Category: Blog

  • Kelereng-Kelereng Kehidupan

    Pada tahun 2016, saya mengambil Sabbatical. Sebuah keputusan tidak populer dalam perspektif masyarakat Indonesia kekinian. Sebuah pilihan yang memungkinkan saya bertemu dengan ribuan orang dalam misi mencari “diri yang hilang”.

    Sabbatical memang masih asing di negeri ini. Di Barat program ini awalnya hanya dikenal di kalangan akademisi. Mereka meninggalkan rutinitas akademik dalam kurun waktu tertentu demi kepentingan riset, menulis ilmiah atau kegiatan lain dengan tetap mendapatkan benefit dari institusinya mengabdi.

    Dalam perkembangannya, Sabbatical tidak lagi menjadi “monopoli” kaum akademia. Di ranah korporasi, perusahaan yang membolehkan karyawannya untuk mengambil Sabbatical Leave semakin banyak. Mereka diizinkan untuk cuti dari satu bulan hingga beberapa tahun dengan dibayar maupun tidak.

    Kata Sabbatical sendiri berasal dari bahasa Ibrani “Shabbat” yang berarti istirahat, cuti, atau berhenti sementara dari pekerjaan. Dalam perspektif bisnis, Sabbatical identik dengan Career Break. Sebuah fase yang biasanya dimanfaatkan untuk jalan-jalan, menjadi relawan, mengikuti pelatihan, mendalami keahlian tertentu, membesarkan anak, merintis perusahaan, menyembuhkan diri dari penyakit atau pengembangan diri secara umum.

    Inggris merupakan salah satu negara yang masyarakatnya sangat sadar akan pentingnya Sabbatical. Menurut temuan dari berderet lembaga, dalam beberapa tahun terakhir sekitar tiga perempat warga Inggris mempertimbangkan untuk mengambil jeda karir (Career Break). Itu mengapa tidak kurang dari 90.000 orang di sana menikmati jeda setiap tahunnya. Sementara itu di Amerika Serikat juga tak kalah menarik untuk ditelaah. Dari hari ke hari makin banyak warga negeri Paman Sam yang menikmati jeda. Meskipun kadang-kadang pengertiannya saling tumpang tindih dengan Gap Year.

    Saya sendiri mengambil Sabbatical di sepanjang tahun 2016. Suatu fase yang saya manfaatkan benar-benar untuk menjadi relawan, mengembangkan hobi, mencoba beberapa profesi baru, dan jalan-jalan. Suatu periode yang mempertemukan saya dengan seorang “guru” kehidupan. Sebut saja bernama Khrisna.

    Khrisna mengajarkan saya akan makna hidup. Dalam kaca matanya, kehidupan bisa diibaratkan dengan (kumpulan) kelereng dalam gelas.

    Menurut Khrisna, kelereng dianalogikan bulan. Anggap saja rata-rata angka harapan hidup kita 70 tahun. Itu artinya, jumlah kelereng kehidupan kita ialah 70 x 12 + 840. Selanjutnya, semua kelereng yang kita miliki tersebut dimasukkan dalam gelas.

    Setiap tahun kita merayakan hari kelahiran. Itu artinya kita kehilangan 12 kelereng di dalam gelas. Semakin bertambah umur, hakekatnya semakin berkuranglah kelereng kita.

    Sekarang sejenak kita bisa menengok kehidupan kehidupan masing-masing. Tinggal tersisa berapakah jumlah kelereng dalam gelas kita? Kita memang tidak tahu secara pasti. Namun paling tidak kita bisa lebih menghargai detik demi detik, dalam mengarungi samudera kehidupan.

    Sabbatical mungkin bukan pilihan bijak bagi sebagian orang. Namun tidak sedikit saudara kita di luar sana, yang menemukan makna kehidupan di perjalanannya.

    Mengambil Sabbatical atau tidak ialah pilihan. Namun yang pasti, saya jadi teringat salah satu pesan mengesankan dari mendiang pendiri Apple Steve Jobs yang menegaskan bahwa. “Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan ‘hidup dalam kehidupan orang lain’. Jangan terjebak oleh dogma – yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan suara opini orang lain menenggelamkan suara hati Anda sendiri. Hal yang terpenting, beranilah untuk mengikuti hati dan intuisi Anda”.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 7 Maret 2018 

  • Menakar Daya Saing Indonesia

     

    Seperti yang mungkin sebagian dari Anda telah ketahui, negara kita merupakan bagian dari G-20. Sebuah blok yang menjadi kumpulan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Kita bolehlah sedikit berbangga mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam blok tersebut.

    Namun, apa guna terlalu terbuai dengan status? Faktanya, NKRI memang memiliki semua syarat untuk menjadi negara besar. Dari penduduk saja kita terbesar keempat di jagad raya. Dari geografis, tidak ada negara manapun yang membantah kita sebagai negara kepulauan terbesar di muka bumi. Dari kekayaan alam, saya tak perlu menjelaskan lagi. Karena sejak era kolonial, negeri ini sudah menjadi lahan empuk untuk terus dikeruk isinya. Anda barangkali sudah bosan dengan info klise tersebut.

    Dalam Laporan Daya Saing Global 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia bertengger di urutan ke-36 dari 137 negara di dunia. Tidak buruk-buruk amat memang. Namun melihat potensi bawaan yang begitu besar dari Republik ini, negeri ini seharusnya malu. Pasalnya, masih kalah saing dengan tiga negeri jiran yaitu Singapura (3), Malaysia (23), dan Thailand (32).

    Indeks Daya Saing Global sendiri memiliki 12 pilar sebagai aspek penilaian yang dikelompokkan menjadi tiga subindeks. Pertama, subindeks persyaratan dasar yang meliputi pilar kelembagaan, infrastruktur, ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar. Kedua, subindeks penambah efisiensi yang mencakup pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar finansial, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar. Ketiga, subindeks faktor kecanggihan dan inovasi yang terdiri dari pilar penerapan teknik mutakhir dalam bisnis dan inovasi.

    Kita boleh sedikit girang. Negeri kita pada tahun lalu berada pada peringkat ke-36. Itu artinya lima langkah lebih baik dibandingkan dengan pencapaian di tahun 2016. Kendati demikian, perbaikan posisi Indonesia jika boleh jujur masih disetir oleh ukuran pasar (9) dan ekonomi makro yang kuat (36).

    Meskipun bertengger di peringkat ke-31 dan ke-32 untuk ranah inovasi dan penerapan teknik mutakhir dalam bisnis, Indonesia masih sangat jauh tertinggal dalam kesiapan teknologi (80). Hal lain yang masih mengkhawatirkan ialah parahnya efisiensi pasar tenaga kerja (96) sebagai akibat dari biaya redudansi yang berlebihan, terbatasnya fleksibilitas pengupahan, dan rendahnya keterwakilan perempuan dalam angkatan kerja.

    Lalu, apa yang paling menjadi “mimpi buruk” bagi kemajuan ekonomi Indonesia? Di urutan pertama mungkin bisa Anda tebak. Apalagi kalau bukan korupsi. Hal lain yang memperburuk situasi secara berurutan ialah tidak efisiensinya birokrasi pemerintah, akses pembiayaan, payahnya infrastruktur, hingga instabilitas kebijakan.

    Dari kedua belas pilar yang menjadi penilaian Indeks Daya Saing Global, sebagai pribadi saya paling trenyuh dengan pilar kelima yang tidak lain ialah pendidikan tinggi dan pelatihan. Pilar ini menilai tingkat penerimaan pendidikan tingkat menengah dan tinggi, kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan sains dan matematika, kualitas sekolah manajemen, akses internet di sekolah, ketersediaan sarana pelatihan khusus di tingkat lokal, hingga tingkat pelatihan karyawan.

    Jika kita perhatikan, dalam tiga tahun terakhir pemerintah bisa dikatakan lumayan dalam hal memperbaiki infrastruktur atau hal-hal fisik. Hal tersebut bisa dilihat dari renovasi sarana dan prasarana gedung di berbagai tingkat. Penggantian (lebih tepatnya penyesuaian) kurikulum pendidikan juga tak terlewatkan. Sayangnya, pembangunan sumber daya manusia justru diabaikan. Akibatnya?

    Sederhana saja. Sebaik apapun sistem, secanggih apapun teknologi, dan semegah apapun gedung-gedung perguruan tinggi; belum memberikan dampak yang signifikan bagi “pembangunan manusia”. Buktinya paling mudah kita temukan pada kualitas lulusan Sarjana atau Diploma kita. Dari rendahnya kecakapan memecahkan masalah, buruknya soft skill, payahnya kreatifitas dan penalaran, dan ketidaksiapan dalam menerjemahkan teori yang dipelajari di kelas ke dunia nyata.

    Mungkin tidak berlebihan penggalan lirik dari lagu kebangsaan ciptaan W.R. Supratman ini. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Sebuah pesan yang mengingatkan anak bangsa akan pentingnya membangun daya saing. Dimulai dari manusianya.

     

    *) Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Portal Inti Pesan, 4 Februari 2018 

  • Ragam Peranti Pencarian Jati Diri

    “Setiap orang memiliki orbit masing-masing”. Ungkapan sederhana ini mungkin begitu klise bagi Anda, tapi faktanya memang tak lekang dimakan zaman.

    Ya, Tuhan telah memberikan karunia kepada setiap insan. Sejak lahir, masing-masing individu telah memiliki sejumlah “modal” yang bernama potensi. Sebutlah bakat, kekuatan, atau kepribadian.

    Seiring dengan bertambahnya usia, dinamika diri pun terjadi. Baik yang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, interaksi dengan masyarakat, maupun pola pikir yang ditanamkan oleh para pengajar di bangku sekolah.

    Sebagai lulusan non-psikologi, saya bisa dikatakan abai mengenai isu-isu pengembangan sumber daya manusia. Ketertarikan saya mengenai isu ini meningkat signifikan ketika saya memasuki dunia kerja. Sebuah periode yang membawa saya dalam krisis seperempat baya. Sebuah fase yang menjadi titik balik saya dalam memandang karir maupun kehidupan.

    Dalam tiga tahun terakhir saya belajar otodidak mengenai ranah pengembangan diri – khususnya pencarian jati diri. Jika dihitung secara fair, jumlah buku maupun jurnal ilmiah yang saya baca mengenai topik ini sudah mengalahkan bacaan yang serap selama 5,5 tahun menempuh pendidikan formal S1 dan S2 jurusan Hubungan Internasional. Itu belum termasuk kursus, seminar, pelatihan, maupun forum yang saya ikuti untuk mendalami ranah Self-Discovery.

    Selama dan setelah menempuh setahunnmasa Sabbatical, saya bertemu dengan ribuan orang. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Baik dari strata pendidikan, profesi, maupun status sosial.Saya mengamati bagaimana orang-orang tersebut bertransformasi dari nobody menjadi“somebody”. Dalam arti, saya petakan mengapa mereka bisa meraih happiness, success, sekaligus fulfillment. Jika saya tarik benang merahnya, pencapaian tersebut ada polanya dan pola tersebut berakar pada Self-Discovery.

    Jika boleh saya sarikan, berikut ialah beberapa ragam peranti pencarian jati diri. Baik yang telah teruji secara ilmiah maupun yang “hanya” pseudoscience. Semuanya – dengan pendekatan masing-masing – bisa membantu Anda menemukenali diri sendiri, sehingga bisa lebih cepat mengantarkan pada “karpet merah”. Yang pasti secara keseluruhan saling mendukung, dalam upaya pemenuhan panggilan hidup.

    Fingerprint-based Genetic Test
    Merupakan peranti assessment jati diri berbasis sidik jari. Karena mengandalkan metode psycho-biometric, peranti seperti ini begitu aktual. Pasalnya hasil tes tidak tergantung mood maupun emosi seseorang. Sungguh bisa terhindar dari “faking assessment” ketika mengikuti tes yang berbasis kuisioner. Di Indonesia sendiri ada beberapa penyedia jasa yang tersohor. Namun yang paling saya rekomendasikan ialah PRiADI Psychological Fingerprints (P2F) dan STIFIn.

    Dengan biaya terjangkau dan waktu yang relatif singkat, Anda bisa memetakan karakter bawaan dengan rinci. Sebagai contoh P2F. Anda bisa mengenai preferensi berpikir, kepemimpinan, minat bakat, kecerdasan emosional, relasi sosial, gaya belajar, arahan bekerja, motivasi berprestasi, followership hingga temperamen.

    Grafologi
    Merupakan pendekatan analisis kepribadian manusia melalui tulisan tangan. Menurut paragrafolog kenamaan, tulisan tangan tidak lain ialah gambaran yang ada di dalam otaknya. Sehingga bisa membantu siapa saja untuk memetakan minat, menentukan kecocokan pasangan (jodoh), rekrutmen karyawan (preferensi bekerja), hingga menghilangkan kebiasaan buruk (dan penyakit mental). Percaya atau tidak, kita bisa mengubah “nasib” dengan mengubah tulisan tangan dan tanda tangan.

    Fisiognomi
    Pendekatannya begitu sederhana. Pasalnya siapapun bisa “dibaca” karakternya hanya melalui wajah. Kendati bisa melalui foto saja, analisis bisa lebih komprehensif jika pakar fisiognomi melihat langsung wajah kita. Meski banyak yang menganggapnya sebagai ilmu semu, pendekatan ini dapat membantu kita dalam urusan bisnis, persahabatan, percintaan, hingga karir.

    Numerologi
    Ialah salah satu pendekatan metafisika yang populer digunakan di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Dengan “menghitung” angka dari tanggal, bulan, dan kelahiran (serta nama); setiap orang bisa dianalisis dirinya. Baik karakter, kekuatan, kelemahan, peluang, rintangan, hingga karir. Sebagaimana bakat, hasil analisis numerologi tidak lebih dari “potensi”. Jadi ia semakin berpengaruh dalam mendukung pencapaian jika dapat disambungkan dengan passion, minat, mimpi, dan panggilan hidup yang bersangkutan.

    Berasal dari Barat, dengan cepat tes kepribadian ini menjalar keseluruh dunia. Peranti ini dikembangkan oleh psikolog kelahiran Bolivia Oscar Ichazo dan psikiater kelahiran Chili Claudio Naranjo yang didasarkan atas pengajaran G.I.Gurdjieff. Enneagram berasal dari bahasa Yunani ennea yang berarti sembilan dan grammos (yang digambarkan). Oleh karena itu, Enneagram merupakan 9 (sembilan) jenis kepribadian yang digambarkan dalam diagram yang masing-masing memiliki hubungan. Selain membantu profesi apa yang cocok bagi kita, Enneagram bisa memetakan kepribadian secara lebih mendalam. Mulai dari karakteristik dasar, keinginan mendasar, passion, fiksasi ego, ketakutan alamiah, kebaikan, hal yang membuat stres hingga faktor-faktor yang dapat menjerumuskan seseorang.

    Nah, apakah Anda penasaran dengan beragam peranti pencarian jati diri di atas ? Terlepas bisa teruji secara ilmiah ataupun “hanya” pseudoscience, tidak ada salahnya untuk mencoba. Setidaknya bisa membantu mengenali diri sendiri dalam memenuhi panggilan hidup. Selain itu lima pendekatan di atas bisa menjadi alternatif jika bosan dengan tes psikologi tradisional maupun peranti populer lainnya, seperti Human Design, DISC, MBTI, Ba Zhi, Palmistri, Astrologi dan seterusnya.

    Selamat menyelami diri sendiri.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Inti Pesan, 17 Januari 2018 

  • Mendefinisikan Ulang Resolusi

     

    Belum lama ini, salah satu teman terdekat saya – Sebut saja bernama Tom, bertanya kepada saya, “Om. Sudah berapa persen resolusimu di tahun 2017 yang tercapai?”.

    Saya pun dengan enteng menjawab, “Alhamdulillah 100% telah tercapai”.

    “Ah yang bener. Saya serius nih”. Sanggah Tom sambil merapikan dasinya.

    “Saya serius. Ngapain juga bercanda? Kalau kamu? “ Sahut saya dengan penasaran.

    “Baaaaarrrru 60%. Malu sih sebenarnya. Tapi apa boleh buat. Mungkin tahun depan saya nggak akan mematok target yang muluk-muluk deh”. Tukas Tom sambil menundukkan kepala.

    “Saya tahu mengapa kamu tidak mampu memenuhi target yang dibuat sendiri.” Jawaban saya dengan muka serius.

    “Sotoy kamu. Memangnya kenapa?” Sanggah Tom dengan mata jelalatan.

    “Kamu tidak tahu apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup. Ingin menjadi sosok yang seperti apa, mau melakukan apa saja, dan berhasrat memiliki apa saja”. Sahut saya dengan nada lirih.

    “Ih, bener banget. Kok kamu tahu banget sih tentang saya meski saya belum sepenuhnya terbuka kepada kamu?”

     

    ***

    Percakapan di atas mungkin sama sekali tidak relevan dengan diri Anda. Bisa jadi Anda anggap remeh begitu saja. Atau barangkali begitu menyentuh perasaan Anda meski berbeda konteks.

    Suka atau tidak, siap atau tidak, tak lama lagi Anda akan menyudahi perjalanan hidup di tahun 2017. Jika  diibaratkan sebuah lukisan, saya yakin apa yang Anda torehkan di tahun ini penuh warna. Pahit getir pastilah saling mengisi. Jatuh bangun mungkin tak mengherankan lagi. Tantangan hingga ujian silih berganti mengisi hari.

    Yang pasti, 2018 segera menyambut Anda. Jika dihubungkan dengan percakapan di atas, apakah perjalanan hidup Anda mirip dengan Tom? Masih perlukah Anda membuat resolusi di setiap pergantian tahun?

    Saya sama sekali tidak menggurui. Because, I don’t tell you what to do. But I just share you what I have done.

                Resolusi sangat berarti bagi orang-orang yang mengetahui apa yang diinginkan dalam hidupnya. Sebaliknya, ia kurang berdampak bagi mereka yang hanya memiliki semangat “hangat-hangat tahi ayam”. Ia tidak cocok untuk orang yang hanya mimpi di siang bolong, tapi memiliki disiplin dan komitmen yang rendah untuk mewujudkannya.

    Sebagai individu, Anda sah-sah saja memiliki mimpi setinggi langit. Sebagai pribadi, tidak ada seorang pun yang berhak melarang Anda untuk berambisi besar. Sebagai manusia, Anda diberikan kesempatan yang sama oleh Tuhan untuk melakukan apapun asalkan bermanfaat kepada sesama dan tidak merugikan orang lain.

    Anda bisa menganggap resolusi sebagai “mantra kehidupan”. Tidak ada salahnya Anda memaknainya sebagai ultimate goal. Tidak ada ruginya jika Anda mengartikannya sebagai road map ataupun blue print.

    Yang pasti, resolusi hanyalah pepesan kosong jika Anda tidak tahu apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup. Yang jelas, resolusi tidak lebih dari “To Do List” yang nice to have jika Anda tidak beraksi.

    Sebagai “benang merah” dari pertemuan saya dengan ribuan orang dalam dua tahun terakhir, saya menemukan saripati dari apa yang disebut dengan resolusi. Tidak lain ialah Be, Do, dan Have.

                Pertama, Be. Anda harus tahu ingin menjadi sosok yang seperti apa ke depannya. Tahu saja tidaklah cukup. Anda harus memiliki alasan yang kuat untuk mencapai target tersebut. Dengan kata lain, motivasi Anda harus sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip yang Anda pegang.

    Be sebanding dengan Why. Artinya, Anda harus menemukan burning desire mengapa ingin menjadi sosok yang diinginkan sebelum melangkah ke strategi (How) dan eksekusinya (What). Misalnya, ingin menjadi penyanyi untuk menghibur atau membahagiakan sesama, ingin menjadi dosen untuk mencerdaskan anak bangsa, ingin menjadi pengusaha untuk mengurangi pengangguran, ingin menjadi politisi untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, ingin menjadi wartawan untuk menyuarakan kebenaran, dan seterusnya.

    Kedua, Do. Setelah menemukan motivasi dari dalam diri untuk menjadi “seseorang di masa depan”, Anda harus beraksi. Dalam kamus manajemen, Do ini berkaitan erat dengan goal. Oleh karena itu, sebaiknya benar-benar cerdas alias SMART dalam mewujudkannya. SMART sendiri merupakan kependekan dari specific (spesifik/rinci), measurable (terukur/dapat dievaluasi), attainable (dapat dicapai), realistic (realistis), dan time-bound (dibatasi oleh waktu).

    Do merupakan padanan dari How alias strategi. Yaitu, apa saja yang harus Anda lakukan untuk mencapai Be tadi. Jika Why haruslah jelas dari awal, maka How ini bersifat fleksibel. Dengan kata lain, Anda harus habis-habisan untuk mewujudkan ingin menjadi apa, namun cara menuju ke sana bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Itu bukan berarti plin-plan, akan tetapi adaptif. Sehingga, pendekatan SMART bisa sangat membantu untuk memenuhi target demi target yang Anda inginkan.

    Ketiga alias yang terakhir adalah Have. Setelah Anda memiliki tujuan yang jelas dan upaya yang gigih untuk “memantaskan diri”, Anda berhak untuk memiliki sesuatu.

    Mungkin Anda pernah mengingat pepatah bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha. Barangkali Anda mengamini kata orang bijak bahwa barang siapa menanam, maka ia akan memanen. Dalam resolusi, sebenarnya sama saja. Anda hanya akan memperoleh apa yang benar-benar Anda percayai untuk dicapai. Anda hanya akan menuai apa  yang benar-benar Anda mimpikan, harapkan, dan imaginasikan. Anda hanya akan memperoleh Apa yang Anda upayakan.

    Apakah Anda telah paham sepenuhnya dengan Be, Do, dan Have? Saya harap demikian.

    Yang pasti, fokuskan saja dengan hanya yang benar-benar Anda inginkan. Disiplinkah diri dengan terus beraksi untuk mencapai tujuan yang disasar. Perkara hasil akhirnya nanti bagaimana, itu bukan urusan Anda.

    Resolusi merupakan doa. Resolusi merupakan cita. Itu mengapa penting sekali untuk  hanya berpikir, berprasangka, berupaya, dan bersikap yang baik-baik saja. Jangan terlalu mengikat bathin Anda dengan hasil. Karena itu merupakan “wilayah” Tuhan.

    Jadi, masih yakinkah Anda dengan adanya hari esok? Masih percayakah Anda dengan mimpi? Masih optimiskah Anda untuk mengejar cita? Jika ya, resolusi mungkin menjadi salah satu ikhtiar untuk memantaskan diri. Selamat tahun baru 2018.

     

    Artikel ini dimuat di Inti Pesan, 25 Desember 2017

  • Memaknai Panggilan Hidup

     

    Dalam dua tahun terakhir saya meneliti tentang apa yang membuat saya paling bergairah. Suatu hal yang membuat saya bertanya-tanya, penasaran, dan larut dalam kenikmatan prosesnya. Riset tersebut bertajuk The Calling Journey.

                Sejauh ini, saya telah mewawancarai lebih dari 1200 orang dari beragam latar belakang. Dari menteri hingga jenderal, dari profesor hingga seniman, dari dokter hingga pemuka agama, dari pengacara hingga anggota DPR, dari ilmuwan hingga motivator, dari karyawan hingga  pengusaha, dan seterusnya.

    Saya mencari tahu apa yang benar-benar mereka inginkan dalam hidup hingga apa yang menjadikan mereka bahagia. Saya menggali sangat dalam apa yang paling mereka cari selama di dunia hingga apa yang menjadikan mereka bisa sukses. Saya penasaran dengan titik balik hingga apa yang menjadikan mereka bermakna dalam bekerja.

    Setelah saya analisis dengan seksama, apa yang dituturkan oleh ribuan orang tersebut bermuara pada benang merah yang sama. Tidak lain ialah panggilan hidup.

    Memang tidak ada definisi baku yang diamini oleh semua pihak untuk memaknai panggilan hidup. Namun, saya sendiri menilainya sebagai sebuah power dari dalam diri setiap individu untuk bekerja sesuai dengan “panggilan” Tuhan.

    Lantas, panggilan seperti apa yang dimaksud? Yang pasti panggilan itu tak perlu dicari-cari. Hanya perlu disadari.

    Kemudian, siapa yang memanggil? Jelas saja, sang pemanggil ialah Tuhan – pencipta kita. Ia mengundang seluruh umat manusia agar bisa berkarya sesuai dengan kemauan-Nya.

    Lalu, bagaimana jika kita belum mengenali panggilan hidup diri sendiri? Tenang saja. Mungkin kita perlu berhenti sejenak. Barangkali kita hanya perlu jujur dengan diri sendiri. Bisa jadi, kita cuma butuh belajar bersabar mengenalinya.

    Tidak semua orang menyadari pentingnya panggilan hidup. Namun hampir setiap dari diri kita mengejar setengah mati apa  yang dinamakan dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Padahal jika kita mau jujur, panggilan hidup merupakan akar dari apa yang kita perjuangkan habis-habisan selama ini. Setinggi apapun mimpinya. Sebesar apapun targetnya. Siapapun orangnya.

    Di luar sana banyak orang mengira bahwa panggilan hidup haruslah sesuatu yang luar  biasa. Misalnya saja melakukan hal-hal spektakuler seperti halnya Bunda Theresa, Martin Luther King, atau Mahatma Gandhi.

    Kita sering kali terlupa bahwa setiap individu memiliki kepribadian, passion, keterampilan, hobi, minat, bakat, kekuatan, dan mimpi yang unik. Oleh karena itu, jelas saja kurang arif jika membanding-bandingkan panggilan hidup diri sendiri dengan orang lain.

    Setelah saya renungkan lagi, kunci untuk menemukan panggilan hidup ternyata sederhana saja. Ia sepadan dengan apa yang betul-betul membuat kita gelisah. Ia sebanding dengan masalah apa yang benar-benar ingin kita pecahkan – setidaknya sekali seumur hidup.

    Ingin membantu menciptakan lapangan pekerjaan? Panggilan kita berarti sebagai pengusaha. Mau mengangkat derajat pendidikan? Panggilan hidup kita berarti sebagai dosen atau guru. Berhasrat memperbaiki negeri ini secara langsung dari sistemnya? Panggilan hidup kita berarti sebagai politisi.

    Perjalanan setiap orang dalam mengenai panggilan hidup beragam. Yang pasti, ia akan datang ketika kita telah mengenali diri sendiri. Yang jelas, ia akan muncul ketika kita telah menyadari apa yang benar-benar kita bisa berikan untuk dunia lebih baik.

    Cepat atau lambat, kita harus menemukan apa yang paling bermakna dalam hidup. Sekarang atau belakangan, kita harus mengetahui apa  yang menjadi cetak biru hidup.

    Jadi, apa panggilan hidup Anda? Apa yang sesungguhnya Anda ingin capai dalam hidup? Apa hal yang pantas Anda perjuangkan? Apa yang paling berarti bagi Anda?

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 17 Desember 2017 

     

     

     

  • Filosofi Kendi, Batu dan Bola

    Masalah ialah teman kehidupan. Selama nafas masih di kandung badan, sepanjang itu pula ia akan mengiringi.

    Tiada seorang pun di dunia ini yang dapat terhindar dari masalah. Karena ia hanya akan hengkang ketika kita meninggal.

    Masalah ialah ujian. Ia menjadikan seorang individu “naik kelas” jika dapat mengatasi. Namun, di saat yang bersamaan menjatuhkan siapa saja yang kurang arif menyikapi.

    Masalah membelah manusia menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang memandangnya sebagai beban. Orang-orang tipe ini selalu mencari alasan, menyalahkan orang lain, meratapi keadaan, menyesali masa lalu, dan merisaukan yang belum terjadi. Merekalah sang pecundang. Kedua, mereka yang melihatnya sebagai peluang. Orang-orang di kategori ini selalu mencari solusi. Mereka berjuang mati-matian untuk mencari jalan keluar yang biasanya mampu menciptakan nilai tambah, melayani, hingga membantu orang banyak. Merekalah sang jawara.

    Menurut salah satu Guru saya, ada tiga jenis manusia di dunia ini jika dihadapkan pada masalah. Beliau menyebutnya dengan filosofi kendi, batu, dan bola.

    Pertama, filosofi kendi. Jika mendapati masalah, orang di kategori ini mengambil keputusan yang justru merugikan diri sendiri. Ibarat kendi yang dilempar ke lantai, sang kendi pastilah pecah. Mana ada kendi – yang terbuat dari tanah liat – masih bisa utuh tanpa cacat jika dibanting?

    Kedua, filosofi batu. Jika menemukan masalah, orang di kategori ini mengambil keputusan yang merugikan orang lain. Ibarat batu yang dilempar ke kaca, sang kaca pastilah pecah. Apa guna dilahirkan di dunia jika terus menjadi “duri” bagi sesama?

    Ketiga, filosofi bola. Jika menghadapi masalah, orang di kategori ini justru bangkit lagi. Ibarat bola (karet) yang dilempar ke lantai, sang bola tidaklah pecah. Tidak pula  merusak lantai. Ia jatuh sebentar, tapi justru naik lagi hingga beberapa kali.

    Nah, itulah filosofi kendi, batu, dan bola. Metafora sederhana yang menyadarkan kita untuk terus-menerus menjadi bola. Sebuah benda yang tahan banting. Sebuah barang lentur yang menjadi kesukaan orang di semua usia.

    Memang, kita sering kali menjadi kendi. Yang makin terpuruk ketika dirundung masalah. Atau menjadi batu yang merugikan saudara-saudara kita yang sejatinya tidak bersalah.

    Namun, masalah hakikatnya netral. Persepsi kitalah yang menjadikannya sebagai ancaman hingga beban. Persepsi kita pula yang menilainya sebagai tantangan hingga peluang. Itu mengapa siapapun boleh dihadapkan pada masalah yang sama. Hanya pola pikirlah yang membuatnya menyikapi secara berbeda.

    Pada akhirnya, cepat atau lambat, kita akan tersadar. Bahwa hidup adalah memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, kita harus tahu siapa diri kita. Untuk apa kita ada, kemana kita ingin pergi, dan mengapa kita ingin sampai di sana.

     

    *) Artikel ini pertama kali dimuat di Intipesan, 18 Desember 2017