Author: Agung Wibowo

  • Nurture Vs Nature

    Nurture Vs Nature

    “Ih, lo kok pendiem sih?”
    “Eh dia persis banget dengan emaknya ya.”
    “Tahu nggak sih, Dedi tuh anak kyai tapi kelakuannya kayak bandar narkoba akibat salah pergaulan.”
    Pernah kamu mendapati pertanyaan mirip di atas? Atau mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan itu?
    Jika ya, barangkali kamu masih ingat dengan perdebatan Nurture Vs Nature? Maksudnya, kelompok pertama percaya bahwa kepribadian dan karakter individu paling dipengaruhi oleh pola asuh, interaksi sosial, pengalaman dan pendidikan yang diperolehnya. Sedangkan kelompok kedua mengamini bahwa faktor yang paling mewarnai dengan “identitas” seseorang adalah gen alias bawaan dari lahir yang tak bisa diubah.
    Ahli perilaku manusia, psikologi hingga pendidikan tentu memiliki perspektif berbeda-beda. Menurutku, keduanya saling berpengaruh. Hanya saja, semua bergantung kepada individu yang bersangkutan.
    1. Sebesar apa keinginannya untuk mengubah keadaan?
    2. Sekuat apa kemauannya untuk belajar?
    3. Sebaik apa pengetahuannya tentang jati diri?
    Menurutku, tiga pertanyaan sederhana tersebut bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi diri. Apakah kamu memiliki pola pikir bertumbuh yang dinamis? Ataukah kamu puas dengan status quo?
    Teman, hidup adalah pilihan. Kendali hidupmu ada di tanganmu.
    Jadi, mana yang paling kamu percayai? Nurture atau Nature?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Februari 2020
  • The Islamic Way of Happiness

    Apa yang perlu kamu pelajari dari Islam untuk bisa berbahagia, bahkan jika kamu bukan seorang Muslim sekali pun

     

    Kebahagiaan adalah dambaan semua orang. Apa yang kita kejar, perjuangkan, dan lakukan detik demi detik merupakan cara kita memaknainya. Apa yang kita butuhkan untuk mencapai titik bahagia sesungguhnya sudah ada pada diri kita masing-masing. Sayangnya, manusia senantiasa mematok standar sendiri-sendiri yang justru menjauhkannya. Kebahagiaan sejatinya tanpa syarat. Kita sendiri saja yang mensyaratkan harus menjadi ini itu, mencapai ini itu, atau memiliki ini itu untuk bisa berbahagia. Buku ini membeberkan bagaimana Islam mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi bahagia. Yang menarik, semua ajaran tersebut dapat dibuktikan oleh riset dari berbagai perspektif sains. Mulai kedokteran, kesehatan, psikologi, biologi, filsafat, hingga neurosains.

     

    TESTIMONI

    Kunci bahagia itu sederhana. Manusia saja yang sering membuatnya ribet. Buktinya, Islam maupun sains modern telah membeberkannya dengan lugas. Masih ragu? Makin penasaran? Atau malah bingung? Temukan jawabanmu di buku ini.

    Ali Akbar Hutasuhut
    Co-Founder Fuluzz dan Director PT Dinar Madani Sentosa

     

    Di dalam tradisi Islam klasik banyak karya terkait kebahagiaan seperti Tahdzib al Akhlaq karangan Ibn Miskawaih atau Tahshil al-Sa’adah karangan al-Naraqi. Untuk konteks saat ini buku The Islamic Way karangan Agung akan memperkaya khazanah Islam tentang kebahagiaan yang isinya jauh lebih kekinian dan mengandung pesan-pesan universal yang applicable oleh siapapun. Bahasanya mengalir jelas sehingga mudah untuk menjadi bacaan serta panduan hidup kita sehari-hari. Selamat membaca dan menemukan kunci kebahagiaan hidup.

    Aan Rukmana
    Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

     

    Buku ini bagus untuk dibaca. Inspiratif dan mencerahkan.

    Muhammad Alfan Alfian
    Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

     

    Sejauh ini, Literatur tentang kebahagiaan datang dari perspektif Psikologi Mainstream. Padahal, jauh sebelum itu banyak tokoh psikologi Islam di Abad Pertengahan yang membahas tentang kebahagiaan. Buku yang luar biasa berharga ini menjadi jawaban dari hipotesis tersebut yang bisa membuat raga, akal, ruh dan hatimu berpadu dalam harmoni kebahagiaan.

    Dr. Ghozali, S.Psi, M.Si

    Dosen Pascasarjana SKSG UI, Paramadina serta Penggagas Ilham Therapy Al-Ghazali

     

    Kebahagiaan sesungguhnya tanpa syarat. Sayangnya, manusia senantiasa mensyaratkan harus menjadi, memiliki atau mencapai titik tertentu sebagai parameternya. Alhasil, syarat tersebut tidak pernah terpenuhi. Buku ini laksana oase di tengah gurun yang ditunggu-tunggu oleh kita semua yang mendambakan kebahagiaan. Kebahagiaan juga harus berasal dari kekuatan internal tanpa harus menunggu kekuatan eksternal.

    Dr. Febrizal Rahmana, MM
    Dosen Universitas Bina Nusantara

    (more…)

  • Mengelola Ekspektasi

    Kita memang tak dapat menentukan dari mana kita berasal: di mana kita lahir, siapa ibu yang melahirkan dan bagaimana kondisi sosial di sekitar dll. Namun, kita semua bisa menentukan jalan hidup seperti apa yang ingin kita tempuh.

    Ada orang yang dididik keras oleh orang tuanya untuk menjadi yang terbaik di setiap fase kehidupan. Mereka biasanya tumbuh menjadi pribadi yang penuh ambisi. Sebagian lainnya digulowentah untuk senantiasa mensyukuri hidup. Mereka seringkali tumbuh menjadi pribadi yang bahagia — terlepas bagaimana derajat kesuksesan di mata orang lain.
    Nasib manusia ditentukan oleh pikirannya. Tak mengherankan jika ada orang yang kelihatannya sukses sekali, namun justru depresi karena merasa jadi orang gagal. Di sisi lain, tak sedikit orang yang kelihatannya nelongso. Namun justru bahagia sekali hidupnya, besar sekali kontribusinya kepada masyarakat di sekitar.
    Ekspektasi kita mencerminkan siapa diri kita. Bagaimana respons kita memaknai pencapaian demi pencapaian hidup menggambarkan kualitas diri kita yang sebenarnya.
    Apakah kamu merasa menjadi korban dari ekspektasimu sendiri? Ataukah justru menjadi sahabat dari ekspektasimu? Hidup adalah pilihan.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 3 Februari 2020
  • Makna Keturunan

    “Hei, sudah punya momongan belum?”

    Pertanyaan ini begitu klise untuk dibahas. Namun, begitulah kenyataannya. Bagi pasangan yang hidup di alam budaya Indonesia, mendapati pertanyaan tersebut pasti tidak mengagetkan.
    Mungkin maksud si penanya baik. Namun, tak banyak yang menyikapi secara berbeda. Khususnya bagi yang ingin memilili keturunan namun belum diberi “kepercayaan”.
    Ya, bagiku anak adalah amanah. Sebuah tanggungjawab yang kelak akan diadili. Mengapa demikian?
    Karena sekeras apapun kita berjuang mendapatkan anak kalau Tuhan tidak merestui, ya tidak akan ada anak. Namun, sekuat apapun kita menolak kehadirannya kalau Tuhan menguji kita ya hadir juga si kecil.
    Kamu sering mendengar temanmu yang “kebobolan” meskipun telah memakai “pengaman” a.k.a KB? Kamu punya tetangga yang berkali-kali mencoba bayi tabung tapi mendapati kegagalan?
    Begitulah hidup. Semua adalah kehendaknya.
    Ada yang menikah langsung “diganjar” anak. Ada yang sudah 10 tahun berusaha mati-matian “membuat anak” tapi tetap belum kelihatan hasilnya. Ada yang menikahi duda/janda beranak. Ada yang mengadopsi bayi.
    Anak adalah ujian. Ia bisa menjadi berkah maupun kutukan. Keberkahan datang bagi orang tua yang mendidik dengan benar sesuai ajaran agama. Kutukan akan hadir bagi orang tua yang menelentarkannya, tak mengenalkan dengan agama, atau yang menyalahgunakannya.
    Anakmu adalah titipan. Ia datang mengujimu. Untuk mendekatkanmu kepada-Nya.
    Bagaimana menurutmu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 4 Februari 2020
  • Merasa Bisa, Bisa Merasa

    Dulu aku pernah tinggal di “penjara suci”, sebutan untuk pondok pesantren. Disebut penjara karena bagi teman-teman yang bandel, asrama laksana jeruji yang sarat dengan aturan. Disebut sucu karena misi lembaga pendidikan Islamnya.

    Aku menikmati empat tahun sebagai santri. Setahun pertama hanya untuk mendalami pelajaran khas pesantren. Tiga tahun berikutnya juga mempelajari “ilmu duniawi”.
    Bagiku, hidup di pesantren adalah dalah satu fase terindah dalam hidup. Meskipun ada begitu banyak drama yang mengiringi. Peralihan dari masa remaja ke dewasa menjadikannya makin tak terlupakan.
    Tak terhitung ilmu dan pengalaman yang kudapatkan di asrama. Namun yang terpenting adalah mengenai fondasi ketuhanan, bermasyarakat, dan pengembangan diri.
    Salah satu pesan bermakna yang masih kuingat hingga kini adalah “Janganlah merasa bisa, tapi bisalah merasa.” Maksudnya?
    Tak baik bagi manusia untuk mengakui bahwa kita bisa. Karena sejatinya kita lemah, Tuhanlah yang sesungguhnya bisa. Seharusnya kita bersyukur diberi kemampuan untuk menjadi, melakukan atau memiliki sesuatu.
    Merasa bisa berarti keakuan yang menonjol. Egolah yang menguasai. Itulah sumber kejahatan, kemungkaran, ketakutan, kecemasan, kegalauan, keraguan dan seterusnya.
    Jadi, seharusnya bagaimana? Kita semestinya bisa merasa. Artinya merasa bahwa kita lemah. Kita sejatinya fana. Semua yang kita miliki atau bisa lakukan hanyalah ujian dari-Nya. Segalanya adalah titipan. Tak lebih dari pinjaman.
    Jadi, apa guna merasa bisa? Bisalah merasa!
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 4 Februari 2020
  • Penerimaan Diri

    Stres?

    Kecewa?
    Sakit hati?
    Menyesal?
    Depresi?
    Marah?
    Kesal?
    Saya yakin kamu pernah mengalami setidaknya salah satu dari keadaan di atas. Sebagaimana halnya saya.
    Dalam hidup, kita tak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi. Kita pun tak dapat mengontrol sikap orang lain. Kabar baiknya, kita bisa sepenuhnya menentukan respons kita.
    Misalnya kamu tak ingin terlambat pergi ke kantor. Oleh karena itu, kamu mengantisipasi segala cara agar bisa datang tepat waktu. Namun, di tengah jalan kamu mendapati kemacetan jalan karena imbas kecelakaan beruntun. Bagaimana sikapmu? Apakah mengeluh atau menerimanya dengan lapang dada?
    Contoh lainnya, kamu ingin mencari jodoh. Kamu berusaha mati-matian untuk memantaskan diri. Memperbaiki penampilan, memperbaiki mental, mengikuti seminar pra-pernikahan, meningkatkan kemapanan, mendekati lawan jenis, meminta bantuan makcomblang hingga memohon untuk dijodohkan. Setelah bertahun-tahun, kamu mendapati hasil nol. Bagaimana responmu? Apakah makin down atau justru bersemangat untuk menemukan separuh jiwamu?
    Saya yakin, kamu punya contoh unik. Demikian halnya orang lain di luar sana.
    Teman, penerimaan diri adalah salah satu kunci kebahagiaan. Di titik itu kamu tidak menilai atau menghakimi apapun yang menghampirimu. Kamu tidak berekspektasi. Namun kamu menerima tanpa syarat segala pengalaman hidup yang dihadiahkan untukmu.
    Penerimaan diri adalah syarat kebahagiaanmu. Sudahkah kamu membuktikannya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 5 Februari 2020