Author: Agung Wibowo

  • Pentingnya Menemukan Panggilan Hidup

    “Setiap orang itu unik”. Ungkapan ini mungkin terdengar begitu klise. Namun, maknanya tak lekang dimakan zaman. Sayangnya, masih begitu banyak orang di sekitar kita yang mengabaikan fakta itu. Apa buktinya? 
     
    Tak terhitung orang di sekitar kita yang tidak mengetahui panggilan hidupnya. Akibatnya mereka lebih rentan galau, merasa insecure, hingga menganggap diri mereka tak bermakna meskipun dari sisi finansial mungkin jauh lebih baik dibandingkan generasi orang tua mereka. 
     
    Sejatinya Tuhan menganugerahkan setiap individu dengan potensi. Hanya saja, tidak sedikit masyarakat yang tidak mau — lebih tepatnya tidak menyadari pentingnya mengenali kekuatan yang ada pada dirinya. Apa akibatnya? 
     
    Banyak orang yang tidak bahagia dengan hidupnya. Karena mereka belum berhasil memaksimalkan potensi di dalam dirinya. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak memahami apa yang benar-benar mereka dan Tuhan inginkan dari hidup mereka. 
     
    Pentingnya Panggilan Hidup 
    Sebagai seorang praktisi dan pemerhati pengembangan sumber daya manusia; saya bersyukur sudah mulai banyak public figure yang menekankan pentingnya passion dalam bekerja. Tak mengherankan berderet buku, pelatihan, lokakarya atau seminar tentang passion telah diterbitkan. Secara bersamaan; kengintahuan generasi muda Indonesia mengenai renjana mereka juga meningkat. 
     
    Sayangnya, passion saja tidaklah cukup agar kita bisa berkarya dengan bahagia dan bermakna. Passion mungkin membuat kita bergairah dalam melakukan tugas demi tugas. Namun tanpa panggilan hidup yang jelas, passion  tidak membuat diri kita bermakna. 
     
    Itulah mengapa dalam berbagai kesempatan, saya mengedukasi pentingnya panggilan hidup. Baik dari buku-buku yang saya terbitkan maupun dari berbagai pelatihan yang saya gelar. 
     
    Apa yang dimaksud dengan panggilan hidup?  Sejujurnya tidak ada definisi baku. Namun, panggilan hidup adalah apa yang menggerakkan diri kita. Ini merupakan pilihan sadar tentang apa, di mana, dan bagaimana kita bisa membuat perbedaan. 
     
    Panggilan hidup merupakan alasan yang sangat kuat dari dalam diri kita. Inilah yang membuat kita benar-benar ingin memberikan manfaat, menolong sesama, menciptakan nilai tambah, dan menyelesaikan masalah. 
     
    Panggilan hidup adalah apa yang paling kita gelisahkan, pedulikan, dan anggap penting. Sehingga, kita benar-benar terdorong untuk menjadi “pahlawan” di dalamnya untuk dunia yang lebih baik. 
     
    Banyak orang meninggal yang masih menyimpan “musik” di dalam dirinya. Dalam metafora ini, musik merupakan panggilan dari jiwa kita. Itulah identitas diri kita yang otentik. 
     
    Ketika kita menemukan “musik”, hidup akan sungguh-sungguh memancarkan energi baru. Karena ruh musik kita begitu kuat, kita hampir tidak mampu menahan diri untuk mengikuti iramanya. Itulah yang mendorong kita untuk turut “menari” guna memenuhi apa yang diinginkan oleh Tuhan dan dunia dari kita. 
     
    Hanya diri kita sendiri yang bisa mendengarkan “panggilan musik” dari jiwa kita. Itu mengapa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan kita untuk menemukan, menyadari, dan menjalani panggilan hidup. 
     
    Jurus Menyadari Panggilan Hidup 
    Di sepanjang tahun 2016, saya mengambil  Sabbatical selama setahun penuh. Secara sengaja saya menikmati waktu jeda untuk mengetahui apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Berbagai aktivitas pun saya nikmati. Mulai dari mengelilingi beberapa pulau Indonesia, mencoba berbagai hal baru, meminta bantuan ke psikolog, mengikuti berbagai asesmen bakat dan kepribadian, hingga mewawancarai ribuan orang Indonesia yang telah menemukan panggilan hidupnya. 
     
    Salah satu “buah” dari Sabbatical adalah terbitnya buku The Calling: Rahasia Menyadari Apa yang Benar-Benar Anda dan Tuhan Inginkan. Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu kita untuk menyadari panggilan hidup. 
     
    Pertama, mencoba banyak hal baru.  Dengan mencoba banyak hal baru membuat pengalaman kita berwarna. Kita akan memahami apa saja aktivitas yang membuat kita bahagia maupun apa saja pekerjaan yang membuat kita berharga. Kelak, kita akan memutuskan untuk fokus pada satu atau dua bidang yang kita anggap membahagiakan ketika dilakukan, bermanfaat untuk orang banyak, mensejahterakan secara finansial, dan sesuai dengan minat dan bakat kita. 
     
    Kedua, menemukan masalah untuk dipecahkan. Mengapa banyak orang yang sukses secara duniawi tidak bahagia hidupnya? Karena orientasi bekerjanya adalah untuk keuntungan pribadi. Berangkat dari situ, kita bisa mengubah pola pikir kita tentang berkarya. Cobalah untuk menyelesaikan masalah di sekitar kita. Semakin besar values yang kita persembahkan, semakin besar pula peluang kita untuk “merasa” bermakna. Dalam konteks ini kunci kesuksesan kita bukan semata-mata diukur dari cuan yang diraup, namun seberapa banyak orang yang merasa terbantu oleh kehadiran kita. 
     
    Ketiga, menemukan sosok panutan. Kebanyakan diri kita kemungkinan besar memiliki role model  yang menginspirasi. Itulah orang-orang yang ingin kita ikuti jejaknya. Bukan berarti meniru mentah-mentah dengan rekam jejak kariernya, akan tetapi setidaknya mengikuti pola yang telah terbukti membawa mereka pada titik keberhasilan.  Dewasa ini kita begitu mudah menghubungi Cofounder perusahaan rintisan, C-level, Self-Employee, pebisnis maupun profesional berprestasi melalui LinkedIn. Tak ada salahnya kita menghubungi orang-orang yang kita anggap panutan kita di platform tersebut untuk bertukar pikiran, berkolaborasi atau menjadikan mereka mentor. 
     
    Keempat, menyadari potensi diri. Masing-masing dari diri kita memiliki kepribadian, minat, bakat, kekuatan dan perjalanan hidup yang unik. Oleh karena itu, kita perlu memahami “modal” tersebut agar apapun bidang yang ingin kita tekuni sesuai panggilan hidup. Kabar baiknya dewasa ini ada begitu banyak platform berbayar maupun gratisan yang membantu kita menemukan “harta karun” nan bersemayam di dalam diri kita. 
     
    Kelima, menjadi versi terbaik diri sendiri. Salah satu kesalahan terbesar kita adalah membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Untuk menyadari panggilan hidup kita perlu menjadi versi terbaik diri sendiri. Yang perlu kita bandingkan adalah pencapaian diri kita hari ini dengan kemarin. Jika kita telah mencapai progress, itu artinya kita telah melewati proses. Karena sesungguhnya sukses itu adalah perjalanan — bukan tujuan akhir. 
     
    Keenam, mengikuti life values. Setiap orang tentu memiliki nilai-nilai hidup yang menjadi “pegangan”.  Oleh karena itu, tak ada salahnya kita menjadikan nilai-nilai inti diri kita sebagai pedoman untuk menyadari dan menjalani panggilan hidup.  Apa yang kita anggap penting dalam hidup? Apa yang ingin kita perjuangkan dalam hidup? Dua pertanyaan sederhana ini bisa menjadi “pancingan” untuk mengikuti apa yang benar-benar kita inginkan di sisa hidup kita. 
     
    Ketujuh, menikmati proses. Salah satu fenomena generasi muda dewasa ini adalah ingin berlomba-lomba untuk mencapai apa yang dinamakan dengan kesuksesan. Tidak salah memang. Namun, yang sering terlupakan adalah kita lupa dengan proses atau perjalanan dalam upaya menemukan hingga menjalani panggilan hidup. Setiap orang memiliki orbit masing-masing. Asalkan kita terus bergerak, kita tak perlu merisaukan apa yang ada di depan dan tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Kita hanya perlu menghadapi apapun pengalaman yang ditawarkan hidup se-apa-adanya. 
     
    Masing-masing dari kita memiliki mimpi, ambisi, dan hal-hal yang ingin kita capai dalam hidup ini. Masalahnya adalah, kebanyakan orang tidak mengukir waktu dan ruang untuk memahami tujuan atau panggilan mereka dalam karier mereka. Ratusan juta orang di seluruh dunia merasa tidak puas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tak terhitung masyarakat Indonesia yang bekerja tidak bahagia dengan pekerjaan mereka saat ini. Bahkan menurut hasil berbagai riset,  25% orang yang merasa yakin bahwa mereka mengetahui panggilan hidupnya. Sisanya mengatakan mereka tidak yakin atau tidak tahu.
     
    Banyak orang begitu terpaku pada harapan kita tentang seperti apa hidup itu seharusnya. Yang lebih miris, tidak sedikit memilih “default” untuk mengikuti jalan yang ditetapkan masyarakat untuk mereka. Kabar baiknya, saat kita memutuskan untuk mengambil tindakan dan menemukan panggilan; menjalani kehidupan impian kita lebih mudah daripada yang kita pikirkan.
     
    Akhir kata, tak ada waktu terlambat untuk menyadari panggilan hidup. Karena setiap orang memiliki “linimasa” masing-masing. Sebagaimana kutipan dari Profesor Seoul National University Rando Kim dalam bukunya Time of Your Life ini.
     
    “Setiap bunga akan mekar ketika saatnya tiba; forsythia, kamelia, dan bunga-bunga lain. Bebungaan itu tahu kapan mereka akan mekar; tidak seperti kebanyakan dari kita yang selalu ingin mendahului yang lain. Apakah kamu merasa tertinggal dari teman-temanmu? Apakah kamu merasa telah menyia-nyiakan waktu sementara teman-temanmu mulai melangkah menuju kesuksesan? Jika kamu berpikir demikian, ingatlah bahwa kamu memiliki masa mekarmu sendiri, begitu juga dengan teman-temanmu. Musimmu belum datang. Namun, ia pasti akan datang ketika kuncupmu terbuka. Mungkin kuncup itu mekar lebih lama dari yang lain, tetapi ketika sampai pada waktunya, kamu akan mekar dengan begitu indah dan menawan seperti bebungaan lain yang telah mekar sebelum dirimu. Jadi, angkatlah kepalamu dan bersiaplah menyambut musimmu. Ingat, kamu begitu menakjubkan!”
     
     
  • Berdamai dengan Diri Sendiri

    Hidup ini perjalanan. Sayangnya, banyak orang yang hanya fokus pada tujuan akhir. Akibatnya, kebahagiaan tak didapat dalam prosesnya.

    Berdamai dengan diri sendiri adalah salah satu kunci kebahagiaan. Karena kita tak bisa mengendalikan kejadian di luar diri.
    Berdamai berarti menerima sepenuhnya. Ikhlas. Bukan berarti pasif.
    Berdamai berarti tak menghakimi. Tapi menerima seapaadanya.
    Nah, sudahkah kamu berdamai dengan diri sendiri? Sudahkah kamu bahagia?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 12 September 2022
  • Mendongkrak Produktivitas di Abad Digital

    Dunia  bergerak begitu cepat. Apalagi saat ini kita hidup di abad digital. Era yang membuka peluang tak terbatas bagi orang-orang yang mau berpikir dan bergerak. 
     
    Setiap detik jutaan orang meraup cuan demi cuan dari telepon genggamnya. Di sisi lain, setiap detik jutaan orang semakin  tertinggal karena tidak mampu (lebih tepatnya tidak mau) beradaptasi.
     
    Anda masuk di golongan mana? Apakah Anda hanya terlihat sibuk setiap saat atau benar-benar produktif? 
     
    Internet memang bak pisau bermata dua. Di satu sisi internet membuat akses kita untuk meraup, mengembangkan diri, atau berkomunikasi semakin mudah dan murah. Di sisi lain, ketidakcerdasan memanfaatkan internet justru membuat begitu banyak orang semakin mager (malas bergerak) karena menghabiskan waktunya untuk “bermain” di media sosial. Yang lebih miris, internet dijadikan sebagian orang untuk menyebarkan informasi hoaks, ujaran kebencian, pemutarbalikan fakta, provokasi dan seterusnya. 
     
    Tidak ada salahnya memang untuk menghabiskan waktu bermenit-menit atau berjam-jam untuk memelototi media sosial setiap harinya. Namun jika kita tidak mampu menggunakannya dengan bijak, kita justru menjadi orang yang merugi. 
     
    Lantas, bagaimana cara menjadi produktif di abad digital?  Ada beberapa tips yang terbukti ampuh saya praktikkan maupun oleh puluhan juta orang lainnya di berbagai belahan dunia sebagai berikut. 
     
    Pertama, fokus pada prioritas. Setiap hari, kita pasti disuguhkan dengan berderet tugas yang perlu diselesaikan. Dengan menyaring tugas mana saja yang mendesak dan tidak, menjadikan diri kita produktif. 
     
    Senantiasa periksa gol-gol atau proyek-proyek yang sedang Anda pegang. Pastikan Anda mengetahui tenggat waktunya. Dengan begitu, kita bisa mengendalikan waktu — bukan sebaliknya. 
     
    Salah satu jurus mudah untuk cerdas membuat prioritas, kita semestinya memahami perbedaan antara efisien dan efektif kendati keduanya sama-sama diperlukan untuk produktif. 
     
    Efisien adalah melakukan hal-hal dengan benar dan efektif adalah melakukan hal-hal yang benar. Jadi orang yang paling produktif mengerjakan tugas yang bernilai tinggi, memastikan bahwa cara mereka melakukan tugas tersebut adalah cara terbaik.

    Kedua, mengembangkan Deep Work. Mengutip Cal New Port dalam bukunya  Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World, Deep Work adalah proses melakukan kegiatan profesional dalam kondisi penuh konsentrasi bebas gangguan yang mendorong kemampuan kognitif kita secara maksimal. Dengan Deep Work, kita akan menjadi lebih fokus. 
     
    Beberapa cara sederhana untuk menerapkan Deep Work adalah “puasa” media sosial, menetapkan “jadwal ritual” untuk fokus bekerja tanpa gangguan, mengerjakan hal-hal yang penting, hingga menciptakan suasana kerja yang membuat kita nyaman. Sungguh mudah dilakukan bukan? 
     
    Ketiga, menerapkan Pomodoro Technique.  Teknik ini terinspirasi dari pemakaian sebuah timer di dapur yang kebetulan berbentuk seperti tomat (tomat dalam bahasa Italia disebut pomodoro).

    Pomodoro Technique merupakan sistem manajemen waktu yang merangsang orang untuk bekerja secara fokus dalam rentang waktu tertentu. Singkat kata, kita membagi pekerjaan menjadi 25 menit per kegiatan dengan bekerja secara fokus terhadap satu tugas, kemudian 5 menit istirahat total. Setiap jeda istirahat itu disebut sebagai “pomodoro”. Kemudian setelah melakukan 4 kali pomodoro, kita mengambil istirahat yang lebih lama lagi, yakni sekitar 15 sampai 20 menit.
     
    Pomodoro Technique bertujuan untuk membuat adanya “keterdesakan”. Oleh karena itu, teknik ini menyadarkan kita bahwa saat kita hanya memiliki 25 menit untuk mengukir progress sebanyak mungkin pada suatu pekerjaan dalam waktu terbatas. Saat menerapkan teknik ini sebaiknya kita mematikan koneksi internet dan menjauhkan telepon genggam atau apapun yang dapat mengganggu fokus kita dalam mengerjakan suatu tugas.
    Keempat, mengikuti Hukum Pareto. Juga dikenal sebagai “Aturan 80/20” yang intinya merupakan prinsip bahwa dalam banyak peristiwa, 80% dampaknya terjadi karena 20% penyebabnya.
    Untuk memaksimalkan efisiensi, orang yang sangat produktif mengidentifikasi 20% terpenting dari pekerjaan mereka. Kemudian, mereka mencari cara untuk mengurangi 80% dari jadwal mereka, untuk menemukan lebih banyak waktu untuk hal-hal yang memberikan dampak terbesar.
    Kelima, memecah tugas menjadi bagian-bagian kecil. Mengapa sebagian besar dari kita suka menunda-nunda? Meskipun ada banyak faktor yang membuat orang menjadi seorang procrastinator, kebanyakan orang enggan bertindak karena menganggap tugas-tugas mereka begitu membebani.
    Jika Anda memiliki item daftar tugas yang cakupannya besar dan tidak terlalu spesifik, menangani tugas-tugas tersebut tentu menjadi tantangan. Anda mungkin berpikir harus dari mana Anda memulainya.  Padahal kita  bisa mulai dengan memecah tugas besar menjadi tugas-tugas yang lebih kecil. Tetapkan tujuan kecil untuk setiap tugas.
    Itulah lima tips sederhana yang bisa Anda coba terapkan dalam keseharian. Karena waktu kita sangat terbatas, tak ada salahnya untuk menjadi pribadi yang lebih produktif agar hidup kita seimbang. Bukan menjadi pribadi yang “terlihat” sibuk tapi tidak cuan, mengorbankan kesehatan, apalagi mengabaikan orang-orang yang kita sayangi.
  • Mengapa Sabbatical itu Penting?

    Di sepanjang tahun 2016 hingga awal 2017, saya mengambil Sabbatical. Sebuah “keputusan berani” yang saya ambil di awal perjalanan karier saya. Sebuah keputusan yang belakangan ini begitu saya syukuri karena mengubah drastis cara saya memandang diri sendiri dan dunia. 
     
    Selama saya mengarungi Sabbatical, berderet kegiatan saya lakukan. Mulai dari membaca ribuan buku, bertemu ribuan orang, mencoba hal-hal baru, mencoba puluhan self-assesment, menjadi sukarelawan hingga traveling ke beberapa pulau terpencil di Indonesia dengan misi “mencari jati diri”.
     
    Tidak seperti sebagian besar teman-teman saya pada umumnya yang terus-menerus ambisius mengejar target demi target hidup, saya memberanikan diri mengambil jeda panjang karena ingin mengetahui apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Sebuah keputusan tidak populer yang awalnya mengundang cibiran dari berbagai pihak, namun tidak pernah saya sesali karena saya merasa “terlahir kembali” menjadi pribadi yang baru. 
     
    Sebenarnya apa itu sabbatical? Di Indonesia sendiri memang belum begitu populer sebagaimana di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris. Namun belakangan saya amati sudah semakin banyak masyarakat Indonesia yang menjalaninya dengan durasi bervariasi dari satu bulan, tiga bulan, hingga lebih dari setahun seperti yang saya pernah alami. 
     
    Sabbatical sendiri berasal dari bahasa Ibrani yaitu “Sabat” yang berarti istirahat dari pekerjaan. Istilah tersebut awalnya merujuk bagi para pemeluk Yahudi di Tanah Israel yang mengambil cuti bekerja selama setahun setiap tujuh tahun sekali. Dalam perkembangannya mulai tahun 1880 yang dipelopori Universitas Harvard, banyak universitas dan lembaga penelitian menawarkan kesempatan cuti panjang berbayar sebagai tunjangan karyawan. 
     
    Kebijakan cuti akademik tersebut awalnya dirancang untuk membantu para akademisi untuk beristirahat, melakukan riset, menulis untuk jurnal internasional, tugas belajar atau mengajar di kampus lain. Di kemudian hari Sabbatical tidak lagi dimonopoli oleh kalangan akademisi karena popularitasnya meningkat di abad ke-21. Menurut temuan Society For Human Resource Management, setidaknya 17% perusahaan menawarkan semacam kebijakan cuti panjang kepada karyawan mereka pada tahun 2017. Mereka dapat dibayar atau tidak dibayar dengan jangka waktu yang bervariasi, dari beberapa minggu hingga lebih dari satu tahun.
     
    Di Indonesia sendiri, Sabbatical lebih dikenal dengan istilah Cuti Besar atau Sabbatical Leave. Menurut pengamatan saya, cuti besar tersebut sudah mulai diberlakukan di kalangan dosen di perguruan tinggi, PNS, pekerja NGO, dan sejumlah perusahaan ternama. 
     
    Cuti panjang adalah “istirahat panjang” dari pekerjaan. Seseorang yang mengambil cuti panjang masih menjadi karyawan suatu institusi, tetapi mereka tidak harus melapor untuk bekerja atau menyelesaikan tugas harian mereka meskipun kebijakannya berbeda-beda di setiap lembaga. Beberapa individu menggunakan cuti panjang mereka untuk beristirahat dan bersantai. Perusahaan biasanya menawarkan cuti panjang kepada karyawan level tinggi yang telah menjadi bagian dari organisasi setidaknya selama lima tahun.

    Lantas, mengapa Sabbatical itu penting? Berdasarkan pengalaman pribadi dan temuan riset dari berbagai lembaga, berikut adalah beberapa manfaat mengambil Sabbatical  atau cuti panjang. 
     
    Pertama, memenuhi goal pribadi. Sabbatical adalah kesempatan besar bagi seseorang untuk memenuhi tujuan pribadi. Mereka dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang mereka tidak pernah punya waktu untuk mengeksplorasi sebelumnya. Misalnya, mereka mungkin mendapat kesempatan untuk menjadi sukarelawan di negara asing atau melakukan penelitian independen. Jika seseorang menggunakan cuti panjang mereka untuk terlibat dalam kegiatan produktif bukan hanya relaksasi, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang berharga dan meningkatkan pengetahuan mereka. Hal ini dapat menyebabkan kepuasan pribadi yang besar. Keterampilan dan pengetahuan ini juga terbukti berguna di tempat kerja, membuat mereka lebih berharga. Dalam konteks saya, saya berhasil merampungkan lima naskah buku selama masa jeda. Dua di antaranya adalah The Calling: Rahasia Menyadari Apa yang Benar-Benar Anda dan Tuhan Inginkan, dan c yang keduanya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. 
     
    Kedua, mengasah keterampilan. Secara umum, sebagian besar perusahaan menawarkan Sabbatical kepada karyawan yang lebih berpengalaman. Ketika karyawan yang berpengalaman berada jauh di berbagai negara untuk mengeksplorasi minat lain, karyawan yang lebih muda dapat mengambil lebih banyak tanggung jawab di dalam perusahaan. Mereka dapat mengembangkan keterampilan mereka, menerima tugas baru dan bahkan mengambil peran kepemimpinan. Karyawan yang lebih muda mungkin menjadi lebih percaya diri karena mereka memperoleh lebih banyak tanggung jawab. Mereka mungkin dapat menangani ketidakhadiran yang tidak terduga jika terjadi di masa mendatang. Perusahaan juga dapat melakukan perencanaan suksesi ketika posisi kosong tersedia di perusahaan. Secara keseluruhan, cuti panjang memungkinkan tenaga kerja perusahaan untuk beradaptasi dan menjadi lebih fleksibel.
     
    Ketiga, menemukan jati diri. Dalam konteks saya, inilah yang paling penting. Dengan mengambil jeda, saya memiliki lebih banyak waktu untuk bereksplorasi. Saya meminta bantuan psikolog, hypnotherapist, career coach, dan konselor untuk memberikan nasehat kepada saya. Dengan mempertimbangkan kekuatan, minat, bakat, keterampilan, dan passion; Sabbatical menjadi titik balik yang memandu saya untuk menyadari panggilan hidup. Berkat Sabbatical, saya semakin yakin dengan peta jalan atau ‘”cetak biru” karier di masa depan. 
     
    Keempat, memberikan perspektif baru. Sabbatical menawarkan waktu yang lebih panjang untuk bereksplorasi. Dalam konteks saya; dengan mencoba berbagai hal baru, bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, menjadi sukarelawan, traveling ke pulau-pulau terpencil yang jauh dari keriuhan megapolitan seperti Jakarta menyadarkan saya pentingnya hidup yang bermakna. Cara pandang saya melihat dunia berubah drastis. Saya menjadi semakin menyadari apa yang benar-benar membuat saya bahagia dan bermakna — bukan sekadar meraih keberhasilan semua di dunia yang fana ini. 
     
    Kelima, mengajarkan hakekat hidup. Jika ada ungkapan, “Pengalaman itu tidak bisa dinilai dengan uang”, saya sangat mengamininya. Kebanyakan orang di dunia ini mengejar cuan untuk bisa membeli barang-barang bermerek, jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, meraih popularitas atau kedudukan tertentu. Tidak ada yang salah memang menjadi manusia seperti itu. Namun yang keliru adalah ketika kebanyakan dari kita menunggu semua itu tercapai sebagai syarat untuk berbahagia, padahal kebahagiaan itu tanpa syarat alias tidak ditentukan oleh apa yang ada di luar diri kita. Sabbatical benar-benar mengajarkan saya untuk berdamai dengan diri sendiri, lebih berempati kepada orang lain, lebih menghargai waktu, dan lebih berkontribusi untuk dunia yang lebih baik. 
     
    Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah sudah mempertimbangkan untuk mengambil Sabbatical? Jika ya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. 
     
    Pertama, biaya. Pastikan Anda benar-benar cermat merencanakan anggaran biaya selama cuti panjang. Jangan sampai Sabbatical membuat cashflow Anda hancur. Alokasikan dana khusus untuk cuti panjang tanpa mengganggu anggaran biaya bulanan Anda. 
     
    Kedua, durasi. Tidak semua orang memiliki “privilege” menikmati Sabbatical selama lebih dari setahun seperti saya. Pastikan Anda mengetahui kebijakan di tempat kerja Anda sebelum mengambil cuti panjang. Pastikan Anda sudah memahami risiko sekaligus peluang yang akan Anda peroleh selama menikmati jeda. 
     
    Ketiga, goal. Setiap orang memiliki goal unik. Begitu pun Anda. Pastikan Anda memiliki alasan yang kuat dan goal yang jelas sebelum mengambil Sabbatical. Jangan sampai waktu yang Anda akan “investasikan” terbuang bercuma. Jangan sampai Anda menyesali keputusan Anda di kemudian hari. 
     
    Akhir kata, mengambil Sabbatical adalah pilihan. Karena hidup adalah memilih; tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri  Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.”
     
     
     
  • Jurus Melewati Quarter-Life Crisis

    Setiap tahunnya jutaan sarjana baru lahir. Namun, 5-8 tahun pertama dalam menapaki tangga karier tidaklah mudah. Karena dalam praktiknya mereka akan dihadapkan pada ketidakpastian, keraguan, kebimbangan, dan kegalauan yang tak berkesudahan. Mereka mempertanyakan jalan mana yang harus mereka tempuh untuk memenangkan masa depan. 
     
    Itulah periode yang penuh turbulensi. Fase ketika seseorang terombang-ambing di “persimpangan jalan”. Masa transisi yang membuat mereka merenungkan kembali terkait apa yang sebenarnya benar-benar mereka inginkan. 
     
    Itulah yang kita kenal dengan krisis seperempat baya atau Quarter-Life Crisis. Sebuah masa yang membuat anak-anak muda melontarkan beberapa pertanyaan mendasar seperti: 
    * Haruskah bertahan dari tempat kerja sekarang? 
    * Bisnis apa yang sebaiknya digeluti? 
    * Apa jurusan S2 yang perlu diambil?
    * Haruskah bekerja sambil melanjutkan S2 di dalam negeri?
    * Beranikah resign dari pekerjaan untuk melanjutkan S2 di luar negeri?
    * Profesi atau industri apa yang sebaiknya dipilih? 
    * Apakah sebaiknya mengambil KPR sekarang? 
    * Kapan sebaiknya menikah?
    * Dan berderet pertanyaan tak berujung yang kerap kali ditanyakan pada mereka yang berusia 20-an sampai 30-an.
     
    Krisis seperempat baya adalah istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional anak-anak muda yang penuh dengan kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan dalam menentukan arah hidup. Krisis ini terjadi sebagai imbas dari tekanan dari dalam diri (internal) maupun pihak luar (eksternal) karena belum adanya tujuan hidup yang jelas sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, dan begitu banyaknya pilihan yang perlu diambil untuk menentukan “arah” masa depan. 
     
    Krisis seperempat baya adalah transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa yang menjadi “kejutan” bagi banyak orang. Itu bisa membuat setiap orang  merasa tidak berdaya, tidak tahu apa-apa, ragu-ragu, dan takut. Akan tetapi, mengalami krisis seperempat baya sejatinya adalah hal yang lumrah. Karena merupakan sebuah proses untuk menemukan jati diri atau terlahir menjadi “pribadi yang baru”.

    Melewati krisis seperempat baya memang begitu menguras emosi. Sebagaimana sebagian besar millennial Indonesia, saya menghabiskan 5 tahun pertama bekerja dengan menjadi “kutu loncat” alias berpindah-pindah kerja sekaligus profesi. Saya pun dihadapkan kegalauan yang luar biasa ketika memutuskan jurusan kuliah S2. Yang tersulit tentu saja adalah ketika memberanikan diri untuk melepaskan masa lajang.
     
    Setelah mengambil masa Sabbatical selama lebih dari setahun, saya pun berhasil “menaklukkan” krisis seperempat baya. Pengalaman tersebut saya terbitkan dalam buku berjudul Mantra Kehidupan: Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life Crisis. Sebuah buku yang berisi saripati pengalaman pribadi dan hasil riset yang melibatkan lebih dari 200 responden di 20 provinsi dan 27 kota di tanah air serta 8 kota di 7 negara. Mulai dari profesor, bankir, pengacara, pengusaha, guru, artis, hingga pemuka agama.
     
    Berikut adalah jurus melewati Quarter-Life Crisis yang dapat diterapkan oleh generasi muda Indonesia. 
     
    Pertama, identifikasilah pemicunya. Ketika kita meluangkan waktu untuk mengidentifikasi apa yang membuat kita mempertanyakan diri sendiri dan merasa tidak tenang, kita akan mulai memahami bagaimana merasa lebih nyaman dan mengurangi perasaan itu. Jika kita mulai menyadari ketakutan karena tidak mengetahui apa yang kita inginkan dalam hidup dan apakah kita membuat pilihan yang tepat atau tidak, kita bisa mulai merasa lebih nyaman. Jika kita mulai memperhatikan sikap kita terhadap keputusan dan pilihan itu untuk hidup sendiri, maka kita dapat mulai mengubahnya dan menggantinya dengan yang positif.

    Ketika kita mulai mengidentifikasi bahwa kita memberi tekanan pada diri sendiri untuk berada pada titik tertentu, kita dapat mulai menggantinya dengan pemikiran yang lebih rasional. Misalnya, kita dapat mengubah pemikiran kita tentang “Saya harus menjadi Direktur pada usia tertentu atau “Saya harus menikah sekarang” menjadi sikap yang lebih realistis seperti “Saya persis di tempat yang saya inginkan” dan “Saya sedang menuju ke arah terbaik dalam perjalanan hidup saya.”
     
    Kedua, ikuti apa yang membuat bahagia. Bagaimana kita tahu apa yang benar-benar membuat kita bahagia? Pertama-tama kita perlu mengetahuinya dan dapat melakukannya dengan penuh perhatian ketika kita merasa bahagia pada saat itu. Mencatat perasaan ini dapat membantu kita mengidentifikasi apa yang membuat kita merasa bahagia.

    Sebaliknya jika kita berfokus pada apa yang kita pikir harus kita lakukan dan membandingkan diri sendiri dengan teman dan keluarga pada usia yang sama, maka kita akan kehilangan apa yang benar-benar kita inginkan. Ikutilah hasrat kita sendiri dan gunakan itu sebagai motivasi untuk mencapai tujuan pribadi kita.
     
    Ketiga, buatlah rencana.  Saat kita lebih rileks dan merasa tenang, kita bisa meluangkan waktu untuk menyusun rencana. Meluangkan waktu untuk menulis apa yang kita inginkan dalam hidup dapat membantu kita merasa lebih dekat untuk mencapai tujuan tersebut. Membuat tujuan kecil setiap minggu akan membuatnya lebih mudah untuk dicapai dan membantu kita menemukan kepercayaan diri untuk membuat keputusan yang tepat di masa depan.

    Membuat rencana dapat membantu kita merasa lebih sadar diri dan mengabaikan tekanan apa pun untuk melakukan apa yang menurut kita seharusnya dilakukan. Setelah kita memiliki rencana itu, kita dapat mulai menerapkan langkah-langkah kecil untuk membuat perubahan yang dapat membantu meningkatkan sikap kita. Jika sikap kita terhadap diri sendiri menjadi lebih positif, maka kita akan mulai mantap untuk mengetahui apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup.
     
    Keempat, tekuni pekerjaan sampingan. Salah satu alasan terbesar orang mengalami kesulitan mengambil “lompatan besar” untuk mengejar impian mereka adalah stabilitas keuangan dan jaminan untuk sukses. Kita dapat terus merasa “secured” dan mencoba hal-hal baru dengan bekerja sampingan. Pekerjaan sampingan bisa kita mulai dengan menekuni pekerjaan sesuai hobi atau minat. Bisa juga mengikuti peluang yang ditawarkan oleh pihak luar seperti menjadi dropshipper, reseller, agen asuransi, distributor MLM  dan seterusnya. 
     
    Pekerjaan sampingan memang membutuhkan waktu, tenaga, dan dedikasi ekstra. Namun kita dapat melihatnya sebagai cara untuk mengembangkan hobi dan minat dengan bonus menghasilkan uang dan jaringan yang berfaedah di kemudian hari. Kita tidak pernah tahu, pekerjaan sampingan itu dapat berubah menjadi pekerjaan penuh waktu dan bahkan menghasilkan lebih banyak uang daripada yang kita kira sebelum kita mencobanya. Nasehatilah diri sendiri untuk berani mengambil pekerjaan sampingan. Jika kita sudah siap mental, tidak ada salahnya untuk merintis bisnis kita sendiri. 
     
    Kelima, nikmati ketidaknyamanan sementara. Ada dua jenis ketidaknyamanan dalam hidup ini: ketika kita dihadapkan pada marabahaya, dan ketika kita menghadapi hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Ketidaknyamanan berasal dari alam bawah sadar kita yang mencoba memberi sinyal kepada kita bahwa situasi atau gaya hidup kita saat ini tidak lagi melayani kita atau bahwa kita berada dalam “musim pertumbuhan” dan perubahan. 
     
    Nikmatilah ketidaknyamanan dan dengarkan. Kenali bagian-bagian diri kita yang merasa tidak nyaman dan coba cari tahu apa sebenarnya yang menyebabkan ketidaknyamanan tersebut. Jujurlah dengan diri sendiri dan akui jika kita telah membuat “alasan” untuk membantu diri kita merasa lebih baik. Akan tiba saatnya dalam hidup  ketika kita harus “berdamai” dengan ketidaknyamanan demi pencapaian goal atau kehidupan yang lebih selaras dengan jati diri kita. 
     
    Keenam, temuilah orang-orang yang telah melaluinya. Jika kita ingin tahu tentang karier atau gaya hidup, cobalah untuk bertemu dengan orang-orang yang pernah melakukannya sebelumnya. Salah satu hal indah tentang hidup adalah bahwa ada begitu banyak jalan yang pada akhirnya dapat mengarah pada kepuasan batin. Bicaralah dengan orang-orang yang telah mengambil “lompatan besar” untuk beralih dari sesuatu yang mirip dengan keadaan kita. Kita akan memahami bahwa nampaknya kesuksesan dilalui dengan begitu mudahnya, padahal dalam kenyataannya kemungkinan besar butuh banyak “trial and error” untuk membawa mereka ke tempat mereka sekarang.  Berbicara dengan orang yang telah melakukannya sebelumnya dapat membantu kita mulai melihat bahwa impian kita dapat menjadi kenyataan.
     
    Ketujuh, mintalah bantuan profesional. Selama mengarungi krisis seperempat baya, sudah tidak terhitung lagi jumlah orang yang saya andalkan untuk membantu saya. Mulai dari psikolog, konselor, career coach, dan hypnotherapist. Termasuk ribuan orang yang saya temui secara virtual maupun tatap muka selama menikmati Sabbatical. 
     
    Krisis seperempat baya bukanlah penyakit atau hal yang memalukan karena sebagian besar orang melaluinya juga. Jadi, jangan sungkan untuk menghubungi para profesional untuk membantu kita keluar dari “jeratan” krisis seperempat baya. 
     
    Kedelapan, cintai takdirmu. Setiap orang adalah unik. Orang tua yang mengasuh kita, sekolah yang kita masuki, masalah yang kita lalui, tantangan yang kita hadapi, ambisi yang kita miliki, dan apa yang membuat kita bahagia benar-benar berbeda. Menyadari hal itu, jangan membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain karena justru itu akan membuat kita semakin frustasi atau tidak bahagia. 
     
    Yang perlu kita bandingkan adalah pencapaian diri kita hari ini dengan pencapaian kita kemarin. Jika kita telah mengikuti proses yang benar, tentu akan ada progress atau kemajuan. Itulah kesuksesan yang sesungguhnya karena hidup adalah perjalanan. 
     
    Tidak ada salahnya untuk membatasi waktu kita mengakses media sosial. Jika perlu kita bisa mencoba “hibernasi” dalam beberapa waktu. Karena kebanyakan anak muda merasa “insecure” ketika membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
     
    Itulah delapan jurus yang pernah saya andalkan selama mengalami krisis seperempat baya. Selamat mencoba. 
  • Energimu, Energiku

    Hidup adalah tentang energi.

    Ya, energi.
    Apa yang kita berikan, akan kembali ke diri kita.
    Apa yang kita lakukan, akan menghampiri kita.
    Energimu, energiku.
    Selama nafas masih di kandung badan, energi ada di dalam diri kita.
    Energi tak hilang. Hanya berubah bentuk.
    Energi itu netral, kawan.
    Kitalah yang menjadikannya negatif atau positif.
    Simpel bukan?

    Energimu, energiku.

    Cara kita memaknai kejadian, menentukan kebahagiaan kita.
    Sudahkah kita bijak dalam mengelola energi?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 26 September 2022