Author: Agung Wibowo

  • Menyikapi Ketakutan

    Takut. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?

    Aku tak tahu apa masalah spesifikmu. Yang kutahu, sebagai manusia biasa kita memang senantiasa “mengantisipasi” hal-hal negatif atau marabahaya yang tidak kita inginkan dalam hidup. Untuk itulah, kita bersikap takut.
    Sebagian dari diri kita takut kehilangan pekerjaan. Sebagian lainnya takut kehilangan anggota keluarga untuk selama-lamanya. Sebagian lagi takut bisnisnya bangkrut, anak-anaknya tak mendapatkan pendidikan terbaik hingga diselingkungi pasangan. Tak sedikit yang takut dengan kematian.
    Ketakutan sesungguhnya manusiawi selama kita mampu mengendalikannya. Itu menjadi sahabat ketika kita terbantu dalam memitigasi risiko. Namun, itu justru menjadi petaka ketika kita justru merasa tak berdaya dalam bertindak.
    Sekarang, jujurlah dengan diri sendiri. Apa yang membuatmu takut? Apakah karena harta, tahta, popularitas, dan segala bentuk materi duniawi yang fana? Ataukah takut dengan yang memberi rasa takut?
    Hidup terlalu singkat jika kita takut dengan alasan yang keliru. Apa yang menakutkanmu?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Citayam, 20 Januari 2020
  • Kecukupan

    Kurang, kurang dan kurang. Itulah manusia. Kita senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang kita miliki saat ini.

    Kita bekerja setengah mati atas nama memperbaiki taraf hidup. Membeli segala kebutuhan dan lebih sering keinginan yang tak terbatas. Seiring semakin besarnya pendapatan, semakin besar pula nafsu kita untuk membelakan. Di situlah akar masalahnya mengapa kita tidak pernah merasa cukup meski sesungguhnya telah berkecukupan.
    Waktu pendapatan pas-pasan, makan di Warteg aduhai nikmatnya. Tatkala penghasilan di atas angin, makan di hotel bintang lima pun tidak jarang masih terasa hambar.
    Waktu pendapatan pas-pasan, punya Avanza girangnya bukan main. Tatkala penghasilan di atas angin, punya Lamborghini belum bisa memuaskan.
    Waktu pendapatan pas-pasan, liburan ke Bali terasa seperti di alam surga. Tatkala penghasilan di atas angin, plesiran ke Las Vegas belum mampu memberikan kepuasan.
    Waktu penghasilan pas-pasan, tinggal di rumah kecil sudah bisa tersenyum. Tatkala penghasilan di atas angin, tinggal di rumah seharga 50 miliar masih merasa kurang.
    Lantas, seberapa besar batas cukup kita? Akankah kepuasan tak pernah terpenuhi? Kapan kebahagiaan menghampiri jika kita masih serakah?
    Manusia memang ditakdirkan bersifat hewani. Entah kita sadari atau tidak. Untuk itulah tugas nurani untuk mengikuti jiwa yang bersih, bukan hawa nafsu yang membuat hati panas.
    Mampukah? Siapkah?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 15 Januari 2020
  • Bergeraklah

    Capek, hampa, atau bosan menjalani hidup? Stres karena merasa kamu menjadi orang paling menderita? Pernah berpikir untuk melarikan diri dari kenyataan?

    Sahabatku. Mungkin kamu pernah melontarkan beberapa pertanyaan di atas. Entah satu atau dua di antaranya.
    Saya tidak tahu bagaimana jalan hidupmu. Yang pasti, saya sendiri pernah berada di titik yang memprihatinkan. Ya, saya pernah berada di titik terendah dalam hidup.
    Di beberapa tahun awal saya berkarier, saya merasa berada di “jalan yang salah”. Saya bosan, hampa, stres, gelisah dan galau dalam menjalani hidup. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya inginkan. Meskipun saya capek dengan segala kesibukan, sesungguhnya saya pernah pada situasi ketika saya tidak tahu apa yang saya cari, kejar dan perjuangkan dalam hidup.
    2016 menjadi masa eksplorasi luar biasa. Selama setahun penuh saya menjalani sabbatical. Saya menikmati jeda dari hingar bingar kota besar. Saya menjalani hari-hari dengan kesendirian tanpa agenda yang jelas. Tak ada bos, tak ada bawahan. Saya sepenuhnya menjadi pribadi yang merdeka.
    Sebulan pertama hidup tanpa bekerja, dunia laksana surga. Tak ada deadline. Tak ada macet-macetan di jalan. Tak ada kecemasan memikirkan tuntutan bos dan ekspektasi anak buah. Yang ada hanyalah kesenangan nan tak dapat ditukar dengan rupiah.
    Sebelas bulan berikutnya saya mendapati krisis identitas. Pergolakan jiwa sedang mencapai titik klimaks. Terjadi pertempuran nilai-nilai dalam diri. Konflik keimanan menghadang. Boro-boro menguraikan target atau gol yang super ambisius. Saya justru tak berdaya mengambil keputusan. Keraguan, kebimbangan, dan kecemasan melanda. Saya takut salah mengambil jalan yang mana. Itulah titik nadir yang mengantarkan saya pada titik balik.
    Awal 2017 saya merasa terlahir kembali. Pola pikir telah berganti. Saya yang awalnya berorientasi hasil berubah menjadi percaya pada proses. Saya berhasil mengartikan kebahagian dan kesuksesan versi saya sendiri.
    Saudaraku. Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Jika kamu merasa belum tahu apa yang diinginkan, berhentilah sejenak. Bila kamu memandang menganggur itu asyik, kamu salah besar. Jika kamu menganggap kerja itu membuat stres, renungkanlah maksud Tuhan menciptakanmu di dunia.
    Saudaraku. Tuhan tidak menyuruhmu untuk menjadi pribadi sukses. Ia hanya memintamu untuk berupaya sebaik mungkin. Selebihnya, Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.
    Jadi, apa kata kuncinya? Bergeraklah.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Antara Depok dan Jakarta,
    16 Januari 2020
  • Bayang-Bayang Kepalsuan

    Apa yang kamu cari?

    Kata ini menjadi pengingat terbaik bagiku ketika “mental block” kambuh. Aku selalu menyadarinya sepenuh hati. Meresapinya dalam-dalam.
    Manusia memang sering kali lupa. Bahkan mungkin telah mengabaikan hakikat keberadaan diri mereka di dunia. Akibatnya, seolah-olah kita menjadi orang paling sengsara manakala apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan kenyataan.
    Dalam hidup, ujian ada di mana-mana. Ada begitu banyak kejadian, benda dan orang yang menguji “panggilan” kita. Jadi, jika kita khilaf dengannya kemungkinan besar kita akan terjerumus pada kekecewaan, kemarahan, ketakutan, kehampaan, penyesalan, kegalauan dan seterusnya.
    Selama ini mayoritas orang mengejar bayang-bayang yang melenakan. Harta, tahta, ketenaran dan mungkin masih banyak lagi. Semakin kita kejar, sejatinya mereka menjauh. Karena sesungguhnya mereka tidak esensial dalam mendukung apa yang disebut dengan kebahagiaan. Itu hanyalah permainan.
    Bayang-bayang memang penuh kepalsuan. Jika kita tidak peka, seumur hidup hati kita tidak akan pernah damai. Jiwa tidak tenang.
    Lantas, bagaimana seharusnya? Saatnya kita “jalan-jalan” ke dalam diri sendiri. Karena di sanalah kita dan Tuhan sejatinya menyatu.
    Kebahagiaan ada di dalam diri kita. Kita hanya perlu lebih peka mengenal jati diri. Jadi, semakin kita gali ke dalam; semakin terlihat kejernihan dalam memandang hidup.
    Bayang-bayang kepalsuan. Kebahagiaan semu. Melenakan. Memabukkan. Menjauhkan dirimu dari hakikat hidup. Sudahlah kamu menyadarinya?
  • Relativitas

    “Setiap orang adalah spesial”.

    Pernahkah kamu mendengar mantra yang satu ini? Kalau saya sih sering. Katakanlah kamu pun demikian. Apa reaksimu?
    Dulu aku mengamininya. Namun, seiring bertambahnya umur sebaliknya. Apa apa pasal?
    Jika setiap orang adalah spesial, itu bukankah berarti tak ada yang spesial? Semua orang adalah rerata?
    Saya tidak ingin memprovokasimu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa spesial atau tidaknya bersifat relatif.
    Yang saya yakini, setiap orang memang unik. Dewata telah memberikan karunia potensi yang berbeda-beda. Dus, kembali pada pola pikirmu.
    Apakah kamu merasa unik?
    Apakah kamu bersikap sebagai orang yang spesial?
    Apa perbedaan yang ingin kamu persembahkan untuk dunia?
    Itu semua terserah kamu. Kamu boleh berlagak bebas. Kamu bisa berperilaku sesuka hati. Namun, pada akhirnya orang lain bebas mempersepsikannya.
    Tabik,
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 2 Januari 2020
  • Obat Segala Masalah

    Bahagia.

    Setiap orang mendambakannya.
    Namun, mengapa itu sulit terwujud?
    Apa yang salah dengan diri kita?
    Buktinya banyak jutawan depresi. Tak terhitung berapa pesohor dunia bunuh diri. Tak sedikit pemimpin segala tingkat yang berakhir di balik jejuri.
    Yang salah tentu diri kita. Yang menuhankan dunia. Yang menggantungkan kebahagiaannya dari luar diri.
    Benda, orang, dan peristiwa mungkin bisa membawamu pada suka atau duka. Namun, sejatinya itu semua bersifat netral.
    Kamulah yang menghakimi. Kamulah yang menciptakan. Kamulah yang meniadakan apa yang disebut dengan bahagia.
    Selama nafasmu masih dikandung badan, masalah akan terus ada. Hanya oranh mati yang absen dari masalah. Jika masalah kamu jadikan alasan untuk tidak berbahagia, kamu salah besar!
    Kamu hanya perlu tahu obat dari segala masalah. Apa itu? Tak lain adalah syukur.
    Syukur berarti menerima dengan ikhas semua takdir baik dan buruk. Syukur artinya berterima kasih dengan segala ujian yang mengiringi kita.
    Sudahkah kamu bersyukur hari ini?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Pasar Minggu, 2 Januari 2020