Stories

  • Konsistensi dalam Berkarya: Kunci Sukses Penulis Best-Seller

    “Bro, gimana sih caranya lo bisa jadi penulis best-seller? Gua nulis baru sebulan udah bosen banget, ide mentok terus!”

    Pertanyaan kayak gini sering banget mampir di DM gue. Jawabannya selalu sama: konsistensi, cuy! Bukan cuma soal bakat atau ide brilian, tapi seberapa tahan lo untuk tetap nulis walau lagi gak mood, gak laku, atau bahkan gak tahu bakal dibaca siapa.

    Lo tau gak, J.K. Rowling dapat 12 kali penolakan sebelum Harry Potter diterima penerbit? Bahkan Stephen King pernah buang naskah Carrie ke tempat sampah karena merasa gak pede. Tapi mereka terus nulis. Itu yang bikin mereka beda: konsisten.


    Apa Itu Konsistensi? Kenapa Penting?

    Konsistensi itu sederhananya “tetap jalan walau lagi susah.” Menurut penelitian dari European Journal of Social Psychology, butuh waktu rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Tapi kalau bicara karya, itu soal lifetime commitment.

    Banyak yang nyerah di tengah jalan karena ngerasa progress lambat. Padahal, menurut Creative Artists Agency (2022), 95% penulis sukses itu mencapai puncak kariernya setelah 5–10 tahun berkarya terus-menerus. Konsistensi itu kayak menanam pohon: lo siram tiap hari, tumbuhnya pelan, tapi lama-lama jadi kokoh.


    Tantangan dalam Konsistensi

    Tapi, siapa sih yang gak pernah ngerasa stuck? Gue juga pernah. Ada masa-masa gue cuma jual belasan buku di awal karier. Kadang mikir, “Apa gue mending balik kerja kantoran aja?”

    Kalau lo lagi ada di fase ini, inget kata-kata Angela Duckworth dalam bukunya Grit: “Success is a marathon, not a sprint.” Orang yang sukses bukan yang paling berbakat, tapi yang paling gigih.


    Tips Menjaga Konsistensi Berkarya

    Gue paham, konsisten itu gak gampang. Tapi coba deh, lo praktekin hal-hal ini:

    1. Bikin Jadwal Nulis Rutin
      “Disiplin ngalahin motivasi, bro.” Lo gak bakal nunggu mood datang, karena mood itu gak bisa diandalkan. Bikin target harian: 500 kata sehari, misalnya.
    2. Fokus ke Proses, Bukan Hasil
      Banyak penulis pemula yang terlalu mikirin “Bakal laku gak ya?” sampai lupa menikmati proses nulis. Nikmati aja. Tulisan jelek hari ini bakal jadi pelajaran buat tulisan besok.
    3. Ikut Komunitas
      Bergabung dengan orang-orang yang punya visi sama bakal bikin lo tetap semangat. Cari feedback, ikut diskusi, dan temuin support system.
    4. Evaluasi Diri
      Tiap bulan, coba lihat progress lo. Kalau hasilnya gak sesuai target, jangan kecewa. Cari tahu apa yang bisa diperbaiki.

    Konsistensi Itu Berbuah Manis

    Gue butuh hampir 10 tahun sampai akhirnya bisa bikin buku best-seller. Sebelum itu, gue jualan buku sendiri, door-to-door. Kadang laku, kadang enggak. Tapi semua itu jadi pelajaran.

    Statistik dari Forbes bilang, hanya 1% penulis yang bisa hidup dari menulis di tahun pertama. Tapi, angka ini naik ke 25% setelah 5 tahun konsisten. Apa artinya? Lo cuma kalah kalau berhenti.

    Jadi, kalau sekarang lo lagi ngerasa jalan di tempat, inget: yang penting terus jalan. Lambat gak apa-apa, asal gak berhenti.


    Penutup: Lo Siap Konsisten?

    Sukses itu gak datang semalam. Tapi kalau lo konsisten, percayalah, hasilnya gak bakal bohong.

    “Mending lo mulai lagi dari sekarang, bro. Siapa tahu karya lo yang berikutnya bakal jadi best-seller. Ayo, gas pol nulis lagi!”


  • Buku yang Mengubah Jalan Hidupmu

    Buku telah menjadi sumber utama untuk menggali pengetahuan, mengembangkan keterampilan, dan memahami dunia dari berbagai perspektif. Baik Anda seorang pengusaha, karyawan, atau pekerja mandiri (self-employed), membaca buku dapat memberikan keuntungan yang signifikan dalam perjalanan karier Anda. Artikel ini akan mengupas mengapa membaca itu penting, dilengkapi dengan contoh buku, lessons learned, best practices, serta temuan berbasis data.


    Mengapa Buku Penting dalam Mendukung Karier?

    1. Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan
      Buku memberikan wawasan yang mendalam dan praktis yang bisa langsung diterapkan. Contohnya, buku “Atomic Habits” karya James Clear mengajarkan bagaimana kebiasaan kecil dapat menciptakan perubahan besar, mendukung penelitian tentang psikologi perilaku yang menunjukkan bahwa perubahan bertahap lebih efektif daripada transformasi besar-besaran (Journal of Applied Psychology).
    2. Membuka Perspektif Baru
      Membaca buku seperti “The Lean Startup” oleh Eric Ries dapat membantu pengusaha memahami konsep iterasi dan validasi ide sebelum meluncurkan produk besar. Temuan ini didukung oleh laporan Harvard Business Review yang mencatat bahwa perusahaan yang mengadopsi model bisnis adaptif cenderung lebih sukses dalam jangka panjang.
    3. Meningkatkan Keterampilan Kepemimpinan
      Buku seperti “Dare to Lead” oleh Brené Brown membahas pentingnya kerentanan dalam kepemimpinan. Data dari Google Project Aristotle menunjukkan bahwa “psychological safety,” yang diuraikan Brené, adalah kunci tim yang sukses.
    4. Meningkatkan Daya Saing Karier
      Buku seperti “Good to Great” oleh Jim Collins memberikan peta jalan tentang bagaimana memimpin perusahaan atau tim untuk mencapai performa luar biasa, relevan bagi karyawan yang ingin naik jabatan.

    Studi Kasus: Pengaruh Membaca Buku terhadap Karier

    1. Jeff Bezos dan “The Innovator’s Dilemma” oleh Clayton Christensen
      Bezos menjadikan buku ini sebagai bacaan wajib di Amazon karena mengajarkan pentingnya mengantisipasi gangguan teknologi sebelum terlambat. Amazon berhasil merintis e-commerce dengan strategi ini.
    2. Warren Buffett dan Kebiasaan Membaca
      Buffett menghabiskan 80% waktunya membaca buku seperti “The Intelligent Investor” oleh Benjamin Graham. Buku ini membentuk filosofi investasinya, yaitu investasi nilai, yang menjadikannya salah satu orang terkaya di dunia.

    Lessons Learned dari Buku-Buku Terbaik

    1. Kembangkan Kebiasaan Belajar Berkelanjutan
      Buku seperti “Grit” oleh Angela Duckworth mengajarkan pentingnya ketekunan. Temuan Duckworth menunjukkan bahwa orang sukses cenderung memiliki tingkat kegigihan yang tinggi.
    2. Praktikkan Mindfulness di Tempat Kerja
      “The Power of Now” oleh Eckhart Tolle membantu pembaca mengelola stres dengan fokus pada momen saat ini. Penelitian dalam Journal of Occupational Health Psychology mendukung manfaat mindfulness dalam meningkatkan produktivitas.
    3. Gunakan Prinsip Kebiasaan Kecil untuk Perubahan Besar
      James Clear dalam “Atomic Habits” menunjukkan bagaimana perubahan kecil bisa menghasilkan dampak besar. Studi dalam European Journal of Psychology mendukung efektivitas pendekatan ini dalam membangun disiplin.

    Best Practices dalam Memanfaatkan Buku

    1. Buat Daftar Bacaan yang Relevan
      Pilih buku sesuai tujuan karier Anda. Sebagai contoh, pengusaha dapat memulai dengan “Think and Grow Rich” oleh Napoleon Hill, sedangkan karyawan bisa mencoba “The First 90 Days” oleh Michael Watkins untuk sukses di posisi baru.
    2. Implementasikan Ilmu dari Buku
      Tidak cukup hanya membaca, tetapi praktikkan. Misalnya, dari “Start with Why” oleh Simon Sinek, Anda bisa mulai mendefinisikan why pribadi atau perusahaan Anda.
    3. Diskusikan Bacaan Anda
      Bergabunglah dalam klub buku atau kelompok diskusi untuk memperdalam pemahaman. Ini juga meningkatkan keterampilan komunikasi Anda.

    Rekomendasi 10 Buku Untuk Kemajuan Karier

    1. “The 7 Habits of Highly Effective People” oleh Stephen R. Covey

    • Menariknya: Buku ini menawarkan pendekatan holistik untuk pengembangan diri dan profesional. Covey menjelaskan kebiasaan-kebiasaan seperti berpikir proaktif, memprioritaskan yang utama, dan mencari solusi win-win.
    • Lessons Learned: Kunci keberhasilan adalah keseimbangan antara efektivitas pribadi dan interpersonal. Data dari Journal of Leadership Studies menunjukkan bahwa pemimpin yang mempraktikkan kebiasaan ini lebih cenderung meningkatkan produktivitas tim mereka.
    • Studi Kasus: Covey memberikan contoh bagaimana perusahaan seperti IBM menerapkan prinsip “win-win” untuk memperbaiki hubungan klien.

    2. “Think and Grow Rich” oleh Napoleon Hill

    • Menariknya: Berdasarkan wawancara dengan 500 orang sukses, buku ini memetakan formula mental untuk mencapai tujuan.
    • Lessons Learned: Fokus pada visi jangka panjang dan afirmasi positif. Studi dari Psychological Science mendukung bahwa visualisasi tujuan meningkatkan motivasi dan tindakan.
    • Praktik Terbaik: Menetapkan tujuan spesifik, seperti yang dilakukan oleh Howard Schultz untuk menjadikan Starbucks pemimpin global di sektor kopi.

    3. “Grit” oleh Angela Duckworth

    • Menariknya: Duckworth membahas pentingnya ketekunan dan gairah dalam mencapai kesuksesan, berdasarkan penelitiannya di Harvard dan UPenn.
    • Lessons Learned: Ketekunan lebih penting daripada bakat. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan skor tinggi pada “grit scale” lebih mungkin untuk mencapai kesuksesan akademik dan profesional.
    • Studi Kasus: Atlet Olimpiade sering kali mencerminkan sifat grit ini dalam pelatihan mereka yang konsisten.

    4. “Good to Great” oleh Jim Collins

    • Menariknya: Collins menjelaskan mengapa beberapa perusahaan berhasil menjadi luar biasa sementara lainnya tetap biasa-biasa saja.
    • Lessons Learned: Pemimpin Level 5 (rendah hati tetapi penuh determinasi) adalah kunci. Studi Collins menunjukkan bahwa perusahaan seperti Walgreens tumbuh 15 kali lebih baik daripada pasar karena prinsip-prinsip ini.
    • Praktik Terbaik: Fokus pada keunggulan inti (hedgehog concept) dan disiplin eksekusi.

    5. “Atomic Habits” oleh James Clear

    • Menariknya: Buku ini memaparkan bagaimana kebiasaan kecil dapat menciptakan perubahan besar.
    • Lessons Learned: Prinsip 1% perbaikan harian menghasilkan hasil besar seiring waktu. Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan yang dirancang dengan baik meningkatkan kemungkinan sukses hingga 80%.
    • Praktik Terbaik: Membentuk kebiasaan positif seperti yang dilakukan oleh Tim Cook (Apple), yang terkenal dengan rutinitas pagi produktifnya.

    6. “The Lean Startup” oleh Eric Ries

    • Menariknya: Ries memberikan pendekatan sistematis untuk memulai bisnis melalui iterasi cepat dan validasi pasar.
    • Lessons Learned: Gagal cepat untuk belajar cepat (fail fast, learn faster). Metode ini diadopsi oleh startup seperti Dropbox untuk menciptakan produk yang sesuai pasar.
    • Studi Kasus: Dropbox menggunakan MVP (minimum viable product) untuk menguji idenya sebelum investasi besar.

    7. “Dare to Lead” oleh Brené Brown

    • Menariknya: Buku ini mengupas pentingnya keberanian dan kerentanan dalam kepemimpinan.
    • Lessons Learned: Keberanian untuk berkomunikasi secara otentik dan mempraktikkan empati membangun budaya kerja yang sehat. Penelitian Brown di bidang psikologi sosial mendukung pentingnya “psychological safety” di tempat kerja.
    • Praktik Terbaik: Google mengadopsi pendekatan ini untuk meningkatkan kolaborasi tim mereka.

    8. “Rich Dad Poor Dad” oleh Robert Kiyosaki

    • Menariknya: Kiyosaki membandingkan pola pikir “ayah kaya” dan “ayah miskin” dalam mengelola uang dan investasi.
    • Lessons Learned: Kunci kebebasan finansial adalah membangun aset produktif. Studi menunjukkan bahwa literasi finansial mengurangi risiko kebangkrutan pribadi.
    • Praktik Terbaik: Mengembangkan portofolio investasi yang diversifikasi, seperti yang dilakukan oleh investor sukses Warren Buffett.

    9. “The Power of Now” oleh Eckhart Tolle

    • Menariknya: Tolle mengajarkan pentingnya kesadaran penuh di masa kini untuk mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.
    • Lessons Learned: Mindfulness membantu meningkatkan fokus dan kepuasan kerja, sebagaimana didukung oleh studi dalam Journal of Occupational Health Psychology.
    • Praktik Terbaik: CEO Google Sundar Pichai dikenal mempraktikkan meditasi untuk meningkatkan pengambilan keputusan.

    10. “Start with Why” oleh Simon Sinek

    • Menariknya: Sinek menjelaskan bahwa pemimpin dan perusahaan sukses memulai dengan “mengapa” untuk menginspirasi orang lain.
    • Lessons Learned: Menyampaikan visi yang jelas meningkatkan loyalitas pelanggan dan karyawan. Studi dalam Harvard Business Review mendukung bahwa komunikasi yang berpusat pada misi meningkatkan keterlibatan tim.
    • Studi Kasus: Apple berhasil karena fokus mereka pada “mengapa”—inovasi untuk mengubah dunia, bukan sekadar menjual produk.

    Kesimpulan

    Membaca buku bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga soal menerapkan wawasan tersebut untuk mencapai tujuan karier. Dengan membaca buku yang tepat, Anda dapat mengembangkan keterampilan, meningkatkan pemahaman, dan memperluas wawasan, menjadikan Anda lebih kompetitif di dunia kerja. Baik sebagai pengusaha, karyawan, atau pekerja mandiri, buku adalah investasi terbaik untuk kesuksesan jangka panjang.

    Jika Anda tertarik untuk daftar buku lebih spesifik atau analisis mendalam tentang salah satu buku, beri tahu saya!


  • Mindset “Tangan di Atas” untuk Karier yang Sukses: Memberi Dulu Baru Menerima

    “Eh, kok lo selalu mau ngebantuin orang, sih? Kayak nggak capek aja. Emang ada untungnya, ya?”
    “Hahaha, gue percaya aja sih. Kalau kita sering memberi, entar ada aja rezeki yang balik. Lagian, rasanya enak aja bisa ngebantu orang.”

    Pernah nggak dengar percakapan seperti itu? Atau mungkin kamu pernah jadi salah satu tokohnya? Ternyata, mindset tangan di atas alias memberi terlebih dahulu bukan cuma soal prinsip hidup yang “baik hati.” Dalam dunia kerja, pola pikir ini bisa jadi kunci kesuksesan. Tapi kok bisa? Yuk, kita bahas.

    Teori di Balik Memberi

    Konsep tangan di atas bisa dijelaskan lewat reciprocity principle, yang diperkenalkan dalam teori sosial oleh Alvin Gouldner. Intinya, manusia punya kecenderungan untuk membalas apa yang mereka terima. Kalau kamu sering memberi, secara nggak langsung, orang lain akan merasa terdorong untuk membantumu balik.

    Adam Grant, dalam bukunya “Give and Take”, membagi orang ke dalam tiga tipe: givers (pemberi), takers (pengambil), dan matchers (penyeimbang). Menariknya, riset Grant menunjukkan bahwa meskipun givers sering terlihat dirugikan di awal, dalam jangka panjang, mereka justru lebih sukses dibanding yang lain. Kenapa? Karena mereka membangun jaringan yang luas, dihormati, dan dipercaya.

    Studi Kasus: Siapa yang Sukses dengan Memberi?

    1. Indra Nooyi (mantan CEO PepsiCo)
      Indra dikenal dengan empati dan kebiasaan mengapresiasi orang-orang di sekitarnya. Salah satu contoh ikonik adalah ketika dia menulis surat pribadi kepada keluarga dari para eksekutif yang bekerja keras untuk perusahaan. Tindakan kecil ini menciptakan rasa hormat dan loyalitas yang luar biasa.
    2. LinkedIn dan Prinsip Gratisan
      Kenapa LinkedIn sukses? Karena mereka memberi value gratis lewat fitur dasar mereka. Dengan membantu jutaan orang membangun profil profesional tanpa biaya, mereka menciptakan basis pengguna setia yang akhirnya bersedia membayar untuk layanan premium.

    Best Practices: Bagaimana Menerapkan Mindset Ini?

    1. Jangan Pelit dengan Waktu dan Pengetahuan
      Coba deh bantu kolega yang kesulitan, meskipun tugas itu bukan bagian dari job desc-mu. Bantu mereka belajar skill baru atau berbagi tips sukses.
    2. Bangun Jaringan dengan Tulus
      Dalam dunia profesional, networking sering dianggap transaksional. Tapi kalau kamu jadi giver, kamu membangun hubungan yang tulus. Ketika orang lain melihat bahwa niatmu murni membantu, kepercayaan akan muncul dengan sendirinya.
    3. Berikan Apresiasi Kecil
      Kamu bisa mulai dengan hal simpel: ucapkan terima kasih, tulis email apresiasi, atau bahkan traktir kopi. Hal-hal kecil seperti ini meninggalkan kesan besar.

    Lessons Learned: Apa yang Bisa Dipetik?

    1. Memberi Memperluas Jaringan
      Sebuah studi dari Yale University menunjukkan bahwa 84% profesional percaya bahwa “membantu orang lain” adalah cara terbaik untuk membangun hubungan jangka panjang yang kuat.
    2. Pemberian Kecil, Dampak Besar
      Riset dari Harvard Business School membuktikan bahwa tindakan sederhana seperti memberikan apresiasi bisa meningkatkan produktivitas tim hingga 31%.
    3. Karma Positif di Dunia Kerja
      Menurut survei LinkedIn, 82% perekrut mengatakan mereka lebih memilih mempekerjakan seseorang dengan reputasi “supportive dan helpful.” Jadi, nggak rugi kan jadi giver?

    Penutup: Memberi Itu Investasi

    Mindset tangan di atas bukan berarti kamu harus jadi “yes man” atau mengorbankan diri sendiri demi orang lain. Ini lebih tentang berinvestasi dalam hubungan, menunjukkan empati, dan membangun reputasi sebagai orang yang bisa diandalkan.

    Jadi, mulai sekarang, yuk jadi giver! Karena siapa tahu, peluang besar berikutnya datang dari seseorang yang pernah kamu bantu dulu.


  • 10 Kesalahan Fatal Pencari Kerja di LinkedIn (Versi Gen Z Banget!)

    LinkedIn itu kayak mall-nya dunia kerja: tempat kita “show off” keahlian dan cari peluang emas. Tapi, banyak yang nggak sadar bikin kesalahan yang bikin HRD atau rekruter malah skip profil mereka. Yuk, bahas apa aja kesalahan paling mainstream yang sering kejadian, lengkap dengan data dan fakta!


    1. Profil Tanpa Foto Profesional

    Fun Fact: Profil dengan foto punya peluang dilirik 14 kali lebih banyak dibanding yang polos tanpa foto. Tapi jangan salah, fotonya juga jangan yang selfie di kasur ya, bro/sis! Gunakan foto formal atau semi-casual yang menggambarkan keprofesionalanmu.


    2. Headline yang B aja

    “Sedang mencari pekerjaan”? Meh. Headline yang flat bikin rekruter males ngeklik. Menurut pakar karier, Sylvia Gorajek, headline itu ibarat slogan personal kamu. Buatlah spesifik, contoh: “Digital Marketer | Expert in Campaign Optimization”


    3. Sampul Kosong

    Background cover kosong itu ibarat rumah nggak punya atap. Padahal, cover ini bisa jadi “billboard” kecil untuk showcase skill, portofolio, atau prestasi kamu. Yang pakai desain Canva? Ayo, hajar!


    4. Deskripsi Nggak Jelas

    Banyak yang deskripsinya cuma panjang tanpa isi. Tips Gen Z: bikin singkat tapi impactful. Contohnya:

    “SEO Specialist with 3+ years experience boosting organic traffic by 250%.”

    HRD itu sibuk, mereka cuma kasih waktu sekitar 6 detik untuk scan profil kamu.


    5. Nggak Ada Keywords

    Recruiter sering pakai tools seperti ATS (Applicant Tracking System) untuk cari kandidat. Kalau kamu nggak nyelipin keywords kayak “content creator”, “data analyst”, atau “UI/UX designer”, ya wassalam! Gunakan keyword yang relevan dengan posisi yang kamu incar.


    6. “Ghosting” di Bagian Activity

    LinkedIn itu kayak medsos profesional, jadi be active! Menurut studi, kandidat yang sering nge-share insight atau engage punya peluang 30% lebih besar buat dihubungi rekruter. Jangan cuma “connect” doang, share artikel atau opini soal bidang kerjamu.


    7. Spamming HRD

    Jangan nge-DM HRD dengan kalimat kayak: “Mau kerja dong, Kak.”

    Menurut Lori Goler, VP HR di Meta, pesan harus spesifik dan sopan.

    Contoh: “Hi, Kak. Saya lihat posisi X terbuka di perusahaan Anda. Boleh saya tahu kualifikasi tambahan yang diutamakan?”


    8. Nggak Ada Skill Section

    Fitur “Skills & Endorsements” itu penting! Data LinkedIn menunjukkan profil dengan skill lengkap punya 13 kali peluang lebih besar buat ditemukan rekruter.  Pilih skill yang benar-benar kamu kuasai, jangan overclaim.


    9. Resume dan Profil Nggak Sinkron

    HRD paling males kalau info di LinkedIn beda sama CV. Kalau di LinkedIn kamu tulis “Project Manager”, tapi di CV tulis “Marketing Specialist”, itu bikin mereka bingung.


    10. Mengabaikan Testimoni

    Jangan ragu minta rekomendasi ke eks-bos atau kolega. Testimoni bikin profilmu makin kredibel. Profil dengan rekomendasi direview 2 kali lebih sering oleh rekruter.


    Kesimpulan:
    LinkedIn itu bukan sekedar akun pasif. Manfaatkan buat “jualan” skill kamu. Buatlah profil yang standout dan relevan! Udah saatnya ninggalin kebiasaan yang bikin HRD ilfil.

    Ayo, Gaskeun! Jangan sampai peluang karier terbaikmu ke-skip cuma karena hal-hal kecil ini.


  • 10 Kesalahan di LinkedIn yang Harus Lo Hindarin Biar Nggak Kudet!

    Rian: “Bro, kok lo nggak pernah di-notice headhunter sih? Padahal pengalaman lo keren banget!”
    Dito: “Ah, gue jarang buka LinkedIn, cuma update waktu lulus aja. Emang ngaruh ya?”
    Rian: “Ya iyalah! Profil LinkedIn lo itu kayak etalase online. Kalau jelek, ya nggak bakal ada yang mampir!”

    Nah, biar lo nggak kayak Dito, simak nih 10 kesalahan LinkedIn yang sering bikin orang gagal dapet perhatian. Jangan sampe lo ngulangin!”

    1. Profil Setengah Jadi, Kayak Skripsi yang Belum Kelar

    Kenapa Salah? Profil yang kosong bikin lo keliatan nggak niat. Padahal, ini kartu nama digital lo.

    Fun Fact: Profil lengkap dengan foto profesional 14x lebih sering dilirik sama perekrut (LinkedIn, 2021).

    Tips: Tambahin foto kece (bukan selfie di kamar mandi ya!), headline yang catchy, dan ringkasan singkat soal keahlian lo.


    2. URL Kayak Plat Nomor Acak

    Kenapa Salah? URL bawaan LinkedIn itu panjang dan nggak estetik. Custom URL bikin profil lo lebih profesional dan gampang dicari.

    Tips: Ganti jadi sesuatu yang simple, kayak “linkedin.com/in/namalo” di pengaturan.


    3. Postingan Receh atau Drama

    Kenapa Salah? LinkedIn itu tempat serius, bukan buat curhat galau atau upload meme receh. Postingan yang nggak relevan bisa ngerusak reputasi lo.

    Kata Pakar: “Audiens LinkedIn lebih menghargai wawasan dan profesionalisme dibanding postingan personal,” — Harvard Business Review.

    Tips: Bagikan insight dari kerjaan lo, artikel keren, atau pengalaman yang bisa jadi pelajaran buat orang lain.


    4. Bagian “About” Kosong atau Basi

    Kenapa Salah? Bagian ini kayak trailer film. Kalau nggak menarik, orang males baca lanjutannya.

    Tips: Ceritain singkat siapa lo, apa spesialisasi lo, dan kenapa orang harus hire lo. Jangan lupa tambahin keyword yang nyambung sama industri lo.


    5. Jadi Silent Reader Abadi

    Kenapa Salah? LinkedIn itu tempat nongkrong profesional. Kalau lo cuma scroll tanpa interaksi, lo jadi invisiblo alias nggak keliatan.

    Studi: Pengguna aktif yang sering komen atau share konten punya peluang 45% lebih tinggi dapet peluang kerja (LinkedIn, 2022).

    Tips: Mulai dari yang simple, kayak kasih selamat ke temen yang dapet kerja baru, atau komen positif di postingan orang lain.


    6. Nambah Koneksi Kayak Orang Ngumpulin Sticker

    Kenapa Salah? Banyak koneksi acak malah bikin algoritma LinkedIn lo nggak fokus.

    Tips: Pilih koneksi yang relevan sama karier lo. Pas ngirim invite, tambahin pesan pendek biar lebih personal.


    7. Profil Jadul Kayak Windows 95

    Kenapa Salah? Profil yang nggak update bikin lo keliatan kayak nggak berkembang.

    Tips: Setiap ada pencapaian baru, kayak proyek keren atau sertifikasi, langsung tambahin ke profil.


    8. Lupa Minta Rekomendasi

    Kenapa Salah? Orang lebih percaya sama yang udah punya bukti nyata. Rekomendasi adalah social proof lo.

    Tips: Setelah kerja bareng atasan atau kolega, minta mereka kasih rekomendasi. Lo juga bisa kasih rekomendasi balik sebagai timbal balik.


    9. Overpromosi Bikin Ilfeel

    Kenapa Salah? Ngeluarin vibe “jual diri” tiap hari malah bikin orang kabur.

    Tips: Seimbangkan konten promosi diri lo dengan insight yang bermanfaat buat audiens. Jangan melulu soal “gue” terus.


    10. Nggak Pakai Keywords di Skills

    Kenapa Salah? Tanpa kata kunci yang tepat, profil lo nggak akan muncul di pencarian headhunter.

    Tips: Cek deskripsi kerja di bidang lo, terus ambil kata-kata kuncinya buat ditaruh di bagian skills.


    Kesimpulan

    “LinkedIn itu ibarat etalase toko lo. Kalau nggak ditata rapi, siapa juga yang mau mampir?” kata William Arruda, pakar personal branding. Jadi, jangan sampai lo bikin kesalahan-kesalahan di atas.
    Ingat, kesan pertama dimulai dari profil LinkedIn lo. Jadi, bikin yang terbaik dan tetap aktif, bro/sis!”

     


  • Apakah Internet Membuat Kita Lebih Bahagia?

    Mengejar kebahagiaan bisa jadi sulit dipahami, tetapi tetap menjadi cita-cita banyak orang.

    Sejak 2012, dunia telah merayakan kebahagiaan selama bulan Maret, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Kebahagiaan adalah pengalaman yang sangat manusiawi dan subjektif; namun, kajian ilmiah tentang kebahagiaan telah meledak. Psikolog tertarik untuk memahami bagaimana perasaan orang; ekonom ingin tahu apa yang dihargai orang; dan ahli saraf berusaha memahami bagaimana otak merespons penghargaan positif. Tak perlu dikatakan, kebahagiaan dapat diukur dengan berbagai cara sebagai hasilnya.

    Banyak yang telah ditulis tentang hubungan antara tempat kerja yang bahagia dan positif dengan karyawan yang efektif dan produktif. Tetapi definisi kebahagiaan dapat disalahpahami-seringkali dilihat sebagai adanya emosi positif dan tidak adanya emosi negatif, yang dapat mengarah pada budaya kerja yang menekan orang untuk berpura-pura emosi positif. Psikolog University of Frankfurt, Dieter Zapf telah menunjukkan “pemalsuan” itu dapat mengakibatkan penyakit fisik dan emosional jangka panjang.

    Mengaitkan keadaan bahagia hanya dengan ceria sepanjang waktu menciptakan tantangan lain karena, dalam kasus institusi akademik misalnya, kebahagiaan cenderung diklasifikasikan sebagai kurang serius, dangkal, dan ringan. Hal ini mengakibatkan universitas menghindari pembicaraan tentang pengembangan lulusan yang “bahagia” dan mengadopsi “agenda kebahagiaan” untuk pengembangan holistik mahasiswanya.

    Pada saat ini diperkirakan 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Itu tentu saja begitu mengganggu. Sebuah laporan baru-baru ini oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa jika tidak ada yang dilakukan, pada tahun 2030 depresi akan menjadi penyakit nomor satu di dunia.

    Langkah Menuju Kebahagiaan

    Kebahagiaan bukan hanya tentang mengembangkan emosi positif, tapi memiliki dua bagian penyusun lainnya: tujuan dan ketahanan. Memiliki tujuan yang jelas dan bermakna adalah elemen kunci dalam mempertahankan kebahagiaan jangka panjang. Dan karena emosi negatif merupakan bagian integral dari kehidupan, mengembangkan ketahanan adalah komponen kebahagiaan ketiga yang sangat esensial, karena memungkinkan kita untuk menangani emosi negatif secara efektif saat muncul.

    Pengusaha yang serius dalam mencapai efektivitas dan produktivitas melalui angkatan kerja yang bahagia perlu memastikan bahwa karyawan mereka diberi kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang menarik, bermakna, dan berorientasi pada tujuan, mampu mengembangkan hubungan yang baik, dan mengalami rasa pencapaian.

    Banyak indikator menunjukkan bahwa pekerjaan di masa depan akan membutuhkan lebih banyak kecerdasan emosional untuk melengkapi mesin canggih yang kita gunakan. Institusi akademik perlu secara serius mempertimbangkan untuk memainkan peran dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kesejahteraan mahasiswa untuk memastikan bahwa universitas tetap relevan di dunia di mana revolusi industri keempat menuntut integrasi sistem fisik, dunia maya, dan biologis serta otomatisasi pekerjaan yang meningkat. Dengan tingkat kompleksitas dan perubahan yang dihadapi masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat penting untuk mengeksplorasi bagaimana sistem pendidikan dapat berkembang untuk membantu kaum muda mengembangkan kesadaran diri dan kesadaran sosial jika mereka ingin berkembang dan mencapai potensi penuh mereka begitu mereka memasuki tempat kerja.

    Ruang Untuk Hubungan Antar Manusia

    Manusia membawa tiga dimensi ke pasar kerja: fisik, kognitif, dan emosional. Mesin telah melampaui kita baik dalam dimensi fisik (semakin sedikit pekerjaan manual yang diperlukan) dan dimensi kognitif (Kecerdasan Buatan atau AI semakin mampu melampaui manusia dalam tugas-tugas seperti catur dan diagnosis medis). Ini meninggalkan domain emosional, entah kita sadari atau tidak. Pasalnya, semakin banyak pekerjaan yang diotomatisasi, sifat nilai yang akan ditambahkan manusia akan berkembang menjadi fokus pada kreativitas, konektivitas dengan orang lain, dan pemenuhan diri.

    Psikolog Amerika Daniel Goleman mendefinisikan empat domain kecerdasan emosional sebagai: kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen diri, dan manajemen hubungan. Pada tahun 2013, Rektor Heriot-Watt University, Mushtak Al-Atabi mengembangkan kursus online tentang kecerdasan emosional yang diikuti oleh lebih dari 6.000 siswa dari 150 negara berbeda. Kursus ini memperkenalkan beberapa latihan yang bertujuan untuk mengembangkan empat domain Daniel Goleman.


    Siswa melakukan dua latihan harian: “brain rewiring” yang melibatkan pernyataan lima hal yang mereka syukuri, dan “my emotions today” di mana mereka mengartikulasikan perasaan mereka dengan membagikannya secara online dengan peserta kursus lainnya. Latihan rasa syukur dan kesadaran emosional ini dapat membantu menciptakan kebiasaan dasar untuk kecerdasan emosional.

    Siswa juga diperkenalkan dengan praktik meditasi dan didukung melalui pengembangan tujuan yang SMART (Spesifik, Terukur, Ambisius, Relevan, dan Tepat Waktu), pernyataan misi, dan pernyataan visi pribadi. Beberapa siswa melaporkan kemenangan pribadi seperti mampu mendaki gunung, memulai bisnis bahkan menikah dan mengatasi pikiran untuk bunuh diri.

    Lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan untuk menetapkan cara paling efektif untuk mengembangkan kecerdasan emosional pada kaum muda di semua lapisan masyarakat. Tetapi jika kita ingin menghadapi tuntutan, kompleksitas, dan tantangan lain yang berubah di era digital, kita akan membutuhkan orang-orang yang bahagia, puas, dan tangguh untuk menerimanya. Seperti halnya tempat kerja, di mana karyawan yang bahagia dan puas dapat berarti peningkatan produktivitas dan omset. Orang-orang yang berpura-pura bahagia di tempat kerja tidak bermanfaat bagi siapa pun.

     
    Kekuatan Koneksi

    Salah satu faktor yang teridentifikasi untuk memprediksi kebahagiaan dapat kita pelajari selama pandemi. Pasalnya, kita semua terbantu dengan penggunaan media digital untuk tetap terhubung. Di awal pandemi, berderet perusahaan bergegas mencari peralatan TI seperti laptop dan layanan TI seperti Zoom untuk memahami realitas digital baru yang tiba-tiba datang. Pada tingkat individu, beberapa penelitian menunjukkan peningkatan penggunaan komunikasi digital untuk terhubung.  Kaum muda, khususnya, meningkatkan penggunaan komunikasi digital mereka dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Demikian pula, data tahun 2020 dari survei Gallup/Knight Foundation menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap media sosial penting untuk tetap terhubung selama pandemi. Pada saat yang sama, kurangnya akses dan keterampilan menggunakan internet dari rumah tangga yang tidak memiliki akses ke Wi-Fi, atau orang dewasa yang lebih tua yang tidak terbiasa dengan teknologi navigasi, mungkin semakin memburuk selama pandemi yang membahayakan orang-orang ini. Ketidaksetaraan digital dapat menimbulkan risiko bagi kesejahteraan dan kebahagiaan selama pandemi.

    Teknologi Digital dan Kebahagiaan
    Temuan itu, dalam konteks pandemi, menggarisbawahi diskusi yang sedang berlangsung tentang teknologi digital dan kebahagiaan. Singkatnya, teknologi digital bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi sebagian orang, internet dapat menawarkan tempat yang aman dan tidak mengancam untuk memelihara dan memelihara hubungan sosial. Pada saat yang sama, semakin banyak bukti tentang pengawasan pengguna dan teknologi adiktif mendasari efek berbahaya dari teknologi digital terhadap kebahagiaan.

    Dalam laporan itu, beberapa bidang di mana teknologi digital dianggap memiliki efek positif pada kebahagiaan adalah dalam membantu menghubungkan orang satu sama lain, memanfaatkan kecerdasan penting secara real-time untuk memecahkan masalah kesehatan, keselamatan, dan ilmiah, dan dalam memberdayakan orang untuk meningkatkan dan menemukan kembali kehidupan mereka. Selain risiko kecanduan dan pengawasan digital, teknologi digital dianggap berdampak negatif pada kemampuan kognitif orang dalam hal kapasitas mereka untuk berpikir analitis, memori, fokus, dan kreativitas. Ketidakpercayaan dan perpecahan dapat menguat, dan informasi yang berlebihan serta desain antarmuka yang buruk dapat menyebabkan peningkatan stres, kecemasan, dan sulit tidur.

    Pada tahun 2018, Pew Research Center menanyai 1.150 pakar teknologi, cendekiawan, dan spesialis kesehatan tentang pertanyaan berikut: “Selama dekade berikutnya, bagaimana perubahan dalam kehidupan digital akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan secara fisik dan mental?  Hasilnya, sekitar 47% responden memperkirakan bahwa teknologi digital membawa dampak positif bagi kesejahteraan; sementara 32% percaya bahwa kesejahteraan masyarakat akan terkena dampak negatif. 21% sisanya memperkirakan sedikit perubahan dalam kesejahteraan dibandingkan dengan sekarang.   Laporan Pew Research Center 2018 memberikan ringkasan tentang hubungan positif dan negatif antara teknologi digital dan kesejahteraan yang muncul.

    Apakah teknologi digital membuat kita lebih bahagia atau tidak?
    Jelaslah bahwa teknologi dapat berdampak positif dan negatif pada kesejahteraan subjektif individu. Di sisi lain, teknologi digital memberi kita alat. Dan terserah kita untuk memutuskan bagaimana menggunakannya dengan tepat. Memang, kita memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan teknologi digital untuk mengurangi potensi dampak negatif terhadap kesejahteraan.

    Teknologi: Sumber Kebahagiaan yang Gratis

    Dalam kasus Action for Happiness (https://actionforhappiness.org/)-sebuah gerakan yang berkomitmen untuk membangun masyarakat yang lebih bahagia dan lebih peduli, perpindahan online dari bertemu langsung secara tatap muka membawa beberapa manfaat yang lebih besar dari perkiraan. Gerakan tersebut dapat menjangkau orang-orang yang lebih terpencil, terisolasi, atau cemas secara sosial; dan menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang/negara dalam ruang digital yang sama.

    Kendati demikian, CEO Action for Happiness, Dr. Mark Williamson mengingatkan kita bahwa banyak sumber kebahagiaan kita yang bebas teknologi. Dalam salah satu artikelnya, ia menunjukkan tiga tindakan non-digital sederhana yang telah terbukti membuat kita lebih bahagia:
    Pertama, aktiflah di luar ruangan – berjalan-jalan di taman, turun dari bus lebih awal, atau pergi untuk sekadar jalan-jalan dengan rekan kerja.
    Kedua, mengambil ruang bernafas – berhentilah secara teratur dan luangkan waktu 5 menit untuk bernapas dan berada di saat ini-perhatikan bagaimana perasaan kita dan apa yang terjadi di sekitar kita.
    Ketiga, buatlah orang lain bahagia-lakukan tindakan kebaikan secara acak, tawarkan bantuan, berikan kembalian kita, berikan pujian, atau beri tahu seseorang betapa berartinya mereka bagi kita.
    Apakah Anda setuju dengan pendapat Dr. Mark Williamson di atas?
    Kita hidup di era digital. Beberapa orang mengeluhkan gangguan terus-menerus dan penjelajahan internet tanpa akhir. Yang lain merayakan kebebasan dan kemampuan yang baru ditemukan.
    Filsuf kuno Epicurus berkomitmen pada empirisme, pandangan bahwa pengetahuan kita berasal dari indera kita dan dapat diuji terhadap pengalaman empiris lainnya. Ini adalah pandangan yang mendasari apa yang kemudian menjadi sains kontemporer. Sebagai bagian dari filosofinya, Epicurus membuat berbagai klaim berpengaruh tentang kebahagiaan manusia yang telah teruji oleh waktu.

    Salah satu wawasannya adalah bahwa pandangan yang dianut secara luas tentang apa yang membuat hidup paling memuaskan bisa disalahartikan. Banyak dari kita terpikat oleh keinginan “kosong”, termasuk keinginan akan ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan. Memuaskan keinginan tersebut bisa jadi menyenangkan. Tapi kenikmatan seperti ini bukanlah yang benar-benar penting untuk kebahagiaan.

    Masalahnya adalah keinginan kosong ini tidak terikat oleh batasan apa pun. Tidak peduli berapa banyak yang kita dapatkan, kita pada umumnya masih mungkin untuk memiliki dan menginginkan lebih.

    Kenikmatan kebahagiaan sejati, di sisi lain, adalah kenikmatan “statis” yang stabil dan bertahan lama. Itu muncul dari “persahabatan” yang lebih dalam dan aktivitas yang kita kejar karena kita secara otentik menganggapnya bermanfaat dan menarik.

    Untuk mencapai kebahagiaan seperti itu, kita harus mengembangkan dan melatih kemampuan untuk menunda kepuasan. Dengan melakukan itu, kita mengesampingkan kenikmatan jangka pendek untuk memuaskan hasrat kosong demi mengembangkan kapasitas untuk kesenangan yang bertahan lebih lama dalam hidup.

    Menunda Kesenangan di Zaman Internet
    Penelitian psikologis membantu kita lebih memahami cara orang berinteraksi dengan teknologi digital. Pemahaman seperti itu akan menjadi bagian penting untuk mencari tahu bagaimana kita bisa sebahagia mungkin saat era digital terbentang.

    Misalnya, para peneliti di Temple University merancang sebuah penelitian yang bertujuan untuk lebih memahami hubungan antara kepuasan yang tertunda dan penggunaan ponsel cerdas. Para peneliti memberikan kuesioner dan tes kognitif kepada 91 mahasiswa .

    Para peneliti bertanya kepada peserta studi tentang penggunaan aplikasi media sosial seluler mereka sehari-hari, termasuk Facebook, Twitter, Instagram, Vine, dan Snapchat. Mereka ditanya seberapa sering mereka memposting pembaruan status publik, seberapa sering mereka memeriksa ponsel mereka untuk aktivitas baru, dan seberapa sering mereka mendapati diri mereka memeriksa ponsel mereka selama percakapan atau saat bergaul dengan teman-teman.

    Untuk mengetahui peserta penelitian mana yang paling mungkin menunda kepuasan, para peneliti meminta mereka untuk membuat pilihan hipotetis antara sejumlah kecil uang yang ditawarkan segera, versus sejumlah besar uang yang ditawarkan pada enam penundaan waktu yang berbeda. Penundaan ini berkisar dari satu hari hingga satu tahun. Pada titik satu tahun, peserta dapat menerima jumlah maksimum, $1000.

    Mereka yang memiliki keterlibatan teknologi seluler yang lebih tinggi – dengan posting dan pemeriksaan yang lebih sering-ditemukan cenderung tidak menunda kepuasan demi imbalan yang lebih besar di kemudian hari.

    Dalam menganalisis hasilnya, para peneliti dapat menarik kesimpulan yang lebih jauh dan menarik. Mereka menemukan bahwa kontrol impuls merupakan mediator yang signifikan dari hubungan antara keterlibatan teknologi dan kepuasan yang tertunda. Kebiasaan teknologi seluler yang terkait dengan kecenderungan yang lebih rendah untuk menunda kepuasan tampaknya didorong oleh impuls yang tidak terkendali.

    Epilog
    Mengetahui tentang hubungan seperti itu antara penggunaan teknologi seluler, kontrol impuls, dan kepuasan yang tertunda adalah penting bagi kita semua saat kita mencoba memahami cara terbaik untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan di zaman sekarang.

    Dan mereka yang berjuang dengan kontrol impuls memiliki alasan yang sangat kuat untuk mengingat poin Epicurus tentang manfaat mencari kesenangan jangka pendek yang statis daripada kosong. Yang terbaik adalah meletakkan telepon jika menggunakannya hanya memberikan kepuasan sementara dan tidak nyaman.

    Juga benar bahwa generasi muda menjadi terbiasa dengan teknologi digital di awal kehidupan mereka. Ini mungkin semakin menjadi sarana utama sosialisasi mereka. Generasi digital di masa depan akan membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kontrol impuls. Jika tidak, mereka mungkin menemukan bahwa mereka benar-benar tersesat dalam upaya mereka untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup.