Category: Blog

  • Memaknai Kembali Pekerjaan

    Bekerja ialah salah satu kegiatan utama setiap orang di sepanjang hidup. Sebagian besar orang menghabiskan setidaknya sepertiga waktu produktif untuknya. Sebagian lainnya bahkan lebih dari itu.

    Melalui pekerjaan, setiap individu “menyumbangkan” diri. Dari waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Dengan pekerjaan kita rela meneteskan darah, keringat dan air mata. Menguji ketulusan, kesabaran, ketekunan, pengorbanan, tanggungjawab, dan integritas. Berkat pekerjaan kita bisa menggapai mimpi dan cita (bahkan cinta).

    Menyadari berharganya pekerjaan, setiap insan berjuang setengah mati untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Dimulai dari kelulusan SMP. Saudara-saudara kita yang ingin cepat bekerja tentu memilih SMK, sesuai dengan vokasi yang diinginkan. Sementara itu yang memiliki hasrat untuk meneruskan ke perguruan tinggi, mempercayakan SMA dengan konsentrasi Ilmu Alam, Ilmu Sosial hingga Bahasa.

    Bagi yang beruntung bisa melanjutkan kuliah, “drama” pemilihan jurusan tak terelakkan lagi. Seringkali orang tua ikut campur tangan dalam menentukan program studi buah hati. Tidak jarang pilihan yang diambil mengabaikan aspek minat, bakat, potensi dan kepribadian. Banyak yang masih ikut-ikutan tren hingga mengambil jurusan tertentu hanya karena prospek pekerjaan. Tidak ada yang salah memang. Namun dari sini kita bisa mengerti, betapa pekerjaan menjadi isu penting yang tak bisa dipungkiri.

    Pekerjaan merupakan salah satu pilar dalam menentukan pasangan hidup. Beberapa orang mengidolakan calon jodoh dari profesi tertentu. Sebagian orang mematok calon pasangan, harus memiliki penghasilan dengan jumlah yang menurut mereka “wajar”. Sebagian lainnya sama sekali tidak mempermasalahkan profesi, asalkan bisa menghidupi.

    Pekerjaan ibarat pisau bermata dua. Bergantung dari cara individu menyikapi masalah bertubi-tubi yang mengiringi karirnya. Banyak figur publik mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sebagian dipenjara karena korupsi hingga mengkonsumsi narkotika. Tidak sedikit yang stres tiada henti karenanya. Sementara itu masih ada yang bahagia karena bekerja. Apapun rintangan yang dilaluinya.

    Lantas bagaimana kita memaknai pekerjaan? Jika kita ulik lagi, ada beberapa poin yang bisa disarikan.

    Pekerjaan Sebagai Beban

    Ini dirasakan oleh orang-orang yang belum mengenal dengan baik siapa dirinya. Mereka menganggap segala tanggungjawab yang dihadapi karena keterpaksaan. Mengeluh, menyalahkan orang lain, dan acuh tak acuh sudah menjadi kebiasaan orang di level ini. Mereka bekerja semata-mata ingin mendapatkan Rupiah. Seringkali mereka ingin menang sendiri, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan mengabaikan kata hati.

    Pekerjaan Sebagai Aktualisasi Diri

    Ini dirasakan oleh kebanyakan orang. Mereka bekerja secara profesional. Menyalurkan potensi, minat, bakat dan keterampilannya dalam keseharian. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan upah. Sistem reward & punishment cukup efektif dalam “memompa” semangat orang-orang di level ini. Mereka bekerja keras demi jenjang karir yang didambakan. Paada saat yang bersamaan, mereka terus tumbuh karena bertambahnya pengalaman. Didewasakan oleh masalah, ditempa dengan tugas yang dari hari ke hari makin besar.

    Pekerjaan Sebagai Cara untuk Melayani Sesama

    Mereka bekerja bukan karena keterpaksaan. Mereka berkarya bukan sekonyong-konyong karena uang. Namun mereka “ada” untuk melayani sesama. Semakin besar tanggung jawab yang dieemban, semakin besar pula “peluang” mereka untuk bahagia. Memberikan sebagian tenaga, waktu dan pikiran sudah menjadi denyut nadi. Membantu sesama telah menjadi citra diri. Mereka tidak tinggi hati ketika dipuji, dan tidak rendah diri ketika dicaci.

    Pekerjaan Sebagai Jalan untuk Memecahkan Masalah Orang Lain

    Pekerjaan sejatinya merupakan ujian yang wajib diselesaikan. Itu artinya, siapa saja yang bisa “lulus”, secara otomatis akan “naik kelas”. Dengan kata lain, cepat atau tidaknya perkembangan karir kita ditentukan oleh seberapa besar masalah yang kita pecahkan. Semakin tinggi posisi, semakin tinggi pula tantangan yang harus diredamkan. Semakin dahsyat kepuasan yang ditawarkan, semakin dahsyat pula resiko yang mengiringi. Menyadari hal itu, orang-orang yang berada pada level ini tidak pernah iri dengan pencapaian orang lain. Mereka percaya dengan hukum alam bahwa apa yang ditanam, itu pula yang akan dituai.

    Pekerjaan Sebagai Panggilan

    Ini merupakan “derajat” tertinggi dalam menghayati sebuah pekerjaan. Mereka berkarya bukan semata-mata karena kepentingan dunia. Melainkan sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Hyang Widhi. Orang-orang ini berkarya karena ibadah. Jadi, mereka tidak lagi bekerja “hitung-hitungan”. Melainkan berusaha menciptakan nilai tambah dari masa ke masa. Mereka berhubungan dengan Tuhan sebaik berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu mereka yakin, bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bagi mereka, bekerja merupakan proses ibadah yang dengan suka cita dilaksanakan dengan “tujuan” mulia.

    Nah, di atas merupakan beberapa makna pekerjaan versi saya. Bisa jadi Anda memiliki definisi tersendiri. Namun itu tidak jadi soal. Karena pekerjaan merupakan cermin dari siapa kita. Jadi ingin menjadi sebaik apakah Anda dalam menyelami pekerjaan?

     

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 31 Juli 2017 

  • Seni Melewati Krisis Seperempat Baya

    Baru-baru ini saya bertemu dengan Albert (bukan nama sebenarnya), di salah satu kedai kopi populer di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

    Albert merupakan purwarupa Gen Y yang belakangan menjadi bahan diskusi di mana-mana. Dari orangtua, dosen, praktisi sumber daya manusia, hingga pemerintah. Sebuah generasi yang dikenal aktif, kreatif, “banci tampil”, melek teknologi suka berpindah-pindah kerja dan berambisi tinggi.

    Di usia yang baru menginjak 24, Albert bisa dikatakan cukup sukses. Bekerja di perusahaan multinasional, pendapatan bulanan di atas rata-rata teman sebayanya, relasi yang luas, dan memiliki bisnis dengan omset yang membuat semua orang bilang “wow”.

    Kedatangan Albert di hari itu hanya satu, yakni untuk meminta nasehat dari seorang “kakak kelas” yang terpaut lima tahun usianya yang tidak lain adalah saya.

    Setelah melewati jam pertama mendengarkan curhatan, saya mendapati kesimpulan bahwa Albert tengah dalam krisis seperempat baya. Sebuah periode ketika seorang early jobbers mempertanyakan keputusan-keputusan yang telah dialami, sekaligus mencemaskan masa depan. Sebuah fase tatkala fresh graduates takut salah mengambil langkah, ragu-ragu dalam bertindak, membandingkan (pencapaian) diri sendiri, dengan  rekan sebaya dan dirundung kegalauan yang seakan tak berkesudahan.

    Cerita Albert yang ditumpahkan kepada saya hanyalah puncak dari gunung es. Dirinya hanyalah salah satu dari jutaan pemuda yang mendapati fresh graduate syndrome. Sebuah krisis yang memang jamak dialami oleh siapa saja di usia antara 24-34 tahun.

    Nasehat yang saya berikan kepada Albert sejatinya telah saya rangkum dalam buku “Mantra Kehidupan”, yang telah terbit beberapa bulan silam. Bukan bermaksud menggurui – tapi hanya sekedar berbagi – berikut ialah beberapa tips yang mungkin bisa diterapkan oleh pengidap krisis seperempat baya.

    Kenali Diri Sendiri

    Ini merupakan langkah pertama yang tak bisa “dilangkahi”. Mengetahui kekuatan, kelemahan, hobi, minat, bakat, dan tipe kepribadian adalah modal yang tak bisa ditawar sebelum meniti karir hingga mengarungi bahtera rumah tangga. Anda memang bisa memanfaatkan biro-biro konsultasi sumber daya manusia untuk memetakan siapa diri Anda. Namun pada akhirnya hanya Anda (dan Tuhanlah) yang benar-benar mengetahui jawaban terbaiknya. Itu mengapa saya setuju dengan ungkapan, barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.

    Jangan Membandingkan Kehidupan Anda Dengan Orang Lain

    Setiap orang memiliki “orbit” masing-masing. Dari start  waktu kita lahir hingga angan-angan yang dimiliki. Itu mengapa membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain hanya akan membuat Anda tidak bahagia. Terinspirasi dengan prestasi memukau dari orang lain memang sah-sah saja, namun jangan sampai itu malah menjadi mental block yang membuat Anda tidak bersyukur. Karena perlu kita ingat bahwa di luar sana selalu ada orang yang lebih kaya, lebih berkuasa, lebih berpengaruh, lebih terkenal, lebih cantik, lebih tampan, atau lebih langsing. Oleh karena itu mensyukuri apa yang kita miliki saat ini tidak bisa ditawar lagi, jika ingin berbahagia.

    Terus Mencoba

    Jika telah yakin dengan apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup, saya ucapkan selamat. Namun jika Anda masih diselimuti dengan keraguan, tenang saja. Anda tidaklah sendirian. Karena hidup memang dinamis. Alih-alih menghabiskan hari-hari Anda dengan kegalauan, coba saja hal-hal yang memancing keingintahuan Anda. Bisa dimulai dengan menekuni hobi, aktif terlibat di komunitas, menjadi sukarelawan, mencoba peruntungan sebagai pekerja lepas, hingga membuka bisnis yang sesuai dengan minat Anda. Di masa transisi ini memang tidak ada hal terbaik selain mencoba hal-hal baru. Karena dari situ Anda bisa menyaring apa yang cocok dengan diri sendiri, apa yang tidak perlu Anda tekuni lagi, dan apa yang perlu didalami pada sisa usia produktif Anda. Jika  tidak mencoba banyak hal, bagaimana  Anda yakin dengan pilihan yang telah dibuat ? Karena fokus hanya bisa dilakukan setelah melewati masa “coba-mencoba”.

    Miliki Visi, Tapi Nikmatilah Prosesnya

    Visi ialah bagaimana Anda melihat diri sendiri di masa yang akan datang. Ia terkait dengan apa yang benar-benar Anda cari, Anda inginkan, Anda raih, atau Anda lakukan. Suatu kondisi yang tentu saja unik, pun subyektif. Menyadari hal itu sudah seyogyanya Anda untuk menikmati prosesnya. Mengapresiasi setahap demi setahap kemajuan yang Anda capai. Karena kebahagiaan sesungguhnya ada di dalam perjalanan, bukan tujuan akhir.

    Nah, di atas merupakan beberapa tips yang mungkin bisa Anda pertimbangkan dalam mengarungi krisis seperempat baya. Beberapa mungkin cocok bagi Anda, sebagian bisa jadi tidak relevan untuk sebagian orang. Yang terpenting Anda menyadari bahwa masa depan sepenuhnya ada di dalam kendali Anda. Bukan dari atasan, orang tua, teman, atau yang lain.

     

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 25 Juli 2017 

  • Sudahkah Organisasi Anda “Bertujuan”?

    Semua orang tahu bahwa bisnis diciptakan untuk mendatangkan keuntungan. Sehingga pertumbuhan bisnis berkelanjutan tidak bisa ditawar lagi, agar bisa bertahan di tengah persaingan yang kian sengit. Namun sadarkah kita mengapa ribuan perusahaan yang dulunya “jagoan” satu persatu tumbang? Di saat yang bersamaan, mengapa ada segelintir perusahaan “kawakan” yang masih mampu eksis hingga sekarang? Jawabannya tentu bergantung dari sudut mana kita memandangnya.

    Belakangan ini saya bertemu dengan Ali Zaenal Abidin, yang tidak lain adalah Chief of Organizational Happiness Insight Out. Kami berjumpa di salah satu gerai makanan cepat saji populer di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jebolan Wagner Graduate School of Public Service di New York University tersebut, menyadarkan saya pentingnya “tujuan” dalam bergerak. Tidak hanya dalam konteks individu, namun juga dalam konteks bisnis.

    Seperti yang (mungkin) telah Anda ketahui, Ali bersama rekan-rekannya mendirikan Insight Out dengan “tujuan” mulia. Mereka ingin membantu para individu dan organisasi menemukan dan menjalankan “tujuan”, hingga membangun budaya organisasi yang berbasis nilai. Sehingga bisa diterjemahkan ke dalam kegiatan sehari-hari.

    Di tataran individu, Insight Out memiliki program bertajuk I’m On My Way (IOMW). Sebuah program yang dibesut untuk memfasilitasi individu menemukan dan menjalani passion dan “panggilan hidup”, merancang jalur hingga memulai perjalanan untuk mencapainya. Tidak tanggung-tanggung, program ini memiliki misi untuk mewujudkan satu juta “Purposeful People”,  yaitu orang-orang yang telah menemukan dan menjalankan tujuan hidupnya pada tahun 2027. Melalui proses fasilitasi self-discovery intensif selama 10 pekan, program ini tidak hanya benar-benar cocok untuk membantu para peserta mengenali siapa dirinya, tapi juga menciptakan snowball effect dalam  mempromosikan “Enabling Purposeful Dreams” yaitu mewujudkan mimpi yang dapat memberikan positif bagi masyarakat.

    Lantas apa hubungannya dengan dunia bisnis? Kalau IOMW membantu individu untuk menemukan “panggilan hidup”, Insight Out memiliki  jasa Organizational Discovery untuk tataran organisasi – baik profit maupun non-profit. Jadi jasa konsultansi ini membantu organisasi-organisasi menentukan visi-misi, mengembangkan nilai-nilai dan perilaku, menerjemahkan ke dalam kegiatan operasional. Hingga kepada cara mengukur kinerjanya secara sistematis. Singkat kata Insight Out membantu klien membangun budaya perusahaan, dengan cara yang berbeda dari firma konsultansi kebanyakan.

    Insight Out mengingatkan saya dengan Ford Motor Company. Perusahaan legendaris asal Negeri Paman Sam ini pada tahun 1914 menjadi yang pertama dalam mengedepankan “tujuan”, di samping keuntungan dalam berbisnis. Suatu ketika Henry Ford  mengejutkan jagat, karena mampu melipatgandakan upah karyawan sebanyak dua kali upah rata-rata produsen mobil lain pada zamannya. Tidak hanya itu beliau juga memotong jam kerja, dari sembilan menjadi delapan setiap harinya. Serta menawarkan pembagian keuntungan bagi karyawan yang mau menjalani gaya hidup “bersih”, hingga memimpikan setiap karyawannya mampu membeli sendiri mobil buatannya.

    Apakah Ford tumbang karena terlalu dermawan? Bukankah kebijakan di atas hanya menghabiskan keuntungan saja? Anggapan yang salah. Ford begitu berhasil pada zamannya. Ia justru menjadi perusahaan yang paling didambakan dan di saat yang bersamaan paling profitable sepanjang abad ke-20.

    Ford mengingatkan saya lagi kisah sukses Facebook. Perusahaan fenomenal besutan Mark Zuckerberg ini mengaku bahwa pada awalnya didirikan sebagai misi sosial, bukan sebagai perusahaan. Tidak lain ialah untuk membuat dunia yang lebih terbuka dan terhubung. Sehingga Zuckerberg tidak membebani pengguna dengan biaya untuk membuat akun, hingga menikmati berderet fitur gratis yang kian bertambah dari hari ke hari.  Hal tersebut  justru membuat Facebook  menjadi salah satu jejaring sosial, dengan jumlah pengguna terbanyak dan keuntungan terbesar di dunia.

    Ketika para pengguna menikmati fitur-fitur yang ditawarkan Facebook, dengan sendirinya mereka tentu merekomendasikan kepada teman-temannya untuk membuat akun dan  berlama-lama aktif di sana tanpa diminta. Seiring dengan  meningkatnya jumlah  pengguna dan durasi mengaksesnya, para pengiklan berbondong-bondong mempercayakannya untuk mempromosikan produk dan jasanya. Belakangan Facebook memperbaharui “tujuan” bisnisnya menjadi sebuah perusahaan yang mampu memberikan kesempatan kepada orang-orang kekuatan, untuk membangun komunitas dan mendekatkan dunia bersama-sama.

    Apa “benang merah” dari perjalanan Ford dan Facebook? Sederhana saja. Organisasi tanpa tujuan hanya mampu mengelola sumber dayanya, sedangkan organisasi yang “bertujuan” bisa memobilisasi sumber dayanya. Tujuan merupakan kunci terwujudnya budaya perusahaan yang kuat, terukur dan berkelanjutan. Ia memang bukan elemen terlihat, namun kehadirannya selalu menyertai derap langkah perusahaan. Ia laksana  ruh yang memberikan energi tak terbendung.

    Menyadari hal itu kini semakin banyak saja perusahaan, yang menuliskan pernyataan tujuan guna melengkapi pernyataan misi. Satu hal yang sekilas sama, namun sebenarnya jelas terlihat perbedaannya.

    Misi menggambarkan apa yang diinginkan, dikejar, atau dicapai oleh perusahaan. Sedangkan tujuan adalah alasan mengapa perusahaan didirikan. Jadi tujuan bukan semata-mata mengenai hasil – melainkan perjalanan atau proses.

    Kita bisa ambil contoh dari perusahaan sekelas PricewaterhouseCoopers (PwC). Perusahaan yang berpusat di New York ini memiliki misi untuk membantu perusahaan dan organisasi, untuk menciptakan nilai melalui jasa-jasa yang ditawarkannya.  Adapun “tujuan” PwC adalah membangun kepercayaan di tengah masyarakat dan menyelesaikan masalah-masalah penting. Tujuan itulah yang menjadi jawaban mengapa ia masih begitu “perkasa” bersanding dengan Deloitte, Ernst & Young, dan KPMG.

    Jadi sudahkah perusahaan Anda menemukan purpose? Jika ya, apakah ia telah benar-benar “terpatri” dalam budaya perusahaan Anda? Tujuan ialah “ruh” mengapa bisnis Anda ada, untuk siapa bisnis Anda dijalankan, dan apa yang ditawarkan bisnis Anda untuk melayani, menciptakan nilai tambah, dan memecahkan masalah di sekitar kita.

     

    Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Inti Pesan, 21 Juli 2017

  • Seni Menemukan Panggilan Hidup

    Setiap orang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan unik. Itu artinya, tidak ada satu pun individu di dunia ini yang memiliki tingkat kesamaan hingga seratus persen dengan individu lainnya. Menyadari hal tersebut, sudah seharusnya setiap pribadi menjadikan hidupnya luar biasa.

    Salah satu kunci untuk mewujudkan hidup yang luar biasa ialah menemukan dan menjalankan “pangggilan” hidup. Apa itu panggilan hidup. Kira-kira bisa diartikan sebagai “sesuatu” yang menjadi dorongan terbesar kita untuk terus diperjuangkan selama hayat masih di kandung badan.

    Mengapa panggilan hidup penting? Karena ia menjadi kompas mau dibawa ke mana perjalanan hidup kita. Lantaran ia merupakan sumber energi tak terbatas yang sudah ada di dalam diri kita.

    Panggilan hidup ialah kunci kekuatan Nelson Mandela bisa bertahan hingga 27 tahun di dalam penjara. Tanpa panggilan untuk memperjuangkan penghapusan apartheid, mungkin ia tak akan pernah menjadi presiden pertama berkulit hitam di Afrika Selatan. Panggilan hidup ialah jawaban mengapa Steve Jobs bisa membesut berderet mahakarya Apple. Tentu kita masih ingat bagaimana ia memutuskan berhenti dari Reed College, mengikuti kelas kaligrafi di kampus, melakukan perjalanan spiritual di pedalaman India, mendirikan perusahaan, hingga dikeluarkan dan akhirnya memimpin perusahaan yang berlogo “buah apel tergigit” itu.

    Panggilan hidup ialah energi Profesor Yohanes Surya dalam upaya “mengangkat derajat” dunia sains di Indonesia. Anda mungkin lebih mafhum bagaimana perjuangan tulus beliau dalam mencetak para “mutiara bangsa” menjadi juara olimpiade fisika internasional hingga mendirikan lembaga pendidikan mulai dari Surya Institute, STKIP Surya hingga Surya University. Keyakinan dengan “Mantra Mestakung”-nya berhasil mampu menarik para ilmuwan papan atas nusantara yang sebelumnya menjadi diaspora untuk kembali mengabdi di bumi pertiwi.

    Mungkin pertanyaan yang “berputar-putar” dalam benak Anda ialah bagaimana menemukan panggilan hidup dalam diri kita. Satu hal yang pernah juga saya alami beberapa tahun terakhir. Atas dasar tersebut, saya mewawancarai lebih dari 1.200 orang di 25 kota populer di tanah air dan diaspora di 7 negara yang datang dari beragam profesi mulai dari bankir, jurnalis, penulis, dokter, pengacara, akuntan, artis, petani, pengusaha, pedagang, tentara, polisi, hingga dosen. Dari sisi jabatan ada yang menjabat sebagai CEO, menteri, panglima TNI, juru bicara presiden, rektor, penemu kelas dunia, ulama, bhiksu, dan tentu saja karyawan.

    Lantas, apa “benang merah” yang saya dapatkan setelah riset yang memakan waktu lebih dari dua tahun tersebut? Harus jujur saya katakan, ada begitu banyak hikmah. Namun jika dikaitkan dengan panggilan hidup, saya menemukan tiga pertanyaan inti yang bisa membantu kita untuk menemukannya.

     

    Isu Apa Yang Paling Anda Pedulikan?

    Mungkin terlihat sepele, namun begitulah realitanya. Isu yang paling Anda pedulikan mencerminkan apa yang paling penting bagi hidup Anda. Ia menggambarkan bidang apa yang kemungkinan besar akan Anda perjuangkan kelak. Itu bisa dilihat dari genre buku, majalah dan film apa yang sering Anda konsumsi. Program televisi apa yang sering Anda tonton. Hingga komunitas apa yang ingin atau telah Anda masuki.

    Kegelisahan Anda dengan tak terbendungnya pengangguran mungkin mendorong Anda menjadi seorang pengusaha. Kerisauan Anda dengan buruknya sumber daya manusia di negeri ini bisa jadi menginspirasi Anda untuk menjadi  pendidik. Keprihatinan Anda dengan tak terurusnya anak jalanan, pengemis, dan yatim piatu bukan tidak mungkin memanggil Anda untuk menjadi aktivis sosial. Ketrenyuhan Anda melihat amburadulnya Indonesia di segala dimensi bukan tidak mungkin melecutmu untuk menjadi politisi di kemudian hari.

    Berangkat dari pertanyaan ini cepat atau lambat Anda bisa menjadi bagian dari solusi. Teruslah “merawat kegelisahan” Anda. Tetaplah berkumpul dengan orang-orang yang “setipe” dengan Anda dalam bingkai komunitas. Dan jadilah penggerak, perintis, pemrakarsa, pemimpin, atau aktor utama yang memperjuangkan masalah-masalah di bidang tersebut.

     

    Profesi Apa Yang Anda Nikmati Sekaligus Menjadi Solusi Dari Isu Yang Paling Anda Pedulikan?

    Profesi merupakan salah satu bukti jejak kita di dunia. Kendati hidup kita tidak semata-mata bekerja, profesi merupakan salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi kebahagiaan kita. Anda bisa memulai dari pengenalan diri sendiri yang lebih baik. Mulai dari aspek kepribadian, kekuatan, minat, passion, dan bakat. Dari sini, Anda bisa lebih mudah memetakan profesi mana yang paling mendekati dari gabungan aspek-aspek tersebut.

    Yang perlu kita ingat, profesi ialah salah satu cara untuk menjalankan panggilan hidup. Jadi, ia merupakan sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia lebih mengedepankan proses, bukan hasil. Dengan demikian, sudah seharusnya kita menikmati bagaimana kita melintasi “orbit” sendiri.

    Laksana musafir. Ada kalanya kita menapaki jalur nan lurus, menuruni tikungan, berbelok di tengah tanjakan, mundur beberapa langkah, terjatuh, berhenti di perempatan, menyeberangi lautan, tercebur di sungai, melintasi padang pasir, hingga menikmati oase. Di sepanjang lajur tersebut tentu akan ada hujan badai, petir yang sahut menyahut, gerimis, panas terik hingga sesekali pelangi. Silih bergantinya siang ke malam, hingga pagi ke sore terus berpacu mengiringi langkah kita.

    Petualangan seorang musafir mendapati oase di tengah padang pasir bak “drama” setiap individu menemukan profesi yang paling sejalan dengan “suara hati”. Jadi, tidaklah heran jika begitu banyak orang yang harus bergonti-ganti profesi hingga bisa dengan lantang mengatakan “Ini nih yang gue cari selama ini!” Yang harus disadari, cepat atau lambatnya “penemuan” profesi yang paling tepat dengan potensi diri, sejalan dengan sejauh mana seseorang mengen diri sendiri.

     

    Bagaimana Anda Menghubungkan Mimpi Masa Kecil dengan Orang Yang Paling Anda Kagumi?

              Masa kecil merupakan salah satu masa yang paling mempengaruhi kehidupan seseorang. Dari sini, pondasi kita sebagai pribadi untuk pertama kalinya dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Dengan demikian, kondisi sosial dan budaya berperan besar dalam membentuk pola pikir setiap individu. Kendati kelak pendidikan formal dan pengaruh eksternal lainnya juga turut mewarnai.

    Seperti yang telah kita tahu, anak kecil memiliki kreatifitas yang tak terbatas. Ia selalu ingin mencoba hal-hal baru. Tak mempedulikan apakah yang dicoba tersebut berhasil atau gagal, disukai orang lain atau tidak. Singkat kata, anak kecil berani melakukan sesuatu karena mengikuti kata hatinya.

    Sayangnya, kreatifitas individu perlahan-lahan terpasung karena sistem pendidikan. Ia sering mendapati label “gagal”, “bodoh”, atau “salah” dari lingkungan yang seharusnya membuatnya lebih berdaya, bukan mengkerdilkan nyalinya. Hal tersebut diperparah dengan label-label yang diberikan oleh orang tuanya sendiri.

    Oleh karena itu, ingat-ingat lagi masa kecil Anda. Apakah yang benar-benar Anda inginkan di  masa itu? Apakah ada asa tertentu yang berhubungan dengan isu yang paling Anda pedulikan?

    Saya ambil contoh Emil Salim yang saya wawancarai beberapa waktu lalu. Di masa kecil, ia ingat betul bagaimana cerita nyata ayahnya yang merupakan seorang pejabat di era pemerintahan Hindia Belanda hendak membangun jalan di Sumatera Selatan. Warga setempat berpesan kepada ayahnya agar jalur yang dibuat jangan sampai memotong jalan yang dilalui gajah.  Ingatan itulah yang kelak mempengaruhi cara berpikirnya ketika menjabat sebagai Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup dan beragam amanah lainnya. Petuah dari sang ayah untuk melestarikan lingkungan menginspirasi Emil Salim untuk mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI), menyuarakan pembangunan berkelanjutan, hingga mendapatkan The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF) dan Blue Planet Prize dari The Asahi Glass Foundation.

    Jika Anda mendapati kesulitan untuk mengingat asa di masa kecil, tengoklah ke depan. Ini bisa Anda mulai dari siapa orang yang paling Anda kagumi. Entah karena profesinya, pengaruh sosialnya, kontribusinya di masyarakat, hingga mungkin bakat dan keterampilannya.

    Menemukan sosok yang Anda kagumi membuat Anda terpacu untuk terus-menerus memantaskan diri. Anda memang tidak mungkin meniru mereka apa adanya, karena itu tidak membuat Anda tetap otentik. Justru dari situ Anda bisa  terinspirasi untuk menjadi sosok yang benar-benar Anda inginkan. Seorang individu yang memancarkan potensi terbaik dari dalam diri untuk menciptakan nilai tambah, melayani, membantu, dan menemukan solusi bagi permasalahan di sekitar.

    Anda tentu masih ingat dengan kisah nyata Merry Riana – Host & Coach I’m Possible di Metro TV. Sosok yang dikenal setelah meledaknya buku (dan belakangan film) Mimpi Sejuta Dolar tersebut di “masa susah”-nya di Singapura memberanikan diri untuk bertemu dengan Anthony Robbins yang dikaguminya. Ia rela membayar tiket yang begitu mahal untuk menghadiri seminar hingga berfoto dengan pembicara publik sekaligus pengusaha papan atas dari Negeri Paman Sam itu. Karena begitu terinspirasi dari sosok yang dikagumi, Merry Riana tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sukses. Kegigihannya selama menjadi agen asuransi di Negeri Singa bisa menutupi utangnya kepada Pemerintah Singapura yang membiayai studi di Nanyang Technological University (NTU) hingga mendapatkan pendapatan 1 juta Dolar Singapura pertamanya di usia 26 tahun.

    Nah dari tiga pertanyaan sederhana di atas, beranikah Anda untuk menemukan dan menjalani panggilan hidup? Apakah Anda terpanggil untuk bertekad memperjuangkan apa yang paling penting dalam hidup Anda ataukah hanya menunggu kejadian-kejadian tak terduga yang kelak membawa “nasib” Anda? Pada akhirnya, semua kembali kepada pilihan. Karena hidup adalan memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.***

     

    ***) Artikel ini sebelumnya dimuat di Inti Pesan, 15 Juli 2017

     

     

     

  • Hindari Tujuh Kesalahan Ini, Agar Sukses Berkarir

    Memiliki karir cemerlang rasanya sudah menjadi impian banyak orang. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat persaingan di dunia kerja makin begitu sengit dari hari ke hari. Sehingga untuk menapaki tangga demi tangga kemajuan, mensyaratkan upaya yang tidak mudah .

    Sayangnya kegagalan sebagian besar orang berkarir bukan disebabkan karena ia malas atau kurang berkomitmen. Namun justru bermuara pada  hal-hal mendasar yang sering kali tidak terpikirkan. Nah, berikut ialah beberapa tujuh kesalahan karyawan yang perlu dihindari dalam berkarir. Khususnya bagi  mereka yang ingin menjadi “Super Star”. Apapun jenis industri dan profesi yang dipilih.

    Tidak Mengenali Potensi Diri

    Ini merupakan langkah pertama yang tak bisa dilewati. Mengetahui minat, bakat, kekuatan, kelemahan, hingga kepribadian bisa menjadi kunci sekaligus katalisator untuk percepatan karir. Sayangnya poin ini sering diabaikan. Bahkan sebelum si fulan menentukan jurusan atau program studi di perguruan tinggi. Bagaimana mungkin seseorang mampu sukses berkarir jika “peta” dan kompas diri saja masih buta?

    Mengabaikan Goal Tertulis

    Mimpi hanyalah angan-angan kosong, jika tidak ada komitmen untuk mencapainya. Target hanyalah target, jika tidak ada kesungguhan untuk mendapatkannya. Itu mengapa menulis “goal” sudah menjadi suatu keharusan. Pasalnya dengan menuliskannya seseorang bisa terus-menerus teringat dengan apa yang diinginkan. Terlebih lagi tulisan tersebut dipasang di kamar, meja kantor, atau dibuat versi digitalnya. Sehingga bisa dipajang di layar telepon genggam, laptop hingga ipad.

    Malas Melakukan Riset

    Dalam setiap sesi wawancara, seorang recruiter maupun calon atasan, pasti menanyakan hal-hal mendasar. Mulai dari mengapa Anda tertarik bekerja di perusahaan X? Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan Y? Apa yang Anda ketahui tentang dinamika industri di sektor Z? Hingga seberapa mahal Anda ingin dibayar? Untuk menjawab berderet pertanyaan tersebut sekilas memang mudah. Tapi jika tidak melakukan riset, bagaimana mungkin bisa “mencuri perhatian” pewawancara? Itu berlaku untuk para fresh graduate. Bagi karyawan berpengalaman, riset merupakan salah satu strategi jitu untuk mengembangkan karir. Mulai dari menentukan jenis industri mana yang tren ke depannya akan berkembang, budaya perusahaan seperti apa yang cocok dengan values, hingga keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk menduduki level tertentu.

    Mispersepsi Tujuan Bekerja

    Rata-rata setiap orang di seluruh dunia menghabiskan setidaknya delapan jam bekerja di sepanjang hidupnya. Itu artinya bekerja merupakan salah satu aktivitas pokok dalam kehidupan siapapun. Namun bekerja bukan satu-satunya aktivitas yang dapat dilakukan di dunia. Masih ada kehidupan lain yang harus diperhatikan, seperti berinteraksi dengan keluarga, mendekatkan diri kepada Tuhan, hingga bersosial. Hasil riset dari berbagai lembaga di dunia menunjukkan, ketidakbahagiaan, konflik dalam rumah tangga hingga masalah kesehatan bermuara pada pekerjaan. Itu mengapa setiap individu harus mendefinisikan kembali niatnya dalam bekerja. Apakah hanya sekedar untuk bertahan hidup, sebagai sarana untuk mengamalkan ilmu, atau justru pengisi waktu semata?

    Mengejar Status, Bukan Kontribusi

    Kekayaan, kekuasaan dan ketenaran adalah tiga poin utama yang dikejar oleh sebagian orang dalam bekerja. Ketiganya memang menjadi dorongan positif untuk berprestasi. Namun jika tidak pandai mengendalikan emosi, justru menjadi pemicu utama stres. Oleh karena itu, jangan pernah mengejar status yang bersifat semu. Mulailah bersikap untuk menjadikan bekerja, sebagai sarana untuk berkontribusi kepada sesama. Menjadi orang yang mampu menaburkan manfaat dengan apa yang kita bisa lakukan.

    Enggan Aktif di Komunitas

    Komunitas ialah tempat di mana orang-orang yang memiliki kesamaan tujuan berkumpul. Entah karena hobi, minat, pekerjaan, almamater, hingga latar belakang pendidikan. Dalam komunitas, orang-orang secara sukarela aktif untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan bersama. Ini merupakan wadah yang tepat untuk meluaskan jejaring. Entah untuk pengembangan bisnis, atau kemajuan karir. Oleh karena itu untuk menjadi karyawan super, aktif di komunitas yang sesuai dengan panggilan hati tidak bisa ditawar lagi untuk dilakukan.

    Nihilnya Mentor

    Orang-orang yang sukses biasanya memiliki mentor. Pasalnya seorang mentor mampu mengarahkan si fulan untuk menjadi lebih baik. Ia bisa mengkritik secara pedas namun konstruktif. Ia bisa memberikan saran kepada si fulan berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya – bukan masukan normatif seperti yang dibaca di buku-buku ilmiah. Jadi umpan balik yang ditawarkan mentor biasanya lebih berdampak, karena ada hubungan secara pribadi yang diikat dengan trust. Jadi bagi Anda yang belum memiliki mentor, carilah segera orang-orang yang Anda anggap lebih berpengalaman atau yang Anda dikagumi. Orang-orang yang secara pribadi Anda jadikan panutan.

    Nah, di atas ialah beberapa kesalahan yang terlihat sepele, tapi berdampak besar dalam perkembangan karir Anda. Cobalah untuk menerapkan satu demi satu solusinya secara berkesinambungan. Karena keberhasilan dalam berkarir merupakan proses panjang sebagaimana maraton, bukan lari jarak pendek (sprint). Sehingga yang terpenting bukanlah kecepatan, melainkan daya tahan tiada henti dalam mengarungi setiap “lintasan”. (***)

     

    *** Artikel ini sebelumnya dimuat di Intipesan, 8 Juli 2017

     

     

  • Menemukan “Panggilan” Dalam Bekerja

    Artikel ini sebelumnya dimuat di Inti Pesan, 21 Juni 2017

                 Setiap individidu memiliki motivasi unik dalam bekerja. Sebagian mendambakan kekayaan. Beberapa di antaranya mengejar kekuasaan. Tidak sedikit yang mencari ketenaran. Sebagian lainnya berupaya mereguk keberhasilan yang sifatnya relatif.

    Sebenarnya, mengapa kita bekerja? Apa yang kita cari dalam bekerja? Bagaimana bekerja dapat membantu pencapaian mimpi kita? Tiga pertanyaan mendasar ini meski terdengar begitu klise, masih tetap relevan dalam menganalisis perilaku manusia.

    Karena memiliki hasrat yang bergelora, saya mengambil Sabbatical selama setahun penuh di sepanjang 2016. Satu keputusan yang kurang populer di mata masyarakat tanah air – khususnya generasi Y.  Saya  isi hari demi hari dengan mencoba hal-hal baru, menekuni hobi, membaca, bertemu ribuan orang, jalan-jalan, hingga menjadi relawan selama enam bulan di salah satu pulau terluar yang hanya memakan waktu 2 jam perjalanan via ferry dari Singapura  dan Malaysia.

    Di sela-sela masa kontemplasi yang dikenal dengan Gap Year tersebut, saya menyempatkan diri untuk melakukan riset independen. Saya mencari tahu bagaimana manusia-manusia Indonesia memandang hidup. Mulai dari kapan mereka menemukan “panggilan”, apa yang mereka cari dalam hidup, apa  yang paling penting dalam hidup mereka, bagaimana mereka memandang keberhasilan, bagaimana mereka mengartikan kebahagiaan, hingga mengapa mereka bekerja.

    Secara rinci, saya mewawancarai lebih dari 1100 responden yang tersebar di 40 kota lapis pertama dan kedua  di  tanah air. Belum termasuk para diaspora Indonesia yang tersebar di New York, Kuala Lumpur, Penang, Singapura, Bangkok, Amsterdam, London, Jeddah, Sydney, New Delhi, Tokyo,  Hong Kong, hingga Bandar Seri Begawan. Profesi (dan jabatan) mereka beragam mulai dari mantan Menteri, anggota DPR, motivator, humas, akuntan, pemuka agama, perencana keuangan, konsultan, dokter, insinyur, bankir, guru, dosen, diplomat, wartawan, peneliti, pengacara, seniman, penulis, inovator, juru bicara presiden, pembawa acara berita, pengusaha, petani, hingga buruh.

    Hasil riset yang lebih mendalam akan saya rilis dalam bentuk buku kelak, namun berikut beberapa (ringkasan) temuan menarik yang dapat disimak.

    Pertama, bekerja merupakan salah satu pengejawantahan “panggilan” hidup.  Temuan ini sama sekali tidak mengejutkan saya, mengingat sekurang-kurangnya 8 jam dihabiskan untuk bekerja setiap harinya. Itu mengapa orang yang menganggur dan pensiunan yang tidak beraktivitas cenderung kurang bahagia dalam hidupnya. Karena meski mengharuskan adanya pengorbanan, bekerja menjadi salah satu dorongan untuk menemukan “makna” dalam hidup.

    Kedua, pemaknaan bekerja manusia Indonesia beragam. Sebagian semata-mata bekerja untuk menumpuk bongkahan berlian, memburu habis jabatan tertentu, dan mencari segala cara untuk menjadi pesohor. Namun sebagian besar bekerja sebagai “ladang ibadah”, sarana aktualisasi ilmu, melayani (atau membantu) sesama, memberikan nilai tambah, dan memecahkan masalah orang lain.

    Ketiga, yang paling diinginkan manusia Indonesia ialah kebahagiaan. Meski  makna kebahagiaan relatif, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menempatkannya sebagai salah satu aspek utama dalam menjalani hidup – khususnya dalam bekerja. Kebahagiaan tersebut dapat direguk ketika turut menolong sesama sehingga merasa diri mereka “ada” dan bermanfaat. Dengan kata lain, bekerja merupakan salah satu pertanda eksistensi manusia.

    Keempat, kesuksesan memang penting tapi bukan segalanya. Sukses ialah mendapatkan apa yang kita  inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita  dapatkan. Karena tidak ada patokan yang disepakati untuk mengukur kesuksesan, takaran satu-satunya (mungkin) ialah syukur. Itu mengapa orang yang paling bahagia ialah orang-orang yang paling pandai bersyukur. Sehingga sama sekali tidak ada hubungannya dengan ukuran yang dapat dinalar seperti keuangan, jabatan, popularitas atau strata pendidikan.

    Kelima, setiap individu memiliki “orbit” masing-masing. Salah satu motivasi terbesar saya mengambil “jeda bekerja” selama setahun penuh (career break) ialah menemukan passion hingga “panggilan” hidup. Yang mengagetkan, jawaban lebih dari 1000 responden penelitian saya begitu berbeda-beda ketika ditanya kapan mereka menemukan renjana dan tujuan hidup. Ada seorang cendekiawan yang menemukannya ketika masih duduk di bangku SMA, ada seorang pengusaha ternama yang mencapainya di usia 35, ada seorang motivator yang mengenali dirinya di usia 30, ada seorang CEO yang mendapatkannya di usia  40, dan ada pula seorang pembicara papan atas yang meyakini panggilan hidupnya di usia 9 tahun. Jadi, bagi saudara-saudara sekalian yang belum menemukan passion-nya, janganlah berkecil  hati. Karena setiap orang memiliki jalan hidup  yang berbeda-beda. Renjana dan panggilan hidup akan ditemukan ketika kita mengenali siapa diri kita dan untuk apa kita ada di dunia. Sehingga, bisa dikatakan sebagai sebuah perjalanan sepanjang hayat.

    Sebagian intisari dari riset di atas, telah saya paparkan dalam buku saya yang telah terbit beberapa waktu lalu berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life Crisis. Yang terpenting bagi Anda sekarang tentu saja mencari tahu apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup, nilai-nilai apa yang paling Anda pegang, apa yang membuat Anda bahagia dalam bekerja, dan menemukan jawaban “mengapa” Anda ada di jagad raya. Semua pertanyaan klise yang bermuara pada pengenalan jati diri kita sebagai manusia.

                Akhir kata, saya jadi teringat pelajaran paling berharga selama setahun menjalani Sabbatical. Bahwa hidup adalah memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana. Doa saya untuk Anda adalah agar segera menemukan “panggilan” hidup, sehingga bisa mereguk makna bekerja dan kebahagiaan hakiki. Selamat mudik bagi yang menjalankan, semoga selamat sampai tujuan. Selamat berlebaran.