Mengapa intervensi menulis berhasil? Meskipun mungkin tampak berlawanan dengan intuisi bahwa menulis tentang pengalaman negatif memiliki efek positif, beberapa orang berpendapat bahwa menceritakan kisah peristiwa negatif masa lalu atau kecemasan yang sedang berlangsung “membebaskan” sumber daya kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa trauma merusak jaringan otak, tetapi ketika orang menerjemahkan pengalaman emosional mereka ke dalam kata-kata, mereka mungkin mengubah cara mengaturnya di otak.
Tetapi apa yang mungkin sulit untuk diungkapkan dengan lantang dapat dengan mudah diberikan suara melalui tulisan.
Penyembuhan sangat penting untuk kesehatan kolektif kita, dan tulisan ekspresif telah terbukti menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan pekerja penuh waktu lainnya. Menurut pracetak Juli 2020 dari sebuah studi oleh peneliti Emily Round, Mark Wetherell, Vicki Elsey, dan Michael A. Smith, kursus “penulisan ekspresif positif,” yang berarti menulis secara khusus tentang pengalaman yang sangat positif selama tiga hari berturut-turut, tidak hanya mengurangi “kecemasan keadaan” segera setelah menulis tetapi meningkatkan kesejahteraan terkait pekerjaan dan kepuasan kerja empat minggu kemudian. Para peneliti meminta penelitian lebih lanjut tentang efek penulisan ekspresif pada hasil organisasi, menunjukkan bahwa menulis bahkan dapat meningkatkan kualitas kerja dan kreativitas di tempat kerja.
Menulis yang Menyembuhkan
Menulis ekspresif secara luas didefinisikan sebagai tulisan yang membantu kita memahami pikiran dan emosi kita. Menulis ekspresif dapat mengambil banyak sekali bentuk, termasuk jurnal, memoar, puisi, bahkan opini atau pemikiran. Tapi apa yang kita tulis kurang penting daripada bagaimana menuliskannya.
Tulisan yang paling menyembuhkan, menurut peneliti, harus mengikuti seperangkat parameter kreatif. Dan yang paling penting, itu bisa hanya untuk diri kita sendiri. Itu harus mengandung detail konkret, otentik, eksplisit. Penulis harus menghubungkan perasaan dengan peristiwa. Tulisan seperti itu memungkinkan seseorang untuk menceritakan sebuah cerita yang lengkap, kompleks, koheren, dengan awal, tengah, dan akhir. Dalam penceritaan, tulisan seperti itu mengubah penulis dari korban menjadi sesuatu yang lebih kuat: narator dengan kekuatan untuk mengamati. Singkatnya, ketika kita menulis untuk mengekspresikan dan membuat masuk akal, kita mendapatkan kembali kekuatan untuk memegang kendali dalam hidup. Kita akan lebih menyadari bahwa bahagia atau tidaknya diri kita bergantung cara kita merespon peristiwa atau keadaan.
Untuk mencoba menulis sebagai alat untuk penyembuhan dan kebahagiaan, berikut adalah tiga teknik yang dapat kita coba.
Pertama, jangan menahan diri. Karena tulisan itu memang untuk diri kita. Jangan khawatir tentang tata bahasa atau ejaan. Jangan khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan orang lain atau apakah itu ditulis dengan baik atau baik atau adil. Atur penghitung waktu selama sepuluh menit, gerakkan tangan kita, dan “tulis bebas” sebagai respons terhadap perintah tertentu. Tanpa terlalu memikirkannya, tuliskan kata, catatan, frasa, kalimat — apa pun yang muncul ketika kita memikirkan momen dramatis dari suatu peristiwa, momen yang tetap ada, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Jika kita kehabisan hal untuk dikatakan, tulislah itu (“kehabisan hal untuk dikatakan”) sampai sebuah pikiran baru muncul di benak kita.
Ketiga, ambil hikmah dari setiap momen.Karena dunia telah berubah di sekitar kita, kita juga telah berubah. Kita mungkin telah belajar tentang apa yang penting, apa yang tidak, atau apa yang membuat kita berhasil. Kita mungkin telah belajar tentang diri kita sendiri. Raihlah pelajaran-pelajaran itu saat kita menulis. Manusia adalah mesin pembuat makna, dan menulis adalah cara alami untuk mencapainya.
Rumi, yang merupakan seorang mistikus dan penyair sufi abad ke-13 menulis, “Luka adalah tempat cahaya memasukimu.” Pemikir dari Freud hingga Brené Brown telah mempopulerkan gagasan bahwa ada kekuatan dalam merangkul kerentanan kita. Ketika kita menggunakan tulisan untuk mengungkapkan kebenaran kita, kita tetap menjadi protagonis dalam hidup kita, bukan korban dari keadaan di luar kendali kita.
Tentu saja, menulis ekspresif bukanlah obat mujarab yang langsung “cespleng” dalam sekali praktik. Kendati demikian, menulis secara ekspresif dapat membantu kita menerima tanpa syarat takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan kepada kita.
Mari kita tidak hanya menulis jalan keluar kita; mari kita menulis jalan kita ke arah yang baru.
Leave a Reply