Tag: Agung Setiyo Wibowo

  • Bersahabat Dengan Masalah

    Satu kata yang mungkin paling banyak dituliskan, dipikirkan, dirasakan dan dibicarakan oleh umat manusia ialah masalah. Kata ini bisa jadi bersaing dengan kata-kata populer harian seperti makan, minum, bekerja, sakit, bahagia, Tuhan, bahkan asmara sekalipun. Lantas seberapa signifikan peran masalah dalam eksistensi seseorang?

    Tidak ada seorang pun yang terhindar dari masalah dalam hidupnya.Tidak ada seorang pun yang memiliki masalah yang sama dalam segala aspeknya. Tidak ada seorang pun yang “naik kelas” dalam arti apapun sebelum melaluinya.

    Cara menyikapi masalah adalah tolok ukur paling mudah dalam mengetahui kepribadian, karakter, dan “kualitas” seseorang. Masalahlah yang membedakan pemenang dan pecundang, si kaya dan si miskin, yang bahagia dan yang sedih, pemimpin dan pengikut, hingga pada akhirnya melahirkan “strata tak tertulis” yang diamini.

    Dalam kehidupan yang singkat ini kita sering kali bersahabat dengan masalah. Ada pula yang merasa menjadi “korban” tak berkesudahan karenanya. Menjadi sahabat atau musuh masalah adalah pilihan. Tapi tidak banyak orang yang menyadari akan konsekuensinya.

    Banyak tokoh besar yang justru tampil sebagai pemenang kehidupan karena “berkah” dari masalah. SBY menemukan titik baliknya untuk menjadi “seseorang” lantaran keretakan rumah tangga kedua orangtuanya. Mahathir Muhammad menjadi Malaysian Maverick lantaran sejak kecil mampu membalikkan Inferiority Complex. KH Ahmad Dahlan tergerak mendirikan Muhammadiyah karena menemukan praktek Islam yang “tidak seharusnya” di lingkungannya. Oprah Winfrey menjadi milyuner wanita pertama keturunan Afrika di Amerika Serikat, karena terdorong masa lalunya yang super kelam. Demikian seterusnya.

    Bagi banyak orang, masalah sering dijadikan alasan untuk kalah. Tapi, tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai tantangan untuk “naik kelas”.Ibarat di dunia pendidikan, masalah tidak lebih dari sebuah “ujian” yang menentukan prasyarat untuk kelulusan, atau melenggang ke tahap berikutnya. Oleh karenanya, barang siapa yang dengan bijak bestari menyikapinya maka akan dapat mereguk kebaikan yang tak terduga di kemudian hari.

    Kenyataan ini mengingatkan saya pada pesan seseorang belakangan ini. Seorang pimpinan di salah satu lembaga tertinggi negara asal Jawa Tengah. Berdasarkan sharing beliau, dapat disimpulkan bahwa mulusnya menaiki tangga karir tidak lain adalah keberhasilannya memenangkan masalah yang menghadang di setiap fase.

    Banyak pemimpin yang terlahir dari krisis yang sarat masalah. Banyak pula pecundang yang merasa menjadi korban’ hingga tersungkur ke titik nadir karena masalah. Keduanya ibarat dua sisi pisau yang memberikan kita pilihan. Kalau sudah mafhum seperti ini, sudahkah kita memupuk “persahabatan” dengan masalah?

     

    Artikel ini dimuat  di Inti Pesan, 15 Agustus 2017 

  • Jebakan Hedonic Treadmill

    Mungkin sebagian besar (atau semua) orang mengamini bahwasannya kebahagiaan adalah yang paling dicari dalam hidup ini.Begitu juga dengan kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan. Tapi jika diminta untuk memilih atau dibuat skala prioritas, saya yakin kebahagiaan ada di urutan pertama.

    Peliknya, kebahagiaan bersifat relatif. Standar setiap insan berbeda. Pun cara bagaimana mereka memaknai, menghayati, memandang dan menjalani kebahagiaan.

    Yang menggelikan, tidak sedikit orang yang (masih) mengukur kebahagiaan dari materi. Oleh karena itu, ada satu kata yang terngiang di hatinya dari detik ke detik. Uang, uang, dan uang. Masalahnya, apa benar makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi juga potensi kebahagiaan dalam dirinya? Mengapa yang kebanyakan terjadi tidak selalu linear?

    Ternyata, semakin tinggi pendapatan justru semakin menurunkan peran uang dalam menghasilkan kebahagiaan. Lah, kok bias begitu? Gambarannya kira-kira seperti ini.Saat pendapatan 5 juta per bulan, tinggal di rumah kontrakan tidak jadi soal. Saat pendapatan 50 juta perbulan, punya rumah tipe C sudah cukup girang. Saat pendapatan setengah milyar perbulan, punya 1 rumah dan 1 apartemen belum juga puas. Saat pendapatan 50 milyar perbulan, punya aset di mana-manapun tetap saja masih merasa kurang. Apa ada yang salah?

    Dalam kamus Psikologi Keuangan, fenomena tersebut dikenal dengan Hedonic Treadmill. Dinamakan demikian karena anak manusia sekonyong-konyong berjalan di atas treadmill. Terus saja berjalan, akan tetapi sejatinya tidak maju alias “jalan di tempat”. Kebahagiaan yang dicari-cari tidak kunjung ada karena nafsu terhadap kepemilikan duniawi yang tak berkesudahan. Kebahagiaan yang didambakan jaraknya laksana bumi dengan langit karena nafsunya yang tidak berbeda dengan hewan.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hedonic Treadmill erat kaitannya dengan kata hedonisme/he·do·nis·me/ /hédonisme/ n yaitu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

    Hedonic Treadmill mendorong keinginan akan materi yang meletup-letup, tak ada habisnya. Itu mengapa kebahagiaan yang diperolehmenjadi stagnan meski penghasilan berlipat-lipat. Hal itu sama halnya dengan salah satu cerita populer di masyarakat. Seseorang yang mendapatkan “rezeki nomplok”, katakanlah undian berhadiah senilaiRp 100 miliar. Ketika ditelusuri 1 tahun kemudian, tingkat kebahagiaan orang tersebut sama dengan kebahagiaan sebeleum mendapatkan “durian jatuh” tersebut.

    Saya jadi teringat nukilan kutipan Andrew Carnagie, seorang pengusaha besar pada awal abad ke-20. Beliau merupakan filantropi  terkenal yang menyumbangkan 90% kekayaannya untuk kemanusiaan. Dalam sebuah kesempatan Andrew pernah mengatakan,

    “Saya sudah bisa mendapatkan jutaan dollar, tapi rasa bahagianya tak bisa mengalahkan ketika saya mendapatkan bayaran mingguan pertama saya”.

    Lantas, apakah salah mengejar pendapatan yang tinggi?  Ya, tidak ada yang salah dong. Kalau kata orang bijak, justru sebagai manusia kita sebaiknya mengejar penghasilan setinggi-tingginya, menggunakan seperlunya, lalu mendermakan sebanyak-banyaknya. Karena, kebahagiaan tercipta ketika kita mau (dan mampu) memberi, melayani, atau menolong sesama yang (paling) membutuhkan.

    Bagaimana dengan Anda?

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 11 Agustus 2017

  • Kebebasan Yang Seperti Apa?

    Kebahagiaan, keberhasilan, dan kesehatan. Tiga kata itu nampaknya paling populer disuarakan oleh siapa saja dalam “berjuang” menjalani kehidupan yang hanya sementara ini.

    Ya, setiap orang saban hari “bersaing” dengan egonya sendiri untuk mencapai titik bahagia. Demikian halnya untuk mencapai derajat keberhasilan, siapapun sepertinya akan berusaha sekuat tenaga – lahir dan bathin – untuk mencapainya. Tak ketinggalan, untuk mereguk kesehatan siapa saja harus rutin berolahraga, tidur cukup, tidak kekurangan air mineral, dan menjaga asupan gizi.

    Belakangan, ada satu kata lagi yang “tidak kalah” tenar diperbincangkan. Apa itu? Ya, Anda benar. Ia adalah kebebasan.

    Setiap orang secara naluriah tidak ingin hidupnya diatur oleh orang lain. Setiap anak Adam pada hakikatnya (jika tidak ada hambatan finansial) ingin bersenang-senang memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Siapapun sepertinya mendambakan kebebasan waktu untuk melakukan A ke Z. Sesuka hatinya.

    Lalu, adakah sejatinya kebebasan itu? Jika ada, seperti apa? Nampaknya, perdebatan kusir tiga hari tiga malam tidak akan cukup untuk mencapai mufakat guna memaknai kebebasan. Ya, kebebasan itu relatif. Setiap “kepala” punya definisi masing-masing.

                Oxford Dictionary saja memaknai kebebasan sebagai The power of right to act, speak, or think as one wants.Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akar kata “bebas” dengan “lepas sama sekali” yaitu tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.

    Saya secara pribadi langsung teringat curahan hati beberapa rekan dekat saya.

    Si A, 25 tahun, lajang. Profesi sehari-hari sebagai agen asuransi dan pemasaran jaringan. Penghasilan mencapai lebih dari 1 Miliar rupiah perbulan. Setiap kali bertemu dengan teman lama dan kenalan baru ia “menggoda” (dan membujuk) agar yang bersangkutan mengikuti profesinya dengan dalih kebebasan waktu. Si A ini secara finansial (kelihatannya) memang berkelimpahan, pun waktu. Tapi sejatinya dia tidak “sebebas” yang ia koarkan. Bisa saja sih dia liburan setiap hari ke manapun yang ia mau, membeli apapun yang ia suka, dan berleha-leha di ranjang. Tapi, tidak demikian dengan A. Setiap saat dia terus bekerja, bekerja, dan bekerja. Kadang kala ia kesepian karena tidak ada yang mendikte dirinya. Oleh karena itu, ia harus mau dan mampu memimpin diri sendiri agar dapat “bebas”. Si A masih punya sederet daftar mimpi untuk dikejar.

    Si B, 75 tahun, menikah dengan 2 anak dan 4 cucu. Beliau adalah mantan CEO perusahaan multinasional yang saat ini menjadi pimpinan organisasi nirlaba dengan fokus pendidikan untuk anak kurang beruntung. Dari kacamata finansial dan waktu, beliau sebenarnya “berpeluang” besar untuk ongkang-ongkang kaki, menghabiskan usia senjanya dengan jalan-jalan, bersenang-senang, atau hal lainnya. Tapi mengapa beliau memilih untuk “menyibukkan diri” dengan mendermakan waktunya untuk pendidikan di Indonesia? Kenapa dia ingin bersusah payah seperti itu? Karena, itu merupakan panggilan hidup.

    Si C, 7 tahun, anak jalanan. Sehari-hari C ini merupakan satu dari puluhan ribu anak yang memadati jalanan Jakarta. C merupakan yatim piatu yang sekarang menggantungkan nasibnya kepada dirinya sendiri, tidak bergantung orang lain. Karena (mungkin) tidak neko-neko, C nampak bahagia. Setiap saat dia “menyumbangkan” suaranya kepada para penumpang bus dalam kota Jakarta dengan imbalan beberapa perak Rupiah saja. Sesekali dia berlibur semaunya. Tidur di mana saja. Makan seadanya. Tidak ada yang mengatur. Tidak ada beban. Tidak ada yang digelisahkan. C bebas sebebas-bebasnya.

    Apa yang bisa dipetik dari tiga profil nyata di atas? Ya, Anda benar. Setiap orang punya definisi masing-masing dalam memandang kebebasan. Tidak ada definisi pasti sebagaimana halnya rumus Matematika yang rumit – setidaknya bagi saya.

    Akhirnya, tugas kita dalam menjalani hidup nan singkat ini adalah menikmati apa yang kita miliki sekarang sepenuh hati. Seperti petuah Ki Ageng Suryomentaram saiki, ing kene, ngene, aku gelem”. Yang kira-kira bermakna: sekarang, di sini, apapun yang terjadi atau yang dihadapi, saya (mau) menerima dengan ikhlas.”

     

    Artikel ini dimuat di Pedenesia, 10 Agustus 2017

  • Pilar-Pilar Keseimbangan Hidup

    “Sukses ialah mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita dapatkan”. Ungkapan seperti ini terdengar begitu klise di telinga kita. Bukankah demikian?

    Seorang ayah bisa dikatakan sukses jika mampu mendidik putera-puterinya. Seorang pemimpin bisa dikatakan sukses jika mampu mewujudkan tujuan organisasi yang dinahkodainya.Seorang manajer penjualan bisa dikatakan sukses jika dapat mencetak closing sebanyak-banyaknya. Bagaimana dengan ukuran kesuksesan Anda?

    Setiap orang terlahir unik. Oleh karena itu masing-masing, memiliki patokan untuk menilai kesuksesan.Kendati demikian kesuksesan dalam hidup, alangkah baiknya jika dipandang secara holistik. Tidak dinilai secara sepotong-sepotong.

    Buat apa banyak uang tapi sakit-sakitan? Apa makna popularitas jika menjadikan narkoba sebagai pelarian? Untuk siapa jabatan bergengsi bila bahtera rumah tangga tergadaikan? Apa guna sembahyang jika hubungan horizontal berantakan?

    Saya yakin setiap orang menginginkan keseimbangan dalam hidup. Karena bahagia akan datang ketika aspek-aspek kesuksesan menemukan titik keseimbangan. Tidak ekstrem di salah satu sisi saja.

    Menyadari hal itu, rekan-rekan saya di Yayasan PIBAS memiliki visi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup di negeri ini. Melalui survei  dalam jaringan yang bisa diakses secara cuma-cuma, yayasan tersebut telah mempopulerkan konsep yang dikenal dengan Balanced Pillar (BALPIL). Sebuah pendekatan untuk mengukur keseimbangan hidup dalam empat pilar, yakni spiritual, intelektual, sosial, dan fisik (kesehatan).

    Dikembangkan oleh tim profesional dalam bidang kesehatan dan psikologi, Tes BalpilTM bisa dikatakan sebagai tes paling komprehensif yang mengukur keseimbangan individu secara paripurna. Sisi spiritual menguji apakah kesadaran diri, agama/kepercayaan, dan integritas berjalan dengan baik atau tidak.Sisi intelektual memeriksa apakah faktor pendidikan, pengalaman di lapangan, dan “latihan otak” berlaku semestinya atau tidak dalam menjalani keseharian. Sisi sosial memetakan apakah kita telah mampu memberikan dampak positif kepada keluarga/kerabat, teman/kolega, dan masyarakat luas atau belum. Sisi fisik mengetes apakah kita telah memberikan porsi yang seharusnya untuk olahraga, makanan, hingga istirahat atau belum.

    Hingga Maret 2016 saja, Yayasan PIBAS telah menguji lebih dari 26.270 responden pada rentang usia 17-30 tahun dari Sabang sampai Merauke. Hasil survei yang terdiri dari 100 pertanyaan tersebut menunjukkan, masyarakat di kepulauan ini cukup baik dalam aspek spiritual dan sosial namun masih memprihatinkan dalam aspek intelektual dan fisik. Apakah Anda kaget dengan temuan tersebut?

    Coba kita amati dari fenomena yang sederhana saja. Mengapa kita dengan begitu mudah menyebarkan hoax tanpa terlebih dahulu mencerna dan menggunakan akal sehat? Mengapa banyak pihak yang masih mengunggulkan orang yang pandai menghafal daripada yang berpikir kritis ? Mengapa sebagian dari saudara kita baru sadar akan pentingnya kesehatan setelah mengalami sakit?

    Untuk mendayagunakan potensi terbaiknya, segenap warga negara Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus memperhatikan keseimbangan hidupnya. Karena kebahagiaan hakiki, hanya dapat dicapai jika keempat aspek kehidupan berjalan berimbang. Jadi bukan kesuksesan secara parsial.

    Revolusi Mental pun tidak akan berjalan baik tanpa diiringi oleh keseimbangan hidup di tingkat individu. Bukan semata-mata program pemerintah yang dipandang secara politis.

    Saatnya kita turut andil untuk mewujudkan Garuda bisa terbang lebih tinggi lagi. Kepakan kedua sayap yang menuntut keseimbangan hanya dapat diwujudkan oleh sinergi bersama dari saya, Anda dan kita semua sebagai anak bangsa.Sudahkah Anda menjadi insan yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala?

    Mungkin kita wajib mengamini kata Thomas Merton bahwa “happiness is not a matter of intensity but of balance, order, rhythm and harmony.”

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 7 Agustus 2017

  • Pemicu Utama Pengunduran Diri

     Mengundurkan diri (resign) adalah bukan hal yang aneh di dunia kerja. Itu terjadi jika sudah tidak ada lagi “titik temu” ekspektasi karyawan dengan “penyedia kerja”. Bisa juga muncul lantaran hal-hal lain yang menyebabkan karyawan tidak mungkin lagi bertahan seperti sakit, mengikuti suami (atau isteri) dinas ke luar kota, hingga melanjutkan studi di luar negeri.

    Secara acak,  alasan karyawan “tega” meninggalkan pekerjannya adalah seperti:

    • Atasan yang payah
    • Tidak adanya jenjang karir
    • Terdorong untuk membuka bisnis sendiri
    • Terbersit untuk fokus “menjual” keahlian yang dimilikinya secara serius (self-employed)
    • Besaran gaji yang “belum” memenuhi harapan
    • Budaya perusahaan/institusi yang kurang mendukung
    • Menghadapi kejenuhan atau kebosanan di bidang yang digeluti
    • Jarak antara kantor dengan rumah yang relatif jauh
    • Tidak sesuainya keterampilan yang dimiliki dengan yang diharapkan oleh institusi
    • Terbatasnya kesempatan untuk “berkembang”
    • Nihilnya apresiasi dari Manajemen atas prestasi karyawan
    • Tidak berjalannya sistem Reward & Punishment
    • Rendahnya passion
    • Dan lain-lain

    Dari beragam riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga terkemuka sekelas Harvard Business Review, Gallup, maupun Times; ternyata faktor atasan menduduki peringkat wahid. Mengagetkan kah?

    Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sependapat dari hasil riset tersebut. Memutuskan pengunduran diri bukanlah semata-mata disetir oleh alasan Rupiah,  memenuhi ekspektasi orang lain, ataupun sebatas passion. Pengunduran diri adalah momen yang bukan dihasilkan dari keputusan semalam. Ia adalah “keputusan besar” yang tidak main-main. Kira-kira selevel dengan keputusan untuk memilih jodoh dan menentukan jurusan kuliah.

    Mengapa faktor atasan sebegitu berpengaruh? Tidak ada jawaban yang bisa membuat Anda semua mengiyakan. Karena pola pikir, persepsi, dan nilai-nilai individu menentukan bagaimana ia memandang “atasan” itu sendiri. Tapi, kalau boleh diutarakan kira-kira seperti ini:

    • Atasan adalah mitra kerja yang “bersama” karyawan dalam waktu yang tidak sebentar. Katakanlah Anda bekerja 8 jam perhari, berapa waktu yang Anda habiskan dengannya selama setahun?
    • Atasan secara profesional (idealnya, walaupun tidak selalu) merupakan Supervisor, Coach, Role Model, Guru, Mentor, atau teman yang dapat diandalkan untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Bagaimana jika menemukan atasan yang sebaliknya?
    • Atasan seyogyanya mampu menerapkan konsep P-C-D-C-A (Plan, Coordinate, Do, Check, Act) dalam mendelegasikan segala pekerjaan ke bawahannya agar lebih efektif dan efisien. Bagaimana kalau salah satu dari pilar itu tidak terlaksana?
    • Atasan ada baiknya (tapi sebenarnya harus) mau memberi dan menerima feedback kepada anggota timnya. Problema yang jamak ditemukan adalah masih banyaknya atasan yang menjunjung tinggi benih-benih “feodalisme” dengan pendekatan Top-Down yang mengunci rapat-rapat aspirasi dari bawahannya (Bottom-Up)
    • Atasan yang baik adalah yang mampu mengembangkan anggota timnya. Senada dengan pemimpin sejati yang mampu mencetak pemimpin lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Kenyataannya, masih ada atasan yang tidak mau “tersaingi” oleh anggota timnya.  Tidak sedikit juga atasan yang tidak mau (dan mampu) memberikan arahan, mengutarakan umpan balik, melakukan evaluasi, dan mendengarkan dengan hati dari bawahannya.

    Apapun karakter atasan yang Anda miliki saat ini, tidak ada manusia sempurna. Sebagai atasan, sudah seyogyanya Anda mampu menjadi pemimpin, teman, mitra, dan coach bagi anggota. Sebagai bawahan, sudah sepantasnya Anda dapat menjadi pengikut yang baik. Karena syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik adalah menjadi pengikut yang baik.

    Sudahkah Anda menjadi atasan yang baik? Apakah Anda pernah resign karena faktor atasan?

     

    (*) Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 4 Agustus 2017 

     

     

  • Seni Melewati Krisis Seperempat Baya

    Baru-baru ini saya bertemu dengan Albert (bukan nama sebenarnya), di salah satu kedai kopi populer di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

    Albert merupakan purwarupa Gen Y yang belakangan menjadi bahan diskusi di mana-mana. Dari orangtua, dosen, praktisi sumber daya manusia, hingga pemerintah. Sebuah generasi yang dikenal aktif, kreatif, “banci tampil”, melek teknologi suka berpindah-pindah kerja dan berambisi tinggi.

    Di usia yang baru menginjak 24, Albert bisa dikatakan cukup sukses. Bekerja di perusahaan multinasional, pendapatan bulanan di atas rata-rata teman sebayanya, relasi yang luas, dan memiliki bisnis dengan omset yang membuat semua orang bilang “wow”.

    Kedatangan Albert di hari itu hanya satu, yakni untuk meminta nasehat dari seorang “kakak kelas” yang terpaut lima tahun usianya yang tidak lain adalah saya.

    Setelah melewati jam pertama mendengarkan curhatan, saya mendapati kesimpulan bahwa Albert tengah dalam krisis seperempat baya. Sebuah periode ketika seorang early jobbers mempertanyakan keputusan-keputusan yang telah dialami, sekaligus mencemaskan masa depan. Sebuah fase tatkala fresh graduates takut salah mengambil langkah, ragu-ragu dalam bertindak, membandingkan (pencapaian) diri sendiri, dengan  rekan sebaya dan dirundung kegalauan yang seakan tak berkesudahan.

    Cerita Albert yang ditumpahkan kepada saya hanyalah puncak dari gunung es. Dirinya hanyalah salah satu dari jutaan pemuda yang mendapati fresh graduate syndrome. Sebuah krisis yang memang jamak dialami oleh siapa saja di usia antara 24-34 tahun.

    Nasehat yang saya berikan kepada Albert sejatinya telah saya rangkum dalam buku “Mantra Kehidupan”, yang telah terbit beberapa bulan silam. Bukan bermaksud menggurui – tapi hanya sekedar berbagi – berikut ialah beberapa tips yang mungkin bisa diterapkan oleh pengidap krisis seperempat baya.

    Kenali Diri Sendiri

    Ini merupakan langkah pertama yang tak bisa “dilangkahi”. Mengetahui kekuatan, kelemahan, hobi, minat, bakat, dan tipe kepribadian adalah modal yang tak bisa ditawar sebelum meniti karir hingga mengarungi bahtera rumah tangga. Anda memang bisa memanfaatkan biro-biro konsultasi sumber daya manusia untuk memetakan siapa diri Anda. Namun pada akhirnya hanya Anda (dan Tuhanlah) yang benar-benar mengetahui jawaban terbaiknya. Itu mengapa saya setuju dengan ungkapan, barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.

    Jangan Membandingkan Kehidupan Anda Dengan Orang Lain

    Setiap orang memiliki “orbit” masing-masing. Dari start  waktu kita lahir hingga angan-angan yang dimiliki. Itu mengapa membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain hanya akan membuat Anda tidak bahagia. Terinspirasi dengan prestasi memukau dari orang lain memang sah-sah saja, namun jangan sampai itu malah menjadi mental block yang membuat Anda tidak bersyukur. Karena perlu kita ingat bahwa di luar sana selalu ada orang yang lebih kaya, lebih berkuasa, lebih berpengaruh, lebih terkenal, lebih cantik, lebih tampan, atau lebih langsing. Oleh karena itu mensyukuri apa yang kita miliki saat ini tidak bisa ditawar lagi, jika ingin berbahagia.

    Terus Mencoba

    Jika telah yakin dengan apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup, saya ucapkan selamat. Namun jika Anda masih diselimuti dengan keraguan, tenang saja. Anda tidaklah sendirian. Karena hidup memang dinamis. Alih-alih menghabiskan hari-hari Anda dengan kegalauan, coba saja hal-hal yang memancing keingintahuan Anda. Bisa dimulai dengan menekuni hobi, aktif terlibat di komunitas, menjadi sukarelawan, mencoba peruntungan sebagai pekerja lepas, hingga membuka bisnis yang sesuai dengan minat Anda. Di masa transisi ini memang tidak ada hal terbaik selain mencoba hal-hal baru. Karena dari situ Anda bisa menyaring apa yang cocok dengan diri sendiri, apa yang tidak perlu Anda tekuni lagi, dan apa yang perlu didalami pada sisa usia produktif Anda. Jika  tidak mencoba banyak hal, bagaimana  Anda yakin dengan pilihan yang telah dibuat ? Karena fokus hanya bisa dilakukan setelah melewati masa “coba-mencoba”.

    Miliki Visi, Tapi Nikmatilah Prosesnya

    Visi ialah bagaimana Anda melihat diri sendiri di masa yang akan datang. Ia terkait dengan apa yang benar-benar Anda cari, Anda inginkan, Anda raih, atau Anda lakukan. Suatu kondisi yang tentu saja unik, pun subyektif. Menyadari hal itu sudah seyogyanya Anda untuk menikmati prosesnya. Mengapresiasi setahap demi setahap kemajuan yang Anda capai. Karena kebahagiaan sesungguhnya ada di dalam perjalanan, bukan tujuan akhir.

    Nah, di atas merupakan beberapa tips yang mungkin bisa Anda pertimbangkan dalam mengarungi krisis seperempat baya. Beberapa mungkin cocok bagi Anda, sebagian bisa jadi tidak relevan untuk sebagian orang. Yang terpenting Anda menyadari bahwa masa depan sepenuhnya ada di dalam kendali Anda. Bukan dari atasan, orang tua, teman, atau yang lain.

     

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 25 Juli 2017