Lini masa.
Apa yang ada di benakmu ketika pertama kali mendengar kalimat itu?
Mungkin kamu langsung menghubunngkannya dengan Twitter.
Ya, kamu tidak salah. Karena toh barangkali itu yang ada di sebagian besar pikiran orang Indonesia.
Namun, izinkan saya di sini untuk menuturkan tentang lini masa kehidupan. Ceileeee . . .
Singkat cerita, belum lama ini saya merenung. Dan salah satu hasilnya mengenai lini masa hidup. Mengapa penting untuk dibahas?
Karena ternyata saya, kamu, dan mungkin kita semua dalam titik tertentu pernah tidak mencintai diri sendiri.
Kadang merasa tertinggal dengan teman-teman terdekat. Kurang sukses lah. Kurang terkenal lah. Kurang berkuasa lah. Kurang cantik/pintar lah. Kurang beraset lah. Kurang berpendidikan lah. Dengan “lah-lah” lainnya.
Teman, mari perhatikan fenomena orang-orang di sekitar kita.
- Ada seorang ikon startup tersukses di Indonesia yang ternyata “menderita” karena pernikahannya.
- Ada seorang pemuka agama yang tiba-tiba lenyap dari “peredaran” karena skandal seks
- Ada lulusan S3 dari kampus ternama di Amerika yang kini hidupnya “tidak jelas”
- Ada jebolan SMP yang memiliki ribuan karyawan di pabriknya
Apa persamaan di antara mereka?
Mereka sama-sama memiliki jalan unik. Tidak bisa dibandingkan. Tak dapat diurutkan mana yang lebih bahagia. Juga dengan fenomena seperti ini.
- Seorang temanku yang menikah di usia 20, namun sepuluh tahun kemudian belum diberikan momongan
- Ada omku yang menikah di usia 35 tahun, kurang dari setahun anak pertamanya lahir
- Ada (temannya) temanku yang sepuluh tahun silam menjadi orang terkaya di kotanya, namun kini berada di dalam penjara karena kasus pembunuhan
- Ada seorang nenek yang bahagia merampungkan pendidikan S1 di usia 75 tahun
- Ada anaknya temanku yang di usia 25 tahun telah bergelar PhD dari Australia, namun kini depresi karena tak kunjung mendapatkan tempat mengajar
- Ada teman lamaku yang belasan tahun keluar-masuk pekerjaan, tapi kini telah tersenyum sukses dengan bisnis pertamanya
Apa hikmah dari itu?
Setiap orang memiliki lini masa masing-masing, kawan.
Jika kamu merasa “tertinggal” dengan teman-temanmu, berpikirlah ulang. Karena mereka pun mungkin berprasangka demikian.
Orang tua kita berbeda, lingkungan tempat kita dibesarkan berbeda, masalah yang kita hadapi di sepanjang jalan berbeda. Pun mimpi, ambisi, dan asa kita tidak pernah sama.
Garis start kita berbeda, garis finish kita tak mungkin sama. Tikungan, persimpangan, turunan, dan tanjakan yang kita lalui tidak akan pernah serupa.
Jadi, mengapa kita tidak mencintai takdir kita?
Kebahagiaan ada di dalam diri kita, kawan. Tidak ditentukan oleh orang, benda, dan kejadian yang sesungguhnya hanyalah ilusi.
Terimalah dirimu tanpa sarat. Cintai nasibmu. Bahagialah sekarang juga.
Agung Setiyo Wibowo
Mega Kuningan, 29 Agustus 2019