Author: Agung Wibowo

  • Pelajaran dari Sabbatical

    Passion? Apa itu Passion?

    Aku pertama mendengar istilah ini seingatku ketika berada di semester akhir kuliah. Kebetulan waktu itu sedang booming salah satu buku Mas Rene Suhardono mengenai karier.

    Singkat cerita, sejak itu aku benar-benar tertarik dengan topik tersebut. Apalagi ketika aku mendapati diriku sendiri tidak menikmati pekerjaan di awal merintis karier.

    Drama pun resmi kumulai. Aku menjadi kutu loncat. Keluar-masuk pekerjaan dengan frekuensi yang sangat sering. Oh seberani itukah aku?

    Ya, benar. Namanya juga belum ada tanggungan haha. Belum mikir cicilan guys.

    Singkat cerita, di hari terakhir tahun 2015 aku memutuskan untuk mengambil keputusan ekstrem. Aku resign. Lalu aku memutuskan untuk Sabbatical di sepanjang tahun 2016.

    Keputusan itu mungkin dianggap gila oleh sebagian orang. Karena aku nekad keluar pekerjaan tanpa “planning”.

    2016 ngapain Mas Agung?

    Aku mengerjakan banyak hal random. Mulai dari membaca buku, merenung, bertemu ribuan orang, dan mencoba hal-hal baru.

    Apakah aku menyesal karena telah mengambil jeda selama setahun?

    Tidak sama sekali.

    Aku merasa itu salah satu episode terbaik dalam hidupku.

    Mungkin ratusan juta memang melayang. Tapi itu kuanggap sebagai “investasi” untuk mengenal diri sendiri. Karene bagiku itulah yang paling mahal.

    Berkat sabbatical, aku jadi mengerti apa yang membuatku bahagia. Dan apa kesuksesan versi diri sendiri.

    Bagaimana? Tertarik untuk mengikuti jejakku mengambil Sabbatical?

     

     

  • Seni Menjaga Fokus di Abad Digital

    Fokus. Itulah salah satu tantangan terbesar di abad digital ini. Sebuah era ketika kita dibombardir dengan “gangguan” tak terbatas bernama notifikasi. Entah dari Whatsapp, Instagram, TikTok, YouTube, Facebook, Twitter dan sebagainya.

    Dalam bukunya, Attention Span: A Groundbreaking Way to Restore Balance, Happiness and Productivity, profesor Gloria Mark berbagi penelitian selama dua dekade tentang bagaimana teknologi telah memengaruhi kemampuan kita untuk fokus di tempat kerja dan di rumah — dan bagaimana kita dapat mulai mendapatkan keterampilan tersebut kembali.

    Dia melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pada tahun 2004, rata-rata pekerja kantoran berpindah tugas setiap 2,5 menit. Pada tahun 2012, setiap tujuh puluh lima detik, dan pada tahun 2022, setiap empat puluh lima detik. Bagaimana bisa?

    Orang-orang secara bertahap menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan teknologi, dan teknologi membuat kita sulit untuk fokus karena memberikan gangguan eksternal yang tidak terbatas. Ponsel pintar memberi kita akses ke layar sepanjang waktu, dan hal-hal seperti pesan teks dan email membuat kita keluar dari tugas saat ini.

    Namun gangguan eksternal bukanlah satu-satunya masalah di dunia yang semakin digital. Manusia sebenarnya secara inheren termotivasi untuk menginterupsi diri sendiri, yang berarti kita terus-menerus terdorong untuk melakukan hal lain. Jadi meskipun kita mematikan sinyal audio atau visual, mengetahui bahwa kita dapat menghentikan tugas kita saat ini kapan saja untuk online atau memeriksa media sosial sulit untuk diabaikan.

    Kita tahu dari penelitian selama puluhan tahun bahwa ketika orang mengalihkan perhatiannya, setiap tugas membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan, dan mereka lebih mungkin melakukan kesalahan. Ada istilah yang disebut dengan biaya peralihan (switch cost), yang berarti meskipun interupsinya singkat, dibutuhkan waktu untuk kembali ke alur tugas semula.

    Namun selain menghambat produktivitas, pengalihan perhatian juga menyebabkan stres. Berdasarkan temuan Profesor Gloria tersebut, terjadi lonjakan tingkat stres setiap kali kita kedatangan gangguan.

    PENTINGNYA FOKUS 
    Menjaga diri kita agar tetap fokus adalah cara tercepat untuk mewujudkan gol kita. Ketika kita sudah jelas apa yang paling penting bagi diri sendiri, di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi kita, perhatian terfokus adalah apa yang kita perlukan untuk mencapainya.

    Fokus memungkinkan kita membuat prioritas, membuat keputusan yang tepat mengenai aktivitas apa yang akan menghabiskan waktu kita (dan tidak menghabiskan waktu kita), fokus membantu kita mengurangi aktivitas yang sebenarnya membuang-buang waktu, dan menyelesaikan hal-hal yang benar-benar penting.  Fokus dapat menambah nilai besar dalam hidup kita dan kesejahteraan kita (dan kesejahteraan orang-orang di sekitar kita).

    Di dunia yang penuh dengan gangguan digital yang datang dari begitu banyak saluran komunikasi pada saat yang bersamaan, bagaimana kita sebenarnya melakukan hal ini?

    SENI MENJAGA FOKUS DI ZAMAN NOW
    Kita sekarang tahu bahwa multitasking – yaitu melakukan banyak hal pada waktu yang sama – bukanlah suatu pilihan. Dengan mencoba melakukan ini, kita kehilangan banyak energi (kita sebenarnya beralih antar tugas) dan membatasi diri kita untuk melakukan tugas apa pun dengan baik.

    Kita tidak mampu memberikan perhatian yang cukup pada hal-hal penting, mungkin mengalami stres, dan bahkan mulai merasa kewalahan. Pada akhirnya kita tidak akan punya cukup energi untuk berkonsentrasi pada hal yang benar-benar penting bagi kita.

    Lantas, bagaimana jurus untuk menjaga tingkat fokus kita di tengah gempuran informasi yang tak tak terbendung?

    Pertama, menetapkan niat.  Selama kita siap dan jelas mengenai apa yang penting bagi kita, ketika kita sudah memutuskan dengan pasti di mana kita harus memusatkan perhatian, akan lebih sulit untuk terjebak dalam momen gangguan.

    Selama aktivitas kita sehari-hari, kita dapat mengurangi banyak stres jika kita mempunyai tujuan di depan pikiran kita. Kita dapat memilih apa yang paling penting dan menetapkan niat positif untuk maju.

    Kedua, menerapkan aturan ABC. Kita perlu menyadari bahwa kita selalu punya pilihan. Kita bisa menyerah pada gangguan tersebut, atau terus melakukan apa yang penting bagi kita.
    Setelah Anda mengetahui hal itu, kita bisa bernapas dalam-dalam. Mengambil jarak dan rileks. Dan

    ketiga, memilih opsi apa yang akan diikuti. Ini akan memperlambat respons impulsif kita, memberi kita waktu untuk mengabaikan gangguan tersebut dan melanjutkan hal-hal yang lebih penting.
    Ketiga, memanfaatkan alat dan teknologi online. Rentang perhatian kita sangat kecil ketika harus bersaing dengan semua bunyi bip dan getaran yang berasal dari gadget kesayangan kita.

    Peringatan dan pemberitahuan itu mengirimkan pesan ke otak kita bahwa ada hal lain yang sangat membutuhkan perhatian kita. Otak kita melepaskan dopamin yang mungkin menyebabkan kecanduan terhadap sinyal-sinyal ini. Sementara itu, sebagian besar notifikasi ini jarang bersifat mendesak atau bahkan relatif tidak penting.

    Kita dapat menggunakan alat online sederhana dan gratis atau teknologi lain untuk membantu kita mengelola saluran komunikasi kita. Ini juga akan membantu kita mengetahui bahwa tidak setiap notifikasi bersifat mendesak dan ini akan memungkinkan kita merasakan konsentrasi yang dapat kita nikmati tanpa gangguan. Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat sejumlah aplikasi yang dapat kita coba manfaatkan. Di antaranya adalah ClickUp, Focus Bear, Forest, Serene, dan Taskade.

    Keempat, menyeimbangkan emosi.  Berbagai pakar psikologi merekomendasikan keseimbangan emosi positif dan negatif 3:1 untuk fokus optimal. Mengapa demikian? Mereka menemukan bahwa otak kita menganggap emosi negatif sebagai ancaman yang menghambat kemampuan kita untuk melakukan tugas kognitif lainnya.

    Beristirahat sejenak dari rangsangan yang memicu reaksi negatif dapat membantu kita menjaga keseimbangan ini. Dan lebih baik lagi, kita dapat berganti dengan aktivitas yang memicu emosi positif. Istirahat sejenak, dengarkan musik, jalan-jalan sebentar misalnya. Ini membantu kita menjaga keseimbangan.

    Kelima, berlatih mindfulness.  Bermeditasi hanya beberapa menit sehari atau mengembangkan rutinitas lain seperti tidur yang cukup, berolahraga, menghabiskan lebih banyak waktu di alam terbuka, atau memikirkan 3 hal yang kita syukuri sebelum tidur, dapat berdampak nyata pada kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan fokus. Kegiatan-kegiatan ini membantu mengatur diri kita secara emosional.

    ‍Di “zaman now”, fokus memang menjadi tantangan yang tidak dapat diremehkan. Dan keputusan tersulit yang harus diambil adalah tentang segala hal yang tidak menjadi fokus kita.

    Menurut CEO Apple saat ini Tim Cook, pelajaran terpenting yang ia peroleh dari mendiang Steve Jobs (Pendiri Apple) adalah fokus.  Karena hanya dengan itu kita dapat melakukan hal-hal tertentu dengan baik. Dia mengungkapkan bahwa Apple mengatakan “tidak” pada banyak ide bagus, agar bisa menghasilkan ide yang bagus.

    Nah, bagaimana dengan Anda?Bisakah Anda tidak membuka Whatsapp selama tiga jam saja? Bisakah Anda “berpuasa” dari Facebook, Instagram, TikTok, atau YouTube  satu hari saja?

    Mari kita tingkatkan fokus untuk mendongkrak produktivitas kita.

  • Menemukan Pekerjaan yang Cocok

    Entah kita sadari atau tidak, pekerjaan adalah salah satu hal yang paling penting bagi kehidupan setiap orang. Buktinya, dari kecil kita selalu ditanya oleh guru, teman atau orang tua kita

    “Nanti kalau udah gede pengen jadi apa?”

    “Apa cita-citamu nak?”

    Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh fenomena sengitnya kompetisi untuk bisa diterima di perguruan tinggi favorit. Karena menurut kebanyakan orang, dengan menggondol gelar di PTN/PTS favorit, masa depan bisa terjamin.

    Kita tentu juga sudah dengan fenomena masih tingginya animo masyarakat untuk menjadi seorang PNS atau ASN. Buktinya, tak sedikit yang rela merogoh kocek besar agar kelak bisa menikmati uang pensiun. Wow!

    Well, pekerjaan mungkin memang menyedot sebagian besar waktu kita. Meskipun rata-rata kita bekerja 8-10 jam perhari, kenyataannya bisa lebih dari itu jika kita menambahkan waktu tempuh dari dan ke kantor. Jika sehari kita memakan waktu 2-5 jam perhari saja di jalan, sudah kebayang kan berapa lama waktu kita habis untuk pekerjaan 8-15 jam bukan? Wow!

    Sayangnya, bagi sebagian orang – khususnya generasi kini — tidak mudah menemukan pekerjaan yang cocok. Alhasil fenomena menjadi “Kutu Loncat” masih jamak kita temui. Dan tingkat stres karena tidak menikmati pekerjaan sudah menjadi isu klise yang tetap relevan dari tahun ke tahun.

    Mengapa banyak orang yang tidak menikmati pekerjaannya?

    Apa ada yang salah?

    Tekanan kantor yang tidak lazim atau memang ada faktor lain?

    Tentu sangat kompleks faktornya.

    Sebagai pribadi yang pernah merasakan menderitanya menemukan pekerjaan yang cocok, saya sangat bersyukur sudah bisa mengenali apa yang saya inginkan dalam hidup. Bagi teman-teman yang kini tengah berjuang untuk menemukan pekerjaan yang cocok, jangan patah semangat ya.

    Tak ada salahnya untuk membaca buku The Calling karya saya sebagai inspirasi. Tertarik? Klik link berikut untuk mencari tahu atau membeli ya.

  • Bangga Menjadi Ghost Writer

    Ghost Writer.
    Kata ini sama sekali tidak pernah masuk dalam “radar” saya ketika masih berstatus sebagai pelajar. Lahir dan besar di sebuah dusun kecil di pelosok Magetan, Jawa Timur; impian kebanyakan teman-teman saya adalah menjadi PNS, guru dan tentara.
    Namun, takdir berkata lain.
    Setelah mencoba “mencicipi” beberapa profesi seperti Humas, Dosen, Desainer Pembelajaran dan Konsultan SDM; saya merasa cukup cocok menjadi seorang Penulis. Dari yang awalnya sebuah ketidaksengajaan, kini saya merasa bangga dan menikmati proses menjadi seorang penulis.
    Bukan Sebuah Kebetulan?
    Sejujurnya, buku pertama yang lahir dari tangan saya terbit pada saaat usia saya 19 tahun. Meskipun buku tersebut tidak diterbitkan penerbit besar, saya merasa karya pertama tersebut menjadi hal yang membuat diri saya berharga.
    Setelah berhasil menelurkan belasan buku, saya baru menyadari bahwa menjadi penulis bagi saya bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan suratan takdir yang perlu saya syukuri.
    Ya, saya mengamini bahwa manusia bisa memilih. Namun toh pada akhirnya, jalan hidup orang memang misteri.
    Dari Penulis ke Ghost Writer
    Berkat dedikasi saya sebagai penulis, pelan tapi pasti saya menikmati profesi sebagai Ghost Writer. Melihat klien bahagia karena bukunya terbit atau diterbitkan penerbit besar merupakan kepuasan tersendiri bagi saya.
    Memang, sebagai penulis kita mungkin akan lebih bangga jika melihat buku karya kita sendiri “tampil” di rak-rak toko buku ternama. Namun, kini saya jauh lebih bangga jika bisa “menembuskan” buku yang saya tulis untuk klien ke penerbit-penerbit terkemuka.
    Apakah Anda berminat menjadi Ghost Writer?
    Mau belajar menjadi penulis profesional?
    Jangan sungkan untuk menghubungi saya.
  • Seni Membangun Followership

    Harus kita akui atau tidak, kepemimpinan sudah menjadi topik yang Overrated. Buktinya, ada begitu banyak orang yang “berani” memberikan tips dan trik untuk meningkatkan keterampilan kepemimpinan. Apa faktanya?

    Jika kita ketik kata kunci “kepemimpinan” di Google, kita akan mendapatkan lebih dari 30 juta hasil pencarian per 24 Agustus 2023.

    Itu masuk akal. Karena kepemimpinan adalah keahlian yang dapat memberi kita pekerjaan, yang sering kali menuntut rasa hormat, dan dapat membantu kita memperoleh penghasilan lebih tinggi. Namun sebelum kita benar-benar berada dalam posisi kepemimpinan, apa yang dapat kita lakukan?

    Secara tradisional, dunia menganut pandangan yang berpusat pada kepemimpinan. Kebanyakan orang memandang bahwa kepemimpinan adalah hal yang paling penting. Tak mengherankan bila pemimpin — apapun levelnya — senantiasa dipanding lebih hebat dibandingkan pengikut. Padahal pengikut sangat penting bagi keberhasilan tim atau organisasi mana pun, itulah sebabnya mempelajari konsep pengikut dapat mengubah kemampuan kepemimpinan seseorang.

    Apa itu Followership (kepengikutan)?
    Studi tentang kepengikutan berkaitan dengan peran yang dimainkan seorang pemimpin dalam memahami siapa pengikutnya dan cara terbaik untuk memimpin mereka. Pada saat yang sama, hal ini juga membantu para pemimpin memahami bagaimana menjadi pengikut yang lebih baik. Semua pemimpin pernah dan akan menjadi pengikut, dan memahami kebutuhan individu pengikut (termasuk kebutuhan Anda) akan membantu kita memajukan organisasi kita.

    Mengapa Followership itu penting?
    Setiap pemimpin yang baik memahami mengapa pengikut yang baik itu penting. Setiap orang tua juga memahami mengapa kepengikutan yang baik itu penting. Keterampilan ini dimulai saat kita masih muda. Anak-anak yang terlibat dalam olahraga dan anak-anak yang memperhatikan di sekolah sedang mempelajari disiplin yang mendasari kepengikutan. Sama seperti para coach yang mengandalkan atletnya untuk melaksanakan pelajaran dan strategi mereka, atau ketika orang tua berharap anak-anak mereka akan mempraktikkan perilaku yang baik di depan umum, para manajer dan pemimpin dalam lingkungan bisnis juga berharap para pengikutnya menjalankan apa yang telah direncanakan untuk mewujudkan gol tim maupun organisasi.

    Jadi, apa ciri-ciri pengikut yang baik?
    Pengikut yang baik paling baik digambarkan melalui hasil hubungan pemimpin-pengikut. Hasil yang sukses adalah ketika seorang pengikut dengan sengaja melaksanakannya dan, idealnya, meningkatkan visi pemimpinnya. Dan terkadang, yang diperlukan untuk menjadi pengikut yang baik adalah dengan mengingat definisi tersebut sehari-hari. Saat kita berada di posisi sulit dan mencoba memecahkan masalah serta memenuhi tenggat waktu, selalu mengingat tujuan utama pemimpin atau manajer perusahaan kita adalah suatu keharusan. Pada akhirnya, pada saat itulah pengikut yang baik menjadi hal yang paling penting.

    Menurut buku The Courageous Follower: Standing Up to and for Our Leaders karangan Ira Chaleff, pengikut yang baik memiliki karakteristik seperti ini.
    – Pengikut yang baik tidak mengelilingi pemimpinnya; pengikut dan pemimpin berputar bersama demi tujuan yang sama. Mereka bekerja dalam kemitraan yang berkomitmen pada nilai-nilai dan tujuan bersama.
    – Pengikut yang baik bergairah dengan pekerjaan mereka dan orang-orang yang mereka layani. Jika mereka kehilangan gairah terhadap pekerjaan dan organisasi, mereka tidak akan puas menerimanya sebagai hal yang normal.
    – Pengikut yang baik akan membela pemimpinnya ketika mereka menghadapi keluhan yang dibuat di belakang pemimpinnya. Namun mereka juga akan dengan hormat menantang seorang pemimpin jika mereka menyampaikan gagasan atau perilaku yang meragukan.
    – Pengikut yang baik akan berusaha untuk sadar diri dan mencari umpan balik mengenai kinerja mereka sehingga mereka dapat mengidentifikasi kekuatan dan area pertumbuhan.
    – Pengikut yang baik mungkin mempunyai kepentingannya sendiri, seperti pertumbuhan pribadi—tetapi mereka memastikan bahwa kepentingan mereka selaras dengan misi organisasi, bukan bersaing dengan misi tersebut.

    Bagaimana pemimpin bisa menjadi pengikut yang lebih baik?
    Kita dapat mulai dengan mengidentifikasi gaya kepengikutan kita. Ada berbagai alat yang dapat membantu dalam hal ini. Misalnya kita bisa menggunakan model Robert E. Kelley yang menampilkan lima gaya pengikut yang berbeda. Orang dapat mengidentifikasi gaya pengikutnya dengan memahami posisi mereka dalam dua kontinum yang berbeda: keterlibatan (dari pasif ke aktif) dan pemikiran kritis (dari ketergantungan ke independen).

    Pertama, pengikut panutan: Pengikut panutan mempunyai tingkat keterlibatan aktif yang tinggi dan tingkat pemikiran kritis independen yang tinggi. Ciri-ciri pengikut panutan antara lain kemauan untuk mengambil inisiatif, memberikan kritik yang membangun, memiliki rasa kepemilikan, dan memperjuangkan tujuan organisasi.
    Kedua, pengikut konformis: Pengikut konformis memiliki tingkat keterlibatan aktif yang tinggi tetapi tingkat pemikiran kritisnya lebih rendah. Mereka adalah “pelaku” aktif yang sering dianggap sebagai pemain tim. Mereka bersedia menerima tugas dan memercayai pemimpin, namun sering kali mereka lebih mementingkan kebutuhan organisasi daripada kebutuhan mereka sendiri.

    Ketiga, pengikut pasif: Pengikut pasif cenderung berada pada posisi paling bawah dalam hal keterlibatan dan pemikiran kritis. Mereka mengikuti pemimpinnya tanpa pertanyaan, namun membutuhkan arahan yang konsisten. Mereka mungkin adalah tipe orang yang meluangkan waktu, namun tidak lebih dari itu, dan mereka mungkin percaya bahwa organisasi dan para pemimpinnya tidak tertarik dengan ide-ide mereka.
    Keempat, pengikut yang teralienasi: Pengikut yang teralienasi memiliki tingkat pemikiran kritis independen yang tinggi namun keterlibatannya rendah. Mereka sering melihat diri mereka sebagai orang-orang dengan tingkat skeptisisme yang sehat, namun orang lain mungkin melihat mereka sebagai orang yang sinis dan bukan pemain tim. Mereka mungkin merasa pemimpinnya tidak sepenuhnya mengenali atau memanfaatkan bakat mereka.
    Kelima, pengikut pragmatis: Pengikut pragmatis memiliki tingkat keterlibatan dan pemikiran kritis yang moderat. Mereka mungkin merasa lingkungan kerja mereka penuh dengan ketidakpastian dan cenderung melihat apa yang terjadi sebelum mengambil tindakan. Mereka terkadang dianggap oleh orang lain sebagai orang yang memainkan permainan politik, namun mereka biasanya melihat diri mereka sebagai orang yang tahu cara menjalankan sistem untuk menyelesaikan sesuatu.
    Apakah kita menempatkan diri Anda pada kategori pengikut panutan? Banyak orang mengira mereka adalah pengikut panutan, padahal sebenarnya bukan. Kebanyakan orang orang cenderung menempatkan dirinya pada kategori pengikut panutan, tapi itu tidak realistis. Jika kita jujur pada diri sendiri tentang di mana kita akan bekerja, akan lebih mudah bagi kita untuk mengidentifikasi apa kebutuhan kita dan jenis lingkungan kerja apa yang cocok untuk kita.

    Kita perlu semakin memikirkan keterampilan dan kebutuhan orang-orang yang bekerja dengan kita. Alih-alih pengikut beradaptasi dengan pemimpinnya, pemimpin sebaiknya mengidentifikasi dan beradaptasi dengan kebutuhan dan nilai-nilai pengikutnya.

    Pengikut yang baik dan terampil mampu memupuk kepemimpinan yang baik, dengan secara tidak kasat mata membantu menjaga pemimpin pemula tetap tegak dan berada pada jalurnya. Ini adalah seni yang hilang di zaman narsistik kita.

    Kebanyakan orang yang secara alami tertarik pada peran kepemimpinan tidak memiliki kerendahan hati atau kesopanan yang kita inginkan dari seorang pemimpin. Dan sebagian besar orang-orang yang rendah hati dan baik yang mungkin ingin kita lihat dalam peran kepemimpinan dengan cepat merasa terbebani oleh ketegangan, kritik, dan sikap tidak berterima kasih dalam pekerjaan tersebut. Mereka segera mundur ke tempat yang aman atau berakhir meringkuk di sudut kantor. Dan hanya rekan-rekan mereka yang lebih kejam yang tersisa untuk bersaing demi supremasi.

    Jika kita ingin mempunyai harapan untuk mengubah hal ini, kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam membangun orang-orang yang bukan pemimpin alami namun memiliki kualitas yang dapat melayani organisasi dan komunitas kita.
    Epilog
    Di tengah semakin sengitnya persaingan di abad ini, mungkin kebanyakan orang ingin menjadi pemimpin. Yang perlu kita ingat, kita tidak perlu tumbang ketika dicaci, dan tidak tinggi hati ketika dipuji. Hanya sedikit orang yang memahami bahwa untuk menjadi pemimpin yang baik, pertama-tama kita harus menjadi pengikut yang baik. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “Siapa yang tidak bisa menjadi pengikut yang baik, tidak bisa menjadi pemimpin yang baik.”
    Menjadi pengikut yang baik bukan berarti melaksanakan segala instruksi secara membabi buta. Tak mengherankan bila para pengikut di zaman sekarang lebih berkembang. Mereka dengan bijaksana memilih siapa yang mereka ikuti dan menjadikan pengikut sebagai bagian dari “kawah candradimuka”. Di tempat kerja yang semakin demokratis, di mana media sosial memberikan pengaruh yang semakin besar, para pengikut menjadi lebih berdaya dari sebelumnya.
    Robert Kelley, penulis The Power of Followership, membeberkan penelitian untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi hanya sebesar 20 persen. Jadi pengikut dapat mempengaruhi efektivitas organisasinya sebanyak 80 persen.
    Dengan kata lain, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pengikut yang baik sama pentingnya dengan pemimpin yang baik. Jadi, sudahkah Anda menjadi pengikut yang baik? Siapkah Anda menjadi pemimpin yang hebat?

  • Literasi Keuangan Dimulai dari Keluarga

    Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan tingginya kredit macet di kalangan millennial. Berdasarkan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pinjaman macet lebih dari 90 hari di industri financial technology peer-to-peer (P2P lending), atau yang dikenal dengan sebutan pinjol untuk kategori perseorangan telah mencapai angka Rp1,73 triliun per Mei 2023. Yang menarik, d generasi milenial atau mereka yang berusia 19-34 tahun menjadi “penyumbang” terbesar dari kredit macet tersebut.
    Berbagai pakar menyebutkan bahwa generasi milenial terlilit utang karena fenomena Fear of Missing Out (FOMO) alias ikut-ikutan tren agar merasa tidak “ketinggalan”. Sebagian pakar lain beranggapan bahwa literasi keuangan mereka rendah.
    Menurut penulis, keduanya benar. Generasi “Zaman Now” harus kita akui memang cenderung terimbas “virus” FOMO sebagai imbas masifnya penggunaan media sosial. Di sisi lain, literasi keuangan masyarakat Indonesia dapat dikatakan rendah. Mengapa itu bisa terjadi?
    Karena pendidikan finansial tidak diajarkan di sekolah. Padahal, siapa pun yang bekerja sebagai karyawan maupun yang berbisnis ingin mendapatkan apa yang disebut dengan kesuksesan. Sayangnya, mereka harus otodidak untuk mengelola keuangan. Entah mengikuti kursus, mendaftarkan diri pada program seminar ataupun mengikuti sertifikasi perencanaan keuangan.
    Perencanaan keuangan merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan generasi yang mandiri dan berdaya. Rendahnya literasi keuangan hanya menjadikan generasi kita tidak dapat mewujudkan mimpi-mimpinya. Mulai dari membeli rumah, menyekolahkan anak-anak ke jenjang tertinggi, membeli produk asuransi, berinvestasi, bahkan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    Untuk meningkatkan literasi keuangan, keluarga memegang peranan vital. Oleh karena itu, para orang tua perlu mengedukasi keuangan kepada putra-putrinya sesuai dengan tahapan perkembangannya.
    Nah, bagaimana cara mengedukasi keuangan yang efektif kepada buah hati kita? Berikut sejumlah strategi yang dapat diterapkan.
    Pertama, mendiskusikan topik keuangan secara terbuka. Ketika anak-anak kita sudah cukup besar untuk meminta uang, inilah saatnya untuk berbicara dengan mereka tentang realitas keuangan. Dengan membahas apa artinya menabung, membelanjakan, menyumbang, dan berinvestasi, kita akan membantu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja uang di dunia nyata.
    Kita juga dapat mengajari mereka tentang penganggaran dengan mengatur jumlah uang saku mingguan atau bulanan yang harus mereka pertahankan. Membahas uang saku mingguan atau bulanan sebagai imbalan untuk pekerjaan rumah tangga adalah cara yang bagus untuk memulai anak kita dengan uang untuk dibelanjakan, dan pengetahuan tentang nilai Rupiah. Kita perlu memastikan bahwa diskusi tersebut tetap informatif dan positif sehingga mereka dapat mengingat pesan diskusi tersebut di sepanjang hidup mereka.
    Kedua, mencontohkan kebiasaan baik. Anak-anak belajar dari contoh, jadi penting bagi kita untuk menunjukkan kepada mereka kebiasaan belanja yang dapat mereka pelajari. Kita dapat menjelaskan mengapa kita membeli sesuatu dan  kapan waktu yang tepat untuk membeli secara impulsif atau menunggu sampai uang mereka terkumpul.
    Menunjukkan kepada anak-anak kita bagaimana mengembangkan kebiasaan belanja yang baik memberi mereka kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk sukses dengan uang dan mengembangkan literasi keuangan di kemudian hari. Anak-anak yang belajar keterampilan keuangan praktis di usia muda cenderung merasa nyaman membuat keputusan moneter yang lebih besar sendiri sebagai orang dewasa.
    Ketiga, mengajari anak cara membuat keputusan yang bijak.
    Mengajari anak-anak kita kekuatan pengambilan keputusan yang bijak adalah cara yang bagus untuk memastikan kesuksesan mereka dalam masalah keuangan di kemudian hari. Menjelaskan konsep seperti penundaan kepuasan, berinvestasi untuk masa pensiun, dan memahami risiko versus imbalan akan membantu mereka memahami tidak hanya cara membuat keputusan yang cerdas, tetapi juga mengapa keputusan itu harus dibuat.
    Ketika kita meluangkan waktu untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana menilai pengeluaran mereka dengan hati-hati dan merencanakan kebutuhan masa depan mereka, itu akan memberi mereka landasan yang kuat untuk mengelola uang mereka sendiri di masa dewasa dan meningkatkan literasi keuangan mereka. Mengajari anak-anak tentang manajemen keuangan yang bertanggung jawab dapat membantu mereka memahami pentingnya menyimpan uang daripada membuangnya.
    Keempat, memberikan tanggung jawab atas  uang mereka sendiri. Mengambil kepemilikan atas dana mereka sendiri memberi anak rasa kemandirian dan membantu memperkuat pelajaran dari percakapan di rumah tentang pengelolaan uang. Kita dapat memulai dengan menentukan tunjangan mingguan atau bulanan yang adil. Anak-anak dapat memperoleh uang saku dengan melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh adik, atau membantu tugas-tugas lain di rumah.
    Selanjutnya, kita dapat meminta mereka membuka rekening tabungan. Kita mendorong mereka untuk memasukkan uang saku ke dalam rekening tabungan. Anak-anak kemudian dapat melihat cara kerja perbankan, serta belajar menabung.
    Mengajari anak-anak kita keterampilan literasi keuangan dasar seperti membuat rencana pengeluaran, menabung, dan berinvestasi dapat membantu memastikan bahwa mereka membuat keputusan yang tepat ketika tiba waktunya untuk mengelola uang mereka sendiri. Selain itu, memberi contoh akan menunjukkan kepada anak-anak kita betapa bermanfaatnya praktik keuangan yang baik dalam jangka panjang. Dengan kesabaran dan dedikasi, di kemudian hari kita dapat mewujudkan generasi yang bertanggung jawab secara finansial.