Author: Agung Wibowo

  • Hukum Tarik-Menarik

    Tuhan telah memang merancang dengan apik suratan takdir kita. Namun bukan berarti kita tidak lagi berupaya.
    Di dunia, manusia memang “cuma” dilahirkan untuk diuji. Kelak, barang siapa yang mampu melewati ujian dengan baik; akan mendapat kebahagiaan abadi. Itupun jika kita saya atau Anda percaya.
    Hukum tarik-menarik ialah salah satu hukum yang mampu menyadarkan kita akan arti ikhtiar. Hukum ini artinya bahwa kita sesungguhnya dapat menarik hal-hal positif maupun sebaliknya menggunakan pikiran dan tindakan. Konon, sejalan dengan teori energi yaitu segala sesuatu terbentuk dari energi. Maksudnya?
    Segala energi yang kita salurkan, pada akhirnya kembali kepada kita. Dengan kata lain, apabila kita memiliki keinginan apapun, kita hanya perlu untuk mengupayakannya.
    Sederhana saja kan? Jika kita ingin menjadi sosok dengan kualitas A, maka pikiran dan tindakan kita harus setara dengan kualitas A. Jika kita mengharapkan A tapi usaha kita hanya berkualitas C, maka hasilnya juga akan berbuah C.
    Hukum ini berlaku untuk segala aspek kehidupan. Dari urusan mencari nafkah, menemukan pasangan hidup, hingga menggapai karier yang kita inginkan.
    Apakah sesederhana demikian? Coba tanyakan saja kepada dirimu sendiri. Jawablah dengan jujur. Karena jika kita masih ingat dengan pelaran Fisika di bangku SD, energi itu bersifat kekal. Artinya, ia hanya berubah-ubah bentuk.
    Saya pun mengamini hal tersebut. Bahwa apa yang saya lalui atau dapati sejauh ini memang sejalan dengan energi yang saya salurkan.
    Kadang-kadang, kesibukan memang memecah kesadaran. Seringkali, masalah demi masalah memang membuat hati kita keruh. Tidak jarang, tekanan demi tekanan hidup membuat jiwa kita gersang.  Jika itu yang terjadi, serahkan saja diri kita kepada Dewata.
    Karena, bukankah semua hanya titipan? Apa yang kita miliki saat ini, tidak lebih dari sekedar ujian. Sehingga, semakin kita “merasa” memiliki, semakin sengsara kita karenanya. Karena kebahagiaan bermula dari melepaskan, tidak ada keterikatan dengan orang, kejadian, atau benda duniawi.
    Lantas, apa yang kita cari? Hukum tarik-menarik setidaknya menjadi pengingat bagi kita semua. Untuk fokus pada hal-hal penting yang mendekatkan diri kita pada-Nya. Dialah sumber kebahagiaan hakiki yang selama ini kita cari-cari.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 September 2019
  • Tepo Seliro

    Tepo seliro. Falsafah Jawa yang satu ini belakangan begitu mencuri perhatian saya. Pasalnya, akhir-akhir ini memiliki pengalaman yang berkaitan dengannya.
    Secara harfiah, tepo seliro bisa diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Artinya, seseorang seyogyanya dapat memahami perasaan orang lain dalam bertindak, berkata atau dalam segala gerak-gerik yang mempermainkan panca indra.
    Sekilas, falsafah ini begitu mudah dilaksanakan. Namun, apakah memang demikian?
    Jawabannya relatif. Di masyarakat yang secara budaya homogen mungkin lebih mudah diterapkan. Karena mereka memiliki nilai-nilai yang kurang lebih sama. Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan yang relatif lebih plural.
    Namun, definisi perkotaan versus pedesaan agaknya belakangan ini mulai bias. Karena geografis bukan serta-merta masalah ruang yang dapat diraba. Namun, lebih cenderung berkaitan dengan pandangan hidup.
    Tidak setiap orang yang tinggal di desa tidak materialistis. Sebaliknya, tidak setiap orang yang tinggal di kota tidak saleh. Ini berlaku untuk semua aspek kehidupan tentunya.
    Seperti yang saya alami sendiri. Lahir dan besar di lingkungan Jawa mataraman yang cukup kental, saya menyaksikan sendiri betapa dahsyatnya proses pergeseran nilai Jawa sebagai imbas globalisasi.
    Tepo seliro yang terlihat begitu sederhana diterapkan oleh masyarakat desa kini tidak sepenuhnya berlaku lagi. Tentunya karena pengaruh media, pendidikan, dan berderet benturan berbalut pengalaman hidup masing-masing insannya.
    Lantas, bagaimana solusinya? Apakah tepo seliro masih bisa dipertahankan ke depannya?
    Tentu, bisa dong. Kuncinya ialah dengan rendah hati mau membuka diri dalam menerima perbedaan kepribadian, karakter, dan budaya orang lain.
    Komunikasi  mungkin bisa menjadi jembatannya. Karena melalui proses inilah pesan dikirim dan diterima.
    Mungkin ada benarnya ungkapan ini. Bahwa, kenyataan tidak lain adalah persepsi yang dipancarkan oleh masing-masing individu. Apa yang Anda maksud sebagai kenyataan belum tentu berlaku bagi saya, dan sebaliknya.
    Lantas, bagaimana dengan praktik tepo seliro tadi? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 2 September 2019
  • Suratan Takdir yang Terlupakan

    Bahagia. Siapa sih yang tak ingin bahagia? Saya rasa semua orang mendambakannya. Dari presiden hingga pemulung, pedagang hingga jenderal, atau penyanyi hingga pemuka agama.
    Sadar atau tidak sadar, segala hal yang kita lakukan saat ini untuk mencapai apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan. Entah bekerja, beribadah, olahraga, berbelanja, jalan-jalan, menolong sesama, membaca atau sekedar istirahat di malam hari.
    Sayangnya, kita senantiasa sibuk untuk mengejar kebahagiaan dari luar diri. Entah uang, jabatan, ketenaran, atau apapun itu namaya.  Sebaliknya, kita sering lupa bahwa yang kita cari selama ini sesungguhnya sudah ada di dalam diri.
    Contohnya sederhana.  Mengapa kegalauan melanda jiwa kita semua? Bukankah segala sesuatu telah tertulis dalam suratan takdir?
    Kita seringkali mencemaskan apa yang belum terjadi. Gelisah dengan stabilitas penghasilan, perangai pasangan, masa depan anak, komentar orang lain tentang kita, hingga hal-hal negatif yang sesungguhnya bisa terjadi. Yang lebih membuat runyam, kita senantiasa membandingkan apa yang dicapai oleh orang lain dengan prestasi diri sendiri.
    Suratan takdir sungguh nyata adanya. Bukankah kita pernah tiba-tiba mendapatkan sesuatu meskipun kita tidak mengharap? Sebaliknya, bukankah kita seringkali tidak mendapatkan apa yang kita inginkan meski telah mati-matian berupaya untuk mendapatkannya?
    Jika segala sesuatu telah dituliskan oleh Dewata, mengapa harus galau?
    Jika segala sesuatu telah digariskan oleh Tuhan dalam rencana besarnya, mengapa kita mesti gundah?
    Jika kunci kebahagiaan sudah ada pada diri kita masing-masing, mengapa jiwa kita tidak kunjung menyadarinya?
    Mungkin, kita baru akan merasa ketika hayat berada pada detik-detik terakhir dikandung raga. Entahlah.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 September 2019
  • Gusti Mboten Sare

    Belum lama  ini hati saya bergetar. Pasalnya, ada begitu banyak perubahan yang saya alami dalam setahun terakhir.
    Lantas, apakah saya takut dengan perubahan? Ah, tidak juga. Justru, saya termasuk tipe orang yang bosan jika mendapati hal yang “itu-itu” saja.
    Perubahan memang tak bisa dihindari dalam hidup ini. Suka-tidak suka, mau-tidak mau kita mesti melewatinya. Dari yang skala mikro hingga makro.
    Perubahan tak hanya dalam lingkup pekerjaan atau bisnis. Namun, juga dalam segala aspek kehidupan. Seperti yang baru-baru ini saya alami sendiri dalam konteks sosial.
    Singkat cerita, saya dan ketiga saudara perempuan saya sedang berupaya untuk menenangkan orang tua. Masalahnya sepele, ia merasa “disakiti” oleh saudaranya sendiri.
    Diskusi di antara kami sekeluarga bersambut. Whatsapp, Video Call, hingga telepon menjadi saksinya. Ada satu pesan yang saya pelajari dalam proses ini. Tidak lain adalah sikap ayah saya yang berusaha mengalah dengan berujar, “Ya sudahlah. Gusti mboten sare (Tuhan tidak tidur).”
    Ungkapan di atas, begitu mengena dalam lubuk hati saya. Agar kita semua tidak takut untuk melangkah menaburkan kebaikan kepada sesama. Karena toh, pada akhirnya hukum karma tetap berlaku. Hukum tabur-tuai akan senantiasa berjalan.
    Sebagai milenial, sejujurnya saya sudah sejak lama memahami salah satu falsafah Jawa tersebut. Namun, dalam praktiknya memang sering terlupakan.
    Di tengah arus globalisasi seperti saat ini, agaknya perubahan sosiologis masyarakat pedesaan seperti di kampung halaman saya tak terhindarkan juga. Dulu, sifat kekeluargaaan atau kegotongroyongan masih mengakar dengan kuatnya.
    Bagaimana dengan kini?
    Agaknya hubungan transaksional seperti yang terjadi di perkotaan sudah hampir sama levelnya. Masyarakat mulai “hitung-hitungan” karena satu dan lain hal.
    Entah, sampai kapan nilai-nilai budaya Jawa bisa bertahan. Gempuran budaya Barat yang dipromosikan melalui segala corong media agaknya telah berhasil “mencuci otak” masyarakat.
    Bukan kesalahan mereka atau kita semua memang. Karena toh budaya bersifat dinamis. Senantiasa ada proses konstruksi sosial – entah alamiah maupun yang terprogramkan.
    Yang pasti, “Gusti mboten sare” akan senantiasa berlaku dari dulu hingga nanti. Melewati sekat-sekat waktu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 2 September 2019
  • Lini Masa Hidup

    Lini masa.
    Apa yang ada di benakmu ketika pertama kali mendengar kalimat itu?
    Mungkin kamu langsung menghubunngkannya dengan Twitter.
    Ya, kamu tidak salah. Karena toh barangkali itu yang ada di sebagian besar pikiran orang Indonesia.
    Namun, izinkan saya di sini untuk menuturkan tentang lini masa kehidupan. Ceileeee . . .
    Singkat cerita, belum lama ini saya merenung. Dan salah satu hasilnya mengenai lini masa hidup. Mengapa penting untuk dibahas?
    Karena ternyata saya, kamu, dan mungkin kita semua dalam titik tertentu pernah tidak mencintai diri sendiri.
    Kadang merasa tertinggal dengan teman-teman terdekat. Kurang sukses lah. Kurang terkenal lah. Kurang berkuasa lah.  Kurang cantik/pintar lah. Kurang beraset lah. Kurang berpendidikan lah. Dengan “lah-lah” lainnya.
    Teman, mari perhatikan fenomena orang-orang di sekitar kita.
    • Ada seorang ikon startup tersukses di Indonesia yang ternyata “menderita” karena pernikahannya.
    • Ada seorang pemuka agama yang tiba-tiba lenyap dari “peredaran” karena skandal seks
    • Ada lulusan S3 dari kampus ternama di Amerika yang kini hidupnya “tidak jelas”
    • Ada jebolan SMP yang memiliki ribuan karyawan di pabriknya
    Apa persamaan di antara mereka?
    Mereka sama-sama memiliki jalan unik. Tidak bisa dibandingkan. Tak dapat diurutkan mana yang lebih bahagia. Juga dengan fenomena seperti ini.
    • Seorang temanku yang menikah di usia 20, namun sepuluh tahun kemudian belum diberikan momongan
    • Ada omku yang menikah di usia 35 tahun, kurang dari setahun anak pertamanya lahir
    • Ada (temannya) temanku yang sepuluh tahun silam menjadi orang terkaya di kotanya, namun kini berada di dalam penjara karena kasus pembunuhan
    • Ada seorang nenek yang bahagia merampungkan pendidikan S1 di usia 75 tahun
    • Ada anaknya temanku yang di usia 25 tahun telah  bergelar PhD dari Australia, namun kini depresi karena tak kunjung mendapatkan tempat mengajar
    • Ada teman lamaku yang belasan tahun keluar-masuk pekerjaan, tapi kini telah tersenyum sukses dengan bisnis pertamanya
    Apa hikmah dari itu?
    Setiap orang memiliki lini masa masing-masing, kawan.
    Jika kamu merasa “tertinggal” dengan teman-temanmu, berpikirlah ulang. Karena mereka pun mungkin berprasangka demikian.
    Orang tua kita berbeda, lingkungan tempat kita dibesarkan berbeda, masalah yang kita hadapi di sepanjang jalan berbeda. Pun mimpi, ambisi, dan asa kita tidak pernah sama.
    Garis start kita berbeda, garis finish kita tak mungkin sama. Tikungan, persimpangan, turunan, dan tanjakan yang kita lalui tidak akan pernah serupa.
    Jadi, mengapa kita tidak mencintai takdir kita?
    Kebahagiaan ada di dalam diri kita, kawan. Tidak ditentukan oleh orang, benda, dan kejadian yang sesungguhnya hanyalah ilusi.
    Terimalah dirimu tanpa sarat. Cintai nasibmu. Bahagialah sekarang juga.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 29 Agustus 2019
  • Win-Win

    Dalam hidup ini, perbedaan pandangan akan selalu ada. Apapun topiknya, setiap individu memiliki pandangan masing-masing terhadap suatu hal.
    Pandangan bisa dihubungkan dengan persepsi. Sebuah elemen yang dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan dan pengalaman masa lalu.
    Ketidakmampuan mengelola perbedaan menjadi sumber petak yang tak berkesudahan. Konflik antarsuku, perang antarnegara, pertengkaran antarsahabat hingga perceraian dalam biduk rumah tangga.
    Kita mengenal pendekatan Win-Win. Artinya, kedua belah pihak yang bertentangan pandangan sama-sama menyepakati sebuah solusi. Masing-masing merasa “menang”. Tidak ada yang merasa dirugikan.
    Tentu saja, semua individu mengharapkan yang terbaik jika mendapati masalah. Namun, yang terbaik menurut siapa? X, Y, atau Z?
    Di sinilah kepekaan berperan. Kita tidak serta merta menilai orang hitam putih, benar salah, atau baik buruk. Karena setiap insan memiliki versinya masing-masing.
    Bagaimana cara mencapai Win-Win? Tentu melalui tahap-tahap komunikasi yang tidak mudah. Mungkin prosesnya bisa menguras emosi. Namun, demi kebaikan tetap harus diperjuangkan.
    Apa pasal?”
    Karena dalam hidup, Zero-Sum Game tidak dapat diterapkan dalam keseharian. “Dia menang, saya kalah” atau “Saya menang, dia kalah” tidak bisa lagi menjadi pedoman.
    Akhir kata, saya teringat dengan pesan kakak kandungku ketika menasehatiku baru-baru ini. “Jika kamu dan si X sama-sama mau menang sendiri, sesungguhnya kalian sama-sama kalah”. Untuk itu, kadang salah satu pihak harus legowo untuk mengalah. Untuk mewujudkan apa yang disebut dengan Win-Win.
     
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 30 Agustus 2019