Followership Yang Terlupakan

Belum lama ini saya bertukar pikiran dengan salah satu mitra. Sebut saja bernama Peter. Ia merupakan Direktur Pengembangan Bisnis di sebuah perusahaan telekomunikasi asal negeri jiran.

Tiga bulan terakhir Peter pusing bukan kepalang. Pasalnya, berbagai pelatihan kepemimpinan yang diikuti oleh para bawahannya (setingkat Kepala Divisi) seolah sia-sia saja. Padahal ia telah memfasilitasi berderet program untuk mengasah jiwa kepemimpinan mereka.

Kepercayaan diri Peter pelan-pelan meredup. Kendati ia telah mengikuti program Executive Coaching di salah satu firma konsultasi ternama. Ia merasa kemampuan kepemimpinannya sendiri lemah. Karena para bawahan yang diharapkan bisa membantunya memenuhi target-target perusahaan tidak berkinerja.

Cerita Peter mungkin terdengar sangat klise. Betapa di luar sana para pemimpin di berbagai level dibuat frustasi oleh kinerja bawahannya. Mereka berlomba-lomba mengikutsertakan bawahannya dalam berbagai program. Dari training hingga coaching, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Menjadi pemimpin di era disruptif memang tidak mudah. Terlebih lagi jika di dalam organisasi tersebut komposisi antar generasi cukup berwarna. Entah Baby Boomer, Gen X, ataupun yang terutama Millennial. Karena pola pikir, cara pandang, dan orientasi karirnya bisa jadi berbeda satu sama lainnya.

Sebagai mitra, saya tentu tidak bisa serta merta menghakimi Peter. Karena sebagai seorang Direktur, saya yakin ia telah berusaha memberikan yang terbaik untuk mewujudkan misi dan visi perusahaannya. Terlebih lagi jika saya lihat dari jejak rekam pendidikan, pengalaman organisasi, dan gaya kepribadiannya yang begitu mengesankan. Hampir tidak ada celah bagi saya untuk memberikan umpan balik yang berarti.

Saya justru menangkap permasalahan Peter dari sisi lain. Karena saya pikir ia merupakan pemimpin yang baik. Namun, bagaimana dengan bawahannya? Apakah ia memiliki jiwa “kepengikutan” (followership) yang baik juga? Nah, ini yang masih menjadi tanda tanya.

Seseorang bisa dikatakan sebagai pemimpin jika memiliki pengikut. Oleh karena itu, sejak kita kecil seolah-olah kita sudah didoktrin oleh pendidikan formal, masyarakat, maupun keluarga untuk menjadi pemimpin.

Tidak ada yang salah memang.  Karena setiap orang dilahirkan sebagai pemimpin dengan kadar masing-masing. Minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarga. Alangkah baiknya jika bisa memimpin dalam skala lebih luas seperti perusahaan, organisasi nirlaba, atau pemerintahan.

Namun, yang sering terlupakan ialah kepengikutan (followership). Karena seolah-olah pengikut dianggap memiliki “kasta” lebih rendah daripada pemimpin. Padahal, sejatinya sama saja. Pemimpin dan pengikut bagaikan dua sisi koin.

Setiap orang ialah pemimpin. Setiap orang pada dasarnya juga merupakan pengikut dalam ruang dan waktu tertentu. Karena tidak akan ada  pemimpin yang baik tanpa memiliki pengalaman kepengikutan yang baik.

Kepengikutan ialah kemauan untuk bekerjasama mencapai misi, yang ditunjukkan dengan kerjasama tim yang tinggi, guna membangun kohesi di antara anggota  organisasi. Dalam kacamata manajemen modern, pengikut merupakan bawahan yang memiliki power, wewenang, dan pengaruh lebih kecil dibandingkan dengan atasannya.

Konsep kepengikutan di Indonesia mungkin belum setenar kepemimpinan. Karena dari buku-buku, seminar, pelatihan, konferensi, lokakarya, maupun pendidikan formal hampir semuanya ingin mencetak pemimpin yang hebat. Setidaknya yang saya alami sendiri.  Saya belum pernah menemukan satu pun buku panduan terbitan lokal atau forum yang mengajarkan saya sebagai “pengikut yang baik” di sepanjang 18 tahun belajar di bangku formal dan 6 tahun di dunia kerja.

Jika Anda sekarang dipercaya sebagai  pemimpin, jangan sekal-kali meremehkan para bawahan Anda. Karena bukan tidak mungkin di suatu hari kelak, mereka akan berada di posisi setara atau lebih berpengaruh daripada Anda.

Jika Anda sekarang “hanya” sebagai pengikut, jangan berkecil hati. Karena Anda bisa belajar banyak dari pemimpin di organisasi atau di luar organisasi Anda bekerja. Manfaatkan kesempatan emas tersebut untuk menjadikan diri Anda pemimpin yang kredibel di kemudian hari.

Akhir kata, saya ingat pesan Mike Bonem dan Roger Patterson bahwa “If you believe lack of authority prevents you from leading effectively, it is time to rethink your understanding of leadership.” Sudahkah Anda menjadi pengikut yang baik?

 

*Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 20 Agustus 2018 

 

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply