Author: Agung Wibowo

  • Jurus “Merangkul” Gen Z di Tempat Kerja

    Belum lama ini saya mendapatkan “curhatan” teman kuliah yang notabene merupakan seorang Kepala Departemen di sebuah BUMN. Ia mengeluhkan beberapa “kelakukan” anggota timnya yang membuatnya stres bukan kepalang.
    Arya (bukan nama sebenarnya), mengaku sering diperlakukan bak “teman nongkrong” oleh bawahannya sendiri. Rupanya memang ada salah satu anggota bawahannya yang sering memanggilnya ketika meminta tolong — bukan ia didatangi. Sebagian yang lainnya secara terang-terangan mengajak berdebat terbuka ketika argumennya dianggap tidak masuk akal. Tak sedikit yang tiba-tiba mengundurkan diri karena merasa tidak mendapatkan umpan balik.
    Setelah berdiskusi panjang lebar, ternyata semua anggota tim yang dianggap “meresahkan” tersebut adalah para Fresh Graduate yang datang dari Generasi Z. Generasi yang tentu berbeda dengan dirinya yang notabene merupakan Gen Y alias milenial.
    Siapa Gen Z?
    Selama bertahun-tahun, para pemimpin di berbagai sektor fokus untuk lebih memahami generasi milenial. Khususnya sejak makin populernya artikel karangan Joel Stein di majalah Time yang berjudul “The Me Me Me Generation”.
    Namun, belakangan Generasi Z sudah mulai “membanjiri” angkatan kerja. Lahir antara sekitar tahun 1997 dan 2012, anggota tertua Gen Z mulai atau sudah merintis karier mereka. Ini berarti dinamika tempat kerja akan mulai bergeser saat Generasi X dan bahkan Gen Y menjadi manajemen dan Generasi Baby Boomers mulai pensiun.
    Faktanya menurut Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sebanyak 27,94% populasi Indonesia adalah Gen Z. Jumlah mereka sudah mengalahkan milenial  (25,87%) yang sebelumnya digadang-gadang menjadi lokomotif kemajuan tanah air. Melihat komposisi Gen Y dan Gen Z, kita semua tentu setuju bahwa keduanya  memegang peranan penting pada kemajuan bangsa saat ini dan tahun-tahun mendatang.
    Seberapa baik pemahaman kita mengenai Gen Z?
    Menurut berbagai pakar, Gen Z dianggap anti-identitas. Sebagai kelompok, mereka menghindari label dan merangkul otonomi maupun ekspresi individu. Mereka lebih cenderung liberal secara sosial dan politik dan cenderung tidak mengatakan bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, atau ras mereka adalah komponen kunci dari identitas mereka.
    Secara umum Gen Z memang disebut-sebut memiliki harapan maupun perspektif pekerjaan yang berbeda dan dinilai begitu menantang bagi organisasi mana pun. Mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan berbagai sendi kehidupan. Terhubung di internet bagi mereka seolah-olah sama pentingnya dengan bernafas karena mereka lahir di abad digital.
    Berdasarkan temuan riset Bruce Tulgan selama satu dekade, ada lima karakteristik utama Gen Z yang menjadi pembeda dengan generasi sebelumnya.
    Pertama, media sosial ialah cerminan masa depan mereka. Generasi ini tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi.
    Hal itu berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain adalah hal yang terpenting. K
    Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam Gen Z. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan berpikir kritis harus intensif dilakukan.
    Keempat, kemudahan Gen Z berselancar secara virtual menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis menjadi terbatas.  Namun, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global.
    Terakhir, keterbukaan Gen Z dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian, mereka cukup kesulitan untuk mendefinisikannya sendiri. Identitas diri yang terbentuk sering kali berganti menyesuaikan berbagai aspek yang mempengaruhi cara mereka berpikir dan bersikap.
    Memimpin Gen Z Secara Efektif
    Menyadari beberapa karakteristik di atas, bagaimana cara bekerja sama atau memimpin mereka secara efektif? Apakah berkolaborasi dengan Gen Z perlu pendekatan khusus? Berikut beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk merangkul mereka.
    Pertama, utamakan Work-Life Balance. Sebagai sebuah kelompok, Generasi-Z lebih suka berwirausaha,  cerdas secara teknologi, dan individualistis daripada generasi sebelumnya. Seperti Milenial sebelum mereka,  Gen-Z menghargai keseimbangan kehidupan-kerja dan menjaga kesehatan mental mereka dengan cara yang tidak pernah dipelajari oleh Generasi Baby Boomers.
    Kedua, pimpin dengan contoh. Gen-Z tidak suka diberi tahu apa yang harus dilakukan dan tidak akan patuh begitu saja seperti generasi sebelumnya. Memimpin dengan memberikan keteladanan melalui visi dan umpan balik menjadi lebih penting dari sebelumnya. Tempatkan mereka pada posisi yang mana mereka melihat diri mereka memiliki pengaruh paling besar dan di mana kita tahu bahwa kita dapat memimpin mereka menuju kesuksesan.
    Ketiga, pahami kebutuhan mereka. Generasi-Z adalah generasi pertama yang menuntut apa yang mereka yakini penting di tempat kerja. Ini termasuk menginginkan lebih — termasuk memprioritaskan kesehatan mental, memiliki fleksibilitas dengan jam kerja, mendapatkan lebih banyak waktu liburan dan tidak menetap. Pemimpin harus mulai memahami kebutuhan karyawan Gen-Z dengan melakukan dialog terbuka, meminta umpan balik, dan bereaksi dengan tepat untuk menghindari Turnover yang tinggi.
    Keempat, berikan peluang pertumbuhan. Karyawan Gen-Z umumnya memandang kehidupan kerja mereka sebagai cara untuk belajar, tumbuh dan berkembang dan tidak terikat pada satu peran atau perusahaan. Pemimpin perlu memahami pola pikir ini, kemudian memberikan kesempatan kepada talentanya untuk terus belajar dan tertantang dengan pengalaman baru. Gen-Z juga membawa perspektif baru dan berbeda ke tempat kerja yang dapat dipelajari oleh para pemimpin, sehingga para pemimpin dapat memperoleh manfaat dari “mentoring terbalik”.
    Kelima, manfaatkan keinginan Gen Z untuk berubah. Gen-Z akan terus menantang status quo dan memiliki lebih banyak suara dan dampak di tempat kerja. Para pemimpin harus menyadari bahwa Gen-Z bukanlah “alien” dari planet lain (seperti yang sering digambarkan), melainkan merupakan katalisator kolektif untuk perubahan yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan strategis. Pemimpin yang gagal memanfaatkan kekuatan Gen-Z menempatkan organisasi mereka pada posisi yang tidak menguntungkan.
    Keenam, fokuslah pada pendekatan personal. Sangat mudah untuk membuat stereotip generasi yang berbeda, tetapi berfokus pada individu dan apa yang memotivasi dan menginspirasi mereka adalah jalan terbaik ke depan. Mengetahui bahwa Gen-Z termotivasi oleh perasaan dihargai, berkontribusi, dan membuat perubahan di tempat yang penting; para pemimpin harus mengikat upaya untuk memberi dampak, memperkuat apresiasi mereka, dan mempertimbangkan investasi dalam pengembangan agar tim terus bergerak maju.
    Ketujuh, legowolah untuk belajar dari mereka. Gen-Z berbeda dalam kenyamanan mereka dengan teknologi. Mereka terlahir dengan itu dan memiliki kemudahan bawaan untuk berinteraksi dengan informasi dan “konektivitas” yang dapat dikembangkan oleh teknologi. Mereka memandang dunia sebagai tempat yang sama-sama dapat diakses, dan mereka membawa ide-ide baru yang besar. Pemimpin perlu memiliki rasa ingin tahu dan keterbukaan untuk belajar dari mereka, sama seperti mereka akan belajar dari pemimpin saat ini.
    Kedelapan, hilangkan budaya kerja Toxic. Gen-Z tidak mentolerir budaya beracun, diskriminasi, ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan manajemen, atau pekerjaan yang tidak fleksibel agar sesuai dengan kehidupan pribadi mereka. Pemimpin perlu melakukan percakapan dengan semua anggota tim untuk membangun budaya kerja yang aman dan menyelaraskan harapan dan komitmen, dan mereka perlu terbuka untuk membahas budaya kerja. Gen-Z tidak peduli dengan apa yang kita ketahui sampai mereka tahu bahwa kita peduli.
    Kesembilan, ciptakan lingkungan yang mendukung.  Generasi-Z telah menantang norma-norma di tempat kerja tradisional dengan bersikap terbuka dan jujur tentang kebutuhan mereka sendiri. Para pemimpin dapat bersiap untuk mengelola generasi yang dinamis ini dengan mengenal mereka dan memahami kebutuhan mereka, kemudian membina lingkungan yang mendukung agar mereka berkembang dan produktif, sehingga membangun kepercayaan. Jika tidak, mereka akan menciptakan peluang mereka sendiri untuk berkembang dan berkembang.
    Nah, bagaimana dengan pengalaman Anda? Seberapa baik Anda merangkul Gen Z? Siapkah organisasi Anda “terbang lebih tinggi” lagi karena dukungan mereka?
  • Pentingnya Self-Coaching

    Dewasa ini, kebanyakan dari kita memiliki “tekanan” yang begitu besar untuk mencapai apa yang disebut dengan kesuksesan. Entah kita sadari atau tidak, kita mendorong diri sendiri atau bahkan mencoba memenuhi ekspektasi orang lain. Apalagi diperkuat oleh budaya “memamerkan diri” atas nama personal branding pada linimasa media sosial tertentu agar kita diberi label bahagia, sukses, berpengaruh, atau mungkin terkenal di mata audiens.

    Di tengah tekanan hidup yang semakin tinggi, sejatinya semua dari kita membutuhkan “sedikit” bantuan dari orang lain. Salah satunya dari seorang coach profesional jika kita memiliki anggaran untuk membayarnya. Bila kita ingin melakukan coaching secara mandiri, kita semua memiliki kapasitas untuk melakukannya. Pasalnya, tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang untuk mengembangkan penguasaan diri kita dan menunjukkan kebaikan pada diri kita sendiri.

    Salah satu teman karib saya, Krishna (bukan nama sebenarnya), adalah coach yang hebat bagi orang lain, baik secara informal maupun formal. Dia menyemangati anak-anaknya, memotivasi rekan-rekannya, melatih stafnya, dan mendukung teman-temannya. Tapi dia dengan bebas mengakui bahwa dia membutuhkan bantuan untuk menggunakan keterampilan itu pada dirinya sendiri.

    Saat kita memberi, memberi, memberi kepada orang lain, terlalu mudah untuk melupakan kebutuhan kita sendiri dan teralihkan serta menjauh dari agenda kita sendiri. Self-coaching adalah bentuk dari perawatan diri.

    Kita semua mampu melakukan coaching kepada diri kita sendiri, entah bertujuan untuk melejitkan karier, memiliki kebiasaan yang sehat atau untuk mengembangkan bisnis secara eksponensial. Sayangnya, banyak orang yang belum memahami esensi dari coaching.

    Singkat kata, self-coaching adalah proses membina pertumbuhan dan perkembangan kita, terutama melalui periode transisi, baik di ranah profesional maupun pribadi.

    Self-Coaching mencakup seluruh diri kita dan semua bidang kehidupan kita. Jika semuanya baik-baik saja di satu area, itu bagus, tetapi jika kita tidak puas atau tidak bahagia di area lain, ini harus menjadi fokus kita — terutama karena hal itu dapat memengaruhi aspek lain dalam hidup kita.

    Dari pengetahuan yang saya dapatkan dari International Coaching Federation (ICF) sekaligus pengalaman pribadi, berikut adalah beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk Self-Coaching.

    1. Identifikasi hasil yang kita inginkan
    Ini adalah titik awal kita. Kita perlu memutuskan tujuan akhir kita untuk mengetahui ke mana tujuan kita dan ke mana harus mengarahkan upaya kita.

    Tanyakan pada diri kita pertanyaan seperti, “Apa yang penting bagi saya saat ini?”, “Saya ingin menjadi orang sebaik apa?”, “Apa yang harus saya kejar?”, “Apa yang perlu saya miliki?”, atau “Apa yang perlu saya lakukan agar bahagia?”

    Cobalah untuk lebih spesifik dengan bingkai positif. Misalnya, tujuan seperti “Saya ingin tidak mudah tersinggung” dapat dibuat lebih spesifik dan positif dengan mengatakan, “Saya ingin lebih sabar dengan pasangan dan anak-anak saya setiap hari,” atau “Saya ingin menunjukkan lebih banyak sabar dengan tim saya dalam rapat.”

    2. Kembangkan kesadaran diri
    Lakukan penilaian cepat dan mudah untuk meninjau posisi kita saat ini. Intinya bukan untuk menilai diri sendiri dan membuat diri kita merasa buruk — ini hanya untuk mendapatkan beberapa informasi tentang di mana kita berada dan di mana kita ingin berada.

    Langkah pertama adalah membawa kesadaran pada situasi kita dan menentukan apa yang perlu kita kerjakan. Pertimbangkan posisi kita pada skala 1 sampai 10 di area yang ingin kita tingkatkan. Kita juga dapat membuat jurnal harian seputar topik ini untuk mengeksplorasi lebih jauh apa yang kita alami.

    3. Lakukan brainstorming pilihan
    Timbang kemungkinan yang terbuka untuk kita. Ini adalah kesempatan bagus untuk menjadi kreatif dan bertukar pikiran bagaimana kita dapat mencapai tujuan kita. Pilihan apa yang tersedia untuk kita? Opsi mana yang paling beresonansi saat ini?

    4. Buat rencana
    Bagaimana kita akan menempatkan pilihan kita pada tempatnya? Apa yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan ini atau memperbaiki situasi kita? Tindakan apa yang perlu kita ambil untuk mencapai tujuan kita?

    Misalnya, berdasarkan contoh sebelumnya, sebuah rencana mungkin terlihat seperti “Pada jam 7 malam, saya akan mematikan gadget saya dan tersedia untuk anak-anak dan pasangan saya,” atau “Dalam pertemuan hari Senin, saya akan mendengarkan masukan setiap anggota tim, sebelum saya berbicara.”

    5. Ambil tindakan
    Ambil langkah pertama — dan lanjutkan. Tetaplah pada rencana kita. Apakah kita melakukan apa yang kita katakan ketika kita mengatakan akan melakukannya?

    6. Ukur dan rayakan
    Tentukan bagaimana kit akan mengukur kesuksesan kita dan merayakannya. Pertahankan diri kita untuk bertanggung jawab, atau temukan teman sharing untuk melihat bagaimana keadaan kita. Hadiahi upaya kita saat kita mencapai tonggak sejarah itu atau mencapai tujuan itu.

    Self-Coaching adalah hal mudah sekaligus gratis yang dapat kita lakukan untuk menggapai kebahagiaan dan kesuksesan versi diri kita sendiri.  Berikut adalah dua praktik sederhana yang dapat kita coba terapkan

    Pertama: Gunakan Roda Kehidupan
    Ada teknik coaching yang sangat sederhana dan efektif sehingga banyak Life Coach maupun Business Coach menggunakannya sebagai latihan dengan klien mereka.

    Ini disebut Roda Kehidupan, dan ini adalah latihan hebat yang dapat kita lakukan di rumah untuk menguasai pengembangan diri kita.

    Yang harus kita lakukan adalah mempertimbangkan bagaimana kita saat ini menghabiskan waktu dalam hidup kita dan seberapa puas kita dengan setiap aktivitas selama jadwal harian kita.

    Itu harus mencakup area apa pun yang penting bagi kita. Termasuk keuangan, karier, keluarga, sosial, kesehatan, percintaan, spiritual dan hobi. Kita mungkin dapat memikirkan lebih banyak kategori dari itu.

    Bayangkan “roda” seperti diagram lingkaran. Setiap irisan kue merupakan aspek penting dalam kehidupan kita.

    Sekarang, nilai rasa kepuasan kita untuk setiap kategori. Kita dapat menggunakan skala bernomor dari 1-10 atau cara lain untuk memeringkatnya. Nilai mereka berdasarkan tingkat penghargaan yang kita rasakan dan jumlah yang membuat kita bersemangat.

    Setelah semuanya diberi peringkat, akan mudah untuk melihat area mana dalam hidup kita yang paling membutuhkan improvisasi.

    Tujuan dari latihan ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan hidup kita saat ini. Ini akan memberi kita beberapa detail tentang di mana harus memulai perjalanan Self-Coaching. Melalui pengembangan diri, kita akan menemukan cara untuk menaikkan skor hingga seimbang ke tingkat yang dapat diterima berdasarkan cara kita memprioritaskan masing-masing skor.

    Kedua: Temukan Alasan Kuat
    Latihan efektif lainnya yang dapat kita lakukan sendiri, di rumah, adalah menemukan alasan kuat atau motivasi dari dalam diri.

    Alasan kuat kita adalah bagian mendasar dari proses coaching karena, menurut banyak teori motivasi, jika kita menemukannya, kita dapat menggunakannya untuk keuntungan kita agar tetap termotivasi dan mencapai tujuan kita.

    Alasan kuat kita adalah hasrat kita yang paling dalam. Itu ibarat adalah “bahan bakar” yang menggerakkan mobil atau sepeda motor.  Jika kita memiliki tujuan dalam pikiran, tanyakan pada diri sendiri “mengapa saya ingin mencapai tujuan ini?” Jawabannya biasanya dikaitkan dengan emosi yang begitu kuat ini.

    Kemudian, tanyakan pada diri kita lagi. Dan lagi. Dan lagi!

    Kedengarannya membosankan tetapi sebenarnya bisa sangat menyenangkan dan mencerahkan. Akhirnya, kita akan memahami semuanya dan membuka “motivator” terdalam kita sendiri.

    Mari kita lihat sebuah contoh:
    Jika kita ingin belajar menerbitkan buku karya sendiri, tanyakan pada diri sendiri “mengapa?”
    Jika jawabannya adalah “personal branding”, lanjutkan: mengapa?

    Kita mungkin menyadari bahwa alasan kita ingin menerbitkan buku karya sendiri adalah agar dianggap ahli atau menonjol di bidang tertentu. Sehingga, orang akan mempersepsikan diri kita sesuai harapan kita.

    Tapi jangan berhenti di situ! Mengapa Personal Branding itu penting bagi kita?

    Akhirnya, kita mungkin menyadari bahwa keinginan kita untuk menerbitkan buku karya sendiri berakar pada kebutuhan untuk diakui oleh banyak orang.

    Seperti yang kita lihat, urutan “mengapa” dapat membantu introspeksi yang menakjubkan. Sekarang setelah kita mengetahui lebih banyak tentang emosi yang mendorong minat kita, kita dapat membuat rencana yang sesuai!

    Alasan kita akan menjadi jangkar bagi hampir semua kesuksesan Self-Coaching maupun pengembangan diri kita.

    Jadi, siapkah kita untuk mencapai mimpi terbesar kita? Maukah kita berubah demi melejitkan potensi terbaik diri kita? Jika jawaban keduanya iya, mungkin Self-Coaching patut kita pertimbangkan untuk dicoba.

  • Menjadi Sandwich Generation yang Berdaya

    Ada puluhan juta warga – yang mungkin salah satunya Anda – memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab mengurusi kedua orang tua sekaligus anak-anak. Menurut PEW Research, setidaknya 47% orang dewasa berusia 40-an dan 50-an saat ini mendapati diri mereka terjepit di antara dua generasi atau lebih dikenal sebagai Sandwich Generation.

    Istilah Generasi Sandwich diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky di Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.

    Kenapa diberi istilah sandwich?

    Diibaratkan seperti sandwich karena sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.

    Disarikan dari berbagai sumber, generasi sandwich terjadi pada seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki rentan umur dari 30 hingga 40 tahun. Namun sebagian pakar ada yang menyebutkan rentang umur mereka adalah antara 30 hingga 50 tahun.

    Aging and Elder Care Expert  bernama Carol Abaya pernah mengkategorikan generasi sandwich menjadi tiga ciri berdasarkan perannya.
    1. The Traditional Sandwich GenerationOrang dewasa berusia 40 hingga 50 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua berusia lanjut dan anak-anak yang masih membutuhkan finansial.
    2. The Club Sandwich GenerationOrang dewasa berusia 30 hingga 60 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua, anak, cucu (jika sudah punya), dan atau nenek kakek (jika masih hidup).
    3. The Open Faced Sandwich GenerationSiapapun yang terlibat dalam pengasuhan orang lanjut usia, namun bukan merupakan pekerjaan profesionalnya (seperti pengurus panti jompo) termasuk ke dalam kategori ini.

    Tidak mengherankan jika penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa “generasi sandwich” sering mengalami tingkat stres yang lebih tinggi daripada orang dewasa lainnya dan cenderung mengatakan bahwa mereka selalu merasa terburu-buru atau terdesak waktu. Pasalnya, ada tuntutan dalam memikul tanggung jawab keuangan untuk anak-anak mereka sekaligus orang tua mereka yang lanjut usia. Akibatnya, begitu terimbas pada masa depan keuangan atau kesejahteraan mereka sendiri.

    Merawat Diri Sendiri Itu Penting
    Dengan semua tanggung jawab ini, mungkin mudah bagi siapa saja yang mengidentifikasi diri sebagai “sandwich” untuk melupakan kebutuhan mereka sendiri. Padahal perawatan diri sangat penting untuk mendukung orang yang dicintai secara efektif.

    ‘Perawatan Diri’ mengacu pada secara aktif mengidentifikasi kebutuhan kita sendiri dan mengambil langkah-langkah untuk memenuhinya. Di pesawat terbang, kita tahu bahwa jika masker oksigen jatuh, kita harus memakai masker kita sendiri sebelum membantu orang lain; aturan yang sama berlaku untuk mengasuh orang yang kita cintai – hanya ketika kita mampu merawat diri kita sendiri, kita dapat berhasil merawat orang lain.

    Kita mungkin sering kali mengutamakan kebutuhan orang lain. Dengan “menyulap” permintaan anak, orang tua, dan pasangan yang seakan-akan “bersaing”. Sehingga, justru mengabaikan kesehatan dan kesejahteraan kita sendiri.

    Lantas, bagaimana menjadi Generasi Sandwich yang berdaya? Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat kita terapkan untuk memastikan semuanya berjalan lancar.

    Pertama, menetapkan batasan waktu kita. Mungkin kita merasa harus selalu berada di tiga tempat sekaligus, tetapi menetapkan batasan waktu akan membantu kita memperjelas apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan. Batasan yang sehat berarti terkadang harus mengatakan “tidak”. Yang pasti kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa kita melakukan yang terbaik yang kita bisa.

    Kedua, mengelola keuangan secara terbuka. Berbicara secara terbuka dengan orang tua dan anak-anak dewasa muda tentang situasi keuangan kita adalah penting meski mungkin bagi sebagian dari diri kita terdengar tabu. Jelaskan bahwa kita perlu mempertimbangkan masa depan keuangan kita sambil juga merawat orang yang kita cintai. Menetapkan batasan dapat menghilangkan beberapa tekanan atau ketidakpastian tentang peran keuangan kita

    Ini juga merupakan ide bagus untuk berbicara dengan perencana keuangan profesional tentang situasi keluarga kita guna mendapatkan panduan, strategi, dan saran. Tanyakan tentang cara terbaik untuk merencanakan biaya yang diantisipasi di masa depan dan cari tahu apakah kita atau orang tua kita dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan tunjangan atau bantuan keuangan apa pun.

    Ketiga, meminta bantuan keluarga terdekat.  Salah satu elemen kunci dari perawatan diri adalah bersedia meminta bantuan saat kita membutuhkannya, namun terkadang Generasi Sandwich begitu kewalahan sehingga mereka kehilangan fakta bahwa ada orang tersayang yang mungkin hanya menunggu untuk diminta bantuan.

    Tidak ada salahnya untuk menghubungi saudara kandung untuk meminta bantuan jika diperlukan. Kita hanya perlu untuk lebih terbuka. Jika bukan mereka yang kita prioritaskan untuk terlibat, siapa yang lebih bisa diandalkan lagi?

    Keempat, merencanakan masa depan. Merawat orang tua atau mertua berusia lanjut memang gampang-gampang susah. Melakukan percakapan dengan mereka sedini mungkin akan membantu memberi kita ketenangan pikiran jika tiba saatnya kita harus membuat keputusan untuk mereka. Tidak ada ruginya bagi kita untuk memikirkan secara matang mengenai tabungan rencana, dana pensiun, asuransi kesehatan, maupun dana pendidikan anak.

    Kelima, mencari bantuan profesional. Menavigasi tantangan merawat dua generasi pada saat yang sama tidaklah mudah, tetapi ada program dan organisasi yang sangat berpengalaman dalam mengatasi apa yang terasa seperti masalah yang rumit.

    Generasi Sandwich tidak jarang merasa bahwa mereka harus mampu menangani semuanya sendiri. Padahal, kini ada begitu banyak penyedia jasa yang bisa meringankan kita jika kita membutuhkannya.

    Jika Anda merupakan salah satu dari Generasi Sandwich, tetaplah tenang. Karena Anda tidaklah sendirian.

    Sebisa mungkin, komunikasikan secara terbuka dengan orang tua untuk membahas kemampuan Anda memberikan bantuan finansial.  Dengan cara ini, harapannya mereka bisa memahami seperti apa keadaan kita. Sehingga, kita bisa meminimalkan stres dalam keseharian.

    Tak lupa, bicarakan secara blak-blakan dengan pasangan Anda untuk menghindari konflik di internal keluarga Anda. Demikian halnya bagi Anda yang dalam waktu dekat merencanakan menikah, bicarakan secara jujur dengan calon pasangan Anda. Karena perencanaan keuangan keluarga adalah salah satu elemen kunci membangun rumah tangga yang harmonis.

    Pada akhirnya, saya teringat dengan penggalan bait lagu Harta Berharga yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari berikut. Harta yang paling berharga adalah keluarga
    Istana yang paling indah adalah keluarga
    Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
    Mutiara tiada tara adalah keluarga

  • Nasehat Sebelum Menikah

    Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kasus KDRT yang menimpa aktris sekaligus politisi Venna Melinda. “Drama” KDRT yang dialaminya begitu viral di ranah maya. Tidak lama sebelumnya pasangan Lesty Kejora juga tidak kalah menggegerkan ketika mengalami hal yang sama. Dua kasus KDRT figur publik tersebut agaknya ibarat gunung es.
    Di sisi lain berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021 yang artinya  meningkat 53,5 persen dari tahun sebelumnya, yakni mencapai 291.677 kasus. Hal  itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perceraian tertinggi di Asia. Menurut riset penyebab utama yang memicu perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu, KDRT, mabuk, dihukum penjara, judi, poligami, zina, kawin paksa, cacat badan, dan lainnya.

    Maraknya kasus KDRT dan melonjaknya angka perceraian dari masa ke masa menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin membangun bahtera rumah tangga. Karena cinta saja tidak cukup untuk melanggengkan perkawinan tanpa diiringi oleh persiapan yang matang.

    Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu dipahami ketika memilih “belahan jiwa”. Agar pernikahan yang kita bangun dapat langgeng hingga maut memisahkan.

    Pertama, pasangan kita tidak akan selalu melengkapi kita. Sangat penting bagi kita untuk fokus pada diri sendiri- bukan dengan cara yang egois, bukan dengan cara mengabaikan pasangan, tetapi dengan cara yang mana kita memahami bahwa menjaga diri sendiri akan membantu kita membawa diri sendiri yang terbaik ke dalam hubungan kita. Pasangan harus bisa memiliki keseimbangan antara keterpisahan dan kebersamaan.

    Kedua, menyesuaikan ekspektasi dalam pernikahan. Kita mungkin menginginkan banyak hal dari satu pasangan kita: pendamping, mitra meraih kesuksesan, kekasih yang romantis, orang tua yang baik, teman curhat yang pas dan banyak lagi. Tak ada salahnya memiliki harapan tinggi. Namun yang paling penting sebelum kita menikah; kita perlu mengutarakan harapan-harapan itu kepada calon pasangan. Karena sebagian besar percekcokan yang berujung perceraian diawali dari tidak bertemunya titik temu antara ekspektasi masing-masing.

    Ketiga, memaknai cinta. Kita memang bisa berikhtiar untuk menemukan pasangan paling sempurna versi diri sendiri. Namun, kita perlu menyadari bahwa ada momen-momen ketika merasa tidak selaras atau tidak jatuh cinta. Di situlah sangat penting untuk mengingat lagi nilai-nilai yang kita identifikasi sebagai pasangan, daripada mencoba mengikuti perasaan yang menurut kita seharusnya kita miliki.

    Penelitian oleh psikolog John Gottman menemukan rasio “ajaib” 5 banding 1 di antara pasangan yang sehat. Yaitu untuk setiap satu interaksi negatif selama konflik, orang-orang dalam pernikahan yang stabil dan bahagia memiliki lima interaksi positif atau lebih. Kepositifan itu penting. Sangat penting untuk merasa berada di tempat yang baik, dan itu pasti ditunjukkan melalui tindakan kecil untuk mengekspresikan cinta.

    Mengekspresikan cita tidak harus melalui hal-hal yang muluk-muluk seperti merencanakan keliling dunia atau menghabiskan milyaran rupiah untuk menghadiahi pasangan. Tetapi kita memulainya dengan hal-hal sederhana seperti mengucapkan terima kasih, meminta maaf, meringankan beban pasangan atau sekadar memberikan ciuman.

    Keempat, hubungan dengan keluarga besar pasangan. Bagaimana pasangan kita bergaul dengan keluarganya? Apakah mereka dekat atau jauh? Apakah ada konflik? Informasi itu perlu kita ketahui sejak dini.  Karena seringkali masalah yang muncul dalam lingkup keluarga berulang ke dalam pernikahan kita. Ketika pasangan dapat membicarakan hal-hal itu tanpa menghakimi, dapat mendengarkan dan menyesuaikan pengalaman pasangannya, itu sangat luar biasa. Itu menciptakan tingkat kepercayaan yang dalam. Karena bukankah ketika kita menikah kita tidak hanya menikahi pasangan kita, namun juga mempertemukan dua keluarga besar dari latar belakang berbeda?

    Kelima, mengetahui kondisi keuangan pasangan. Sebelum memutuskan menikah, kita semestinya blak-blakan dalam mengungkapkan kondisi keuangan kepada pasangan. Karena keuangan adalah salah satu aspek yang bisa merekatkan sekaligus memisahkan hubungan pernikahan.

    Keenam, memandang konflik. Konflik tidak bisa dihindari — kita perlu mengenali peran kita dalam menyelesaikannya. Ketika kita berada di fase bulan madu, sulit membayangkan akan ada pertengkaran atau sifat dan kebiasaan menyebalkan seperti apa yang dibawa oleh pasangan. Tapi, setiap pasangan suami-istri tidak bisa dilepaskan dari konflik.

    Seringkali, hal-hal yang tidak kita sukai atau benci di kemudian hari dalam hubungan kita lebih berkaitan dengan diri sendiri daripada pasangan kita. Ini semua tentang kerentanan, ketidakamanan, dan ketidaknyamanan yang kita bawa.

    Bagian besar tentang cara menangani konflik dan kemarahan adalah mengetahui bahwa itu dimulai dari diri kita sendiri. Tentang bagaimana kita dapat mengelola kecemasan Anda sendiri, mempraktikkan cara sehat untuk menjaga diri sendiri, dan memastikan kita berada di tempat yang baik untuk mengatasi apa pun penyebab stres yang terjadi.

    Intinya, kunci dalam mengatasi konflik adalah komunikasi. Kebanyakan orang terburu-buru untuk merespon atau bereaksi. Namun, sesungguhnya lebih baik bagi kita untuk diam atau berhenti sejenak, sadar diri dan mendengarkan dari hati.

    Ketujuh, mendiskusikan apa arti pelanggaran kepercayaan. Apakah kita akan monogami dan berkomitmen pada satu orang, atau apakah kita setuju dengan pernikahan yang lebih terbuka? Itu bergantung pada pasangan dan apa batasan dan nilai pribadi mereka.

    Apa arti pengkhianatan bagi kita? Bagi sebagian orang, perilaku yang tidak dapat diterima dapat berarti menggoda lawan jenis, mengirim SMS, atau berselingkuh secara emosional. Bagi yang lain, satu-satunya pemecah kesepakatan mungkin tidur dengan orang lain. Bicarakanlah sebelum menikah.

    Kedelapan, menghadapi situasi sulit. Saat dihadapkan pada kesulitan, kita jangan gampang menyerah. Buktinya, banyak pasangan muda menikah segera bercerai – kurang dari lima tahun setelah pernikahan mereka. Karena hikmah dari konflik dalam pernikahan dan hubungan adalah peluang untuk bertumbuh. Kecuali jika kita mengalami pelecehan atau perilaku tak tertahankan seperti KDRT, beri diri diri kita kesempatan untuk mencoba menyelesaikan masalah.

    Akhir kata, pernikahan adalah salah satu aspek yang membuat seseorang menggapai kebahagiaan. Memiliki kedewasaan, kesehatan mental dan pengetahuan yang mumpuni sebelum menikah merupakan salah satu ikhtiar untuk meminimalkan perceraian.

  • POMOSDA yang Mengubah Jalan Hidupku

    Hidup adalah memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.

    Halo, hai  semuanya. Perkenalkan aku Agung Setiyo Wibowo. Aku adalah salah satu alumni POMOSDA angkatan 9 yang lulus di tahun 2007. Bagiku, lima tahun menjadi bagian dari keluarga besar POMOSDA adalah salah satu episode terbaik dalam hidup.  Sebuah perjalanan yang awalnya tidak kuinginkan tapi di kemudian hari justru sangat kusyukuri. Beginilah sepenggal kisah hidupku di Tanjung.

     

    Mengapa POMOSDA? 

    Aku lahir dan besar di Dusun Sumberjo, Desa Ginuk, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan. Kedua orang tuaku adalah buruh tani yang memiliki sepetak tanah dengan luas tak seberapa. Ayahku mati-matian banting tulang untuk bekerja apa saja agar dapur tetap mengebul. Mulai dari menjadi buruh tebang tebu di musim giling, mengumpulkan batu kerikil di kali, menjadi buruh di sawah tetangga, mengumpulkan daun jeruk purut dan tentu saja menjadi kuli serabutan.

    Sejak kecil, aku selalu diberikan wejangan oleh ayahku untuk belajar sebaik mungkin untuk mengubah nasib. Itu mengapa sebelum menjadi santri POMOSDA, aku menjadi pengembala domba untuk membiayai sekolahku. Menemani domba-domba merumput di pinggiran sawah sudah menjadi rutinitas sepulang sekolah dari SD hingga SMP.

    Sejujurnya, aku tidaklah sepintar yang kebanyakan orang kira. Hanya saja, mungkin aku jauh lebih giat belajar dibandingkan kawan-kawanku. Aku senantiasa menyempatkan diri belajar di sela-sela menggembala domba di sawah dan sepulang sembahyang Isya’ maupun selepas sembahyang Subuh. Alhasil, aku senantiasa menjadi Juara Kelas.

    Selulus SMP, salah satu guru SMP-ku bertamu ke rumah orang tuaku di akhir pekan. Sayangnya, aku tidak bisa menemui beliau karena aku sedang menggembala domba di sawah. Menurut penuturan ayah, aku disarankan oleh guruku untuk masuk ke salah satu SMA Negeri terbaik di Kota Madiun karena aku dianggap memiliki “potensi” untuk bersinar terang di kemudian hari.

    Aku pun meminta orang tuaku untuk mengikuti saran guruku. Namun, orang tuaku melarangku untuk menjadi pelajar di Kota Madiun dengan alasan keterbatasan finansial. Beliau memintaku untuk menjadi santri POMOSDA karena biayanya yang terjangkau tapi menawarkan pengalaman pembelajaran berkualitas tinggi.

    Di hari pertamaku menginjakkan kaki di POMOSDA, aku diajak ayahku untuk bertemu dengan Bapak Dzoharul Arifin yang waktu itu menjadi Kepala Sekolah. Rupanya, ayahku mengajukan “keringanan biaya” untuk studiku selama di pondok. Seingatku, ayahku hanya bisa membayar sepertiga dari biaya yang seharusnya dibayarkan.  Alhamdulillah, permohonan tersebut dikabulkan. Aku pun tercatat sebagai Santri Asuh mulai tahun ajaran 2003/2004.

    Sebagai anak asuh, aku memiliki kewajiban ekstra dibandingkan santri kebanyakan yang dijadwalkan secara berkala. Salah satunya adalah membantu Tim Bulek Rohmi di dapur untuk membersihkan dan memotong sayuran yang akan dimasak di keesokan harinya. Oleh karena itu, akvititas rutin ini biasanya aku lakukan bersama para Santri Asuh lainnya di malam hari.

    Sebagai santri yang datang dari keluarga menengah ke bawah tidaklah gampang untuk menyesuaikan diri di POMOSDA. Minimnya uang saku yang kuperoleh dari orang tua mendorongku untuk menghemat pengeluaran semaksimal mungkin.

    Selama di pondok; aku hanya membeli barang-barang yang kubutuhkan, bukan yang kuinginkan. Sebagai dampaknya, aku yang tidak pernah jajan di kantin sama sekali selama di pondok pernah mendapatkan perundungan dari salah satu penjaga kantin dan teman-temanku sendiri. Pengalaman tersebut sempat membuatkan “down”, namun perlahan-lahan aku memandangnya dari sisi yang berbeda. Aku ingin membuktikan bahwa aku harus berprestasi meski terlahir dalam kemiskinan.

     

    Menikmati Belajar di “Penjara Suci”

    Sejak hari pertama menjadi santri POMOSDA, aku bersumpah untuk tidak menyia-nyiakan masa studiku. Apalagi, aku memiliki “beban” sebagai Santri Asuh. Aku tidak ingin mengecewakan ayahku maupun Pimpinan Pondok yang telah menerimaku sebagai santri.

    Padatnya aktivitas di pondok, begitu kunikmati. Dari makan di dapur, mengaji, menghafalkan kosa kata, belajar di malam hari, piket kebersihan, ronda malam, lari pagi, jalan-jalan santai, peringatan hari besar Islam, dan masih banyak lagi.

    Di POMOSDA, aku tidak hanya belajar di kelas. Namun, aku juga dibebaskan untuk memilih Program Vokasional yang beraneka ragam. Waktu itu aku mengambil Elektronika dan Persablonan di dua tahun yang berbeda. Meskipun kini aku sama sekali tidak menerapkan keterampilan tersebut, pengalaman itu mengajarku untuk fokus untuk menekuni potensi, bakat atau kekuatan diri sendiri – bukan “menambal” kekurangan atau kelemahan.

     

    Kewajiban untuk memakai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari di asrama mungkin menjadi “momok” yang dibenci oleh banyak santri. Tapi, bagiku justru menjadi “oase” karena aku menemukan “duniaku” di bidang itu. Berbagai piagam yang berhubungan dengan bahasa seperti pidato, debat, maupun cerdas  cermat yang kuperoleh dari berderet perlombaan di tingkat Kabupaten Nganjuk maupun Provinsi Jawa Timur di kemudian hari menjadi “modal” untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi dan berkarier.

    Aku sangat sadar bahwa definisi kesuksesan setiap santri berbeda-beda. Namun bagiku, mengharumkan nama POMOSDA melalui kemenangan dalam berbagai perlombaan merupakan salah satu indikatornya. Meskipun aku selalu memegang prinsip bahwa hasil akhir bukanlah tujuan.

    Puncak dari kebanggaanku sebagai seorang santri adalah ketika dinobatkan sebagai Siswa Berprestasi (Teladan) tingkat SMA Kabupaten Nganjuk 2005. Dari situ aku dipercaya untuk mewakili Bumi Anjuk Ladang untuk perlombaan serupa di tingkat Jawa Timur. Pengalaman itu menyadarkanku bahwa hidup bukanlah untuk berkompetisi dengan orang lain, melainkan berkompetisi dengan diri sendiri. Yaitu untuk mengalahkan keraguan, ketakutan, kebingungan, dan kegalauan yang bersemayam dalam diri.

     

    Terima Kasih POMOSDA

    Secara formal, aku lulus dari SMA POMOSDA di tahun 2007. Ikhtiar untuk mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama untuk kuliah di Universitas Airlangga jurusan Kedokteran dan di Politeknik Keuangan Negara STAN jurusan Bea Cukai di tahun itu belum mendapatkan “approval” dari Allah. Akibatnya aku sempat merasa hancur, terpuruk, gagal, menyalahkan diri sendiri dan di titik terendah dalam hidup karenanya.

    Setelah beberapa saat menenangkan diri di Magetan, perlahan-lahan aku bisa menerima takdir-Nya. Aku menjadi tersadarkan bahwa skenario-Nya selalu yang terbaik.

    Tak ingin berlama-lama mengingat “kegagalan” mendapatkan beasiswa, aku mengikuti ajang Pemilihan Duta Wisata “Bagus-Dyah” Kabupaten Magetan. Berkat perjuangan berdarah-darah (dan tentu saja karena takdir-Nya), aku memenangkan kompetisi tersebut dan berhak maju ke Pemilihan Duta Wisata “Raka-Raki” Provinsi Jawa Timur bersama dengan pasanganku.

    Pengalaman mengikuti kontes Raka-Raki Jawa Timur membuatku “mejeng” di Jawa Pos TV, koran Jawa Pos dan berbagai media lain yang di kemudian hari melambungkan namaku. Menurutku, keterampilan berbahasa Inggris dan beretorika yang kuperoleh dari POMOSDA memiliki andil besar dalam prosesnya.

    Singkat  cerita, aku memutuskan untuk menjalani Masa Pengabdian di POMOSDA per Agustus 2007. Pilihan tersebut kutempuh karena aku ingin mempersiapkan diri untuk mengejar beasiswa di tahun 2008. Alhamdulillah, aku diberi amanah untuk mengurus Perpustakaan yang kupandang sebagai “Surga” karena kegemaran akutku untuk membaca buku.

    Pada Agustus 2008, aku meninggalkan POMOSDA karena mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta. Keberuntungan tersebut mungkin tidak pernah menghampiriku andai aku tidak mendampingi para santri membaca di perpustakaan. Pasalnya, aku mendapatkan info beasiswa tersebut dari koran yang memang menjadi salah satu koleksi perpustakaan.

    Bagiku POMOSDA tidak hanya membekaliku untuk “menaklukkan dunia” dengan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah guna mengejar kesuksesan. Namun, yang lebih penting POMOSDA membekaliku untuk “menaklukkan diri sendiri” yang merupakan kunci dari kebahagiaan hakiki.*

     

    *) Tulisan ini sebelumnya dimuat di situs web resmi SMA POMOSDA

     

  • Tips Menulis Buku untuk Pemula

    “Mas, gimana sih biar bisa konsisten menulis?”

    “Mas, sebaiknya menulis itu mulai dari mana?”

    “Mas, share dong tips menghadapi Writer’s Block!”

    Tiga pertanyaan ini begitu sering saya dapatkan di kelas-kelas pelatihan menulis saya. Pun ketika bertemu dengan orang-orang baru.

    Sederhana saja. Sama seperti keterampilan lain, menulis itu dipraktikkan – tidak cukup dibicarakan. Di sini berlaku hukum “jam terbang”. Semakin kita sering mengasahnya, semakin mahirlah kita.

    Oke, saya jawab mulai dari pertanyaan pertama ya.

    “Mas, gimana sih biar bisa konsisten menulis?”

    Jawabanku: Milikilah ritual menulis. Anggap saja menulis itu ibarat ritual yang setiap hari Anda praktekkan.

    Kebayang kan jika setiap pagi kita menikmati sarapan lalu melewatkannya?

    Gimana perasaan Anda jika Anda terbiasa mengendarai mobil sendiri ketika berangkat ke kantor lalu tiba-tiba harus naik KRL?

    Merasa berdosa nggak jika Anda terbiasa salat Subuh berjamaah di masjid lalu Anda kesiangan bangun?

    Sebagai contoh, ritual menulis Anda adalah pukul 5-6 pagi. Anda harus berkomitmen menulis setiap hari. Taruh menulis sebagai agenda harian Anda. Masukkan dalam Google Calendar. Buat notifikasi pengingat. Pasang alarm di jam tersebut. Niscaya Anda akan terpacu untuk bertindak.

    Itu hanya contoh ya. Saya tidak tahu kapan Anda memiliki waktu luang. Yang pasti, sediakan waktu terbaik Anda. Jika sudah menemukannya, Anda wajib mematuhinya.

    Pertanyaan kedua: “Mas, sebaiknya menulis itu mulai dari mana?”

    Jawaban saya simple juga. Dari mana pun. Karena tidak ada formula khusus. Setiap orang tentu memiliki pendekatan berbeda-beda.

    Agar cerita Anda runut, saya sarankan Anda untuk membuat outline. Mengapa?

    Karena outline itu mencerminkan kerangka ide kita. Outline bisa membuat tulisan kita jauh lebih terstruktur. Pada akhirnya, outline juga memudahkan kita untuk melakukan riset. Sehingga, upaya kita lebih terarah.

    Outline membuat waktu kita efisien karena kita tidak lagi “meraba-raba”. Ibarat kita bepergian, outline ibarat peta. Kita sudah tahu arah a.k.a destinasi yang kita tuju.

    Pertanyaan ketiga: “Mas, share dong tips menghadapi Writer’s Block!”

    Jawaban saya sederhana: rehat dulu sejenak. Anda bisa membaca buku-buku yang sejenis dengan topik yang Anda tulis. Anda bisa mendengarkan musik favorit Anda. Anda bisa melakukan hobi Anda.

    Jangan paksakan menulis jika Anda merasa buntu. Karena nanti hasilnya bisa tidka maksimal.

    Dari sini sudah paham kan?

    “Memang bisa semudah itu ya menulis buku?”

    Iya dong.

    Tentu, saya tidak bisa menjamin jika Anda langsung mahir menulis dalam sekejap ketika mempraktikkan tiga jawaban di atas. Karena yang pasti, jam terbang tidak akan pernah bohong.

    Saran saya, perbanyaklah membaca buku. Karena penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Jangan pernah bermimpi untuk bisa menjadi penulis ulung jika Anda malas membaca.

    Tak mengherankan bila seorang penulis terkenal bilang, “Anda adalah apa yang Anda baca.” Saya sependapat.

    Buku-buku yang pernah kita baca mempengaruhi genre buku kita. Buku-buku yang pernah kita baca mempengaruhi gaya menulis kita.

    So, kapan Anda berencana menulis buku pertama Anda?

    Topik apa yang ingin Anda tulis di buku pertama Anda?

    Jika ingin menerbitkan buku tapi Anda belum tahu harus mulai dari mana atau masih ragu ingin menulis dengan gaya seperti apa, jangan sungkan untuk bertanya.

    Anda bisa menghubungi saya melalui Whatsapp +62 852 3050 4735.  Japri aja saja. Kita bisa berdiskusi sambil ngopi-ngopi.

    Jika Anda tidak punya waktu untuk menghubungi saya secara daring maupun luring, tenang saja. Anda bisa membaca buku Write First. Beli saja versi digitalnya. Karena semua ilmu dan pengalaman saya dalam dunia menulis dan menerbitkan buku telah saya kupas tuntas di situ.

     

    Salam literasi,

    Depok, 23 Maret 2024