“Aku merasa gagal. Semua sudah kurebut tapi tetap terasa hampa.”

Itulah titik klimaks cerita hidupku — momen ketika aku duduk termenung di tengah malam, dengan laptop ditutup tapi pikiran berputar: “Apa semua ini yang aku inginkan? Apa ini sudah cukup?”

Aku menatap langit-langit ruangan kecilku, bertanya pada diri sendiri: “Kenapa aku tidak bahagia, padahal segala target karier dan pencapaian sudah mulai kita capai?”

Inilah kerentanan yang harus kusebut: aku di ambang jenuh, di ujung lelah, dan di bibir pertanyaan besar tentang makna.

Bayangkan seorang atlet cabang lompat galah. Dia sudah melambungkan dirinya, melampaui tiang, mencapai ketinggian yang nyaris mustahil — tapi di saat itu juga, tiang semakin dinaikkan. Jika dia berhenti, dia jatuh. Jika dia terus, dia harus memperkuat loncatan, memperbaiki teknik, menghadapi angin dan ketakutan.

Dalam hidup profesional kita, itu mirip. Kita terus dilejitkan ke atas: bonus, promosi, ekspektasi, target. Tapi kalau kita berhenti “melompat,” kita justru bisa “jatuh” ke zona stagnan, jenuh, bahkan depresi halus.

Buku Extreme You: Step Up, Stand Out, Kick Ass, Repeat oleh Sarah Robb O’Hagan mengajarkan satu hal: kalau kamu ingin hidup yang bukan cuma “cukup,” tetapi “ekstrem”—bertumbuh ke potensi maksimalmu—kamu harus terus keluarkan versi “lebih ekstrem” dari dirimu.

Dalam esai ini aku akan bercerita tentang apa yang kupelajari dari Extreme You, bagaimana aku mencoba menerapkannya (dan gagal juga), dan bagaimana kamu bisa mengambil poin praktis agar hidupmu bukan hanya sukses di luar, tetapi bahagia dari dalam.

Apa itu “Extremer”? (dan kenapa kita butuh itu)

Sarah menyebut “extremers” sebagai orang-orang yang relentlessly (tanpa henti) mengejar potensi terbaik mereka — bukan dengan membandingkan diri ke orang lain, tapi dengan memahami siapa diri mereka, apa kekuatan uniknya, lalu mendorong diri keluar zona nyaman terus-menerus.

Beberapa elemen inti yang dia gali:

  1. Check Yourself Out (Kenali diri, secara brutal)

  2. Internal Drive (Dorongan dari dalam, bukan sekadar imbalan eksternal)

  3. Grit & Resilience (Ketahanan ketika gagal)

  4. Stubborn Humility (Kerendahan hati yang gigih)

  5. Risk Taking (Berani mengambil risiko yang diperhitungkan)

Dia juga menekankan bahwa kegagalan bukan musuh utama — ketakutanlah yang paling menghambat. Mereka yang berani gagal (dan bangkit) justru lebih kuat. 

Aku akan menelaah tiap elemen ini dalam hidup nyata — bosku, tim, teman, dan terutama diriku sendiri.

Pelajaran & Aplikasinya dalam Hidup Kita

1. Check Yourself Out — “Cermin Brutal” yang Jarang Kita Lakukan

Sarah menekankan bahwa dibuatnya karier linear (masuk kampus — kerja — naik jabatan) itu tipu muslihat nyaman. Orang-orang luar biasa sering punya “jalur samping” yang tampak nyeleneh, yang kelak jadi sumber kekuatan mereka.

“Untuk menjadi extreme you, kamu harus mengerti ‘di mana kamu bersinar’ — dan juga ‘area di mana kamu payah’.”

Dalam praktiknya:

  • Aku mulai membuat “jurnal kelemahan & kekuatan” — tiap minggu aku tulis satu hal yang aku sangat bangga dan satu hal aku malu padanya. Terkadang itu hal kecil seperti “aku susah komunikasi di rapat,” “aku terlalu detail,” atau “aku malas menolak kalau ditanya proyek tambahan.”

  • Aku juga mencoba “side hustle mini”: mengambil proyek yang berbeda dari bidang utama pekerjaanku, bukan untuk cari uang banyak, tapi untuk menjajal “bagian diriku” yang belum tereksplor. Contohnya: aku bantu teman membuat materi visual / kreatif meski aku bukan desainer. Dari situ aku belajar bahwa aku punya selera visual dan ide kreatif yang bisa dipoles.

Efeknya? Saat tugas utama menekan, aku bisa tarik napas: “Hei, ada bagian dari diriku yang sedang berkembang,” yang memberi ruang positif mental, bukan cuma beban karier.

Tips praktis:

  • Setiap 3 bulan, ambil waktu (meski 1 jam) untuk “check yourself out” — pakai pertanyaan sederhana: Apa yang kukerjakan dengan ringan? Apa yang kubenci tapi selalu kutolak?

  • Minta feedback dari orang dekat (teman, kolega) tentang area buta — kadang kita gagap lihat kelemahan sendiri.

  • Jangan malu eksplorasi hobimu di luar “bidang utama.” Itu bisa jadi bahan bakar baru energi.

2. Internal Drive — Bahan Bakar Api dari Dalam

External reward (bonus, pujian) bagus, tapi tidak bisa tahan lama sebagai penggerak utama. Sarah dan orang-orang yang dia teliti punya “api batin” — motivasi intrinsik — yang mereka jaga terus-menerus.

Contohnya:

  • Aku pernah mengalami fase “bosan gaji sudah lumayan, kerja rutin,” dan merasa hidupnya seperti jalur rel. Ketika itu, aku menggali ulang “Kenapa aku mau kerja ini? Apa yang paling excited aku kerjakan?”

  • Aku menetapkan “micro-goals” harian yang bukan hanya tugas, tapi “usaha kecil agar aku makin berkembang” — misalnya belajar satu teknik baru, menghubungi satu orang yang bisa belajar, atau menulis refleksi kecil.

  • Aku menanam kebiasaan “merefleksi pencapaian kecil”—di malam hari, tulis 3 keberhasilan hari itu (selain target kerja). Ini membantu menjaga energi positif internal.

Dengan internal drive aktif, ketika tekanan eksternal datang — seperti kritik atau deadline menumpuk — kita tidak terguncang terlalu dalam karena pondasi motivasi kita dari dalam. 

3. Grit & Resilience — Ketahanan yang Tak Bisa Diajarkan Sekali Jalan

Tidak ada perjalanan “tanpa luka.” Sarah menyebut bahwa semua “extremers” yang ia pelajari mengalami kegagalan, penolakan, rasa malu, bahkan rasa ingin menyerah — tapi mereka tidak berhenti. 

Dalam pengalaman pribadiku:

  • Ada proyek besar yang gagal total: anggaran bocor, stakeholder kecewa, tim retak. Di tengah putus asa, aku mau menyerah. Tapi aku coba “pivot” — daripada berhenti, aku ajak tim evaluasi (apa penyebabnya), keluarkan area yang bisa diperbaiki, dan jalankan ulang versi yang lebih sederhana. Hasilnya: proyek itu sukses (meski tidak sempurna) dan jadi pelajaran besar.

  • Saat kritik pedas datang — dari mentor, rekan, atau klien — aku mencoba satu strategi: “pause, bukan reaksi langsung.”
    — Tarik napas
    — Tulis apa emosi yang muncul
    — Evaluasi apakah kritik itu valid
    — Ambil pelajaran, dan jika perlu bertindak korektif

Strategi ini saja sudah menyelamatkan dari ledakan emosional dan keretakan hubungan kerja.

Tips praktis:

  • Latih “mental rep”: jadikan kegagalan kecil sebagai latihan — misalnya gagal presentasi kecil, gagal mengirim ide, dan analisis — agar ketika kegagalan besar datang, kamu relatif sudah terbiasa.

  • Tetapkan “ritual pemulihan” — misalnya istirahat, curhat, olahraga — agar kamu punya cara keluar dari tekanan mental.

  • Bangun jaringan support — teman, mentor, komunitas — yang bisa jadi tempat kamu hitung mundur, bukan tempat kamu merasa kalah.

4. Stubborn Humility — Kerendahan Hati yang Menjadi Kekuatan

Di tengah usaha menjadi “ekstrim,” seringkali ego kita bisa jadi musuh terbesar. Sarah menyebut “stubborn humility” — yaitu kemampuan untuk tetap rendah hati, terbuka belajar, dan mengakui “Aku belum tahu segalanya.”

Beberapa manifestasi nyata:

  • Aku mulai mengucapkan “Aku belum tahu, bantuanku butuh masukanmu” saat diskusi tim, alih-alih berpura-pura tahu semua. Kejujuran itu tak membuatku terlihat lemah — malah membuka ruang belajar.

  • Aku rutin membaca buku luar bidang pekerjaanku — entah psikologi, filosofi, seni. Kenapa? Agar perspektifku tidak sempit, dan sebagai pengingat: dunia ini luas, dan kita cuma bagian kecil yang bisa terus belajar.

  • Dalam rapat atau diskusi, aku belajar mendengar lebih banyak daripada berbicara. Sering kali insight kecil muncul dari ide rekan yang tidak terlalu sering bicara.

Kerendahan hati itu seperti tanah lembap yang menyuburkan benih. Tanpa itu, kita mudah kaku dan stagnan. 

5. Risk Taking — Melompat Keluar Zona Nyaman (Tapi Tidak Bodoh)

Orang sukses yang dibahas Sarah punya satu kesamaan: mereka berani mengambil risiko — tapi bukan nekat. Mereka sudah mempertimbangkan, memprediksi, dan punya toleransi terhadap kegagalan.

Contoh di hidupku:

  • Waktu aku punya tawaran karier “yang aman” vs peluang startup menarik tapi penuh ketidakpastian, aku memilih startup — setelah menyiapkan “jaring pengaman” (tabungan, mitigasi biaya hidup).

  • Aku mengajukan ide “eksperimen kecil” di tim untuk melakukan pendekatan baru yang belum pernah dicoba. Jika gagal, biaya kerugiannya kecil — tapi kalau berhasil, bisa jadi inovasi besar.

  • Ketika ada peluang menulis kolom opini di media eksternal padahal aku belum dikenal, aku maju saja — daripada bertahan di zona aman “tidak usah tampil,” aku meluncurkan.

Yang penting: mulailah dari risiko kecil supaya mindset “berani gagal” tumbuh perlahan. Jangan langsung ke lompatan ekstrem besar jika pondasi belum kukuh. 

Bagaimana Extreme You Mengubah Parade Tantanganku

Izinkan aku membagi satu cerita “mini thriller” nyata:

Beberapa bulan lalu, aku didaulat memimpin inisiatif baru di organisasi — tema digital transformasi. Tapi aku belum pernah memimpin proyek besar seperti itu. Rasa takut: “Gimana kalau gagal? Reputasiku bisa rusak.”

Tapi saat itu aku teringat prinsip Sarah: ketakutan bukan musuh terbesar — takut mencoba yang lebih besar.

Aku mulai dengan:

  • Check Yourself Out: catat ketidakmampuanku di bidang teknologi, manajemen proyek, dan tim.

  • Internal Drive: aku definisikan “mengapa aku jagoin proyek ini” — bukan karena promosi, tapi karena aku percaya bisa memberikan dampak nyata kepada tim dan pelanggan.

  • Grit & Resilience: setiap minggu kami adakan evaluasi cepat, merayakan keberhasilan kecil dan mencicil solusi untuk hambatan.

  • Stubborn Humility: aku undang pakar teknologi dan anggota tim junior untuk beri masukan, tanpa malu aku terima kritik.

  • Risk Taking: aku ajukan eksperimen-pilot dulu di satu modul kecil sebelum rilis seluruh sistem.

Hasilnya? Meskipun ada masalah tak terduga, peluncuran modul pertama cukup sukses, dan feedback internal positif. Lebih dari itu: tim jadi lebih percaya diri dan kolaboratif. Bukan karena aku sempurna — tapi karena kita belajar bareng.

Jalur “Ekstrem + Bahagia”: Keseimbangan yang Ditolerir

Sebelum kamu berpikir semua di atas adalah “jalan ke burnout,” Sarah sendiri menyadari bahwa ekstremisme butuh keseimbangan — terutama dalam konteks self-care dan penolakan (saying no) agar tidak overcommit.

Dia mengingatkan bahwa menjadi extreme bukan berarti selalu “on.” Kamu harus tahu kapan off, kapan menolak proyek yang bukan prioritas, kapan memberi energi ke relaksasi. Energi otentikmu adalah mata uang paling penting.

Praktiknya:

  • Aku menyisihkan “zona me-time” (misalnya 1 malam tanpa kerja, atau hari mingguan hobi).

  • Aku belajar bilang “tidak” ke proyek sampingan saat tubuh atau pikiran sudah penuh — dengan sopan dan jelas: “Maaf, aku harus fokus ke prioritas A dulu.”

  • Aku menetapkan batas jam kerja dan komunikasi (misalnya, tidak kena WA kerja jam jam 10 malam).

Dengan begitu, ekstremnya bukan destruktif — justru sustainable.

Roadmap 30 Hari Menjadi “Extremer Versi Kamu”

Kalau kamu mau mulai langkah kecil, ini roadmap ringkas:

Hari Fokus Action
1–3 Check Yourself Out Buat daftar kekuatan & kelemahan, minta feedback satu orang
4–7 Micro-goals internal Setiap hari tulis 1 aspirasi kecil & 1 tindakan untuk pertumbuhan
8–14 Eksperimen ringan Mulai proyek kecil di bidang baru (side hustle mini)
15–18 Evaluasi dan grit Review apa yang berhasil & gagal, adaptasi untuk minggu depan
19–22 Bersikap rendah hati & belajar Minta masukan dari orang yang ahli & baca sumber tak biasa
23–26 Ambil risiko kecil Proposalkan ide “nyeleneh” dalam pekerjaan utama (disclosure skala kecil)
27–30 Refleksi & adaptasi Cek apa yang berubah: motivasimu, energi, hasil kecil. Rencanakan langkah selanjutnya

Kalau kamu konsisten (meski sedikit tiap hari), dalam 30 hari kamu akan merasakan pergeseran mindset — yang kemudian bisa kamu tingkatkan di 90 hari, 6 bulan, dan seterusnya.

Menjadi Versi Terbaik — Bukan Versi Orang Lain

Dalam sebuah wawancara, Sarah berkata bahwa dunia sering memberi kita piala “hadir saja sudah menang,” tapi realitanya hanya sedikit piala yang benar-benar bermakna.

Pesan terbesarku lewat esai ini:

  • Jangan hanya puas “aman di tengah-tengah” — potensi kita lebih dalam dari rutinitas.

  • Tapi juga jangan ekstrem tanpa kendali — keseimbangan, refleksi, kesejahteraan adalah bagian dari ekstrem yang sehat.

  • Kenali dirimu, bangun api dari dalam, hadapi kegagalan, tetap rendah hati, dan berani melangkah — itulah jejak-extreme yang bisa kita tempuh, tiang demi tiang loncatan kita sendiri.

Kalau kamu membaca hingga di sini, aku ajak kamu: ambil satu poin dari atas—cek dirimu, buat micro-goal, coba eksperimen—dan lakukan sekarang. Lalu, laporkan ke aku: bagaimana rasanya 7 hari ke depan dengan sedikit langkah menjadi “Extremer” — tapi versi dirimu sendiri.

Semoga tulisan ini menyala kecil di dalam hatimu, mengundang keberanian halus yang suatu hari akan menyala besar.

Salam ekstrem (tapi manusiawi),
Agung Setiyo Wibowo


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #ExtremeYou #PengembanganDiri #MindsetGrowth #Produktivitas #Resiliensi #Karier #SelfImprovement #Leadership

Comments

2 responses to “Versi Terbaik Dirimu Tidak Akan Muncul Kalau Kamu Main Aman Terus”

  1. Abdul mukmin Avatar
    Abdul mukmin

    Masyaallah bagus sekali tulisannya, sangat menginspirasi, semoga bisa dijalankan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *