Author: Agung Wibowo

  • Apa yang Sebaiknya Kamu Tahu dari Terapi Menulis

    Terapi menulis (writing therapy) adalah bentuk terapi yang menggunakan ekspresi tertulis untuk membantu seseorang mengatasi berbagai masalah emosional, mental, dan psikologis. Terapi ini biasanya melibatkan penulisan bebas (free writing) atau penulisan terarah berdasarkan instruksi dari terapis atau pedoman tertentu. Tujuannya adalah untuk memahami perasaan terdalam, mengungkapkan emosi yang sulit diungkapkan secara lisan, dan memfasilitasi proses penyembuhan emosional dan mental.

    Manfaat Terapi Menulis

    • Mengurangi stres dan kecemasan.
    • Meningkatkan suasana hati.
    • Memproses pengalaman traumatis.
    • Meningkatkan kesadaran diri dan pemahaman tentang emosi.
    • Menyelesaikan konflik emosional.

    Teknik Terapi Menulis

    1. Penulisan Ekspresif (Expressive Writing): Teknik ini melibatkan penulisan bebas mengenai perasaan terdalam, sering kali tanpa fokus pada tata bahasa atau struktur. Penulisan dilakukan secara terus-menerus selama beberapa menit, dengan tujuan mengungkapkan pikiran dan perasaan tanpa sensor.
    2. Penulisan Jurnal (Journaling): Menulis jurnal secara rutin dapat membantu memproses perasaan sehari-hari, peristiwa yang terjadi, atau refleksi diri. Penulisan ini lebih terstruktur dan bertujuan untuk mencatat pengalaman dan emosi sehari-hari.
    3. Surat yang Tidak Dikirim (Unsent Letter): Teknik ini melibatkan menulis surat kepada seseorang (misalnya orang yang telah meninggal, orang yang telah menyakiti kita, atau bahkan diri sendiri), dengan tujuan untuk mengungkapkan perasaan yang belum terselesaikan tanpa niat mengirim surat tersebut.
    4. Dialog Tertulis (Dialoguing): Teknik ini melibatkan menulis dialog antara dua bagian diri, misalnya antara bagian yang takut dan bagian yang berani, atau antara diri sendiri dan orang lain dalam situasi konflik. Ini membantu menjernihkan perasaan dan perspektif dari sudut pandang yang berbeda.
    5. Penulisan Naratif (Narrative Writing): Teknik ini melibatkan menulis cerita tentang pengalaman pribadi sebagai cara untuk mengatur dan memahami peristiwa hidup. Narasi membantu memberi struktur pada pengalaman, memungkinkan individu untuk melihat peristiwa dari perspektif yang lebih objektif.
    6. Penulisan Puisi (Poetry Therapy): Puisi bisa menjadi cara kreatif untuk mengekspresikan emosi yang sulit diungkapkan dalam bentuk tulisan biasa. Bentuk ini sering kali digunakan dalam kelompok atau sesi individu untuk menggali perasaan lebih dalam.

    Rekomendasi Buku Terapi Menulis untuk Pemula

    1. “The Artist’s Way” oleh Julia Cameron
      Buku ini dirancang untuk menghubungkan kreativitas dan kesadaran diri. Cameron memperkenalkan konsep morning pages, di mana seseorang menulis tiga halaman setiap pagi untuk membantu membersihkan pikiran.
    2. “Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within” oleh Natalie Goldberg
      Buku ini menggabungkan teknik meditasi Zen dengan praktik menulis bebas. Cocok untuk mereka yang ingin menggunakan menulis sebagai alat refleksi diri dan penyembuhan.
    3. “Expressive Writing: Words that Heal” oleh James W. Pennebaker & John F. Evans
      Pennebaker adalah salah satu pelopor terapi menulis, dan buku ini memberikan panduan praktis untuk memulai terapi menulis, serta meneliti manfaatnya secara ilmiah.
    4. “Opening Up by Writing It Down: How Expressive Writing Improves Health and Eases Emotional Pain” oleh James W. Pennebaker & Joshua M. Smyth
      Buku ini memperkenalkan teknik penulisan ekspresif yang didukung oleh penelitian ilmiah dan memberikan panduan yang mudah diikuti bagi pemula.
    5. “Journal to the Self: Twenty-Two Paths to Personal Growth” oleh Kathleen Adams
      Buku ini menawarkan berbagai teknik menulis jurnal untuk pengembangan diri, peningkatan kesadaran, dan penyembuhan emosional.
    6. “The Writing Cure: How Expressive Writing Promotes Health and Emotional Well-Being” oleh Stephen J. Lepore & Joshua M. Smyth
      Buku ini memberikan panduan dan teknik yang diintegrasikan dengan studi ilmiah tentang efek menulis terhadap kesehatan mental.

    Terapi menulis bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin mengeksplorasi diri dan memproses emosi dengan cara yang aman dan mendalam.

  • Mengenal Journaling

    Stres?

    Sering galau?

    Memiliki trauma?

    Fobia yang sulit diatasi?

    Luka batin yang menahun?

    Dendam dan benci yang tak berkesudahan?

    Atau berbagai emosi negatif yang membuatmu dalam vibes buruk?

    Mungkin Anda membutuhkan journaling.

     

    Apa itu journaling?

    Journaling adalah praktik menulis di jurnal atau buku harian untuk merekam pikiran, perasaan, pengalaman, dan refleksi pribadi. Ini bisa dilakukan secara rutin dan membantu individu dalam memahami diri mereka lebih baik.

     

    Manfaat journaling

    1. Meningkatkan kesadaran diri: Membantu mengidentifikasi emosi dan pola pikir.

    2. Mengurangi stres: Menyediakan cara untuk melepaskan perasaan dan kecemasan.

    3. Meningkatkan kreativitas: Menstimulus ide-ide baru dan pemecahan masalah.

    4. Memperbaiki kesehatan mental: Dapat membantu dalam mengelola depresi dan kecemasan.

    5. Mencatat kemajuan: Membantu dalam menetapkan tujuan dan melacak perkembangan.

     

    Tips melakukan journaling

    1. Tetapkan waktu: Luangkan waktu setiap hari atau minggu untuk menulis.

    2. Bebaslah menulis: Tidak perlu khawatir tentang tata bahasa; fokus pada apa yang ingin diungkapkan.

    3. Gunakan prompt: Jika kesulitan memulai, gunakan pertanyaan atau tema tertentu sebagai panduan.

    4. Buat suasana nyaman: Temukan tempat yang tenang dan nyaman untuk menulis.

    5. Jaga privasi: Pastikan jurnal Anda aman agar bisa mengekspresikan diri secara bebas.

     

    Tokoh yang sering melakukan journaling

    1. Anne Frank: Dalam diarinya, dia merekam pengalaman selama Perang Dunia II.

    2. Virginia Woolf: Penulis yang dikenal dengan jurnalnya yang mendalam.

    3. Leonardo da Vinci: Menggunakan catatan harian untuk mengekspresikan ide-ide dan eksperimen.

    4. Oprah Winfrey: Menggunakan journaling sebagai alat refleksi dan pertumbuhan pribadi.

    (more…)

  • Mengapa Terapi Menulis?

    Terapi menulis dikenal sebagai salah satu metode yang efektif dalam merawat kesehatan mental dan meningkatkan kebahagiaan. Dengan mengekspresikan pikiran dan emosi melalui tulisan, seseorang bisa mengolah perasaan yang mungkin sulit diungkapkan secara lisan, sehingga membantu mengurangi stres, kecemasan, dan beban mental.

    Mengapa Terapi Menulis Baik untuk Kesehatan Mental dan Kebahagiaan?

    1. Melepaskan Emosi: Menulis memberikan kesempatan untuk melepaskan perasaan yang tertahan, seperti marah, sedih, atau kecewa. Ekspresi ini memungkinkan individu mengurai emosi negatif dan memperjelas apa yang mereka rasakan.
    2. Mengatasi Trauma: Terapi menulis, khususnya expressive writing, terbukti membantu orang mengolah trauma. Ini membantu meningkatkan pemahaman diri dan proses penyembuhan mental.
    3. Refleksi Diri: Menulis membantu dalam introspeksi, sehingga seseorang dapat memahami diri mereka lebih baik, membuat keputusan lebih bijak, dan menemukan solusi atas masalah yang dihadapi.
    4. Peningkatan Mood: Berbagai studi menunjukkan bahwa menulis tentang pengalaman positif atau hal-hal yang disyukuri dapat meningkatkan mood dan kebahagiaan.
    5. Mengurangi Kecemasan: Dengan mencatat kekhawatiran atau ketakutan, kita dapat menguranginya secara signifikan. Menulis tentang hal-hal yang mengganggu dapat mengurangi tekanan pikiran.

    Jenis-jenis Terapi Menulis

    1. Expressive Writing (Penulisan Ekspresif): Ini melibatkan menulis tentang peristiwa atau pengalaman emosional, tanpa fokus pada struktur atau aturan tata bahasa. Penulisan ini bertujuan untuk menggali dan memproses emosi.
    2. Journaling (Menulis Jurnal): Dalam journaling, seseorang mencatat perasaan, pemikiran, dan pengalaman sehari-hari. Ini membantu dalam mengidentifikasi pola pikiran atau perasaan, serta melacak perkembangan emosional.
    3. Gratitude Writing (Menulis Rasa Syukur): Menulis hal-hal yang disyukuri setiap hari dapat membantu menggeser fokus dari hal-hal negatif ke hal-hal positif, meningkatkan kesejahteraan mental dan kebahagiaan.
    4. Letter Writing (Menulis Surat): Terapi ini melibatkan menulis surat (tidak harus dikirim) kepada seseorang atau diri sendiri, yang bisa membantu menyelesaikan konflik atau trauma masa lalu.
    5. Poetry Therapy (Terapi Puisi): Menulis puisi sebagai bentuk ekspresi kreatif dapat membantu seseorang mengolah perasaan dengan cara yang mendalam dan artistik.

    Waktu yang Cocok untuk Menulis

    • Pagi Hari: Menulis di pagi hari dapat membantu menyusun niat untuk hari itu, mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan, dan menciptakan energi positif.
    • Sebelum Tidur: Menulis sebelum tidur bisa menjadi cara untuk merenungkan hari yang telah berlalu, melepaskan beban pikiran, dan meningkatkan kualitas tidur.
    • Setiap Kali Merasa Stres atau Gelisah: Terapi menulis juga bisa dilakukan kapan pun seseorang merasa tertekan atau kewalahan, sebagai cara untuk meredakan emosi negatif.

    Cara Melakukan Terapi Menulis

    1. Temukan Tempat yang Nyaman: Cari tempat yang tenang dan bebas gangguan untuk menulis agar pikiran dapat fokus dan emosi mengalir secara alami.
    2. Pilih Waktu Tertentu Setiap Hari: Konsistensi penting dalam terapi menulis. Tentukan waktu yang tetap setiap hari agar prosesnya menjadi bagian dari rutinitas.
    3. Tulis Secara Bebas: Jangan khawatir tentang tata bahasa, ejaan, atau struktur. Fokus pada apa yang dirasakan dan pikirkan.
    4. Batasi Waktu Menulis: Menulis selama 15-20 menit sehari sudah cukup efektif untuk melepaskan emosi dan meningkatkan kesejahteraan.
    5. Refleksi Setelah Menulis: Setelah menulis, luangkan waktu sejenak untuk membaca kembali apa yang telah ditulis. Ini membantu untuk memahami perasaan yang muncul dan memberikan perspektif baru.

    Tokoh-tokoh yang Pernah Melakukan Terapi Menulis

    1. Virginia Woolf: Penulis terkenal ini menggunakan menulis sebagai cara untuk mengatasi kecemasan dan depresi. Menulis adalah cara Woolf untuk melepaskan emosi yang mendalam.
    2. Sylvia Plath: Penulis dan penyair ini juga menggunakan menulis sebagai terapi untuk menghadapi perasaannya yang kompleks. Buku “The Bell Jar” adalah contoh dari penulisan yang merefleksikan perjuangannya dengan kesehatan mental.
    3. Frida Kahlo: Selain terkenal dengan karya seni visualnya, Frida Kahlo juga menulis untuk mengungkapkan rasa sakit emosional dan fisik yang ia alami sepanjang hidupnya.
    4. Anne Frank: Dalam masa sulit persembunyiannya selama Perang Dunia II, Anne menulis jurnal untuk mengatasi ketakutan dan kecemasannya. Jurnal ini kemudian dikenal sebagai “Diary of a Young Girl.”
    5. Ernest Hemingway: Hemingway dikenal karena menggunakan tulisan sebagai pelarian dari trauma perang dan depresi yang ia alami, yang kemudian membantu dalam proses penyembuhannya.

    Terapi menulis adalah alat yang kuat untuk menyembuhkan diri sendiri. Dengan mengekspresikan apa yang kita rasakan dalam bentuk tulisan, kita dapat menciptakan ruang untuk pemahaman diri, mengelola stres, dan meraih kebahagiaan yang lebih mendalam.

  • Seni “Menjual Diri” di Abad Digital

    Ketika kita ingin mencari guru pemasaran, hampir semua kemungkinan besar langsung menyebut Hermawan Kartajaya. Ketika orang ingin mencari pakar pendidikan anak, mungkin mereka secara spontan mengasosiasikannya dengan Kak Seto. Ketika saya, Anda, atau kita semua ingin menemukan inspiratif; bisa jadi Deddy Corbuzier menjadi nama yang pertama kali ada di pikiran kita.

    Begitu pun ketika kita membicarakan brand atau merek. Ketika kita menyebut mie instan, sebagian besar dari diri kita sering kali menyebut Indomie. Ketika kita ingin membeli air minum kemasan, secara spontan kita menyebut Aqua. Ketika emak-emak ingin membeli kecap, kebanyakan mungkin akan memilih Bango.

    Mengapa bisa seperti itu?

    Kita hidup di zaman di mana “eksistensi digital” sama pentingnya dengan kehadiran fisik. Dengan berkembangnya platform media sosial dan komunitas online, personal branding semakin relevan untuk kita perhatikan dan terapkan.

    Dewasa ini, dunia semakin terhubung dibandingkan sebelumnya, dan untuk bisa “menonjol”, “diperhatikan”, atau “diikuti” di tengah makin tingginya animo masyarakat untuk menjadi “Influencer” semakin mendorong kita untuk memiliki #PersonalBranding yang kuat. Memiliki personal branding yang kuat tidak hanya penting bagi para influencer, content creator, public figure atau pebisnis; namun sejatinya berlaku untuk semua kalangan.

    Pentingnya Personal Branding
    Mengapa personal branding itu penting?
    Mengapa memiliki personal branding yang kuat menjadi keharusan di era digital yang penuh yang “distraction” ini?
    Mengapa kita semua perlu “menjual diri” melalui personal branding?

    Pertama, personal branding itu bisa mendongkrak kepercayaan dan kredibilitas kita. Personal branding adalah tentang bagaimana kita menampilkan diri kita secara online dan secara offline. Personal branding yang kuat membangun kepercayaan dan kredibilitas karena memungkinkan orang melihat keahlian, kemampuan, dan pencapaian kita. Ini membantu orang memahami ide kita dengan lebih baik dan faktor-faktor yang menentukan keahlian kita.

    Personal branding kita mencerminkan siapa kita, apa yang kita wakili, apa yang kita perjuangkan, apa yang kita anggap penting, apa yang kita jual, apa yang kita yakini, dan apa yang membuat kita unik di tengah kerumunan. Di era digital, internet menjadi tempat pertama yang dikunjungi orang ketika mencari bisnis atau profesional. Membangun personal branding sangat penting karena memungkinkan kita menunjukkan keahlian dan kompetensi kita secara publik.

    Kedua, membuka pintu peluang yang tak terbatas. Personal branding yang kuat membuka pintu-pintu peluang terbuka sangat lebar tanpa bats. Ketika kita telah membangun personal branding yang unggul, kita dianggap ahli di bidang kita, yang memberikan lebih banyak peluang untuk menjadi pembicara, tawaran pekerjaan, kolaborasi, kemitraan bisnis, sponsorship, dan berbagai bentuk kerja sama dalam bentuk lainnya. Personal branding memungkinkan kita menciptakan jaringan individu yang berpikiran sama dan membangun koneksi untuk melejitkan karier dan bisnis kita.

    Ketiga, membangun identitas diri. Membangun personal branding berarti menciptakan identitas unik yang mewakili kita dan apa yang kita perjuangkan. Menjadi dikenal dan mudah diingat merupakan faktor penting dalam mendapatkan lebih banyak eksposur dan mengembangkan jaringan kita. Personal branding yang kuat akan membantu kita menonjol dari semakin sengitnya persaingan untuk mendapatkan “perhatian” atau sekadar Likes, Comments, Share, Subscribe, atau Follow. Ini juga membantu calon klien, investor, dan kolega mengidentifikasi kita.

    Keempat, mengekspresikan diri dengan lebih leluasa. Personal branding adalah tentang jujur pada diri kita sendiri dan mengekspresikan siapa diri kita sebenarnya. Ini tentang bersikap autentik dan transparan dalam upaya Anda. Personal branding mewakili nilai-nilai, kepribadian, dan elemen yang membuat kita unik. Diri-sejati kita adalah fondasi personal branding kita. Ini adalah kunci untuk membuka peluang dan mendorong pertumbuhan dan kesuksesan.

    Kelima, menciptakan legacy. Tidaklah berlebihan jika saya anggap personal branding sebagai tanda atau jejak yang ditinggalkan seseorang di dunia. Personal branding yang kuat adalah “warisan” yang kita ciptakan. Jika kita telah berhasil membangun personal branding, maka kita telah menciptakan kesan mendalam pada jaringan kita, kolega, atau klien yang kita layani. Personal branding kita mewakili perjalanan dan pencapaian kita, dan merek tersebut akan tetap ada bahkan setelah kita tiada.

    Lantas, bagaimana cara membangun personal branding di era internet seperti sekarang ini?
    Apa yang harus kita kita pahami dan perlu kita lakukan agar kita bisa “menjual diri” tanpa terkesan “menjual”?

    Jurus Membangun Personal Branding

    Pertama-tama, tunjukkan sisi positif. Dalam membangun personal branding, kita perlu menghindari apa pun yang berpotensi menimbulkan kontroversi. Kita perlu berpikir puluhan kali sebelum kita membagikan sesuatu. Jikta kita tidak memiliki sesuatu yang baik untuk dikatakan, sebaiknya kita diam.

    Praktik sederhana ini memastikan kita mempertahankan personal branding yang positif di semua kalangan. Kita mungkin memang tidak bisa menyenangkan semua orang, paling tidak, kita bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa kita pantas untuk dihormati.

    Kedua, tunjukkan nilai-nilai kita. Penting untuk konsisten baik di dalam maupun di luar organisasi kita agar autentik dan menjaga reputasi kita tetap kuat. Cara terbaik untuk melakukan ini adalah dengan membuat daftar keyakinan dan nilai terpenting kita dan mewujudkannya. Dalam konteks bisnis, ini berarti mengutamakan manusia, mulai dari karyawan hingga pelanggan.
    Tanyakan pada diri kita, apa yang kita perjuangkan? Apa yang kita yakini? Di bidang apa kita ingin menjadi “pahlawan” yang menjadi solusi untuk orang banyak? Personal branding mencerminkan siapa diri kita.

    Ketiga, buatlah situs web atau blog. Sebisa mungkin, buatlah situs web atau blog yang nama domainnya mewakili jasa, produk, identitas, atau personal branding kita.

    Sangat penting untuk memiliki situs web atau blog pribadi meskipun kita mungkin tidak punya waktu untuk memperbaruinya secara rutin. Dengan membangun blog atau situs web dengan konten yang relevan, kita “memiliki” hasil teratas yang muncul di mesin pencari seperti Google ketika orang-orang meneliti siapa diri kita.

    Kita memiliki banyak pengaruh dalam menyampaikan pesan kita kepada orang lain yang berspekulasi tentang bisnis dan kehidupan pribadi kita. Penting juga untuk melakukan upaya untuk berinteraksi kepada audiens kita secara luas. Kita perlu “eksis” dengan konten yang mewakili personal branding kita. Kita perlu mengajak berinteraksi dengan audiens agar personal branding kita semakin bergema.

    Keempat, buatlah “panggung” di media sosial Sama seperti kita harus “memiliki” nama kita dalam bentuk domain, kita juga harus memiliki personal branding di media sosial. Ini berarti membuat profil di berbagai kanal media sosial sesuai dengan target audiens kita. Entah itu di YouTube, TikTok, Instagram, LinkedIn, Facebook, X dan seterusnya.

    Sangat penting untuk memiliki dan melindungi nama kita secara online. Selain hadir di jaringan media sosial, pilihlah satu atau dua di antaranya untuk dijadikan fokus. Kita perlu konsisten memberikan konten yang memberikan nilai tambah pagi audiens. Kita perlu mengajak audiens berinteraksi agar mereka semakin “dekat” dengan diri kita. Kita wajib menunjukkan kepada sebanyak mungkin orang bahwa kita layak untuk mendapatkan pengikut karena kehadiran kita memberikan solusi bagi mereka.

    Dengan kemajuan kecerdasan buatan (AI) saat ini, membangun profil kita di media sosial menjadi lebih mudah dari sebelumnya. Jadi, kita perlu menanggapi dengan serius dan menggunakannya sebagai sarana untuk melibatkan audiens kita secara langsung. Kita perlu membuat postingan tentang yang “relevan” dengan kebutuhan target audiens kita. Buatlah itu seautentik mungkin. Anggaplah kanal media sosial kita seperti kolam yang kita rawat. Jika kita rajin berbagi dengan tulus, maka lama kelamaan kita bisa mendapatkan “ikan” yang kita dambakan.

    Kelima, teruslah konsisten untuk menguatkan “positioning” kepakaran kita. Yang terakhir, kita harus menganggap diri kita sebagai “pemimpin” di bidang yang menunjukkan siapa diri kita. Kita perlu membangun kepakaran kita melalui konten-konten baru yang kreatif, berwawasan luas, dan dikemas semenarik mungkin.

    Menjadi seorang pakar berarti membagikan pelajaran kepada audiens melalui konten-konten yang out of the box, orisinil, dan “berbeda” dari pesaing kita.

    Kesimpulan
    Personal branding tidak hanya diperuntukkan bagi public figure, content creator, pebisnis, atau selebriti kelas atas. Membangun personal branding sangat penting bagi siapa saja yang ingin menonjol dari yang lain dan memberikan kesan di era digital.

    Personal branding yang kuat membantu membangun kredibilitas, meningkatkan orisinalitas, membina hubungan, dan menciptakan legacy. Dengan membangun personal branding, kita dapat menunjukkan keahlian kita dengan percaya diri dan menciptakan landasan yang kuat untuk sukses — terlepas apapun goal yang kita tetapkan.

    Menciptakan personal branding itu lebih dari sekadar memproyeksikan citra kesuksesan atau ego diri kita. Untuk benar-benar menonjol dari yang lain dan berhasil dalam dunia yang superkompetitif saat ini, penting untuk mengembangkan personal branding yang mencerminkan siapa diri kita sebagai individu dan apa yang kita tawarkan.

    Membangun personal branding bukan semata-mata menciptakan “topeng”. Sehingga, apa yang kita lakukan dalam keseharian harus sesuai dan menunjukkan kesan yang ingin dipersepsikan oleh orang banyak. Karena tanpa itu, kita hanya menciptakan “citra semu” yang rapuh.

    Jadi, silakan ambil langkah pertama, dan berinvestasilah dalam membangun personal branding yang mewakili diri kita dan apa yang kita perjuangkan.

  • Senja Kala Industri Perbukuan

    Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan tutupnya Toko Gunung Agung. Banyak yang menyayangkan tumbangnya jaringan toko buku yang berdiri sejak tahun 1953 tersebut.

    Sebelum menutup seluruh jaringan toko bukunya, Toko Gunung Agung bisa dikatakan pernah mengalami masa kejayaannya di tahun 1990an. Pada periode tersebut, usaha yang dirintis oleh Tjio Wie Tay tersebut menguasai 25% pangsa pasar penjualan buku di tanah air.

    Tutupnya Toko Gunung Agung secara permanen menjadi kabar buruk bagi kemajuan literasi di tanah air. Pasalnya, sebelumnya publik sudah dibuat sedih dengan tutupnya (sebagian) gerai-gerai milik jaringan toko buku kenamaan seperti Books and Beyond, Togamas dan Kinokuniya.

    Faktor Kehadiran Internet
    Harus diakui bahwa perkembangan internet menjadi awal anjloknya bisnis toko buku fisik. Pasalnya, kehadiran internet membuat masyarakat bisa lebih mudah membaca buku versi digital (ebook) dengan biaya jauh lebih terjangkau. Tak mengherankan bila Kindle, Google Play Books atau Gramedia Digital dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren perkembangan yang menakjubkan.

    Di sisi lain, budaya membaca buku masyarakat Indonesia memang dapat dikatakan memprihatinkan. Anak-anak muda kita jauh lebih betah berjam-jam menikmati konten digital di YouTube, TikTok, Instagram dan berderet platform media sosial lainnya dibandingkan dengan membaca buku.

    Dari perspektif (sebagian) penulis, pendapatan dari menulis buku juga belum dapat diharapkan banyak. Rendahnya besaran royalti, transparansi angka penjualan buku dari (sejumlah) penerbitan yang meragukan, tingginya pajak royalti, dan lesunya penjualan buku menjadi faktornya. Realita tersebut diperburuk dengan masifnya pembajakan buku yang dijual secara bebas melalui sejumlah ecommerce kenamaan seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak dan semacamnya.

    Tak mengherankan bila profesi penulis kurang menjanjikan di mata generasi “zaman now” dibandingkan menjadi Content Creator, PNS, pengusaha ataupun karyawan di perusahan multinasional.

    Faktanya adalah kita perlu menjual banyak buku untuk menjadi seorang penulis yang “sukses”. Bagi sebagian besar penerbit tradisional, bisa menjual 2.000 buku dianggap sukses. Angka tersebut adalah rata-rata jumlah eksemplar buku untuk satu periode cetak. Jika ada kebutuhan yang masih tinggi dari pembaca, biasanya penerbit akan mencetak ulang suatu buku.

    Namun, berapa banyak uang yang diperoleh seorang penulis dengan menjual 2.000 eksemplar dalam setahun? Katakanlah harga jual bukunya adalah Rp 50.000 dan royaltinya adalah 10%. Maka, dari satu buku yang diterbitkan, penulis akan mendapatkan Rp 10.000.000 setahun — itupun jika langsung ludes semuanya.

    Bagaimana strategi penulis full time agar bisa bertahan? Tentu saja, dengan menerbitkan semakin banyak buku (best-seller). Tidak sedikit yang menjual keahlian menulisnya menjadi seorang Co-writer, Ghostwriter, Copywriter, hingga Editor.

    Faktanya, jumlah penulis full time di Indonesia masih begitu rendah. Sebagian besar menjadikan penulis sebagai “profesi sambilan” dari pekerjaan utamanya. Kendati harus diakui ada segelintir penulis full time yang bisa eksis atau “sukses”. Namun jumlahnya ada berapa? Bisa dihitung dengan jari.

    “Lonceng Kematian” Industri Perbukuan?
    Dengan rendahnya minat generasi muda untuk menjadi penulis, makin menurunnya minat masyarakat untuk membaca buku, dan gempuran pembajakan buku; apakah itu semua menjadi pertanda tumbangnya industri perbukuan? Sebagian analis memang mengatakan bahwa era kejayaan penerbitan tradisional telah berlalu. Sementara itu, sebagian pihak lain mengatakan bahwa industri perbukuan hanya menyesuaikan diri — bukannya mati — karena fondasi literasi dan penyebaran pengetahuan masih bergantung pada buku — bukan pada konten-konten “murahan” berbasis digital.

    Penting bagi kita untuk memahami bahwa perdebatan mengenai kelangsungan industri perbukuan masih berkutat pada aspek profitabilitas. Akankah industri perbukuan terus menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan operasinya di masa depan, atau apakah industri ini berada di ambang kematian?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor kunci.

    Maraknya digitalisasi tidak diragukan lagi berdampak pada industri perbukuan. Masyarakat semakin beralih ke buku digital dan e-book dibandingkan buku cetak tradisional. Meskipun konten digital diyakini kurang menguntungkan dibandingkan buku bersampul keras, konten digital memiliki jangkauan yang lebih luas dan memenuhi preferensi audiens yang melek teknologi – khususnya generasi milenial, generasi Z, dan kemungkinan generasi-generasi yang lebih muda di masa depan.

    Format digital memungkinkan penyertaan konten tambahan, seperti elemen multimedia dan fitur interaktif, yang meningkatkan pengalaman membaca dan memberikan peluang pendapatan baru bagi penerbit. Memang benar bahwa jumlah pencetakan buku mengalami penurunan secara global namun masih jauh dari punah, khususnya di sektor pendidikan. Buku teks, bahan referensi, dan publikasi cetak terus menjadi penting bagi sekolah, perguruan tinggi, universitas, perpustakaan, fakultas kedokteran, firma hukum, dan berbagai institusi lainnya. Buktinya apa?

    Jika kita perhatikan secara saksama, jumlah penerbitan mayor maupun indie masih begitu subur di kota-kota pelajar seperti Yogyakarta, Malang, Bandung, dan Solo. Itu menandakan masih ada “kue” untuk diperebutkan.

    Di era digital yang berkembang pesat saat ini, perdebatan seputar keuntungan buku fisik versus e-book tetap menjadi topik yang kontroversial dan memiliki banyak segi. Meskipun mungkin tampak intuitif bahwa e-book, dengan kemudahan dan aksesibilitasnya, akan mendominasi pasar, kenyataannya tidak seperti yang terlihat. Masih ada begitu banyak orang yang lebih nyaman melipat, mencoret, atau menandai halaman yang terakhir dibaca melalui buku cetak dibandingkan dengan membaca buku digital dengan segala kepraktisannya.

    Bertentangan dengan anggapan umum, banyak penelitian dan analisis pasar secara konsisten menunjukkan bahwa penjualan buku fisik terus melebihi penjualan e-book. Menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (25 Januari – 8 Februari 2021), “% orang dewasa AS yang mengatakan bahwa mereka telah membaca ____ dalam 12 bulan sebelumnya” adalah sebagai berikut:
    · 32% hanya mencetak buku
    · 9% buku digital saja (termasuk e-book dan buku audio)
    · 23% tidak ada buku
    · 2% tidak tahu menolak
    · 33% buku cetak dan digital

    Sayangnya, saya belum atau tidak menemukan riset serupa untuk pasar Indonesia. Kendati demikian, menurut hemat saya sebagai penulis sekaligus penggemar buku; industri perbukuan masih jauh rasanya jika dikatakan akan tumbang. Penerbit-penerbit lokal kita hanya perlu beradaptasi menyesuaikan kebutuhan pasar. Misalnya, dengan merilis buku cetak dan ebook sekaligus di setiap penerbitan, membuat dan menjual versi audiobooknya, hingga membuat materi-materi pelatihan berbasis konten buku untuk genre buku pengembangan diri khususnya.

    Simalakama Pembajakan
    Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi industri perbukuan adalah pembajakan. Sama seperti industri musik dan film, pembajakan merupakan ancaman serius terhadap penghidupan penerbit dan penulis. Pembajakan tidak hanya menghilangkan pendapatan yang sah bagi pembuat konten, tetapi juga melemahkan insentif untuk memproduksi konten baru.

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi pembajakan, termasuk tindakan hukum, teknologi manajemen hak digital (DRM), dan kampanye kesadaran masyarakat. Namun permasalahannya tetap ada dan belum ada solusi yang pasti. Penting bagi konsumen untuk memahami dampak negatif pembajakan dan mendukung penulis dan penerbit dengan membeli buku yang sah.

    Selain tantangan digitalisasi dan pembajakan, industri perbukuan juga menghadapi beberapa masalah mendesak lainnya yang berdampak signifikan terhadap operasional dan profitabilitasnya.

    Produksi buku cetak melibatkan berbagai biaya, termasuk biaya kertas, tinta, peralatan pencetakan, dan transportasi. Selama bertahun-tahun, harga komponen penting ini terus meningkat. Meningkatnya harga kertas dan tinta cetak tidak hanya mempengaruhi margin keuntungan penerbit tetapi juga menyebabkan harga buku yang lebih tinggi bagi konsumen. Penerbit sering kali perlu mengambil keputusan sulit mengenai proses pencetakan dan harga untuk mempertahankan daya saing mereka.

    Ketergantungan industri percetakan pada kertas telah menimbulkan permasalahan lingkungan. Produksi kertas melibatkan penggundulan hutan, penggunaan air, dan konsumsi energi. Selain itu, pengangkutan buku di seluruh dunia berkontribusi terhadap emisi karbon. Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan, penerbit menghadapi tekanan untuk menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan. Beberapa penerbit sedang menjajaki opsi seperti kertas daur ulang, metode pencetakan ramah lingkungan, dan penerbitan digital sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan pencetakan tradisional.

    Menerbitkan buku, baik itu novel, karya non-fiksi, atau teks akademis, merupakan investasi yang signifikan bagi penerbit. Sayangnya, tidak semua buku mencapai tingkat kesuksesan yang diharapkan. Beberapa judul gagal mendapatkan daya tarik di pasar, sehingga mengakibatkan kerugian finansial bagi penerbit. Kerugian ini bisa sangat memberatkan bagi penerbit kecil dan independen (penerbit indie). Pasar buku yang tidak dapat diprediksi menyulitkan penerbit untuk mempertahankan profitabilitas yang konsisten.

    Preferensi pembaca terus berkembang. Meskipun banyak pembaca yang menyukai e-book dan konten digital, beberapa masih lebih menyukai pengalaman membaca buku fisik. Penerbit harus menavigasi perubahan preferensi ini dengan menawarkan beragam format. Hal ini memerlukan investasi pada platform penerbitan digital, strategi pemasaran, dan saluran distribusi untuk melayani spektrum pembaca yang luas.

    Epilog

    Kesimpulannya, industri perbukuan menghadapi banyak tantangan selain digitalisasi dan pembajakan. Meningkatnya biaya kertas, tinta, dan transportasi, ditambah dengan permasalahan lingkungan, memberikan tekanan pada model pencetakan tradisional. Hasil pasar yang tidak dapat diprediksi dan perubahan preferensi konsumen menambah kompleksitas industri ini.

    Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, industri perbukuan tetap tangguh dan mudah beradaptasi, dan industri ini bukanlah industri yang sedang sekarat. Penerbit terus menemukan cara inovatif untuk mengatasi hambatan, seperti mengeksplorasi praktik ramah lingkungan dan mendiversifikasi penawaran produk mereka. Permintaan akan buku dan penyebaran pengetahuan tetap tinggi, sehingga memastikan adanya kebutuhan yang berkelanjutan akan layanan penerbitan. Digitalisasi mungkin telah mengubah lanskap, namun juga membuka jalan baru untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan menghasilkan pendapatan.

    Selama ada permintaan akan pengetahuan dan penyampaian cerita, industri perbukuan akan menemukan cara untuk berkembang dalam lanskap yang terus berubah, memastikan bahwa buku terus menjadi bagian penting dari masyarakat kita. Sebagai konsumen, dukungan kita terhadap konten yang sah sangat penting dalam mempertahankan industri perbukuan. Pada akhirnya, kemampuan industri untuk beradaptasi terhadap perubahan tren dan memanfaatkan teknologi baru akan menentukan keberhasilan jangka panjangnya. Penerbitan mungkin terus berkembang, namun masih jauh dari kepunahan. Industri perbukuan mungkin mengalami fluktuasi yang begitu besar, namun sepertinya masih jauh dari lonceng kematian.

    Bagaimana dengan Anda?
    Kapan terakhir kali Anda membaca buku cetak?
    Apakah kehadiran YouTube, TikTok, Instagram dan platfom-platform media sosial lain telah membuat Anda makin enggan membaca buku?

  • Seni Membangun Kesadaran Diri

    Kesadaran diri tampaknya semakin mendapatkan perhatian belakangan ini. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita melihat diri kita sendiri dengan jelas, kita menjadi lebih percaya diri dan lebih kreatif. Kita membuat keputusan yang lebih bijaksana, membangun hubungan yang lebih kuat, dan berkomunikasi dengan lebih efektif. Kita cenderung tidak berbohong, menipu, dan mencuri.  Para karyawan dengan tingkat kesadaran diri yang tinggi lebih mungkin untuk mendapatkan promosi. Para pemimpin dengan tingkat kesadaran tinggi lebih berpeluang membawa perusahaannya makin maju.
    Selama 50 tahun terakhir, para peneliti telah menggunakan berbagai definisi tentang kesadaran diri. Sebagai contoh, beberapa orang melihatnya sebagai kemampuan untuk memonitor dunia batin kita, sedangkan yang lain menyebutnya sebagai keadaan kesadaran diri yang bersifat sementara. Ada pula yang menggambarkannya sebagai perbedaan antara cara kita memandang diri sendiri dan cara orang lain memandang kita.

    Jadi sebelum kita dapat fokus pada cara meningkatkan kesadaran diri, kita perlu mensintesis temuan-temuan ini dan membuat definisi yang menyeluruh.

    Dari berbagai penelitian yang telah ada, ada dua kategori kesadaran diri yang terus bermunculan. Yang pertama, yang kita sebut kesadaran diri internal, mewakili seberapa jelas kita melihat nilai-nilai, hasrat, aspirasi, kesesuaian dengan lingkungan, reaksi (termasuk pikiran, perasaan, perilaku, kekuatan, dan kelemahan) diri kita sendiri, dan dampaknya terhadap orang lain.  Kesadaran diri internal dikaitkan dengan kepuasan kerja dan hubungan yang lebih tinggi, kontrol pribadi dan sosial, serta kebahagiaan; itu berhubungan negatif dengan kecemasan, stres, dan depresi.

    Kategori kedua, kesadaran diri eksternal, berarti memahami cara orang lain memandang kita, berdasarkan faktor-faktor yang disebutkan di atas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengetahui pandangan orang lain terhadap dirinya lebih terampil dalam menunjukkan empati dan mengambil sudut pandang orang lain. Bagi para pemimpin yang memandang diri mereka seperti halnya karyawannya, karyawannya cenderung memiliki hubungan yang lebih baik dengan mereka, merasa lebih puas dengan mereka, dan secara umum memandang mereka lebih efektif.

    Menurut temuan berbagai riset, kesadaran diri terbukti membawa banyak manfaat. Di antaranya sebagai berikut.
    – Membuat kita lebih proaktif, meningkatkan penerimaan diri kita sendiri, dan mendorong pengembangan diri yang positif.
    – Memungkinkan kita untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, melatih pengendalian diri, bekerja secara kreatif dan produktif, dan merasakan kebanggaan pada diri sendiri dan pekerjaan kita serta harga diri secara umum.
    – Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik.
    – Membuat kita lebih baik dalam pekerjaan kita, komunikator yang lebih baik di tempat kerja, dan meningkatkan kepercayaan diri dan kesejahteraan terkait pekerjaan.
    Manfaat-manfaat tersebut merupakan alasan yang cukup untuk berupaya meningkatkan kesadaran diri, namun daftar tersebut tidak berarti lengkap. Kesadaran diri memiliki potensi untuk meningkatkan hampir setiap pengalaman yang kita miliki, karena ini adalah alat dan praktik yang dapat digunakan di mana saja, kapan saja, untuk membumi pada saat ini, mengevaluasi diri dan situasi secara realistis, dan membantu kita membuat pilihan yang baik.
    Nah, bagaimana cara meningkatkan kesadaran diri?
    Pertama, konsisten dalam melatih mindfulness dan meditasi. Mindfulness mengacu pada hadir pada saat ini dan memperhatikan diri sendiri dan lingkungan sekitar daripada tenggelam dalam pikiran, merenung, atau melamun. Sedangkan meditasi adalah praktik memfokuskan perhatian kita pada satu hal, seperti napas, mantra, atau perasaan, dan membiarkan pikiran kita melayang alih-alih menahannya.
    Kedua praktik tersebut dapat membantu kita menjadi lebih sadar akan keadaan internal dan reaksi kita terhadap berbagai hal. Mereka juga dapat membantu kita mengidentifikasi pikiran dan perasaan kita dan mencegah kita terlalu terjebak di dalamnya sehingga kita kehilangan kendali atas “diri” kita.
    Kedua, berlatih yoga. Yoga adalah latihan fisik, tetapi juga merupakan latihan mental. Saat tubuh kita melakukan peregangan, pembengkokan, dan pelenturan, pikiran kita mempelajari disiplin, penerimaan diri, dan kesadaran. Kita menjadi lebih sadar akan tubuh kita dan semua perasaan yang muncul, dan kita menjadi lebih sadar akan pikiran kita dan pikiran-pikiran yang muncul.

    Kita bahkan dapat memasangkan yoga dengan mindfulness atau meditasi untuk meningkatkan kesadaran diri kita.

    Ketiga, meluangkan waktu untuk merenung. Refleksi dapat dilakukan dengan berbagai cara (termasuk membuat buku diari) dan dapat disesuaikan dengan orang yang melakukan refleksi, namun yang penting adalah meninjau pikiran, perasaan, dan perilaku kita untuk melihat di mana kita memenuhi ekspektasi kita, di mana kita gagal.

    Kita juga dapat merenungkan sendiri standar kita untuk melihat apakah standar tersebut baik untuk kita patuhi. Kita dapat mencoba menulis diari, berbicara dengan suara keras, atau sekadar duduk diam dan berpikir, apa pun yang membantu kita merenungkan diri sendiri.

    Keempat, membuat diari. Manfaat membuat diari adalah memungkinkan kita mengidentifikasi, memperjelas, dan menerima pikiran dan perasaan kita. Ini membantu kita menemukan apa yang kita inginkan, apa yang kita hargai, dan apa yang cocok untuk kita. Ini juga dapat membantu kita mengetahui apa yang tidak kita inginkan, apa yang tidak penting bagi kita, dan apa yang tidak berhasil bagi kita.
    Keduanya sama-sama penting untuk dipelajari. Baik kita suka menulis entri yang mengalir bebas, daftar poin, atau puisi, menuliskan pemikiran dan perasaan kita akan membantu kita menjadi lebih sadar dan memiliki niat.
    Kelima, bertanya kepada orang yang kita sayangi.  Penting untuk merasa bahwa kita mengenal diri kita sendiri dari dalam, namun masukan dari luar juga membantu. Tanyakan kepada keluarga dan teman dekat kita tentang pendapat mereka tentang diri kita. Mintalah mereka mendeskripsikan kita dan lihat apa yang benar bagi kita dan apa yang mengejutkan kita.

    Pertimbangkan baik-baik apa yang mereka katakan dan pikirkan ketika kita membuat diari atau melakukan refleksi. Tentu saja, jangan menganggap perkataan seseorang sebagai kebenaran mutlak; kita perlu berbicara dengan banyak orang untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang diri kita.

    Dan kita perlu mengingat bahwa pada akhirnya, kepercayaan diri dan perasaan kitalah yang paling penting bagi kita.

    Menjadi lebih sadar diri bisa menjadi proses yang menyenangkan. Saat kita belajar lebih banyak tentang diri sendiri, kita dapat melihat dengan jelas apa yang tidak “menguntungkan” kita, dan kita dapat meninggalkannya. Meningkatkan kesadaran diri membawa kita lebih dekat dengan diri-sejati kita. Ini adalah proses yang membebaskan dan memperkaya, selama kita menjaganya tetap ringan dan mempraktikkan sikap tidak menghakimi dan menyayangi diri sendiri.