Menakar Daya Saing Indonesia

Di sebuah kafe, bertemulah dua fresh graduate dari Gen Z. Karena sama-sama tertarik dengan isu inovasi, mereka mengobrol.

Dika: “Bro, lu pernah mikir gak, kenapa inovasi penting banget buat Indonesia?”

Aldo: “Pernah sih, tapi kayaknya gue gak dalem-dalem banget mikirinnya. Emang inovasi tuh sekrusial itu ya buat kita?”

Dika: “Parah, penting banget, coy! Coba deh lu liat negara kayak Singapura, mereka inovasinya gila-gilaan, makanya ekonominya ngebut terus. Di Indonesia, kita masih kalah jauh di inovasi. Makanya, kalau kita pengen maju, daya saing inovasi harus digaspol!”

Aldo: “Ya sih, gue liat startup-startup di sana emang banyak yang nembus pasar global. Tapi, gimana cara kita ngejar mereka?”

Dika: “Ya banyak caranya, salah satunya tuh kolaborasi internasional. Dengan kolaborasi, kita bisa dapet teknologi dan ilmu baru yang lebih canggih. Misal, BRIN tuh bisa lebih sering kerja sama sama lembaga riset luar negeri. Kayak lu dapet cheat code buat ningkatin inovasi.”

Aldo: “Wah iya ya, tapi yang gue liat, SDM kita juga kadang belum siap. Skor PISA aja rendah. Gimana mau berinovasi kalau edukasinya masih belum top?”

Dika: “Itu bener banget! Makanya edukasi harus diupgrade, khususnya di bidang STEM—sains, teknologi, teknik, matematika. Kalau anak mudanya gak paham teknologi atau gak siap sama
industri 4.0, kita bakal ketinggalan terus. Nah, inovasi di pendidikan juga harus digenjot.”

Aldo: “Setuju! Terus gue juga denger soal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia yang belum kuat, itu juga pengaruh gak?”

Dika: “Wah, itu pengaruh besar sih. Bayangin aja, kalau orang takut karyanya dibajak, ya mereka males bikin inovasi. HKI yang kuat itu bikin orang lebih berani buat riset dan ngembangin teknologi baru.”

Aldo: “Makes sense. Jadi, kita butuh kebijakan yang lebih pro inovasi, SDM yang siap, dan ekosistem yang aman buat inovator. Biar gak cuma ngejar, tapi bisa saingan sama negara lain, kan?”

Dika: “Exactly, bro! Kalau semua ini jalan, ekonomi kita bakal ngebut, banyak lapangan kerja baru, dan Indonesia bisa makin dihormatin di kancah global. Gak cuma jadi pasar, tapi jadi pemain utama di inovasi.”

Aldo: “Wah, jadi makin semangat nih buat berinovasi! Siap-siap bikin startup teknologi keren, nih.”

Dika: “Gas, bro! Masa depan Indonesia ada di tangan kita, generasi muda!”

Apakah percakapan seperti di atas terasa familiar bagi kita?
Ataukah sangat asing?

Entah kita akui atau tidak, dalam hal daya saing inovasi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Singapura dan Malaysia, meskipun mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan peringkat IMD World Competitiveness Ranking 2024, Indonesia berhasil naik ke peringkat 27 dunia, melewati Malaysia (peringkat 34). Namun, Singapura tetap memimpin sebagai negara paling kompetitif di dunia, menduduki peringkat pertama secara global.

Menurut Global Innovation Index 2023 yang dikeluarkan oleh Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), Indonesia bertengger di peringkat 61 dari 132 negara. Skor kita masih rendah dalam aspek-aspek strategis seperti kreativitas, infrastruktur, dan sofistikasi bisnis. Singapura, di sisi lain, menempati posisi yang jauh lebih baik, di peringkat 7, karena dukungan infrastruktur yang kuat, ekosistem inovasi, dan pendidikan tinggi yang berkualitas.

Faktor utama yang menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara-negara maju adalah kualitas infrastruktur inovasi, khususnya di bidang pendidikan, sains, dan teknologi. Meskipun Indonesia menunjukkan kinerja yang kuat dalam efisiensi bisnis dan kebijakan pemerintah, kelemahan dalam infrastruktur inovasi—seperti kesehatan, lingkungan, dan pendidikan—masih menjadi tantangan besar.

Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia perlu fokus pada sejumlah langkah.

Pertama, meningkatkan infrastruktur teknologi dan pendidikan. Kita perlu membangun ekosistem inovasi yang lebih kuat melalui investasi dalam pendidikan, khususnya STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), serta mendukung riset dan pengembangan teknologi.

Skor Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal. Indonesia mendapat skor rendah dalam literasi membaca (371), matematika (379), dan sains (396), jauh di bawah rata-rata OECD. Ketika negeri jiran kita Singapura terus memimpin dalam peringkat PISA, Indonesia menghadapi kesulitan dalam menciptakan lulusan yang siap mendukung inovasi teknologi.

Lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih mengalami kesenjangan dalam keterampilan yang dibutuhkan oleh industri, terutama di bidang STEM. Menurut laporan Global Talent Competitiveness Index 2023, Indonesia berada di peringkat 88 dari 134 negara dalam hal pengembangan talenta. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan Indonesia kurang kompetitif di pasar global, dan ini memperlambat inovasi di sektor-sektor berbasis teknologi.

Kedua, mempercepat adopsi teknologi digital dan kecerdasan buatan. Pasalnya, kita masih relatif lambat dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Meskipun program seperti Making Indonesia 4.0 telah diluncurkan untuk meningkatkan transformasi digital, penetrasi teknologi di industri-industri tradisional masih rendah. Kesenjangan digital antara kota besar dan daerah terpencil juga menjadi penghambat dalam penyebaran inovasi yang merata.

Ketiga, meningkatkan regulasi dan kebijakan yang mendukung inovasi. Meskipun BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) telah dibentuk untuk mengintegrasikan riset dan inovasi nasional, implementasinya masih menghadapi berderet tantangan.

Misalnya, dalam hal efektivitas dan anggaran riset yang terbatas. Anggaran untuk riset dan pengembangan di Indonesia hanya sekitar 0,25% dari PDB, jauh di bawah Singapura yang mencapai 2%. Rendahnya investasi di sektor riset ini mengakibatkan minimnya inovasi produk teknologi dan terbatasnya pengembangan infrastruktur digital.

Hal itu diperburuk dengan ekosistem inovasi kita yang belum sepenuhnya matang. Kolaborasi antara universitas, industri, dan pemerintah dalam hal riset masih minim, dan ini menghambat pengembangan inovasi yang komprehensif.

Di negara-negara maju kolaborasi ini sudah berjalan lebih efektif, didukung oleh kebijakan pemerintah yang memfasilitasi riset dan inovasi lintas sektor.

Keempat, perlindungan hak kekayaan intelektual. Indonesia masih perlu memperbaiki regulasi terkait perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Perlindungan yang lemah terhadap paten dan kekayaan intelektual lainnya menurunkan insentif bagi individu dan perusahaan untuk berinovasi. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah paten yang didaftarkan oleh warga Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga kita.

Kelima, menggenjot kolaborasi internasional. Kita perlu mengembangkan kerjasama internasional untuk akses ke teknologi terbaru dan transfer pengetahuan.

Kolaborasi internasional memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan akses terhadap teknologi terbaru dan praktik terbaik dari negara-negara maju. Banyak inovasi di sektor-sektor seperti bioteknologi, kecerdasan buatan (AI), dan energi terbarukan masih berada pada tahap pengembangan di luar negeri.

Dengan bekerja sama dengan universitas, perusahaan, dan lembaga penelitian asing, Indonesia dapat mempercepat adopsi teknologi canggih ini. Sebagai contoh, negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura secara aktif terlibat dalam kolaborasi internasional yang mendukung inovasi berbasis teknologi, yang pada gilirannya memperkuat daya saing mereka secara global

Dengan fokus pada area-area di atas, Indonesia berpotensi meningkatkan daya saing inovasi di kancah global. Seberapa yakinkah Anda dengan itu?

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply