Author: Agung Wibowo

  • Generasi Muda dan Duta Wisata

    Apa yang menjadi persamaan antara Maudi Koesnaedi, Venna Melinda, Airin Rachmi Diany, dan Tina Talisa? Jika Anda menjawab mereka sama-sama berkarisma, populer dan cerdas saya tidak menampiknya. Namun yang saya maksud bukan itu.

    Lantas, apa yang menyamakan antara Zumi Zola, Tommy Tjokro, dan Indra Bekti? Jika Anda mengatakan benang merah di antara mereka hanya keelokan rupa, maka Anda salah besar.

    Lalu, apa hubungan antara semua tokoh yang saya sebutkan di atas? Mereka sama-sama pernah menjadi duta wisata di kota/kabupaten masing-masing di masa mudanya.

    Tina Talisa pernah dinobatkan menjadi Mojang Jawa Barat sebelum menjadi pembawa acara berita tersohor. Venna Melinda pernah tercatat sebagai None DKI Jakarta sebelum melenggang ke ranah hiburan dan politik. Zumi Zola pernah bertengger dalam daftar Abang Jakarta Selatan sebelum menjadi aktor dan Gubernur Jambi.

    Mungkin Anda bertanya-tanya, seberapa signifikan pengaruh pengalaman mereka sebagai alumni duta wisata dalam mendongkrak perjalanan karirnya? Barangkali terkesan subyektif jika diuraikan orang per orang. Namun, dalam riset independen yang saya lakukan terhadap ratusan duta wisata di 70 kota/kabupaten dan 20 provinsi dalam kurun waktu 2016-2018, hasilnya cukup membuat saya tercengang.

    Keberadaan duta wisata selama ini memang masih luput dari perhatian publik. Mereka hampir tidak pernah menjadi bahan kajian akademik. Di saat bersamaan, ajang pemilihan duta wisata tidak jarang masih disamakan dengan kontes bertajuk pageant lain seperti Puteri Indonesia dan Miss Indonesia.

    Padahal, pemilihan duta wisata lebih dari itu. Ia tidak semata-mata memilih orang yang “enak dipandang”. Di antara aspek penilaian memang berkutat pada kecerdasan (brain), keindahan (beauty) dan perilaku (behaviour). Namun aspek lain seperti keterampilan berbahasa asing dan lokal, berkesenian, dan pemahaman dengan budaya tidak kalah ditekankan.  Sehingga tidak berlebihan jika ajang ini merupakan salah satu ajang terbaik dalam pemberdayaan pemuda.

    Selama ini memang belum ada definisi baku mengenai duta wisata. Namun yang pasti mereka ialah anak-anak muda terpilih yang telah melalui serangkaian seleksi ketat dari pemerintah daerah masing-masing untuk membantu mempromosikan potensi budaya, pariwisata, dan ekonomi kepada publik. Baik dalam tataran lokal, nasional, bahkan Internasional.

    Di Provinsi DKI Jakarta mereka yang terpilih dikenal dengan Abang-None. Di Provinsi Jawa Barat disebut dengan Mojang-Jajaka. Di Provinsi Sulawesi Selatan dinamakan dengan Dara-Daeng. Di provinsi asal saya sendiri Jawa Timur, penamaan bahkan unik di setiap daerah kota/kabupatennya. Misalnya saja Cak-Ning untuk Kota Surabaya, Kakang-Sendhuk untuk Kabupaten Ponorogo, Dimas-Diajeng untuk Kabupaten Ngawi, Kacong-Jebbing untuk Kabupaten Bangkalan, Cung-Ndhuk untuk Kabupaten Tuban, Joko-Roro untuk Kabupaten Malang, Kangmas-Nimas untuk Kota Batu atau Kethuk-Kenang untuk Kabupaten Pacitan. Singkat kata, gelar pemenang ajang ini menyesuaikan dengan budaya setempat.

    Berdasarkan hasil riset independen saya, berikut ini beberapa alasan kuat mengapa generasi muda perlu mengikuti ajang duta wisata di kota/kabupaten/provinsi masing-masing.

    Mengenal Potensi Daerah

    Ini tentu menjadi faktor yang tak terbantahkan. Pasalnya, selama mengikuti ajang ini, para peserta dapat mendapatkan seabrek pelatihan atau pengetahuan mengenai daerah sendiri. Mulai dari aspek sejarah, budaya, pariwisata, ekonomi, hingga sosial politik. Selain itu, juga diajak untuk “turun ke lapangan”. Sehingga, disadari atau tidak, bisa menjadi inspirasi untuk mengembangkan daerah sendiri di masa depan, apapun profesi yang akan ditekuni.

    Mendongkrak Soft Skills

    Duta wisata di kota/kabupaten manapun dituntut untuk pandai berkomunikasi. Pasalnya, keterampilan tersebut begitu vital selama menjabat atau setelah mengarungi dunia nyata. Kabar baiknya, hampir semua paguyuban duta wisata di seluruh Indonesia memiliki sederet kegiatan untuk mengasah soft skills. Dari seni kepemimpinan, berbicara di depan publik, mengelola emosi, membangun tim, menetapkan sasaran, menyelesaikan masalah, mengorganisir, manajemen waktu, hingga kegesitan menyikapi perubahan atau ketidakpastian.

    Membangun Jejaring

    Ajang pemilihan duta wisata senantiasa dibanjiri oleh para talent dengan renjana dan bidang yang beragam. Itu mengapa sangat cocok dimanfaatkan untuk membangun jejaring. Singkat kata, kontes semacam ini paling tepat untuk mengenalkan kepada publik mengenai siapa diri kita dan bagaimana kemampuan yang dimiliki dapat bermanfaat kepada masyarakat. Kelak, jaringan yang terbangun tersebut dapat dimaksimalkan untuk mendongkrak karir masing-masing.

    Mengenal Diri Sendiri

    Di ajang pemilihan duta wisata, kompetitor sesungguhnya bukanlah peserta lain. Melainkan diri sendiri. Pasalnya, tidak perlu menjadi “lebih baik” dari orang lain atau “terbaik” di antara semua peserta. Para peserta hanya dianjurkan untuk menjadi yang terbaik versi dirinya sendiri. Karena para pemenang di daerah manapun biasanya adalah mereka yang mengenali diri sendiri lebih baik. Menerima kekurangan dan kelemahan sama pentingnya dengan mengoptimalkan kelebihan dan kekuatan. Singkat kata, ajang ini sangat cocok untuk membantu peserta mengenali diri sendiri.

    Memang, tidak harus menjadi seorang duta wisata yang secara resmi diberikan “selempang kebesaran” oleh pemimpin daerah. Karena siapa saja sebenarnya bisa menjadi duta sesuai dengan kepakaran masing-masing.

    Yang perlu diingat, bukan gelar yang sejatinya dikejar oleh para kawula muda. Namun, semangat berjuang dengan mental kesatrialah yang perlu dibiasakan untuk menjadi pribadi yang berkarakter. Itu bisa diperoleh melalui ajang pemilihan duta wisata.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Biem.co, 13 April 2018 

  • The Ambassadors’ Journey: Cerita Saya dan Para Jebolan Duta Wisata Se-Indonesia

    Duta wisata. Apa sih yang ada di benak Anda ketika mendengar namanya? Sepasang model “pembawa nampan” yang terbiasa hadir dalam seremonial acara-acara pemerintahan? Ataukah muda-mudi jebolan kontes pageant di bidang budaya yang hanya bisa senyum-senyum manis tanpa peran berarti?

    Apapun pendapat Anda, sah-sah saja. Karena toh selama ini belum banyak publikasi mengenai keberadaan mereka. Untuk itulah mengapa buku ini ditulis.

    Tidak banyak orang yang tahu mengenai ajang pemilihan duta wisata. Padahal sampai buku ini ditulis; negeri ini memiliki 34 provinsi, 415 kabupaten, 93 kota, 1 kabupaten administrasi dan 5 kota administrasi. Jika pertahun setiap pemerintah daerah “menelurkan” 10 pasang duta wisata saja, berapa jumlah keseluruhannya? Lebih dari 10 ribu. Angka yang begitu “seksi” jika bisa diberdayakan dengan benar dan berkelanjutan.

    Buku ini hadir untuk mematahkan anggapan bahwa ajang pemilihan duta wisata hanyalah buang-buang anggaran saja. Karena ada begitu banyak hal positif yang didapatkan dari kegiatan tersebut. Pemerintah sendiri terbantu karena jebolan ajang tersebut membantu mereka dalam program-program promosi maupun pengembangan pariwisata dan kebudayaan. Masyarakat diuntungkan karena para duta tersebut bisa menjadi “penyambung lidah” inspirasi. Para alumni duta wisata sendiri mereguk berbagai benefit. Mulai dari pengembangan diri, pengenalan potensi kota/kabupaten yang lebih dalam, penguasaan kesenian dan kebudayaan lokal yang meningkat, terdongkraknya jejaring, hingga sebagai platform untuk sukses dalam karir.

    Buku ini memaparkan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang alumni duta wisata. Diperkuat dengan survei yang melibatkan ratusan alumni duta wisata dari Sabang sampai Merauke. Ditambah lagi dengan kurasi profil para alumni duta wisata yang sekarang menjadi figur publik dan menginspirasi. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan tips dan trik menjadi seorang duta wisata yang keren.

    Beberapa tokoh alumni duta wisata yang diulas tuntas perjalanan hidupnya dalam buku ini antara lain:

    1. Sylviana Murni (mantan Walikota Jakarta Pusat)
    2. Zumi Zola  (Gubernur Jambi)
    3. Airin Rachmi Diany (Wali Kota Tangerang Selatan)
    4. Tina Talisa (News Anchor)
    5. Tommy Tjokro (News Anchor)
    6. Indra Bekti (Presenter, Artis)
    7. Hatna Danarda (Vokalis Naff)
    8. Ratih Sanggarwati (Model)
    9. Ashanty (Artis)
    10. Angkie Yudistia (Sociopreneur)
    11. Yuliandre Darwis (Ketua KPI)
    12. Maudy Koesnadi (Artis)
    13. Venna Melinda (Artis, Politisi)
    14. Dan puluhan sosok lain dari seluruh Indonesia

    Secara sederhana, isi buku ini memaparkan:

    1. Pemaknaan duta wisata
    2. Pengalaman penulis sebagai duta wisata
    3. Bincang dengan para duta wisata
    4. Profil para duta wisata yang menginspirasi dari beragam profesi
    5. Bagaimana cara menjadi seorang duta wisata yang sukses (tips/trik/strategi)
    6. Pesan untuk para calon duta wisata

    Buku ini sama sekali bukan untuk menggurui. Hanya secercah cerita dari orang yang pernah mengalami lebih dulu. Informasi yang diberikan pun berimbang, tidak berat sebelah. Gaya bahasa yang dipakai juga “lo, gue”.  Sehingga, sangat cocok dibaca oleh:

    1. Siapa saja yang berminat menjadi duta wisata di daerah masing-masing (Abang None, Mojang Jajaka, Uda Uni, Agam Inong, Mas Mbak, Cak Ning, Dara Daeng, Jegeg Bagus, Muli Mekhanai, Kacong Cebbing, dst)
    2. Siapa saja yang bermimpi untuk memenangkan kontes pageant seperti Puteri Indonesia, Miss Indonesia, Puteri Pariwisata Indonesia, Putera Puteri Batik, Putera Indonesia, Duta GenRe, Duta Lingkungan Hidup, Miss Coffee, dan semacamnya.
    3. Para alumni duta wisata yang ingin mengenang masa pengabdiannya.
    4. Pengamat pariwisata, kebudayaan, model, dan peagants.
    5. Para pemangku kepentingan di bawah Kementerian Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan berbagai dinas terkait.
    6. Pencari kebijaksanaan di manapun berada

     

    Apa Kata Mereka?

    “Duta wisata dipilih bukan hanya untuk sebuah event seremonial. Tapi menjadi tumpuan aktualisasi generasi muda – menjadi mitra pemerintah dalam membranding destinasi pariwisata di Indonesia, khususnya di kota/kabupaten masing-masing. Buku ini saya rasa mampu mewakili cerita klasik pengalaman para duta wisata di manapun berada. “

    (Yuliandre Darwis, Ph.D – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia 2016-2019)

     

    “Menjadi seorang duta itu tidak mudah. Ia tidak hanya menjadi tempat orang mendapatkan informasi, ia juga harus mampu memberi klarifikasi atas banyak hal yang mungkin tengah terjadi. Artinya seorang duta harus memiliki pemahaman yang mumpuni dan juga kemampuan berdiplomasi dalam mencari solusi. Dan itu hanya ada pada pribadi orang-orang terpilih.

    Termasuk menjadi duta wisata. Ia harus memiliki kecintaan sejati pada daerah yang diwakili. Karena hanya dengan tulus mencintai, ia dapat melayani daerahnya dengan setulus hati. Ia dan daerahnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dirinya adalah daerahnya dan daerahnya adalah dirinya.

    Duta wisata adalah adalah sebuah refleksi dimana orang melihat keindahan wisata pada suatu daerah terpancar dalam pribadi dirinya. Jiwanya telah menyatu dengan alamnya.  Oleh karena itu menjadi duta wisata adalah sebuah kehormatan karena ia terpilih untuk berada pada garis depan sekaligus menjadi titik sentral pariwisata di daerahnya.”

    (Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APRFounder & Director, The London School of Public Relations Jakarta)

     

    “Tugas saya sebagai diplomat yang mewakili Indonesia di luar negeri sangat terbantu dengan pengalaman menjadi salah satu Dimas Yogyakarta Tahun 1993. Mempromosikan Indonesia kepada publik internasional dapat saya lakukan dengan lebih mudah, strategis dan cerdas berbekal ilmu dan pengetahuan yang didapat ketika bertugas menjadi duta wisata.”

    (Aziz Nurwahyudi – Minister Counsellor Penerangan Sosial dan Budaya, KBRI Den Haag)

     

    “Pengalaman merupakan sesuatu yang nyata untuk bisa diceritakan.  But All the best ideas come out of the process, they come out of the work itself. Things occur to you. Nikmati dan kembangkan lah dari proses tersebut. Public speaking, leadership, dan improving your social skills….Ketiga hal ini didukung dengan kepedulian yang tinggi akan membangun karakter muda yang jauh lebih bermanfaat untuk negeri. Buku ini secara lugas menyampaikan hal tersebut serta menceritakan sisi yang lebih jelas peran dan manfaat dari seorang Duta Wisata. All the best buat Agung dengan support positifnya untuk anak muda Indonesia.”

    (Tommy Tjokro – Head of News Production and Lead Anchor, MNC World News)

     

    “Buku ini memiliki manfaat ganda.  Pertama, memberikan gambaran yang dekat melalui orang pertama mengenai duta wisata.  Kedua, menyimpan ilmu dan hikmah mengenai perjuangan anak-anak muda sebagai duta wisata agar selalu siap ditengok kembali.  Kedua manfaat tersebut membuat buku ini menjadi kenangan abadi tidak hanya bagi si pelaku, tetapi juga si pembaca.  Di buku ini, pelaku dan pembaca seperti berdialog mengenai pengalaman konyol atau hebat dari sebuah pengalaman bernama duta wisata.”

    (Ir. Totok Amin Soefijanto, MA, Ed.DDeputi Rektor Akademik, Riset, dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina)

     

    “Sebagai Duta Pariwisata… saya pribadi jujur tidak masuk atas keingingan sendiri, namun karena keadaan.  Setelah menjalani proses karantina dan mendapatkan gelar Abang Harapan 1 di Pemilihan Abang None Jakarta Barat 2008, saya merasa wajib menjalankan amanah melestarikan budaya Betawi atau budaya Indonesia ke nasional maupun dunia, dengan Cara saya sendiri di bidang seni peran karena ‘tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat’.”

    (Ade Firman Hakim – Artis)

     

    “Menjadi Duta Wisata membuktikan bahwa seseorang lulus seleksi dalam sebuah kompetisi yang terancang baik.  Seleksi yang sesungguhnya nantinya adalah saat menghadapi ‘kompetisi’ yang sebenarnya di dunia luar, yang lebih nyata, yang lebih berat lagi. Penilaian pemenangnya adakalanya tidak dipublikasi, kriteria pemenang kompetisi ini bahkan seringkali tidak dijelaskan dari awal. Menjadi Duta Wisata ini adalah sebuah modal awal. Modal berikutnya adalah penerapannya di masyarakat luas. Hanya orang-orang dengan personal brand yang cemerlang yang akan memenangkan pertandingan di kompetisi ‘nyata’ tersebut. Gunakan kesempatan untuk ikut ajang pemilihan Duta Wisata atau sejenisnya untuk kemudian mengasah dalam pertandingan kehidupan berkelanjutan setelahnya.” 

    (Amalia E. Maulana, Ph.D.  –  Brand Consultant & Ethnographer, Director ETNOMARK Consulting/Penulis buku “PERSONAL BRANDING: Membangun Citra Diri yang Cemerlang”)

     

    “Duta Wisata? Bukan sekedar kontes; tapi juga bermakna mendalam untuk melatih soft skills; juga membuat generasi muda mengenal, menjalani, dan melestarikan budaya tradisional  di masing-masing daerah yang ada di Indonesia. Selain mempromosikan pariwisata, Lomba Pemilihan Duta Wisata bisa dijadikan ajang pendidikan untuk belajar di berbagai bidang dan kontribusi nyata ke masyarakat. Jangan hanya bangga dengan prestasi selempang, jangan hanya bangga menginspirasi, tapi jadilah bermanfaat bagi kemajuan banyak orang. Buku ini bisa dijadikan petunjuk bagaimana memaknai Lomba Pemilihan Duta Wisata.”

    (Nursasongko Soegijatno – Pengamat Pageants, www.indonesianpageants.com)

     

    “Saya tidak mengatakan kalau menjadi duta wisata itu bisa mengubah hidup, apalagi menjamin terwujudnya kesuksesan. Tapi saya berani berkata jujur bahwa pengalaman darinya merupakan kawah candradimuka untuk personal development yang manfaatnya dapat dirasakan seumur hidup. A well-written book, congratulation Agung!”

    (Yudy Rizard Hakim – Chief Corporate Affairs Officer, PT Bakrieland Development Tbk)

     

    Buku The Ambassador Journey karya Agung ini semakin meneguhkan kontestasi yang menghasilkan para Duta Wisata sebagai ujung tombak promosi pariwisata di level daerah maupun nasional, bukan sekedar menghasilkan figur anak muda yang smart dan charming. Namun sejatinya dalam proses kompetisi dan selama menjalankan peran sebagai duta wisata, melejitkan Adversity Quotient atau tingkat ketahanan seorang manusia dalam menghadapi tantangan dan tekanan (human resilience). Berkembangnya AQ di samping juga IQ dan EQ personal para duta wisata ditambah opportunity memperkaya pengalaman, ilmu, soft skill serta networking. Pada kenyataannya membentuk para pribadi yang sukses seperti figur-figur yang ditampilkan oleh penulis dalam buku ini. Selamat membaca dan menyelami sosok-sosok inspiratif dalam The Ambassador Journey!

    (Arief Rahman, ST, MM – Board of Policy, East Java Tourism Promotion Board, CEO LensaIndonesia.com)

     

    “Menjadi duta wisata sama sekali tidak identik dengan wajah dan penampilan luar. Menjadi brand ambassador sesungguhnya-lah duta wisata itu, dengan tingkatan berbeda-beda, misalnya daerah hingga negara bahkan internasional. Buku ini membuktikan bagaimana sepak terjang para mantan duta wisata berkiprah di berbagai bidang ilmu dan terjun ke masyarakat, tidak hanya untuk mewujudkan cita-cita pribadinya namun juga pengabdian bagi nusa bangsa. Buku yang lugas, menarik dan layak mengisi perpustakan pribadi anda di rumah dan kantor.”

    (Fessy Farizqoh Alwi SH MKn – Notaris Jakarta/Mantan Wartawan Televisi-News Anchor)

     

    “Seorang duta wisata berkiprah bukan karena gelar yang diperoleh akan tetapi dari niatannya sendiri. Saya percaya bahwa latar belakang budaya dan asal usul tidak menentukan siapa jati diri kita, tapi keinginan dan ketulusan kita dalam aksi nyatalah yang menunjukan siapa kita sebenarnya. Perlu diingat bahwa ‘pengabdian berbicara lebih dari pada sekedar gelar’.”

    (Andre Wijaya Binarto, S.I.Kom, M.I.Kom – Marketing Manager PT Pundi Kencana, Food Stylist & Food Photographer)

     

    “Menjadi duta wisata merupakan awal dari perjalanan karir kehidupan saya. Saya banyak belajar dari pengalaman menjadi seorang duta wisata yang saya gunakan dalam mengatur perencanaan hidup saya hingga sekarang. Duta wisata jadi langkah awal saya mengabdi ke masyarakat karena ilmu-ilmu yang saya dapat di sekolah dan kampus, bisa saya aplikasikan selama bertugas menjadi duta wisata. Saya banyak belajar  untuk memberikan apa yang saya miliki untuk orang lain, hingga saya percaya, dengan banyak memberi kita akan mendapat lebih banyak dari yang kita miliki.”

    (Hijrah Saputra, ST  – Agam Provinsi Aceh 2008/Owner Piyoh Design/Co-founder The Leader)

     

    “Kendati belum bisa menjalankan tugas secara maksimal ketika menjabat, masa bhakti sebagai duta wisata merupakan salah satu  life-changing experiences. Buku karya Agung ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapa saja yang tertarik menjadi The Next Tourism Ambassador!”

    (Isabella Fawzi, News Presenter)

     

    “Dari dulu saya dan teman-teman agak risih ketika dianggap hanya sebagai ‘pajangan’. Mungkin masyarakat hanya menilai kiprah duta wisata dari satu sisi. Para public figure yang diulas dalam buku ini agaknya dapat mewakili kualitas jebolan para duta wisata.”

    (Doddy Matondang)

     

    “Lahirnya buku ini setidaknya menginspirasi pemuda pada umumnya dan duta wisata pada khususnya yang sarat akan prestasi. Terlebih pasca ‘lepas slempang’, ‘mahkota’, dan ‘baju kebesaran’. Setiap dari kita mempunyai perjalanan dan kemana arah hendak dilanjutkan. Mimpi tak hanya cukup sampai menjadi duta wisata, tapi hanya sebagian pendek ceerita  perjalanan cerita ke anak cucu kita kelak. Yang terpenting bangun networking saat menjabat, lalu memanfaatkannya ke depan untuk hal-hal yang positif. Bravo duta wisata dan budaya Indonesia. Kita adalah ‘spokesperson’ dunia pariwisata Indonesia.”

    (Bachtiar Jamaluddin – CEO sewabusanabetawi.com)

     

    “Duta wisata bukan berarti pemanis maupun pajangan berwajah tampan dan cantik. Namun sebagai duta wisata yang menjadi mitra pemerintah bahkan Agent of Change dalam pemajuan industri pariwisata di Indonesia. Buku ini mampu memberikan tips  dan trik menjadi the Next Tourism Ambassador, mewakili pengalaman dan prestasi terbaik yang sudah kami dapatkan saat menjabat maupun purna. Karena bagi saya pribadi,  menjadi duta wisata itu “setahun masa bhakti, selamanya menginspirasi. 2 jempol untuk Bang Agung yang telah berani mendeskripsikan semuanya dalam buku ini.”

    (Riska Ega Wardani – Dyah Kabupaten Magetan Tahun 2009)

     

    Persembahan

    Buku sederhana ini saya persembahkan untuk bangsa Indonesia, khususnya para pemangku kepentingan di sektor pariwisata. Penulis berterima kasih sebesar-besarnya kepada para alumni duta wisata dari Sabang sampai Merauke  yang telah berpartisipasi dalam Survei Duta Wisata Indonesia Tahun 2015-2017. Juga kepada seluruh informan yang berkenan meluangkan waktunya dalam penulisan buku ini. Di antaranya:

     

    1. Agam Inong Provinsi Aceh
    2. Jaka Dara Provinsi Sumatera Utara
    3. Bujang Dara Provinsi Riau
    4. Bujang Gadis Provinsi Jambi
    5. Bujang Gadis Provinsi Sumatera Selatan
    6. Bujang Dayang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
    7. Muli Mekhanai Provinsi Lampung
    8. Bujang Gadis Provinsi Bengkulu
    9. Udi Uni Sumatera Barat
    10. Abang None Provinsi DKI Jakarta
    11. Kang Nong Provinsi Banten
    12. Mojang Jajaka Provinsi Jawa Barat
    13. Raka Raki Provinsi Jawa Timur
    14. Mas Mbak Provinsi Jawa Tengah
    15. Dimas Diajeng Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
    16. Jegeg Bagus Provinsi Bali
    17. Nanang Galuh Provinsi Kalimantan Selatan
    18. Duta Wisata Provinsi Kalimantan Timur
    19. Jagau Bawi Nyai Provinsi Kalimantan Tengah
    20. Bujang Dare Khatulistiwa Provinsi Kalimantan Barat
    21. Nyong Noni Provinsi Sulawesi Utara
    22. Dara Daeng Provinsi Sulawesi Selatan
    23. Randa Kalibasa Provinsi Sulawesi Tengah
    24. Uti No’u Provinsi Gorontalo
    25. Jojaro Mongare Provinsi Maluku
    26. Putra Putri Duta Wisata Provinsi Papua
    27. Putra Putri Duta Wisata Provinsi Papua Barat
    28. Kang Nong Kabupaten Tangerang
    29. Kang Nong Kota Tangerang
    30. Mojang Jajaka Kota Bandung
    31. Gus Yuk Kota Mojokerto
    32. Mas Mbak Kota Salatiga
    33. Mas Mbak Kabupaten Cilacap
    34. Mbas Mbak Kabupaten Klaten
    35. Mojang Jajaka Kabupaten Kuningan
    36. Mas Mbak Kabupaten Grobogan
    37. Kacong Cebbing Kabupaten Sampang
    38. Cung Ndhuk Kabupaten Tuban
    39. Unting Manjan Kota Tarakan
    40. Denok Kenang Kota Semarang
    41. Kangmas Diajeng Kota Blitar
    42. Mojang Jajaka Kabupaten Bandung Barat
    43. Nanang Galuh Kabupaten Hulu Sungai Tengah
    44. Agam Inong Kota Banda Aceh
    45. Bujang Gadis Kota Bengkulu
    46. Atak Diang Kabupaten Barito Kuala
    47. Mas Mbak Kabupaten Semarang
    48. Kakang Mbakyu Kota Malang
    49. Abang Cut Kota Sabang
    50. Putra Putri Pariwisata Kabupaten Kubu Raya
    51. Abang None Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
    52. Mojang Jajaka Kota Bogor
    53. Mojang Jajaka Kabupaten Bogor
    54. Beru Bujang Gayo Kabupaten Bener Meriah
    55. Cak Yuk Kabupaten Gresik
    56. Cak Yuk Kabupaten Pasuruan
    57. Abang Mpok Kota Depok
    58. Putra Putri Duta Wisata Kabupaten Kutai Timur
    59. Mojang Jajaka Kabupaten Sukabumi
    60. Kakang Ayu Kabupaten Probolinggo
    61. Kang Yuk Kota Probolinggo
    62. Jaka Dara Kota Medan
    63. Agai Ulai Kabupaten Berau
    64. Mojang Jajaka Kabupaten Tasikmalaya
    65. Gus Yuk Kabupaten Mojokerto
    66. Putra Putri Pariwisata Kabupaten Barito Utara
    67. Mojang Jajaka Kabupaten Indramayu
    68. Dimas Diajeng Kabupaten Sleman
    69. Bujang Gadis Kabupaten Bengkulu Selatan
    70. Bagus Dyah Kabupaten Magetan
    71. Bujang Gadis Kabupaten Kaur
    72. Putra Putri Pasola Kabupaten Sumba Barat
    73. Putra Putri Mahakam Kota Balikpapan
    74. Cak Ning Kota Surabaya
    75. Abang None Kota Administrasi Jakarta Barat
    76. Abang None Kota Administrasi Jakarta Utara
    77. Mas Mbak Kota Magelang
    78. Abang None Kota Administrasi Jakarta Selatan
    79. Kang Nong Kota Tangerang Selatan
    80. Kaka Teteh Kabupaten Pandeglang
    81. Abang None Kota Administrasi Jakarta Pusat
    82. Abang None Kota Administrasi Jakarta Timur
    83. Dimas Diajeng Kota Yogyakarta
    84. Bujang Dare Kota Pontianak
    85. Bujang Dayang Kota Pangkalpinang
    86. Kacong Jebbing Kabupaten Bondowoso
    87. Uda Uni Kota Padang
    88. Dara Daeng Kabupaten Takalar
    89. Dimas Diajeng Kabupaten Bantul
    90. Bujang Gadis Kota Jambi
    91. Kakang Sendhuk Kabupaten Ponorogo
    92. Kakang Mbakyu Kota Madiun
    93. Dara Daeng Kota Makassar
    94. Putra Putri Kota Surakarta
    95. Nyong Nona Kota Manado
    96. Teruna Teruni Kota Denpasar
    97. Kacong Cebbing Kabupaten Pamekasan
    98. Bujang Semulen Kabupaten Kapahiang

     

    Berapa harganya? 

    Rp 100.000,- untuk versi cetak (di luar ongkos kirim)

    Rp 55.000,- untuk versi digital (beli di sini)

     

    Mau Pesan? 

    Bisa sekarang juga. Klik ini atau melalui pranala  bit.ly/BeliBukuDutaWisata

     

    Masih Kepo? 

    Mampir saja ke laman ini bit.ly/DutaWisata atau klik ini

     

     

    Grand  +62 852 3050 4735 (Whatsapp/Telegram)

    Krishna +62-819-0861-2832 (SMS/Phone)

  • Millennial Berdaya Sebagai “Sokoguru” Indonesia Emas

    Belum lama ini saya berjumpa dengan tiga teman kuliah saya. Sebut saja namanya Charles, Waluyo, dan Ahmad. Kami pernah menimba ilmu di jurusan dan perguruan tinggi yang berbeda di Ibukota.

    Charles merupakan Sarjana Ekonomi. Sejak kuliah sudah rajin berjualan online. Aktif di komunitas startup, UMKM, dan wirausahawan muda. Sebelum wisuda, penghasilan pasifnya sudah mencapai ratusan juta Rupiah. Di usia yang belum genap 28 tahun, saat ini ia telah memiliki tiga perusahaan berbasis teknologi di bidang yang paling dicintainya – kuliner. Di sepanjang sejarah hidupnya, Charles tak pernah menjadi pekerja untuk orang lain. Meskipun demikian, ia belajar memahami perilaku manusia ketika aktif sebagai agen asuransi dan bisnis pemasaran jaringan.

    Waluyo merupakan Sarjana Teknik Mesin. Di sepanjang sepuluh semester masa studinya, ia aktif sekali di dunia organisasi, baik di dalam maupun luar kampus. Sempat mencalonkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa meski harus puas sebagai Runner Up. Kini bekerja sebagai seorang Manajer di salah satu perusahaan startup asal Singapura. Di waktu luang, ia menjadi konsultan lepas, pembicara di isu kepemudaan, dan blogger. Tidak hanya itu, ia begitu aktif di bidang sosial. Dalam waktu dekat, ia menelurkan Social Enterprise yang fokus dalam bidang kemaritiman.

    Ahmad merupakan Sarjana Ilmu Komunikasi. Di masa kuliahnya tidak aktif di organisasi. Tidak pula suka berdagang. Namun, ia merupakan “Social Butterfly” sejati. Rajanya pesta. Pandai “menaklukkan hati” orang. Tak hayal temannya beragam dari kalangan crème de la crème hingga kasta paria. Kini bekerja sebagai Publicist, Model, dan Pembawa Acara Berita di salah satu televisi papan atas tanah air. Penghasilannya sebagai Self-Employee jika dihitung-hitung tidak kalah denga Charles yang notabennya sebagai pengusaha dan Waluyo yang bekerja di perusahaan multinasional.

    Charles, Waluyo, dan Ahmad merupakan potret dari millennial Indonesia. Sebuah generasi yang belakangan menjadi bahan diskusi di mana-mana. Dari kedai kopi “emperan” hingga hotel bintang lima. Sebuah generasi yang lahir antara tahun 1980an sampai 2000an.

    Kajian mengenai millennial memang baru “boom” lima tahun terakhir. Di episentrum peradaban modern Amerika Serikat misalnya. Universitas Berkley bersama Boston Consulting Group pernah mengkaji bertema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Sementara itu Pew Research Center di tahun 2010 merilis sebuah laporan riset yang bertajuk Millennials: A Potrait of Generation Next.

    Di Indonesia sendiri, studi mengenai millennial mulai terdengar riuh rendah di kalangan bisnis. Khususnya di komunitas praktisi sumber daya manusia dan konsultan pemasaran.

    Alvara Research Center misalnya. Pernah menulis buku berjudul Millennial Nusantara yang mengupas tuntas mengenai generasi yang dipastikan akan menentukan masa depan Republik tercinta. Karya yang ditulis rekan saya Cak Hasanuddin Ali dan Mas Lilik Purwadi itu intinya memotret Gen Y dari A ke Z dari sudut pandang beragam. Namun pesannya sederhana saja. Millennial memiliki tiga ciri yang begitu kuat yaitu Connected, Creative, dan Confidence. Dari perspektif kualitatif mungkin data yang berhasil digali di lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam terkesan biasa saja. Namun dari perspektif kuantitatif, survei yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan menggunakan kaidah statistik yang dapat dipertanggungjawabkan, menjadi faktor utama mengapa siapapun yang ingin mengenal millennial di negeri ini harus membacanya.

    Buku berbasis riset lain yang “mencuri perhatian” publik ialah Generasi Langgas: Millennials Indonesia karangan Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab. Dalam salah satu bab secara cukup rinci dipaparkan karakter Gen Y (langgas) yang merupakan hasil penelitian Muhammad Faisal PhD dan Tara Talita MSc dari biro riset Youth Laboratory Indonesia di lima kota populer: Jakarta, Medan, Bandung, Makassar dan Malang. Karakter yang dimaksud ialah suka “ngumpul” (collective), cerdas menyesuaikan tren (customization), proaktif dalam komunitas yang disukai (community), dekat dengan orang tua (close to family), terbuka dalam berinteraksi dengan generasi lain (change over generation), suka menginspirasi dan diinspirasi (chasing inspiration), sangat terhubung dengan dunia luar (connected), dan sangat percaya diri (confidence).

    Saya langsung teringat dengan pidato Presiden Jokowi belum lama ini. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah itu menegaskan bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat pada tahun 2045 – tepat seabad setelah kemerdekaan RI.

    Prediksi di atas hanya bisa direguk jika didukung stabilitas politik, keamanan, harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi dunia. Sebuah analisis yang merupakan hasil kajian Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.

    Berbagai temuan think tank papan atas dunia memang menempatkan Indonesia dalam salah satu pusaran utama ekonomi global di tahun 2045. ”Ramalan prestasi” tersebut dapat dicapai dengan empat modal. Pertama, penduduk yang mencapai sekitar 300 juta. Kedua, pertumbuhan ekonomi antara 5-6 persen. Ketiga, produk domestik bruto (PDB) mencapai USD 9,1 triliun. Terakhir pendapatan perkapita USD 29.000.

    Dalam kesempatan yang sama, Jokowi berpesan kepada anak-anak muda untuk masuk ke dunia jasa. Karena itu merupakan salah satu industri yang paling menjanjikan di masa depan. Sebuah ranah yang memang lekat dengan dunia “generasi zaman now”. Sebuah ceruk yang berkaitan dengan rantai pasok ritel, media, kuliner, ecommerce, pariwisata, dan gaya hidup.

    Kabar baiknya, bonus demografi Indonesia akan memuncak antara tahun 2025-2035. Sebuah masa yang mungkin akan sulit terulang lagi mengingat populasi di fase itu usia produktif lebih banyak dari usia non-produktif. Sebuah periode yang harus dimaksimalkan oleh semua pihak untuk mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. Ketika membludaknya tenaga kerja produktif menjadi “sokoguru” dalam menggenjot roda ekonomi.

    Memimpikan “Indonesia Emas”di tahun 2045 mungkin terdengar mengada- ada. Yang pasti, generasi millennial yang berdaya ialah salah satu penentu bisa atau tidaknya mengantarkan negeri ini dalam era kejayaan. Saatnya mengenali generasi langgas lebih dekat.

     

    *) Dimuat pertama kali di Inti Pesan, 4 April 2018

  • Mengapa Indonesia Belum “Menelurkan” Inovator Kelas Dunia?

    Apa yang ada di benak kita jika mendengar kata inovator? Mungkin bayangan kita langsung tertuju kepada sosok setenar mendiang Steve Jobs, Bill Gates, Albert Einstein, Thomas Alva Edison atau Stephen Hawking yang baru saja tutup usia.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inovator diartagungikan sebagai orang yang memperkenalkan gagasan, metode, dan sebagainya yang baru. Maksudnya, mereka ialah orang yang mampu menerjemahkan visi menjadi produk atau layanan yang belum pernah ada. Tidak terhenti dalam tataran menemukan, mereka piawai dalam membayangkan apapun yang telah ada. Melihat, mempertanyakan, mengkritisi lagi hal-hal yang sering kali tak pernah dipikirkan oleh orang kebanyakan.

    Indonesia sebenarnya merupakan gudangnya orang-orang genius. Kita mengenal Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie yang telah mematenkan berderet penemuannya di ranah kedirgantaraan. Ada Bapak Warsito P. Taruno yang diakui di negeri orang karena telah mampu merancang mesin pembunuh kanker. Ada Bung Randall Hartolaksono yang dikenal dunia industri karena menemukan bahan anti api dan panas dari singkong. Ada Mas Khoirul Anwar,sang pemilik paten teknologi broadband yang menjadi standar internasional untuk sistem teresterial maupun satelit. Ada Cak Muhammad Nurhada yang menemukan kompor ramah lingkungan. Dan berderet inovator lain yang mungkin belum pernah saya dan Anda dengar.

    Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di jagad raya, “di atas kertas” Indonesia berpeluang besar melahirkan inovator besar. Dengan segala potensi yang dimiliki, putera-puteri terbaik negeri ini sejatinya bisa bersaing dengan anak-anak cerdas kelahiran Amerika Utara, Eropa Barat, maupun Jepang.

    Mungkin Anda sekarang bertanya-tanya, mengapa bumi nusantara belum “menelurkan” inovator kelas dunia? Kita tentu bisa menjawab dari berbagai perspektif. Namun jika dilihat dari perspektif sumber daya manusia, bisa kita kerucutkan menjadi beberapa hal.

    Pertama, pendidikan negeri ini lebih mendorong pelajar untuk menjadi “penghafal”. Memiliki daya ingat tajam sebenarnya sah-sah saja. Namun, apa jadinya jika bertahun-tahun secara sistematis ditekan untuk hanya menghafal?

    Inovator besar hanya akan lahir dari pendidikan yang merangsang anak didik untuk berani mengkritisi. Inovator besar hanya akan datang dari lingkungan yang menghargai kecerdasan majemuk – bukan kecerdasan dari satu atau dua aspek saja. Inovator besar hanya akan muncul dari kultur yang memancing daya analitis dan kreatifitas.

    Menjadi inovatif berarti berani mengerjakan hal-hal berbeda yang belum pernah dilakukan sepenuhnya. Itu mengapa inovator tampil sebagai orang yang mampu membawa gagasan dan menciptakan lingkungan yang memungkinkannya melawan status quo. Mereka sulit muncul dari kultur yang mengekang keterbukaan dan kebebasan.

    Kedua, sistem pendidikan secara umum belum berorientasi menghasilkan inovator dan kreator. Ini mungkin sudah sangat terdengar klise. Namun, faktanya memang masih demikian. Pendidikan menengah dan tinggi kita masih diharapkan untuk cepat-cepat mencari uang atau mendapatkan pekerjaan – bukan sebaliknya. Ini didukung oleh budaya konsumtif masyarakat yang mungkin tiada duanya di dunia. Bukan disetir gairah untuk menciptakan nilai tambah atau menemukan solusi dari masalah alam semesta dan seisinya.

    Faktanya, di negara-negara yang menghasilkan banyak inovator, lulusan pendidikan menengah dan tinggi didorong untuk menjadi pemecah masalah. Itu artinya, mereka digembleng untuk mengidentifikasi masalah-masalah sederhana hingga kompleks yang ada di sekitar kita. Untuk selanjutnya, diajak untuk membuat produk atau layanan yang lebih baik, lebih efisien, lebih efektif, lebih terjangkau, atau lebih praktis.

    Seorang kreator (pencipta) kecil kemungkinannya akan lahir dari kultur yang nihil apresiasi terhadap kreatifitas dan inovasi. Seorang kreator tidak akan lahir dari sistem pendidikan yang hanya bisa menghukum, menakut-nakuti, dan mengekang imaginasi. Seorang inovator hakekatnya akan sulit berkembang dalam iklim masyarakat yang pola pikirnya nir-keberlimpahan.

    Ketiga, belum kuatnya sinergitas ABCG yakni antara kaum akademia (academic), kalangan bisnis (business), masyarakat sipil (civil society) dengan pemerintah (government). Yang terjadi selama ini, para peneliti di kampus-kampus kita memang telah memulai membuat inovasi. Beberapa temuannya telah diapresiasi pemerintah hingga diterapkan dalam dunia industri. Namun, sebagian besar akademisi kita sayangnya masih terbelit pada urusan administrasi, terlalu banyak jam mengajar, dan sedikit waktu untuk riset yang aplikatif. Di sisi lain, kurikulum pendidikan tinggi kita bisa dikatakan lambat dalam mengikuti cepatnya perkembangan zaman. Akibatnya, boro-boro melahirkan inovator. Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh di kampus pun masih membuat perusahaan enggan merekrut. Link & Match masih benar-benar lemah.

    Saya yakin masih ada berderet faktor yang menyebabkan belum lahirnya inovator kelas dunia dari tanah air. Sekarang, bukan saatnya untuk menyalahkan pemerintah, perguruan tinggi, maupun kalangan bisnis. Bukan waktunya lagi untuk gontok-gontokkan untuk mencari-cari bara konflik atas nama perbedaan. Karena keragaman diciptakan Tuhan untuk menjadi berkah, bukan kutukan.

    Yang perlu kita ingat, inovator tidak akan lahir dalam kevakuman. Mereka adalah orang-orang yang menghargani nilai tambah, cekatan dalam membangun hubungan dan membesarkan organisasi.

    Inovator sejati menghargai keragaman. Karena mereka melihatnya dari berderet sudut pandang yang merangkul kompleksnya tantangan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi.

    Inovator tidak lahir dari budaya yang tidak menghargai kerja keras, disiplin, dan keberanian mengambil resiko (yang terukur). Mereka muncul sebagai orang-orang yang tidak takut mendobrak norma lama dan berpikir tidak konvensional yang membuatnya dianggap “gila”.

    Sebagai anak bangsa, saya optimis akan lahir inovator-inovator dari bumi Indonesia yang sejalan dengan upaya pemerintah mendayagunakan bonus demografi. Ditopang oleh millennial dan Gen Z dalam menyongsong era keemasan bangsa di tahun 2045 – seabad pasca kemerdekaan. Sejalan dengan pernyataan pengusaha sekaligus aktivis politik kelahiran Jerman King Dotcom bahwa, “When you create something that is popular, when you create a solution, you’re an innovator, and you solve problems for people and they like what you have to offer, of course you automatically make money.”

     

    Artikel ini pertama kali dimuat di Inti Pesan, 22 Maret 2018 

  • Mengapa Lulusan Lokal Sulit Bersaing Di Pasar Kerja Global?

    Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan dengan pranala ini

     

    Berbicara mengenai globalisasi, sepertinya terdengar klise. Meskipun demikian, mau tidak mau, suka tidak suka, kita sedang dan akan terus bersinggungan dengannya. Terlebih lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin tak terbendung. Sehingga benar-benar makin mengukuhkan “desa global” yang kian terhubung.
    Globalisasi memang mempengaruhi segala sendi kehidupan. Dalam perspektif sumber daya manusia, ia memungkinkan terjadinya pergerakan arus tenaga kerja lintas batas. Menembus sekat-sekat administratif yang bernama negara.
    Pesatnya pertumbuhan perusahaan multinasional memang sangat mencengangkan dalam satu dekade terakhir. Kenyataan tersebut diikuti dengan makin sengitnya persaingan talent untuk menduduki posisi-posisi strategis.
    Kini, kita dengan begitu mudah menemukan warga negara asing yang mencari penghidupan di tanah air. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, Denpasar dan Semarang misalnya. Profesional dari India, Tiongkok Filipina, Australia, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, hingga Inggris berseliweran. Sebaliknya, dewasa ini makin banyak saudara kita yang menjadi profesional di negara lain. Khususnya Singapura, Kuala Lumpur, Dubai, Doha, Sydney, Bangkok, dan Melbourne.
    Lantas, seberapa baik daya saing lulusan perguruan tinggi lokal kita dalam pasar kerja global? Jujur, saya belum menemukan satu riset komprehensif yang membahas rinci dari A ke Z. Namun berdasarkan gabungan temuan riset yang dilakukan oleh beberapa institusi, dapat disarikan beberapa poin berikut.
    Masih Rendahnya Kemampuan Berbahasa Asing
    Faktor ini yang paling mencolok. Mungkin bagi para lulusan dari kota-kota besar sudah cukup baik kemampuan berbahasa asingnya. Namun, jika diambil rata-rata secara nasional, kemampuan berbahasa internasional lulusan perguruan tinggi kita masih lemah. Kita bisa belajar dari tetangga kita Filipina dan India – dua negara yang menjadi penyumbang diaspora terbesar di dunia. Keterampilan berbahasa Inggris masyarakat di dunia negara tersebut terbukti menjadi daya tawar yang tak bisa diremehkan.
    Memang, belakangan pasar juga makin membutuhkan lulusan yang fasih berbahasa Mandarin, Korea, atau Jepang. Namun, kemampuan berbahasa Inggris masih menjadi syarat utama. Lebih disarankan lagi fasih berbahasa Inggris dan minimal satu bahasa lain, khususnya Mandarin.
    Lemahnya Kemampuan Memecahkan Masalah
    Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan kita masih banyak masalah. Jika dirunut ke akarnya, kita tidak serta-merta menyalahkan perguruan tinggi. Namun, bisa menengok dari Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak.
    Pendidikan kita masih menuntut anak didik untuk menghafal, menghafal, dan menghafal. Bukan melatih berpikir kritis, kreatif, atau memecahkan masalah. Di luar itu, dari pendidikan dasar anak-anak didik kita dituntut untuk mengikuti semua pelajaran yang kadang-kadang tidak dibutuhkan di pasar kerja. Apa mungkin negara ini ingin mencetak generalis sebanyak-banyaknya?
    Kendati demikian, belakangan sudah ada pembenahan kurikulum di berbagai jenjang pendidikan. Kurikulum baru diharapkan dapat merangsang pembelajaran yang lebih bersifat student-centric, mengasah kreatifitas, kerjasama, dan memecahkan masalah. Tentu ini menjadi “angin segar”. Semoga saja. Asal jangan sampai kurikulum terus berubah mengikuti perubahan Menteri atau kabinet.
    Adanya Skill Gap
    Salah satu kemajuan suatu negara ditentukan oleh solidnya koordinasi antar pemangku kepentingan. Tidak lain ialah ABCG yang tidak lain merupakan A (akademik/institusi pendidikan), B (komunitas bisnis/perusahaan/industri), C (masyarakat sipil), dan G (pemerintah). Dalam kacamata pasar kerja Indonesia, masalah paling mendasarnya ialah tidak adanya kesesuaian antara keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha dengan kompetensi lulusan perguruan tinggi.
    Pendek kata, masih tingginya kesenjangan keterampilan (skill gap) antara yang dibutuhkan pasar (demand) dengan “pasokan” (supply) yang tidak lain ialah para Sarjana/Diploma. Itu mengapa jutaan anak muda di berbagai kota masih menganggur sementara itu para praktisi sumber daya manusia berteriak karena sulit mencari kandidat yang cocok.
    Yang paling konstektual, bisa kita lihat dari geliat perusahaan rintisan alias startup. Memang, perkembangan lima tahun terakhir cukup menggembirakan. Namun, konon para investor maupun co-founder dari startup tersebut kesulitan mencari talent yang sesuai dengan “standar”. Tak mengherankan, bajak-membajak talent begitu sengit. Tak mengherankan, banyak di antara startup yang terpaksa merekrut para insinyur dari India, Filipina atau Singapura untuk memenuhi kebutuhan organisasinya.

     
    Berorientasi Ke Dalam
    Faktor terakhir yang tak bisa remehkan adalah kenyataan dari mental bangsa ini yang terlalu berorientasi ke dalam (inward looking). Tak terkecuali dengan lulusan perguruan tinggi lokal kita.
    Mungkin sebagian besar dari kita terlalu nyaman dengan negeri sendiri. Sebagian lainnya menganggap para profesional berkeahlian tinggi yang bekerja di luar negeri tidak nasionalis. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa talent lokal lebih baik di “kandang sendiri” saja karena masih banyak dibutuhkan.
    Tidak ada yang benar atau salah dari mental inward looking ini. Yang pasti, kita harus ingat ada puluhan ribu profesional dari negara lain yang menyesaki perkantoran di kota-kota besar tanah air. Mereka tidak hanya menduduki posisi direksi. Namun banyak yang menempati posisi-posisi yang seharusnya bisa diisi oleh lulusan lokal seperti manajer, pengawas bahkan officer.
    Ketika kita terlena dengan orientasi ke dalam negeri, negara-negara tetangga kita banyak yang sebaliknya. Mereka outward looking. Pemerintah Filipina sudah puluhan tahun menggenjot kemampuan berbahasa Inggris agar warganya siap menaklukkan dunia. India dari dulu sudah ada kementerian khusus yang menangani diaspora. Di Vietnam maupun Thailand kursus bahasa Indonesia makin diminati warga karena mereka tahu nusantara ini pasar yang menggiurkan. Sementara itu pemerintah Malaysia telah memiliki cetak biru sumber daya manusia yang kukuh untuk memenangkan persaingan global.
    Bagaimana dengan lulusan perguruan tinggi kita? Sejauh mana mereka berpikir untuk goes global? Sebaik apa mereka “memantaskan diri”?
    Permasalahan dewasa ini memang bukan perkara hitam dan putih. Tidak bijak juga saling menyalahkan dan gontok-gontokan. Yang pasti, saatnya sinergi antar pemangku kepentingan direkatkan. Yang lebih penting lagi, saatnya negeri ini memiliki cetak biru, peta jalan dan rencana aksi yang matang dalam pembangunan sumber daya manusia.
    Masalahnya bukan mampu atau tidak mampu. Tapi mau atau tidak.

  • Mengembangkan Diri & Berbagi, Why Not?

    Ehmmm. Ini sebenarnya merupakan nukilan wawancara saya dengan C2Live.com. Pranala aslinya di sini atau https://www.c2live.com/mengembangkan-diri-lewat-blog-bersama-grand/

    ***

    Menjadi seorang bloger, apakah yang sebenarnya ingin kamu capai? Tentu tiap bloger memiliki tujuan masing-masing yang ingin diraih. Namun, bisa dikatakan bahwa tiap bloger memiliki satu kesamaan dalam meraih tujuan tersebut, yakni menulis sajian konten agar informasi yang disampaikan bisa berguna bagi orang-orang yang membacanya.

    Akan tetapi, kamu pastinya setuju dong, kalau seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, tuntutan untuk mencapai berbagai tujuan dalam hidup pun bertambah? Sama halnya denggan blogging juga, nih. Kian hari, tantangan yang kamu hadapi sebagai bloger pun terus berevolusi. Karenanya, kalau kamu tetap ingin memenuhi tujuan-tujuanmu sebagai bloger, kamu harus terus mengembangkan dan mengasah diri.

    Hmm, kedengarannya nggak mudah, ya? Jangan khawatir! Agung Setiyo Wibowo punya cerita inspiratif dan cara-cara jitu yang bisa kamu manfaatkan untuk memoles dirimu agar bisa menjadi bloger yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Penasaran? Yuk, langsung aja simak ulasan kisahnya di kelanjutan artikel ini!

    Sekilas tentang Profil Agung Setiyo Wibowo

    Grand-Profil

    Mungkin banyak dari kamu yang sudah mengenal figur yang lahir dan besar di Magetan, Jawa Timur ini. Dengan sosoknya yang berwibawa, nggak heran kalau Agung Setiyo Wibowo punya nama panggilan “Grand”. Nggak cuma panggilannya saja, ternyata tujuan hidupnya juga grand, lho!

    Ia mengungkapkan bahwa tujuan hidup utamanya adalah untuk mencari ridho Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu hendak dilakukannya dengan menjadi pribadi yang bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain sesuai dengan renjana, minat, dan panggilan hidup.

    Lebih spesifik lagi, ia ingin membantu siapa saja untuk menemukan jati diri dan megeluarkan potensi terbaik dari dalam diri mereka. Oleh karena itu, selain menjadi konsultan manajemen, penulis, dan pembicara publik yang aktif berkarya di Jakarta, Grand juga memutuskan untuk menjadi Self-Discovery Coach.

    Karena saya percaya  self-discovery merupakan pintu gerbang kebahagiaan dan keberhasilan. Entah diterjemahkan dalam fortune, fame, power, maupun yang lainnya.

    Melihat pandangannya tersebut, nggak heran walaupun jadwalnya sudah padat dengan menjadi konsultan di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Grand juga masih sering menerima tawaran untuk menjadi pembicara dengan variasi topik yang luas, mulai dari politik, pendidikan, hingga pengembangan sumber daya manusia.

    Seakan masih belum cukup sibuk juga, ia pun juga merupakan co-founder sekaligus chief editor dari Kampusgw.com sejak 2010. Kampusgw.com sendiri merupakan portal pendidikan dan pengembangan diri. Melalui portal ini, Grand telah memberikan berbagai konsultasi, coachingmentoring, dan bimbingan kepada setidaknya 7.000 pemuda dari Sabang sampai Merauke untuk membantu mereka memilik program studi, menentukan perguruan tinggi, hingga menetapkan karier. Yang lebih mencengangkan lagi, semua itu dilakukannya secara cuma-cuma, alias tanpa dipungut biaya! Wah, benar-benar Self-Discovery Coach sejati, ya!

    Di Balik Keputusan untuk Menjadi Bloger

    Di-Balik-Keputusan-Menjadi-Bloger

    Grand mengaku memulai kegiatan blogging-nya sejak masa-masa awal menjalani kuliah jurusan Hubungan Internasional di Univestias Paramadina, tepatnya di tahun 2008. Kala itu, ia masih menggunakan platform tak berbayar karena berbagai faktor, mulai dari nggak rutin update karena semangat belum stabil, hasil tulisan yang random dan nggak terstruktur, fokus yang terpecah dengan kegiatan lain, dan sebagainya.

    Namun, dengan segudang tantangan yang dihadapi, ia terus menulis karena menurutnya hal ini bisa membuahkan berbagai manfaat, terutama sebagai sarana untuk self-healing. Walaupun tulisan bisa ia manfaatkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain hingga mendulang Rupiah bagi diri sendiri, ia mengakui bahwa hal-hal tersebut bukanlah tujuan utamanya. Pasalnya, ia meyakini bahwa lewat menulis, kita bisa meredam kadar stres, menjernihkan pikiran, hingga akhirnya bisa menjadi sarana penyembuhan diri dengan melakukannya dari waktu ke waktu. Inilah motivasi utama yang selalu membakar semangatnya untuk menulis.

    Kegelisahan yang Menghadirkan Manfaat bagi Orang Lain

    Kegelisahan-yang-Menghadirkan-Manfaat-bagi-Orang-Lain

    Kini, keputusannya untuk menjadi bloger dijalani sebagai sebatas hobi. Wajar saja, dengan berbagai kegiatan yang sebegitu padat, mampu mengelola blog secara berkala dari waktu ke waktu saja sudah patut diacungi jempol. Karenanya, topik yang ia bahas pun cukup beragam, tergantung apa yang sedang terlintas di kepalanya, mulai dari seputar hubungan internasional, curhatan pribadi, hingga agama.

    Akan tetapi, sejak 2016, Grand mulai memfokuskan diri pada isu pendidikan dan pengembangan diri. Mengapa? Karena kegelisahan dirinya ada pada ranah itu. Sesuai dengan tujuan hidupnya, Grand ingin kehadirannya di dunia membawa manfaat sebanyak mungkin bagi sesama, dan dua bidang yang saling berkaitan tersebut adalah jalur utama yang ingin ditempuhnya.

    Karena itulah, kini sajian blognya pun terpetakan menjadi tiga poin utama. Pertama, terkait informasi. Grand terbiasa menuliskan info-info yang bermanfaat bagi orang lain, mulai dari tips hingga strategi, baik berasal dari saduran hingga hasil riset sendiri.

    Kedua, tentang edukasi. Untuk soal yang ini, Grand tidak main-main. Sebab, seperti yang sudah kamu ketahui, pendidikan merupakan salah satu concern utama dalam hidupnya.

    Saya tidak pernah menulis artikel yang kontroversial, memancing konflik SARA, maupun gosip murahan. Semua yang saya hasilkan semuanya bersifat edukatif.

    Jadi, Grand nggak pernah menggadaikan tulisan saya hanya untuk mendapatkan uang, meningkatkan traffic pengunjung, atau sekadar mencari ketenaran. Semua ia lakukan karena murni ingin berbagi di bidang yang ia yakini.

    Sedangkan topik yang ketiga adalah inspirasi, sebab Grand memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pengembangan sumber daya manusia. Itulah sebabnya ia seringkali mengorbankan darah, keringat, dan airmata untuk menghasilkan tulisan yang bisa mengubah pola pikir, sikap, mental, hingga perilaku pembaca. Untuk menghasilkan tulisan seperti itu, dibutuhkan riset yang nggak jarang menguras waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang nggak murah.

    Semua hasil temuannya kemudian dikemas menjadi tulisan yang enak dibaca agar dapat menginspirasi dan memotivasi pembaca. Dengan melakukan hal ini, Grand meyakini bahwa dirinya hanyalah penyampai pesan (messenger), dan bukan pesan itu sendiri (message). Hmm, untuk hal sedemikian besar yang sudah dilakukannya, Grand tetap humble, ya?

    Kerja Keras yang Membuahkan Hasil

    Pembicara-Nasional

    Tujuan mulia yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membuat seseorang bersinar pada waktunya. Hal itu pun mungkin juga dirasakan oleh Grand. Karena konten blognya yang inspiratif, pernah suatu kali ia dipanggil menjadi pembicara tingkat nasional dengan ratusan peserta. Dari situ, ia merasakan keajaiban internet yang mampu menghubungkan manusia tanpa sekat-sekat geografis.

    Duta-ASEAN-Blogger

    Nggak cuma itu, kerja keras yang ia tuangkan ke dalam blognya juga membawanya pada kesempatan untuk didaulat menjadi ASEAN Blogger Ambassador. Lebih membanggakan lagi, ia juga pernah diundang secara eksklusif untuk mengikuti ASEAN Summit pada tahun 2011 di Nusa Dua, Bali. Keren, ya! Nggak sembarang orang bisa ikut menghadiri summit yang dihadiri oleh para pemimpin negara dan tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia seperti ini, lho! Kala itu, kebahagiaan seorang Grand sebagai mahasiswa Hubungan Internasional nggak bisa diukur. Pasalnya, apa yang ia pelajari di kelas, akhirnya bisa benar-benar ia praktikkan di dunia nyata. Mengagumkan banget, ya?

    Tips Blogging yang Bisa Kamu Tiru dari Grand

    Tips-Blogging

    Selama ini, Grand mengaku bahwa dirinya nggak memakai tools khusus untuk blogging. Penulisan ia lakukan secara manual. Sedangkan di platform blog, ia hanya mendayagunakan berbagai piranti yang tersedia untuk memaksimalkan interaksi dengan pembaca, SEO, hingga desain.

    Tapi, apa yang membuat dirinya menjadi pribadi bloger yang begitu mengagumkan? Buat kamu yang ingin mulai membangun diri menjadi bloger yang lebih baik agar kelak bisa menjadi sosok inspiratif seperti Grand, simak yuk beberapa tips yang kali ini ia bagikan untuk kita!

    1. Banyak Membaca

    Banyak-Membaca

    “Karena nggak ada penulis keren yang nggak doyan baca,” itulah pesan pertama yang disampaikan oleh Grand. Kamu nggak mungkin bisa menyajikan berbagai konten inspiratif yang berguna bagi orang banyak kalau wawasanmu juga nggak luas. Ini-itu nggak tahu, akhirnya nggak ada informasi yang bisa kamu bagikan. Oleh karena itu, banyak-banyaklah membaca. Dengan pengetahuan dan wawasan yang lebih, kamu bisa mengulas dan berbagi informasi yang mungkin nggak tersentuh oleh orang-orang di luar sana.

    2. Rajin-rajinlah Melakukan Riset

    Riset

    Nah, untuk menjalankan tips yang satu ini, tips pertama akan berguna banget. Sebab, kalau kamu nggak banyak tahu, kamu nggak mungkin bisa melakukan sebuah penelitian. Namanya juga meneliti, tentu ada segudang material yang perlu kamu cermati.

    Supaya penelitianmu relevan dengan kepentingan sekitar di masa kini, ikutilah tren yang ada. Carilah sebanyak mungkin informasi, dan temukan di mana ada ceruk untuk penelitian yang belum pernah disentuh orang lain. Dari situ, galilah berbagai data terkait pembahasan yang ingin kamu angkat dan sajikan tulisan yang belum banyak diketahui orang. Dengan demikian, tulisanmu pun akan memiliki kekuatan tersendiri dan lebih menarik di mata orang-orang.

    3. Konsisten akan Topik Tertentu

    Konsisten

    Informasi memang beragam dan mencakup lingkup yang sangat luas. Tapi, sanggupkah kamu meng-cover setiap perkembangan informasi dari segala bidang yang ada di dunia? Nah, supaya pembahasan yang kamu sajikan di blog nggak terkesan cetek dan sepele, tentukanlah topik yang akan menjadi fokus utamamu. Dengan konsisten menggali informasi pada suatu bidang tertentu, kamu akan lebih fokus menemukan hal-hal baru di bidang tersebut, nggak terganggu dengan adanya update informasi lain. Dengan demikian, pembahasanmu akan topik terkait bisa lebih in-depth dan menginspirasi.

    Menurut Grand sendiri, dengan giat menggeluti satu pembahasan tertentu, kamu jadi bisa menghasilkan sesuatu di luar perkiraan. Di era seperti ini, blog menjadi salah satu sarana terbaik untuk menunjukkan keahlian, minat, bakat, dan kekuatan kita. Jadi, hal itu bisa kamu manfaatkan sebagai personal branding tool yang terjangkau tapi membawa dampak nyata.

    4. Jangan Cepat Berpuas Diri

    Jangan-Mudah-Berpuas-Diri

    “Di atas langit masih ada langit,” pepatah ini pun masih dipegang teguh oleh seorang Grand. Karenanya, ia berpesan juga pada kamu-kamu sekalian untuk terus menjadi pribadi yang bertumbuh. Teruslah mengasah pengetahuan, memperbanyak pengalaman, dan mempertajam keahlianmu.

    5. Perluas Network yang Kamu Miliki

    Network

    Kamu pun pasti sadar bahwa network adalah aset utama bagi bloger agar bisa berkembang ke jenjang yang lebih baik. Menjadi penyebar informasi, tujuanmu nggak akan terpenuhi dengan baik kalau lingkup yang bisa kamu jangkau nggak luas. Karenanya, Grand juga meng-encourage kamu untuk terus memperluas koneksi yang kamu miliki.

    Teman-teman harus rajin bersilaturahmi. Karena sekarang adalah era berkolaborasi atau bersinergi, bukan lagi berkompetisi secara mutlak.

    Perjuangan yang Belum Berakhir

    Harapan

    Dengan segala kerja keras yang ditumpahkan dan kerelaan untuk terus berbagi, tentunya ada, dong, hal yang ingin diraih oleh seorang Grand? Soal ini, ia menyampaikan bahwa keinginannya nggak muluk-muluk. Ia hanya berharap untuk terus bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas tulisan. Sebab, hal itu ia yakini sebagai salah satu indikator kebermanfaatannya bagi orang lain.

    Saya yakin, melalui tulisan kita bisa memberikan dampak kepada yang membutuhkan. Menciptakan nilai tambah, melayani, menolong, dan membantu orang-orang yang tepat sesuai dengan renjana dan panggilan hidup.

    Ke depannya, ia juga ingin mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang consultingtrainingcoachingcounseling, dan publishing dalam satu payung yang memiliki jaringan kuat dengan media dan komunitas bloger yang nggak cuma aktif di tingkat nasional, tapi juga di tingkat dunia. Hmm, suatu rencana pemberdayaan bloger yang menarik, nih! Setuju, kan?


    Bagaimana, guys? Sudah terpacu menjadi pribadi bloger yang inspirasional seperti Grand? Apapun tujuan yang ingin kamu rain dengan menjadi bloger, jangan pernah patah semangat, ya! Semua akan berbuah manis pada waktunya. Yang penting, kembangkan diri, dan jadilah pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Kalau kamu terus berusaha melakukannya dengan tulus dan sungguh-sungguh, dijamin kamu akan jadi permata yang berharga bagi orang-orang di sekitarmu seperti Grand suatu saat nanti.

    Dan ingat juga, jangan mudah berhenti berjuang dan berpuas diri! Selalu ada achievement yang bisa kamu raih dari waktu ke waktu, karena tantangan dalam hidup pun juga terus berkembang.