Author: Agung Wibowo

  • Apa Adanya

    Pencitraan. Bosankah kamu mendengarnya? Seberapa penting di matamu?

    Di era digital ini nampaknya setiap individu tak mau kalah dengan merek produk/jasa. Mereka berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan kesan atau persepsi baik dari orang lain.
    Apalagi, saat ini ada banyak jenis media sosial yang siap memenuhi nafsu pencitraan. Dari Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, Linkedin dan seterusnya.
    Prinsipnya sama. Jika merek produk/jasa digaungkan agar makin banyak orang membeli, pencitraan pribadi dikumandangkan agar makin banyak orang memakai produk/jasa kita. Setidaknya publik menyadari betapa keren, hebat, cantik, ganteng, pintar, eksis, kaya, berkuasa, atau terpandangnya kita.
    Di abad ini, agaknya sulit menemukan orang yang otentik. Orang-orang yang bersikap apa adanya.
    Semua orang bertopeng. Semua tindakan tak lebih dari kedok. Semua ada maunya. Salahkah?
    Tidak dong. Tinggal niatnya bagaimana. Hanya si fulan dan Tuhan yang tahu. Karena kita hanya bisa menilai dari apa yang terekam oleh panca indera.
    Jadi, seberapa besar upayamu untuk pencitraan? Masihkah kamu bersikap apa adanya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 18 Februari 2020
  • Ajal

    Ajal. Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata ini?

    Ya, kamu bisa bebas memaknai. Mati. Tewas. Wafat. Mampus. Meninggal dunia. Tutup usia. Atau yang lainnya.
    Ajal memang misteri. Konon Dewata telah menggariskan usia setiap individu sejak kita di alam kandungan.
    Ajal tak mensyaratkan sakit dulu atau tua dulu. Datang kapan saja. Tak dapat dimundurkan, tak dapat dipercepat.
    Sayangnya, kita sering lalai dengan hal ini. Kita mati-matian mengejar sesuatu yang sesungguhny bakal kita tinggalkan. Ya, sebagian besar manusia terlena dengan yang fana.
    “Berusahalah untuk duniamu seakan-akan kau hidup selamanya. Berusahalah untuk akhiratmu seakan-akan esok kau tiada.” Ungkapan klise ini mungkin tak kan pernah lekang oleh waktu.
    Nah, seberapa besar upayamu menghadapi ajal?
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 18 Februari 2020
  • Nafsu Gila

    Apa yang ada dibenakmu ketika mendengar kata nafsu? Mungkin kamu menghubungkannya dengan ambisi, keinginan, hingga keakuan.

    Apapun persepsimu, setiap dari diri kita memilikinya. Karena nafsu adalah simbol masih adanya nafas yang menjadi kunci kehidupan.
    Nafsu bersifat netral. Baik dan positifnya bergantung diri kita.
    Nafsu bisa menjerumuskan kita pada lembah keburukan yang menyengsarakan di kemudian hari. Nafsu pun bisa menjadi “sahabat”yang kelak mengantarkan pada surga.
    Sayangnya, sebagian besar manusia di dunia memiliki nafsu gila. Mereka serakus hewan, sejahat iblis. Maunya menang sendiri, kaya sendiri, senang sendiri, tenar sendiri, berkuasa sendiri.
    Jika kita ibaratkan nafsu adalah kuda dan kusir adalah diri kita, nafsu gila ibarat kusir yang tak dapat mengendalikan kuda. Bagaimana nasib kusir?
    Ya bisa berabe. Kemungkinan besar kusir tak hanya mencelakai dirinya, namun juga orang hingga benda di sekitarnya.
    Jika hidup adalah laksana perjalanan menaiki kuda yang mengantarkan pada tujuan (Tuhan/surga), kuda tidak perlu dimatikan namun dikendalikan. Karena kuda yang menjadi simbol ego atau keakuan tak dapat dipisahkan dari jiwa.
    Lantas, bagaimana dengan dirimu? Sudahkah kamu berhasil mengendalikan nafsu gilamu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 17 Februari 2020
  • Makna Kehilangan

    Hilang.

    Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata itu?
    Yang pasti masing-masing diri kita memiliki persepsi unik.
    Di sepanjang hidup, ada berbagai jenis kehilangan. Mulai dari kehilangan nyawa orang yang kita sayangi, kehilangan pekerjaan akibat PHK, hingga kehilangan benda-benda sepele namun memiliki manfaat yang tak boleh diremehkan.
    Manusia memang seringkali tak pandai bersyukur. Kita senantiasa menyia-nyiakan apa yang kita miliki. Kita selalu baru menyadari pentingnya mereka setelah kehilangan.
    Kita sedih ketika orang yang kita sayangi pergi untuk selama-lamanya. Karena ketika mereka masih hidup, kita belum maksimal memberikan kebaikan.
    Kita sedih ketika barang kita hilang. Karena ketika masih ada kita sering meremehkannya.
    Kehilangan menjadi pengingat terkuat. Bahwa segala semuanya adalah titipan.
    Kehilangan menjadi penyadar hebat. Bahwa rasa keakuan kita adalah wujud kemelekatan pada dunia.
    Pernahkah kamu kehilangan? Bagaimana kamu memaknainya?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 17 Februari 2020
  • Tentang Sasaran

    Sasaran.

    Bagaimana kamu memandangnya? Apakah secara berkala kamu membuatnya?
    Seberapa baik kamu mencapai sasaran?
    Ya, saya yakin setiap orang memiliki sasaran terlepas dari ukuran dan jenisnya. Namun, tidak semua orang mampu meraihnya.
    Orang yang gagal mencapai sasaran biasanya pandai membuat alasan. Mereka seringkali ragu-ragu, keinginannya tidak kuat, kurang motivasi, tidak berkomitmen, cepat menyerah, pesimis, dan tidak fokus.
    Sebaliknya, orang yang sukses mencapai sasaran biasanya optimis. Ambisinya kuat, fokus, berkomitmen, pantang menyerah dan memiliki tenggat spesifik.
    Sukses atau tidaknya kamu mencapai sasaran ditentukan oleh bagaimana kamu memandang diri sendiri. Seberapa kuat konsep dirimu? Bagaimana kamu memandang diri sendiri 10 atau 25 tahun ke depan? Apakah sasan tersebut benar-benar kamu inginkan dan sejalan dengan visi pribadi?
    Pada akhirnya, semua kembali kepada individunya. Sasaranmu adalah masa depanmu. Sasaranmu adalah nasibmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 19 Februari 2020
  • Ilusi Kepemilikan

    Stres.

    Pembunuhan.
    Perceraian.
    Bunuh diri.
    Gila.
    Lima hal tersebut adalah segelintir efek negatif dari orang yang kemelekatannya pada dunia begitu tinggi. Keakuannya bergelora pada jiwanya.
    Gara-gara merasa memiliki, kehilangan harta benda dan orang-orang terdekat berujung stres.
    Gara-gara ingin memiliki, semakin banyak orang menghilangkan nyawa orang lain. Mereka pikir harta benda bisa memuaskan nafsu.
    Gara-gara kepemilikan, pasutri bercerai. Kurangnya kepemilikan membuat istri atau suami kecewa, kesal, dan marah yang berujung petaka.
    Gara-gara kepemilikan, tak terhitung jumlahnya orang tega membuat nyawa mereka melayang. Mereka malu karena miskin, terhimpit ekonomi yang menyesakkan. Tak sedikit yang berkelimpahan melakukan hal sama karena perebutan harta warisan hingga merasa diperlakukan tidak adil oleh keluarganya.
    Gara-gara kepemilikan semakin banyak orang gila. Mereka tidak bisa mengendalikan diri.
    Teman, hidup ini adalah ujian. Semua yang kita miliki adalah titipan. Anak-anakmu dan pasanganmu bukan milikmu. Harta bendamu bukan milikmu. Jabatanmu dan ketenaranmu bukan milikmu.
    Lalu, apa guna kamu mengakuinya? Itu hanya membuatmu menjauh dari-Nya.
    Dunia seisinya adalah milik-Nya. Kita hanya diberi titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan.
    Ilusi kepemilikan. Makin kamu merasa memiliki, makin sengsara hidupmu.
    Tabik.
    Agung Setiyo Wibowo
    Jakarta, 19 Februari 2020