya hidup yang mencemari bumi. Oleh karena itu saya begitu bangga dengan masyarakat Bali dengan Tri Hita Karana-nya yang menyelaraskan hidup dengan Tuhan, alam dan sesama manusia. Dengan menyeimbangkan ketiga unsur tersebut, kita dapat berpacu untuk melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi.
Kelima, menjalani panggilan hidup. Slow Living berarti menempatkan nilai-nilai diri kita di jantung gaya hidup kita, menemukan integrasi kehidupan kerja yang lebih baik dan meluangkan waktu untuk apa yang paling penting bagi diri sendiri, yang dapat mengarah pada kehidupan yang lebih terarah. Karena bukankah hidup yang tak bertujuan tak pantas diperjuangkan?
Kesalahpahaman Masyarakat
Meskipun dinilai begitu berfaedah oleh para pakar, pemahaman masyarakat terhadap Slow Living — khususnya di Indonesia, masih perlu ditingkatkan lagi. Pasalnya sebagian orang masih ada yang menyamakannya dengan lamban, malas atau tidak produktif.
Carl Honoré sering menyebutkan perbedaan antara ‘”lambat yang baik” dan ‘lambat yang buruk’. Perbedaannya adalah bahwa “lambat yang baik” adalah tentang mengurangi kecepatan secara sadar untuk melakukan sesuatu dengan kecepatan yang tepat untuk mencapai hasil yang lebih baik, sedangkan “lambat yang buruk” mungkin sesuatu di luar kendali kita, seperti antrean panjang atau kemacetan lalu lintas. Di sisi lain, ada juga “cepat yang baik” dan “cepat yang buruk”. Kecepatan bisa menjadi hal yang mengasyikkan dan menggembirakan dalam situasi yang tepat, tetapi terburu-buru dalam menjalani hidup, sekadar melihat-lihat permukaan, adalah kebalikannya.
Slow Living bukan hanya untuk mereka yang tinggal di pedesaan. Namun sejatinya bisa diterapkan oleh masyarakat di perkotaan. Karena memang tidak bertentangan dengan menjadi sukses atau produktif. Sebaliknya, ini tentang menghayati gagasan kesuksesan kita sendiri dan memprioritaskan apa yang paling penting bagi hidup kita.
Slow Living tidak berarti bebas atau anti-teknologi. Ini berarti memastikan teknologi melayani kita, tidak mengganggu kita, dan mengakui perlunya waktu untuk “hibernasi” sejenak dari layar gadget.
Tips Slow Living
Ada begitu banyak tips untuk menerapkan dan membudayakan Slow Living. Berikut di antaranya versi saya.
Pertama, meminimalkan apapun. Salah satu manfaat utama dari meminimalkan barang-barang kita adalah dapat membantu kita “memperlambat” hidup kita. Misalnya, dengan mengurangi jumlah gangguan visual yang “bersaing” untuk mendapatkan perhatian dari kita.
Dengan lebih sedikit hal yang bersaing untuk fokus kita, menjadi lebih mudah untuk menghargai setiap momen, terlibat sepenuhnya dalam apa pun yang kita lakukan saat itu.
Selain itu, dengan mengurangi kepemilikan barang-barang, kita juga dapat menyederhanakan aspek lain dari rutinitas. Misalnya, tidak menghabiskan waktu mengelola lemari penuh pakaian memberi kita lebih banyak kesempatan untuk aktivitas penghilang stres seperti berjalan-jalan atau mendengarkan musik.
Pada akhirnya, dengan menyingkirkan hal-hal yang membebani kita, kita menciptakan lebih banyak waktu dan ruang bagi diri sendiri untuk mengalami saat-saat bermakna dalam hidup dengan kecepatan yang lebih lambat dan lebih disengaja.
Kedua, sering mengunjungi ruang terbuka. Sangat penting untuk memiliki beberapa lokasi luar ruangan di mana kita dapat memperlambat dan mengambil napas untuk diri sendiri dan keluarga kita guna mengelola stres hidup di tengah era digital yang “bising”. Tidak ada salahnya untuk kita coba mengunjungi lebih banyak ruang terbuka seperti taman, perpustakaan, museum, kebun, atau sawah untuk mempraktikkan ini.
Ketiga, memulai rutinitas harian secara perlahan. Jika kita sering merasa terburu-buru sejak mengawali hari, tak ada salahnya untuk mencoba kebalikannya. Ketika kita “memperlakukan” pagi dengan berderet-deret daftar tugas yang perlu diselesaikan, kita mungkin menjadi tidak sabar, stres, dan fokus untuk memeriksa hal-hal dari daftar tersebut — alih-alih meluangkan waktu untuk menikmati momen demi momen.
Semuanya berubah ketika kita memberi diri sendiri cukup waktu pagi. Kita dapat menikmati setiap teguk kopi atau teh, menikmati sarapan, olahraga ringan untuk menerapkan
Slow Living.
Kita bahkan mungkin mengerti bahwa kita dapat menyelesaikan lebih banyak sepanjang hari karena kita tidak terburu-buru terus-menerus dalam keadaan stres. Jadi jika kita hidup perlahan dan menikmati setiap momen, mulailah dengan memberi diri sendiri rutinitas pagi yang lambat.
Keempat, menghindari multitasking. Jika kita seperti kebanyakan orang, kita mungkin bangga bisa menyelesaikan banyak tugas sekaligus. Tetapi kenyataannya adalah bahwa multitasking justru kontraproduktif. Ketika kita mencoba melakukan terlalu banyak hal sekaligus, perhatian kita menjadi tersebar, dan kita cenderung membuat kesalahan.
Multitasking membutuhkan biaya. Di rumah atau di tempat kerja, gangguan menyebabkan pilihan yang buruk, kesalahan yang menyakitkan, dan stres yang tidak perlu. Di sisi lain, monotasking memungkinkan kita untuk memfokuskan semua perhatian kita pada satu tugas, membuat kita lebih produktif dan tidak rawan kesalahan. Misalnya, jika kita sedang mengerjakan proyek untuk pekerjaan, matikan notifikasi email atau Whatsapp kita sehingga kita tidak terus-menerus terganggu oleh pesan masuk. Dan jika kita menghabiskan waktu bersama anak-anak, simpanlah ponsel dan beri mereka perhatian penuh.
Ini mungkin tampak seperti perubahan kecil, tetapi dapat membuat perbedaan besar dalam kualitas pekerjaan kita dan kedalaman hubungan kita. Jadi, jika kita merasa kewalahan dengan semua hal yang ada di daftar tugas kita, cobalah memperlambat dan mengerjakan satu tugas pada satu waktu. kita mungkin akan terkejut betapa jauh lebih efektifnya diri kita.
Kelima, menyempatkan diri untuk jeda. Hari-hari kita penuh dengan kewajiban dan komitmen, dan otak kita selalu bersenandung dengan ide dan gangguan. Untuk mengatasi kecepatan ini, sisihkan waktu untuk meditasi atau jeda.
Dengan berlatih meditasi di pagi hari, kita dapat memulai hari dengan perasaan tenang dan fokus. Hal ini memungkinkan kita untuk menjalani hari dengan jelas daripada melakukan aktivitas sehari-hari dengan perasaan terburu-buru dan stres.
Demikian pula, meluangkan beberapa saat di awal atau akhir hari kerja yang sibuk dapat membantu kita mempertahankan fokus dan menangani tugas dengan tenang dan efisien.
Saat kita menarik napas dalam-dalam sebelum rapat atau presentasi penting, kemungkinan besar kita akan tetap positif, membumi, dan percaya diri; sedangkan jika kita pergi ke acara penting dengan perasaan bingung atau gelisah, itu dapat merusak kemampuan kita untuk tampil baik.
Dan ketika kita menemukan banyak waktu untuk meditasi jauh dari pekerjaan atau sekolah – baik itu saat duduk di taman favorit atau di teras rumah – momen berharga itu memungkinkan kita untuk berhenti sejenak di tengah jadwal yang padat, mengisi ulang “baterai mental”, dan terhubung kembali dengan alam.
Singkatnya, dengan menemukan waktu singkat sepanjang hari untuk menenangkan pikiran, kita dapat memperlambat, menghargai kesenangan hidup yang sederhana, dan merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang menghadang.
Bagi pemeluk Islam, meditasi tentu bisa kita gantikan dengan salat lima waktu. Akan jauh lebih efektif jika kita menyempatkan setiap hari dengan salat tahajud di sepertiga malam terakhir.
Bagi pemeluk agama lain, yoga juga bisa dicoba. Aktivitas ini sudah terbukti membantu menurunkan stres, meningkatkan kesehatan jantung, memperbaiki postur, menurunkan berat badan dan seabrek manfaat lainnya.
Dan akhirnya, Slow Living bukanlah perbaikan cepat, ini adalah perubahan pola pikir yang membutuhkan waktu dan akan terus berubah seiring perubahan yang paling penting bagi hidup kita. Seperti yang ditulis Brooke McAlary dalam bukunya SLOW: “Ini bukan balapan dengan garis start dan finish. Ini lambat, tidak sempurna, disengaja dan berkembang.”