Millennial Berdaya Sebagai “Sokoguru” Indonesia Emas

Belum lama ini saya berjumpa dengan tiga teman kuliah saya. Sebut saja namanya Charles, Waluyo, dan Ahmad. Kami pernah menimba ilmu di jurusan dan perguruan tinggi yang berbeda di Ibukota.

Charles merupakan Sarjana Ekonomi. Sejak kuliah sudah rajin berjualan online. Aktif di komunitas startup, UMKM, dan wirausahawan muda. Sebelum wisuda, penghasilan pasifnya sudah mencapai ratusan juta Rupiah. Di usia yang belum genap 28 tahun, saat ini ia telah memiliki tiga perusahaan berbasis teknologi di bidang yang paling dicintainya – kuliner. Di sepanjang sejarah hidupnya, Charles tak pernah menjadi pekerja untuk orang lain. Meskipun demikian, ia belajar memahami perilaku manusia ketika aktif sebagai agen asuransi dan bisnis pemasaran jaringan.

Waluyo merupakan Sarjana Teknik Mesin. Di sepanjang sepuluh semester masa studinya, ia aktif sekali di dunia organisasi, baik di dalam maupun luar kampus. Sempat mencalonkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa meski harus puas sebagai Runner Up. Kini bekerja sebagai seorang Manajer di salah satu perusahaan startup asal Singapura. Di waktu luang, ia menjadi konsultan lepas, pembicara di isu kepemudaan, dan blogger. Tidak hanya itu, ia begitu aktif di bidang sosial. Dalam waktu dekat, ia menelurkan Social Enterprise yang fokus dalam bidang kemaritiman.

Ahmad merupakan Sarjana Ilmu Komunikasi. Di masa kuliahnya tidak aktif di organisasi. Tidak pula suka berdagang. Namun, ia merupakan “Social Butterfly” sejati. Rajanya pesta. Pandai “menaklukkan hati” orang. Tak hayal temannya beragam dari kalangan crème de la crème hingga kasta paria. Kini bekerja sebagai Publicist, Model, dan Pembawa Acara Berita di salah satu televisi papan atas tanah air. Penghasilannya sebagai Self-Employee jika dihitung-hitung tidak kalah denga Charles yang notabennya sebagai pengusaha dan Waluyo yang bekerja di perusahaan multinasional.

Charles, Waluyo, dan Ahmad merupakan potret dari millennial Indonesia. Sebuah generasi yang belakangan menjadi bahan diskusi di mana-mana. Dari kedai kopi “emperan” hingga hotel bintang lima. Sebuah generasi yang lahir antara tahun 1980an sampai 2000an.

Kajian mengenai millennial memang baru “boom” lima tahun terakhir. Di episentrum peradaban modern Amerika Serikat misalnya. Universitas Berkley bersama Boston Consulting Group pernah mengkaji bertema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Sementara itu Pew Research Center di tahun 2010 merilis sebuah laporan riset yang bertajuk Millennials: A Potrait of Generation Next.

Di Indonesia sendiri, studi mengenai millennial mulai terdengar riuh rendah di kalangan bisnis. Khususnya di komunitas praktisi sumber daya manusia dan konsultan pemasaran.

Alvara Research Center misalnya. Pernah menulis buku berjudul Millennial Nusantara yang mengupas tuntas mengenai generasi yang dipastikan akan menentukan masa depan Republik tercinta. Karya yang ditulis rekan saya Cak Hasanuddin Ali dan Mas Lilik Purwadi itu intinya memotret Gen Y dari A ke Z dari sudut pandang beragam. Namun pesannya sederhana saja. Millennial memiliki tiga ciri yang begitu kuat yaitu Connected, Creative, dan Confidence. Dari perspektif kualitatif mungkin data yang berhasil digali di lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam terkesan biasa saja. Namun dari perspektif kuantitatif, survei yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan menggunakan kaidah statistik yang dapat dipertanggungjawabkan, menjadi faktor utama mengapa siapapun yang ingin mengenal millennial di negeri ini harus membacanya.

Buku berbasis riset lain yang “mencuri perhatian” publik ialah Generasi Langgas: Millennials Indonesia karangan Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab. Dalam salah satu bab secara cukup rinci dipaparkan karakter Gen Y (langgas) yang merupakan hasil penelitian Muhammad Faisal PhD dan Tara Talita MSc dari biro riset Youth Laboratory Indonesia di lima kota populer: Jakarta, Medan, Bandung, Makassar dan Malang. Karakter yang dimaksud ialah suka “ngumpul” (collective), cerdas menyesuaikan tren (customization), proaktif dalam komunitas yang disukai (community), dekat dengan orang tua (close to family), terbuka dalam berinteraksi dengan generasi lain (change over generation), suka menginspirasi dan diinspirasi (chasing inspiration), sangat terhubung dengan dunia luar (connected), dan sangat percaya diri (confidence).

Saya langsung teringat dengan pidato Presiden Jokowi belum lama ini. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah itu menegaskan bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat pada tahun 2045 – tepat seabad setelah kemerdekaan RI.

Prediksi di atas hanya bisa direguk jika didukung stabilitas politik, keamanan, harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi dunia. Sebuah analisis yang merupakan hasil kajian Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.

Berbagai temuan think tank papan atas dunia memang menempatkan Indonesia dalam salah satu pusaran utama ekonomi global di tahun 2045. ”Ramalan prestasi” tersebut dapat dicapai dengan empat modal. Pertama, penduduk yang mencapai sekitar 300 juta. Kedua, pertumbuhan ekonomi antara 5-6 persen. Ketiga, produk domestik bruto (PDB) mencapai USD 9,1 triliun. Terakhir pendapatan perkapita USD 29.000.

Dalam kesempatan yang sama, Jokowi berpesan kepada anak-anak muda untuk masuk ke dunia jasa. Karena itu merupakan salah satu industri yang paling menjanjikan di masa depan. Sebuah ranah yang memang lekat dengan dunia “generasi zaman now”. Sebuah ceruk yang berkaitan dengan rantai pasok ritel, media, kuliner, ecommerce, pariwisata, dan gaya hidup.

Kabar baiknya, bonus demografi Indonesia akan memuncak antara tahun 2025-2035. Sebuah masa yang mungkin akan sulit terulang lagi mengingat populasi di fase itu usia produktif lebih banyak dari usia non-produktif. Sebuah periode yang harus dimaksimalkan oleh semua pihak untuk mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. Ketika membludaknya tenaga kerja produktif menjadi “sokoguru” dalam menggenjot roda ekonomi.

Memimpikan “Indonesia Emas”di tahun 2045 mungkin terdengar mengada- ada. Yang pasti, generasi millennial yang berdaya ialah salah satu penentu bisa atau tidaknya mengantarkan negeri ini dalam era kejayaan. Saatnya mengenali generasi langgas lebih dekat.

 

*) Dimuat pertama kali di Inti Pesan, 4 April 2018

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply