Author: Agung Wibowo

  • Keakuan

    Aku, keakuan.

    Menurutmu, apa itu keakuan?
    Apapun definisimu, aku menghargai itu. Karena masing-masing individu toh memang memilikinya – entah disadari atau tidak.
    Seringkali, keakuan adalah sumber penderitaanmu. Loh, kok bisa?
    Ketika kamu terlalu ngotot memperjuangkan sesuatu, keakuanmu bisa mengantarkanmu pada jurang kekecewaan. Ketika kamu mati-matian membuktikan cinta tapi hanya bertepuk sebelah tangan, keakuanmu menjadikanmu sakit hati. Ketika kamu terlalu merasa “memiliki” apapun, keakuanmu menjadi sumber kemarahan, iri dengki, ketakutan, kekhawatiran, kekesalahan dan berbagai sifat hewani lainnya.
    Jadi, seberapa besar keakuanmu? Sudahkah kamu menyadari dan mampu mengelolanya?
    Apakah sekarang kamu merasa hidupmu tidak bahagia atau tidak seperti yang kamu inginkan? Coba nilai kadar keakuanmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 20 November 2020
  • Cuek is The Best

    Gue punya dua kakak perempuan. Usia keduanya terpaut jauh dari gue.

    Ada satu hal yang gue ingat dari mereka. Salah satunya mantra “Cuek is the best” yang dulu dipajang di pintu masuk kamar.
    Awalnya gue acuh. Namun selang dua dekade berikutnya, gue jadi tersadarkan diri. Bahwa cuek itu penting.
    Gue bukan bermaksud untuk bersikap tidak peduli kepada sekitar. Bukan juga untuk bersikap tidak empati, tidak bertenggangrasa atau antisosial.
    Gue hanya ingin menekankan bahwa cuek itu penting. Terlebih lagi di era digital yang serba terhubung ini. Kita terlalu banyak dijejali dengan informasi, dogma, atau pengaruh dalam lintas wujud.
    Menurut gue, hanya orang-orang cuek yang bisa terus berada di titik bahagia. Karena cuek mendorong kita untuk menjadi diri sendiri. Tidak terpancing dengan kondisi di luar diri kita. Karena kita tahu, kendali hidup ada pada diri kita.
    Bagaimana menurutmu? Seberapa cuek lho?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 26 November 2020
  • Persepsimu, Sikapmu

    Persepsi? Ehmm, apa yang ada di benakmu tentangnya?

    Apapun itu, sesungguhnya segala sesuatu bersifat netral. Baik kejadian, benda, atau seseorang. Kitalah yang mempersepsikan, menghakimi atau menilainya. Dari situlah sikap, pikiran, dan tindakan kita berakal.
    Jika ada krisis misalnya. Orang yang memandang sisi positif akan menjadikannya sebagai peluang. Sebaliknya, sisi negatif menganggapnya tak lebih dari petaka.
    Persepsi kita dipengaruhi oleh beragam faktor. Dari pola asuh orang tua, nilai-nilai, pendidikan, pergaulan, hingga lingkungan.
    Jika kita amati, kebanyakan konflik, perselisihan atau permusuhan dimulai dari ketidaksamaan persepsi. Itulah pentingnya mengenal satu sama lain lebih dalam untuk merekatkan tali komunikasi. Tidak hanya yang tersurat, namun juga yang tersirat. Baik yang terekam secara sadar maupun yang hanya bisa dinilai dari alam bawah sadar.
    Nah, bagaimana denganmu? Apakah kamu memiliki pengalaman menarik mengenai persepsi?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 27 November 2020
  • Memaknai Kritikan

    “Tak ada manusia yang sempurna.” Ungkapan ini begitu klise, bukan?

    Ya, kesempurnaan memang hanya milik Tuhan. Sehebat apapun ciptaan-Nya tentu ada kekurangan, kelemahan, kecacatan dan keburukan.
    Untuk tumbuh, kita perlu kritikan dari orang lain. Karena kita tidak sepenuhnya menyadari “titik buta” kita.
    Untuk mengembangkan diri, kritikan seyogyanya menjadi keharusan. Karena dari situ kita tahu sisi mana yang perlu diperbaiki, ditingkatkan lagi.
    Bagi sebagian orang, menerima kritikan sungguh sulit. Menyakitkan, membuat diri “down”, hingga timbul penolakan berlebihan.
    Nah, bagaimana denganmu? Bagaimana kamu memandang kritikan?
    Kritikan mereka, modal tumbuhmu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 4 Desember 2020
  • Haruskah Mengikuti Aliran?

    Hai teman.

    Pernahkah kamu merasa stres, marah, kecewa, menyesal, takut, cemas, sedih, atau kesal?
    Jika ya, apa penyebabnya?
    Jika aku boleh memprediksi, pasti erat kaitannya dengan ekspektasi dan sikap.
    Dalam hidup, ada banyak hal yang tak bisa kita kontrol. Misalnya, kejadian atau perilaku orang lain terhadap kita. Namun, sesugguhnya kita bisa mengendalikan sikap.
    Jadi, jika ada temanmu yang bilang “Jalani aja bak air mengalir”, aku sih setuju sekali. Karena semakin kita “melawan”, semakin tidak bahagia diri kita.
    Mengalir maksudnya menerima dengan ikhlas. Kita menjalani dengan totalitas. Tanpa maksud menghakimi yang berlebihan.
    Lantas, seberapa “mengalir” hidupmu? Seberapa bahagia dirimu?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Desember 2020
  • Sabar Ada Batasnya?

    Sabar?

    Apa yang pertama kali terngiang di benakmu mendengarnya?
    Apapun itu, sabar merupakan sifat positif. Dalam agama yang saya yakini bahkan ditegaskan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang sabar.
    Di tengah kehidupan yang begitu pelik, sabar memang menjadi salah satu kunci untuk tetap menjadi “waras”. Pun menjadi pilar utama kebahagiaan.
    Hemmm, bagaimana menurutmu? Seberapa penting kesabaran berdampak positif bagi kehidupanmu?
    Agung Setiyo Wibowo,
    Depok, 10 Desember 2020