Author: Agung Wibowo

  • Mengapa Orang Indonesia (Masih) “Malas” Membaca?

    Baru-baru ini, saya mendapatkan temuan menarik mengenai profesi idaman masyarakat Asia Tenggara. Dari hasil riset tersebut disebutkan bahwa profesi impian masyarakat Indonesia adalah YouTuber. Sementara profesi impian masyarakat di negeri jiran kita ialah Guru untuk Malaysia dan Penulis untuk Singapura.

    Apa yang dapat saya petik dari temuan tersebut? Saya semakin menyadari bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya kurang suka membaca. Orang-orang di sekitar kita lebih betah berjam-jam mengamati linimasa media sosial ataupun menonton film dan televisi.

    Pemahaman saya tersebut semakin menguat menyadari fakta industri penerbitan buku di Indonesia bisa dikatakan kurang berkembang. Toko-toko buku banyak yang telah tutup permanen dan para penulis berteriak dengan tingginya pajak royalti.

    Di sisi lain, jam mengakses internet masyarakat kita dari hari ke hari makin tinggi. Coba cek sendiri, berapa jam rata-rata waktu yang teman-teman kita habiskan untuk TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan semacamnya?

    Sebagai seorang penulis profesional, kenyataan ini tentu membuat sangat miris. Bagaimana dengan masa depan penulis? Apakah penulis profesional bisa hidup layak jika sepenuhnya fokus tanpa memiliki pekerjaan atau bisnis lain? Masih adakah harapan bagi para penulis agar karya-karyanya dibaca di tengah gempuran abad digital yang disruptif?

    Budaya Baca Masyarakat Indonesia
    Konon, leluhur orang Indonesia itu lebih suka bertutur dibandingkan dengan menuliskannya. Tak mengherankan berbagai dongeng atau cerita rakyat berhasil diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini.

    Di sisi lain, meskipun tingkat melek huruf relatif tinggi, statistik menunjukkan bahwa membaca buku bukanlah kegiatan populer di Indonesia. Dibandingkan dengan orang di negara lain dengan tingkat melek huruf yang tinggi, orang  Indonesia yang mau membaca jauh lebih sedikit.

    Sebuah studi tahun 2013 dari UNESCO menunjukkan bahwa hanya 1 dari 1000 anak di Indonesia yang senang membaca. Sebuah studi tahun 2018 dari PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan bahwa skor membaca siswa Indonesia adalah 371 (dibandingkan dengan skor rata-rata 487), dan kemampuan membaca keseluruhan anak Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara OECD.

    Temuan penelitian lainnya menunjukkan bahwa kebiasaan membaca secara umum di era digital cenderung lebih tinggi daripada di masa sebelum internet. Hasil riset Universitas Kristen Indonesia (UI) menemukan bahwa, meskipun tidak membaca buku sesering siswa di negara lain, siswa Indonesia menggunakan internet untuk membaca, meskipun biasanya hanya untuk tugas sekolah. Membaca untuk kesenangan atau untuk belajar di luar yang diwajibkan jarang terjadi.

    Mengapa Orang Indonesia Enggan Membaca?

    Ada beberapa alasan mengapa kebiasaan membaca di Indonesia lebih rendah daripada di negara lain. Berikut di antaranya.

    Pertama, tradisi lisan: Di negeri kita, ada tradisi panjang berbagi cerita dan kebijaksanaan melalui kata-kata lisan, bukan melalui teks tertulis.

    Kedua, budaya sekolah: Membaca umumnya dipandang sebagai kegiatan yang hanya untuk tujuan sekolah, dan membaca buku atas kemauan sendiri sering dianggap sebagai perilaku yang tidak biasa. Tak mengejutkan anak-anak yang suka membaca diberi label “Kutu Buku”. Anak-anak yang berani berbeda dari kebanyakan mendapatkan perundungan hingga intimidasi.

    Ketiga, persaingan dengan bentuk media lain: Masyarakat kita menggunakan media sosial, streaming TV/film, dan game online dengan sangat masif. Bentuk-bentuk media yang lebih interaktif dan visual ini seringkali dapat lebih langsung merangsang siswa dibandingkan dengan buku, yang membutuhkan tingkat fokus, konsentrasi, dan keterlibatan aktif yang lebih besar. Teknologi agaknya  mengurangi tingkat membaca anak-anak kita.

    Keempat, kurangnya kesempatan: Rendahnya tingkat membaca di Indonesia mungkin tidak semata-mata karena kurangnya minat—kurangnya kesempatan juga dapat berperan. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, sekolah di Indonesia memiliki lebih sedikit buku untuk diakses siswa. Menurut hasil kajian  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia tahun 2017, hanya 61% sekolah dasar yang memiliki perpustakaan, dan dari perpustakaan tersebut, hanya 31% yang terawat dengan baik. Perpustakaan sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk olahraga atau kegiatan serupa, yang berarti bahwa buku seringkali tidak menjadi prioritas bahkan di perpustakaan sekolah.

    Kelima, kualitas buku yang tersedia buruk: Nirwan Ahmad Arsuka, pencipta program perpustakaan keliling di Indonesia, menyebutkan kualitas buku yang tersedia bagi banyak siswa sebagai hambatan untuk mendorong membaca. Ia percaya bahwa buku-buku yang dikeluarkan untuk sekolah oleh pemerintah pada umumnya tidak menarik, terlalu formal, dan ditulis dengan buruk, yang memberikan siswa persepsi negatif tentang buku sejak usia muda.

    Keenam, kurangnya ketersediaan buku asing: Selain buruknya kualitas buku di perpustakaan sekolah di Indonesia, akses buku dari luar negeri juga sangat minim. Buku-buku asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seringkali hanya dapat diperoleh dari toko buku khusus, dan harganya sangat mahal.

    Epilog
    Meningkatkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia tak bisa diselesaikan oleh salah satu pihak saja. Diperlukan kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, orang tua, dan para pemangku kepentingan lainnya.

    Minat membaca biasanya paling baik dibangun pada usia muda. Jadi, sangat penting memastikan bahwa siswa yang lebih muda memiliki akses ke buku-buku yang menarik bagi mereka.

    Temuan dari berbagai kajian telah menunjukkan bahwa minat membaca untuk tujuan pendidikan biasanya hanya meningkat sebagai akibat dari menikmati membaca untuk kesenangan. Menumbuhkan minat membaca pada generasi muda kemungkinan akan mengubah budaya dari waktu ke waktu dan menjadikan kegiatan membaca lebih umum untuk generasi mendatang.

    Manfaat ini untuk sistem pendidikan memang signifikan. Sebuah studi tahun 2015 oleh Universitas Kenyatta menemukan bahwa siswa dengan masalah membaca lebih cenderung berprestasi buruk di sekolah, dengan kemungkinan lebih tinggi untuk mengulang kelas atau putus sekolah pada usia dini. Sebaliknya, siswa dengan keterampilan membaca yang baik memiliki kinerja yang lebih baik di sekolah dan di dunia kerja, serta memiliki tingkat perkembangan emosi dan sosial yang lebih tinggi.

    Peningkatan akses  masyarakat Indonesia terhadap buku berkualitas tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan inisiatif. Ebooks, dan program untuk menyediakan akses ke sana, dapat memecahkan banyak hambatan dalam meningkatkan kebiasaan membaca di tanah air. Meningkatkan kebiasaan membaca meningkatkan pembelajaran secara umum—tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi juga untuk pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi.

  • Kamu Tidak Sendirian

    Sudahkah Anda mempersiapkan dana pendidikan anak hingga (setidaknya) S1? Jika sudah, apakah Anda merasa telah memilih instrumen yang tepat? Jika belum, apakah masih bingung?
    Sudah yakinkah Anda tentang cara mengajarkan keuangan pada anak sesuai tahap perkembangan? Apa saja tantangannya selama ini?

    Dua pertanyaan itulah yang menjadi dasar lahirnya buku Kamu Tidak Sendirian: Sharing dari Dua Ayah Milenial Tentang Cara Mengajarkan Uang Pada Anak. Ditulis oleh praktisi perencana keuangan papan atas, CEO Jooara Gembong Suwito dan guru pengembangan diri beken, Coach ReSkills Agung Setiyo Wibowo, buku ini akan segera hadir di jaringan Toko Buku Gramedia di seluruh Indonesia mulai Juli 2024.

    Bagi Anda yang malas ke toko buku, tenang saja. Buku ini akan hadir versi digitalnya di aplikasi Gramedia Digital dan Google Play Books (Google Books). Bagi yang masih ingin membaca versi cetaknya namun “mageran” akan bisa mendapatkan buku ini di berderet ecommerce kesayangan Anda seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, Elevenia dan seterusnya.

    Untuk Siapa Buku Ini Ditulis?
    – Orang tua dan calon orang tua yang ingin membuat anaknya melek secara finansial sejak dini
    – Orang tua dan calon orang tua yang ingin menyiapkan dana pendidikan anak dari PAUD hingga perguruan tinggi
    – Siapa saja yang ingin mengasah keterampilan Financial Parenting sekaligus Financial Planning

    Mengapa Anda Harus Baca Buku Ini?
    Menurut riset Jiwasraya, nilai inflasi pendidikan per tahun tidak kurang dari 15%. Angka itu tentu begitu tinggi mengingat kenaikan gaji per tahun rata-rata tidak lebih dari 7%. Dengan asumsi inflasi yang begitu besar tersebut, maka biaya sekolah satu orang anak dari TK hingga S1 bisa mencapai hingga lebih dari Rp 1 miliar pada 2030.

    Sementara itu, menurut temuan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai  3,81% dan kenaikan rata-rata uang pangkal pendidikan di tanah air berkisar 10-15% per tahun. Bahkan berdasarkan laporan AIA Financial Indonesia, rata-rata kenaikan biaya pendidikan di negara kita mencapai 20% per tahun. Sedangkan rata-rata kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi swasta mencapai hingga 40%. Hal itu menyadarkan kita pentingnya menyiapkan dana pendidikan anak dengan strategi yang tepat.

    Di sisi lain, literasi keuangan masyarakat Indonesia masih relatif rendah. Hal ini diperparah dengan nihilnya kurikulum keuangan di pendidikan formal, budaya tabu membicarakan masalah keuangan, dan lambatnya adopsi teknologi keuangan.

    Buruknya literasi keuangan diperkuat oleh temuan survei Bank UOB Indonesia 2019 yang mengungkapkan bahwa milenial Indonesia menghabiskan 50 persen dari pendapatan mereka untuk apa yang disebut “gaya hidup 4S”, yaitu Sugar (makanan dan minuman), Skin (kecantikan dan perawatan kulit), Sun (perjalanan dan rekreasi), dan Screen (konsumsi layar digital).

    Menurut temuan Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap lebih dari 3500 responden pada Maret 2021, jumlah pelanggan baru Paylater meningkat hingga 55% selama pandemi Covid-19. Sementara itu menurut statistik Fintech Lending edisi Mei 2023 yang dikeluarkan OJK, pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit semakin muda. Buktinya, pada empat bulan pertama 2023 nilai kredit macet dari kalangan milenial (rentang usia 19-34 tahun) mencapai Rp 782,13 miliar. Sebagai perbandingan, nilai kredit macet secara keseluruhan usia di industri fintech lending mencapai Rp 1,73 triliun yang berarti 45,2% Kredit macet tersebut di kontribusikan oleh kalangan Milenial. Hal itu menunjukkan betapa buruknya literasi keuangan generasi muda Indonesia yang sangat mungkin merupakan anak, keponakan, sepupu, adik, kakak, tetangga atau saudara kita sendiri.

    Rendahnya literasi keuangan memang menggiring konsumen untuk membuat keputusan yang kurang informasi, terjerat dalam lilitan utang, hingga menjadi korban terjerat produk ilegal. Dalam jangka panjang, hal itu juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan yang jika tidak segera diatasi bisa makin menghambat kemajuan industri keuangan.

    Minimnya literasi keuangan mengakibatkan pengelolaan keuangan yang tidak sehat. Tak mengherankan bila temuan riset berbagai lembaga menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia menghabiskan lebih dari setengah pendapatannya untuk kebutuhan bulanan dan hanya menyisihkan 10,7% untuk ditabung.

    Sementara itu, berdasarkan laporan Financial Fitness Index yang dirilis OCBC NISP, sekitar 80% pemuda tidak melakukan pencatatan anggaran dan hanya terdapat 16% yang memiliki dana darurat untuk meminimalisasi risiko finansial ke depannya seperti hilangnya penghasilan akibat kehilangan pekerjaan, faktor kesehatan, dan risiko-risiko lainnya. Survei tersebut juga membeberkan bahwa hanya 3% yang memiliki produk investasi, meskipun masih banyak yang belum berinvestasi secara benar.

    Rendahnya literasi keuangan dapat membawa dampak yang sangat merugikan. Mulai dari perencanaan keuangan yang tidak baik, tidak adanya tujuan untuk mengelola keuangan, penempatan instrumen investasi yang tidak tepat, hingga tidak tercapainya berbagai target hidup karena ketidakmampuan mengelola uang.

    Seperti Apa Sinopsisnya?
    Bisa atau tidaknya orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya hingga ke jenjang tertinggi bukan semata-mata karena minimnya pendapatan yang diperoleh. Namun, tidak jarang disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan. Sebagian orang tua sebenarnya cukup melek finansial, namun tetap juga menghadapi bencana keuangan lantaran tidak bisa menyesuaikan penghasilan dengan gaya hidup.

    Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa keuangan tidak diajarkan di sekolah meskipun semua orang membutuhkannya dalam keseharian. Orang tua yang seharusnya berperan mengajarkan pengelolaan keuangan sejak dini kepada anak-anaknya, pada kenyataannya masih menganggapnya sebagai isu yang paling tabu untuk dibicarakan. Padahal cara kita memandang, memaknai dan memperlakukan uang paling banyak dipangaruhi oleh orang tua kita.

    Buku ini membeberkan metode mengedukasi keuangan berdasarkan tahapan perkembangan anak sekaligus langkah-langkah menyiapkan dana pendidikan anak dengan berbagai pendekatan. Sarat dengan best practices, studi kasus, dan lessons learned; buku ini dirancang untuk mewujudkan keluarga Indonesia yang melek sekaligus berdaya secara finansial.

    Apa Kelebihan Buku Ini Dibandingkan Buku Sejenis?
    – Menyajikan edukasi keuangan berdasarkan perkembangan anak yang dilengkapi dengan Games untuk memudahkan pemahaman
    – Memberikan teori sekaligus lembar kerja untuk mempraktikkkan perencanaan keuangan
    – Menawarkan langkah-langkah perencanaan biaya pendidikan anak dengan berbagai instrumen
    – Financial Checkup untuk pembaca dengan pengirim testimoni terbaik yang dipilih oleh penulis
    – Gratis konsultasi perencanaan biaya pendidikan anak untuk 10 pemenang (diundi)

    Apa Kata Mereka?

    “Alhamdulillah seneng rasanya bisa membaca buku ini. Semakin senang lagi karena ditulis oleh Mas Gembong Suwito alumni ITS yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri dan temannya Mas Agung Setiyo Wibowo. Buku ini terdiri 4 bagian yaitu Mindset, Mapping, Measure dan Modeling. Buku ini wajib dimiliki orang tua, karena sangat asyik dibaca dan bisa diajarkan secara bertahap untuk putra/putrinya.
    Apalagi, anak-anak kita hari ini menghadapi lebih banyak tekanan untuk menghabiskan uang dan mengikuti teman-teman mereka. Tantangan bagi orang tua adalah untuk mengajarkan tanggung jawab ketika masyarakat kita mungkin tidak menaruh banyak nilai pada nilai-nilai tersebut.
    Buku ini mengajarkan kepada orang tua apa yang harus diberitahukan kepada putra/putrinya mereka tentang uang dan bagaimana cara memberi tahu mereka. Para penulis berbagi pandangan mereka dalam bahasa yang masuk akal. Kebiasaan uang yang baik ditampilkan dengan cara yang mudah diikuti.
    Saya berharap kita memiliki pandangan jauh ke depan untuk membaca dan menerapkan banyak pelajarannya. Buku ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja, bukan hanya para orang tua yang galau dengan perencanaan keuangan.
    Semoga dengan terbitnya buku ini, orang tua dan pembaca lain akan lebih mudah memahami, mengerti dan mengajarkan ke putra/putrinya juga untuk dirinya. Semoga buku ini bermanfaat dan berdampak untuk kita semua khususnya mengenai persoalan keuangan.”
    Dr. Soehardjoepri, M.Si
    Kepala Departemen Aktuaria FSAD Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

    “Buku ini menawarkan petunjuk langkah demi langkah untuk menyiapkan biaya pendidikan anak sekaligus mengajarkan keuangan kepada anak berdasarkan tahapan perkembangan. A highly recommended book to read!”
    Rista Zwestika Reni, CFP
    Perencana Keuangan & Head of Advisory PINA
     
    “Sederhananya, buku ini membantu Anda menghasilkan uang. Anda juga akan belajar menabung, berinvestasi, dan mengelola uang Anda dengan lebih baik – semua hal yang baik. Saya harap Anda memiliki pandangan jauh ke depan untuk membaca dan menerapkan banyak pelajarannya.”
    Haryajid Ramelan, MM, RFC, CFP, CPRM, RIFA, CSA, CRP, CIB, CES, CTA
    Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Pasar Modal (LSPM)

    “Cerdas finansial adalah salah satu kunci sukses. Buku ini wajib dibaca para orang tua dan pendidik – mudah dibaca dan diterapkan.”
    Tessi Setiabudi, MA, MBA, CFP
    Penulis buku best-seller Inspirasi Karier Kedua

    “Agung dan Gembong memahami bahwa anak-anak harus mulai mempelajari keterampilan uang sejak dini, dan memperoleh keterampilan baru seiring pertumbuhan mereka. Panduan ini dirancang untuk membantu orang tua menempatkan anak-anak mereka pada pijakan keuangan yang sehat dengan mengurai topik yang sulit tetapi sangat penting.”
    Fifi Virgantria
    Direktur Retail & Information Technology BRI Danareksa Sekuritas

    Indeed bukunya bagus dan informatif banget, cocok buat panduan ayah dan bunda untuk membantu pembelajaran tentang uang bagi ananda tercinta.”
    Tri Djoko Santoso
    Founder & Chairman FPSB Indonesia

    “Life Skill merupakan perpaduan Hard skill yang dipraktekkan dan akan menciptakan Soft Skill. Dalam keuangan, Hard Skill saja tidak akan mudah dipahami dan dimengerti. Namun buku ini mau mengajarkan pengalaman baru dalam dunia keuangan serta investasi yang menggunakan logika sederhana dengan tujuan mudah untuk duplikasi.
    Penulis sebagai praktisi yang memang matang dalam bidangnya dan merupakan pembelajar handal juga pemateri yang baik, karya tulis dalam buku ini akan memandu pembacanya secara sederhana dan masuk dalam buah pikir ide untuk berbagai kalangan. Mulailah dengan belajar, praktekkan dan ajarkan (Learn, Do, Teach) terus ilmu perencana keuangan sebagai simbol kematangan lintas generasi.”
    Chief Henry Januar
    Master Inherintance Paralegal & Penulis Buku Asset That Follows Me

    “Banyak yang mampu menulis, tidak banyak yang mampu mengkomunikasikan tulisannya. Saya mengetahui penulis buku ini seorang pembelajar yang panjang dan pekerja keras. Dia adalah Qualified Financial Educator, Gembong Suwito. Miliki dan ambil manfaat dari buku ini.”
    Henra Sensei
    Founder Qrelevant.com
    Licensed NLP Coaching Trainer

    “Sangat Praktis. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja. Bukan hanya orang tua yang galau dengan perencanaan keuangan.”
    Muhammad Ichsan ChFC, CFP, MsFin
    CEO FPSB Indonesia

    “Coach Gembong & Coach Agung menyajikan panduan yang membumi, masuk akal dan beralasan kuat yang dikemas dengan bahasa yang sangat apik. Tidak ada istilah yang menakutkan, membosankan, atau mengintimidasi disini. Melainkan hanya pemikiran sangat baik tentang masalah keuangan pribadi yang penting bagi orang tua dari anak-anak segala usia.”
    Judy Febryano ChFC CFP
    Ketua FPAI (Financial Planner Association Indonesia)

    “Buku ini highly recommended to read karena menawarkan tips-tips praktis untuk mengedukasi anak-anak tentang pengelolaan keuangan berdasarkan tahapan perkembangan. Selain itu, buku ini juga menguas petunjuk langkah demi langkah bagi orang tua untuk menyiapkan biaya pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Buku ini ditulis dengan Bahasa yang ringan tanpa bermaksud menggurui sehingga mudah untuk dicerna oleh pembaca dari semua kalangan.“
    Achmad Aris
    COO & Editor in Chief PT Media Asuransi Indonesia

    “Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin menyiapkan dana pendidikan anak sedini mungkin.”
    Simon Imanto
    Praktisi Asuransi Jiwa & Presiden Direktur PT Avrist Assurance

    “Anak-anak kita hari ini menghadapi lebih banyak tekanan untuk menghabiskan uang dan mengikuti teman-teman mereka. Tantangan bagi orang tua adalah untuk mengajarkan tanggung jawab ketika masyarakat kita mungkin tidak menaruh banyak nilai pada nilai-nilai tersebut. Buku ini mengajarkan kepada orang tua apa yang harus diberitahukan kepada anak-anak mereka tentang uang dan bagaimana cara memberi tahu mereka. Para penulis berbagi pandangan mereka dalam bahasa yang masuk akal. Kebiasaan uang yang baik ditampilkan dengan cara yang mudah diikuti.”
    Dody A.S. Dalimunthe
    Dosen & Praktisi Industri Asuransi

    “Buku ini extraordinary karena berisi tips-tips praktis untuk mengedukasi anak-anak yang wajib dikonsumsi oleh orang tua.”
    Edmund Refan
    Head of Agency Learning & Development Prudential Indonesia

    Berapa Biayanya?
    Harga normal di toko buku Rp 88.000. Harga Pre Order Rp 80.000 di luar ongkir.

    Bagaimana Cara Memesannya?
    Anda bisa melakukan Pre-Order dengan klik ini hingga 15 Juni 2024.

    Adakah Kontak yang Bisa Dihubungi Lebih Lanjut?
    Anda bisa menghubungi +62 852 3050 4735 (Whatsapp).

  • Jalan Menuju Kebahagiaan

    Saya rasa ini adalah satu kata yang mewakili semua orang.
    Apa yang saya, Anda, dan kita semua lakukan saat ini mencerminkan apa yang membuat kita bahagia.
    Ada yang bahagia ketika banyak harta. Sebagian bahagia jika punya tahta. Tak sedikit yang bisa bahagia jika punya banyak pengikut di jagad maya
    Sayangnya, tidak semua orang menyadari apa yang benar-benar membuatnya bahagia. Akibatnya, meski semua pencapaian duniawi telah digapai, yang mereka dapatkan hanyalah kesenangan semu.
    Setiap individu memiliki persepsi, makna, dan standar masing-masing akan kebahagiaan. Jadi, tentu saja kebahagiaan setiap orang tidak dapat diperbandingkan.
    Apa yang membuat Anda bahagia, belum tentu membuat saya bahagia. Dan sebaliknya.
    Karena kebahagiaan itu sendiri sangat subyektif.
    Namun, secara umum kebahagiaan dapat kita capai jika kita menerima apa yang ditawarkan oleh semesta tanpa banyak menghakimi. Bersyukur adalah kata kuncinya. Yaitu merayakan semua pengalaman yang menghampiri diri kita.
    Banyak pakar mengatakan bahwa rumus kebahagiaan = realita – ekspektasi. Artinya apa? Mensyukuri segala hal yang terjadi. Ikhlas alias menerima segala hal yang ditawarkan oleh semesta.
    Rumus ini sepertinya begitu sederhana. Tapi toh dalam praktiknya masih banyak orang yang belum berhasil menerapkannya. Karena mereka masih kalah dengan ego atau hawa nafsunya.
    Kebahagiaan bisa kita wujudkan dengan begitu banyak cara. Berikut adalah sejumlah cara terpopuler yang bisa kita coba terapkan dalam keseharian.
    Pertama,  berbagi. Dalam semua ajaran agama, berbagi senantiasa dianjurkan. Entah dalam bentuk materi, waktu, tenaga, pikiran atau lainnya.
    Kedua, membuat jurnal syukur. Caranya gampang, setiap hari kita menuliskan apa yang dapat kita syukuri. Tidak harus muluk-muluk, namun dapat kita mulai dari yang kecil-kecil.
    Ketiga, berolahraga. Selain membuat fisik kita bugar, berolahraga juga dapat menjaga kebahagiaan kita. Karena dalam prosesnya, tingkat stres dapat menurun.
    Keempat, membantu orang lain. Bantuannya bisa berupa apa saja. Semakin orang lain merasa terbantu, semakin berbahagialah kita.
    Nah, bagaimana dengan Anda hari ini?
    Sudahkah Anda bahagia?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Mei 2023
  • Seni Mengelola Tim Intergenerasi

    Beberapa minggu yang lalu, saya berdiskusi dengan salah satu CEO dari generasi milenial dan Baby Boomers tentang betapa sulitnya mengelola lintas generasi ketika mereka jauh lebih tua atau lebih muda dari tim yang dipimpin.

    CEO dari generasi Baby Boomers  tidak mengerti mengapa bawahan langsungnya menanggapi pesan suaranya dengan email alih-alih meneleponnya kembali, sedangkan CEO dari generasi milenial tidak mengerti preferensinya untuk panggilan telepon ketika informasi yang sama dapat dikomunikasikan melalui teks.

    Pelajaran yang dapat dipetik oleh semua generasi di sini adalah mempelajari cara berkolaborasi dengan dan menghargai preferensi, kebiasaan, dan perilaku unik rekan kerja yang tumbuh di masa yang berbeda dengan kita.

    Ketika kita pada dasarnya tidak dapat berhubungan dengan seseorang karena kesenjangan generasi, kita sering menggunakan stereotip berbahaya dan menyalahkan masalah yang dapat dipecahkan satu sama lain alih-alih bekerja untuk memahami — dan menghargai — perbedaan yang menjauhkan kita. Akibatnya, kinerja dan produktivitas kerja kita terkena dampak negatif.

    Untuk mendapatkan panduan tentang bagaimana kita dapat melewati ini dan menyadari banyak manfaat dari pekerjaan lintas generasi, saya langsung teringat dengan gagasan Profesor Megan Gerhardt, direktur pengembangan kepemimpinan di Farmer School of Business Universitas Miami dan penulis Gentelligence.

    Pertama, stereotip berbahaya.
    Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, ada lima generasi dalam angkatan kerja. Rupanya, kita masing-masing menunjukkan sifat dan nilai kepribadian yang unik.

    The Silent Generation (lahir 1925 hingga 1945; setia tapi tradisional)
    Baby boomer (1946 hingga 1964; kolaboratif tetapi enggan berubah)
    Generasi X (1965 hingga 1980; mandiri tapi rentan depresi)
    Milenial (1981 hingga 2000; bersemangat tetapi ingin diakui)
    Generasi Z (2001 hingga 2020; progresif tapi tidak loyal)

    Generalisasi ini, sebagian besar, bermasalah. Sang Profesor mengingatkan kita langkah pertama untuk mengatasi bias usia, dan mengembangkan rasa saling menghormati satu sama lain, adalah menghilangkan prasangka mereka.

    Banyak percakapan generasi dalam berita hari ini mengandalkan stereotip palsu dan headline clickbait, daripada meluangkan waktu untuk memahami perbedaan penting yang merupakan bagian dari identitas generasi kita. Ketika kita menetapkan karakteristik negatif atau menyeluruh untuk setiap kelompok, kita menyiratkan bahwa nilai, keyakinan, dan tujuan mereka pada dasarnya “catat”.

    Ada nilai dalam mendidik diri kita sendiri tentang realitas yang dihadapi generasi berbeda sepanjang karier mereka.

    Pada kenyataannya, apa yang kita hargai sebagai individu sering kali dipengaruhi oleh peristiwa yang sepenuhnya di luar kendali kita, yang ditentukan oleh pengalaman kita di awal kehidupan dan karier kita. Setiap generasi memasuki dunia kerja dalam kondisi tertentu, yang pada akhirnya membantu membentuk gol, preferensi, dan pendorong kesuksesan kita.

    Misalnya, lulusan perguruan tinggi baru-baru ini, yang memulai pekerjaan pertamanya selama pandemi dan terbiasa dengan bekerja jarak jauh, mungkin sangat menghargai pekerjaan yang fleksibel dan lebih suka berkomunikasi secara digital. Di sisi lain, seseorang yang memasuki dunia kerja pada tahun 2008, selama Resesi Hebat, mungkin menghargai keamanan dan rutinitas pekerjaan, dan lebih suka bekerja kantoran “9-5” rutin yang dapat diprediksi, lima hari seminggu.

    Masalahnya adalah stereotip usia melangkah terlalu jauh dengan asumsi bahwa setiap orang bereaksi terhadap tonggak sejarah generasi mereka dengan cara yang sama. Itu adalah asumsi, seringkali salah, dan dapat membuat karyawan merasa terkucil dan dihakimi bahkan sebelum mereka masuk ke kantor. Ini, pada gilirannya, mempengaruhi kinerja. Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan oleh NIH menemukan bahwa, “karyawan yang terancam oleh stereotip berbasis usia terkait  kerja kurang mampu berkomitmen pada pekerjaan mereka saat ini, kurang berorientasi pada gol profesional jangka panjang, dan pada akhirnya kurang menyesuaikan diri secara psikologis.”

    Ketika Profesor Gerhardt mengatakan bahwa kita harus menghindari membuat asumsi tentang orang hanya berdasarkan usia mereka, ada nilai dalam mendidik diri kita sendiri tentang realitas yang dihadapi generasi berbeda sepanjang karier mereka. Memahami nuansa ini sangat penting untuk menerima satu sama lain.

    Kedua, preferensi berkomunikasi secara terbuka.
    Sama seperti kita tidak mengharapkan tindakan kita dipahami secara akurat atau disetujui secara universal ketika kita melakukan perjalanan ke tempat lain, kita seharusnya tidak mengharapkan alasan kita mendekati pekerjaan kita dengan cara tertentu menjadi jelas bagi orang-orang yang telah tumbuh dan memulai kehidupan profesional mereka pada titik waktu yang berbeda.

    Sebaliknya, kita harus berbicara secara terbuka satu sama lain tentang preferensi kita, terutama dalam hal metode komunikasi. Manajer dari berbagai generasi dapat memberi contoh dengan membantu anggota tim mereka menemukan cara untuk berkomunikasi dengan jelas satu sama lain. Jika kita memiliki bawahan langsung yang lebih tua dan lebih muda dari kita, tanyakan kepada karyawan kita interaksi seperti apa yang paling nyaman bagi mereka.

    Belajar dari dua CEO beda generasi di atas: CEO dari generasi Baby Boomers memiliki pengalaman kerja puluhan tahun dan memahami bahwa berbicara dengan pelanggan dan kolega melalui telepon dan bertemu dengan mereka secara langsung adalah penting saat membangun hubungan yang menarik dan tahan lama. Namun, CEO dari generasi milenial menghabiskan tahun-tahun formatifnya berkomunikasi melalui pesan teks dan email. Nampaknya formatnya lebih cepat dan efisien (mirip dengan 65% Generasi Z).

    Sama seperti tidak ada gaya kerja yang benar atau salah, tidak ada metode komunikasi yang benar atau salah. Tunjukkan bawahan langsung kita bahwa kita bersedia keluar dari zona nyaman. Kompromi adalah kunci untuk menemukan jalan tengah yang tidak menghakimi, jadi cobalah menganggap perbedaan kita sebagai kesempatan belajar.

    Misalnya, kita dapat beralih di antara metode komunikasi bergantung pada tujuan percakapan. Bertukar email untuk pendekatan yang lebih cepat dan lebih efisien, tetapi bertemu langsung saat percakapan membutuhkan keintiman tambahan dan pembangunan hubungan.

    Ketiga, hormat pada batasan.
    Representasi yang lebih luas dari kelompok usia di tempat kerja telah memperkenalkan keyakinan dan nilai baru ke dalam kantor. Topik tabu di masa lalu, seperti keragaman dan inklusi, kesehatan mental, dan peran gender, menjadi banyak dibahas dalam lingkungan profesional.

    Sama seperti ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, disabilitas, kelas, kepribadian, dan latar belakang pendidikan seseorang akan memengaruhi seberapa nyaman mereka membicarakan topik-topik ini di tempat kerja, begitu pula usia dan asuhan mereka.

    Proresor Gerhardt menjelaskan bahwa penelitian telah menunjukkan generasi muda cenderung lebih progresif mengenai masalah sosial, serta lebih nyaman membicarakan topik yang sebelumnya dianggap tabu di tempat kerja. Ia menekankan bahwa Kesediaan karyawan yang lebih muda untuk menerima dan menormalkan diskusi tentang topik-topik penting ini menghasilkan penurunan stigma yang secara tradisional melingkupi pembicaraan tentang mereka di tempat kerja.

    Penting juga untuk diingat bahwa perasaan karyawan kita tentang topik ini akan bervariasi.

    Tidak perlu setiap orang setuju, tetapi penting bagi mereka untuk memahami mengapa organisasi memberi nilai tinggi pada masalah yang sedang dibahas.

    Prestasi paling menantang yang mungkin kita hadapi sebagai manajer dari karyawan yang lebih tua dan lebih muda akan melibatkan penghormatan terhadap berbagai batasan dari masing-masing anggota tim kita sambil menjunjung tinggi nilai, batasan, dan aturan dasar kita sendiri.

    Untuk menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa bersedia untuk meminta bantuan, membagikan ide terbaik mereka, dan mengambil risiko, kita perlu memprioritaskan keamanan psikologis. Orang-orang datang berinteraksi dengan pengalaman berbeda dan berbagai tingkat keinginan untuk terlibat. Peran manajer adalah untuk memberikan kesempatan berkelanjutan untuk melakukan diskusi ini — bukan untuk memaksa orang ke sudut pandang tertentu.

    Saat menavigasi topik yang menantang semacam itu, akan sangat membantu bagi manajer untuk mendasari percakapan dalam diskusi tentang bagaimana masalah tersebut relevan dengan nilai-nilai organisasi dan misi keseluruhan.

    Misalnya, dalam hal keragaman dan inklusi, ada perspektif hukum, moral, dan strategis yang penting untuk dipertimbangkan. Tidak perlu bagi setiap orang dalam organisasi untuk menyetujui atau berbagi prioritas yang sama, tetapi penting bagi mereka untuk memahami mengapa organisasi memberi nilai tinggi pada masalah yang sedang dibahas.

    Kita juga perlu memfasilitasi diskusi tentang norma-norma bersama yang paling sesuai untuk tim kita – daripada mengabaikan cara yang selalu dilakukan atau mendukung preferensi satu kelompok usia di atas yang lain. Kita pun bisa mencoba menciptakan perubahan di tingkat organisasi dengan berbicara kepada Manajemen tentang mengembangkan inisiatif yang mendorong generasi yang lebih tua dan lebih muda untuk terhubung dan berbagi keahlian mereka, seperti program mentoring bersama.

    Keempat, tidak tebang pilih atau “pilih kasih”.
    Untuk menciptakan budaya di mana orang dari segala usia dapat belajar dari satu sama lain, para manajer menciptakan proses pengambilan keputusan yang inklusif yang mendorong dialog terbuka.

    Selama rapat, lakukan upaya ekstra untuk memastikan setiap suara didengar dan dipertimbangkan. Meskipun ini biasanya merupakan praktik yang baik, tim multi-generasi terkemuka tersebut mungkin menghadapi tantangan unik. Misalnya, satu penelitian terhadap lebih dari 6.000 milenial mengungkapkan bahwa 50% peserta mempertanyakan kemampuan mereka untuk sukses di tempat kerja, membuat mereka dua kali lebih khawatir tentang keahlian mereka daripada generasi yang lebih tua.

    Menurut pengalaman saya sebagai milenial, ketakutan ini dapat menimbulkan keinginan untuk membuktikan diri, terutama dalam pengaturan kelompok. Saya dan teman-teman saya sering membagikan pendapat dan perspektif kita tanpa harus diminta. Saya juga melihat keinginan kita untuk didengar disalahtafsirkan sebagai kesombongan oleh pekerja dan manajer yang lebih berpengalaman. Anggota generasi yang lebih tua terkadang cepat mengabaikan kita, dengan alasan kurangnya keahlian kita.

    Alih-alih mengabadikan dinamika “kita versus mereka” di tempat kerja, mari kita ubah narasinya ke depan.

    Jika kita melihat pola-pola ini terungkap dalam pertemuan kita sendiri, atau kita melihat diri kita melakukan bias ini, ubahlah pendekatannya. Ketika kita menjadi frustrasi dengan karyawan kita yang lebih muda karena blak-blakan, nikmati saja prosesnya. Alih-alih menutupnya, beri mereka ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka dengan hormat dengan mengajukan pertanyaan dan mendorong mereka untuk menimbang.
    Demikian pula, jika karyawan yang lebih tua dengan cepat memberhentikan anggota tim yang lebih muda, atasi dengan menyarankan anggota tim yang lebih muda untuk angkat bicara.

    Tindak lanjuti anggota tim yang lebih tua secara personal dan ingatkan mereka bahwa meskipun seseorang memiliki sedikit pengalaman, wawasan mereka diterima dan berharga. Nasihat ini berlaku dua arah. Jika kita melihat anggota tim yang lebih muda membuat asumsi tentang kolega mereka yang lebih berpengalaman, minta mereka untuk mengubah perilakunya. Ingatkan tim kita bahwa keragaman pemikiran membantu meningkatkan skala wawasan baru dan memungkinkan organisasi membuat keputusan yang lebih baik dan menyelesaikan tugas dengan lebih sukses.

    Ketika kita beralih dari pola pikir bahwa interaksi generasi adalah proposisi “menang-kalah”, muncul kemungkinan bahwa kolaborasi antargenerasi dapat menghasilkan pembelajaran dan kesuksesan yang lebih besar. Karena setiap generasi memiliki sesuatu untuk diajarkan dan sesuatu untuk dipelajari. Kita semua memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk dibagikan.

    Ada cara untuk menjembatani kesenjangan generasi. Itu dimulai dengan komunikasi, kerendahan hati, dan rasa ingin tahu yang lebih dalam tentang kekuatan dan keterbatasan anggota tim dan diri kita sendiri. Itu dimulai dengan penerimaan bahwa kita pada dasarnya adalah orang yang berbeda dengan wawasan yang sama berharganya untuk ditawarkan.

  • Seni “Bersaing” dengan Diri Sendiri

    Sangat mudah bagi kita untuk membandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Apalagi, kini kita hidup di abad digital yang memungkinkan kita dapat saling “memantau” kemajuan orang lain melalui akun media sosial.
    Padahal, hidup bukanlah tentang berkompetisi atau mengalahkan orang lain.
    Ya, kita cukup membandingkan diri sendiri kita hari ini dengan kemarin. Apakah ada kemajuan? Apakah ada perubahan yang lebih baik?
    Pasalnya, gol setiap orang bersifat unik, membanding-bandingkan pencapaian kita justru tidak membuat kita lebih baik. Melainkan membuat kita makin terpuruk.
    Agar bisa memiliki kesehatan mental sekaligus mencapai kebahagiaan sejati, kita hanya perlu bercermin dan belajar bagaimana bersaing dengan diri sendiri.
    Berikut adalah sejumlah manfaat untuk “bersaing” dengan diri sendiri sebagai upaya kita mengejar apa yang disebut dengan kesuksesan — dan lebih penting lagi menggapi kebahagiaan sejati.
    Pertama, menghargai kemajuan diri sendiri. Menghargai pencapaian seseorang atau kesuksesan yang mereka miliki sering kali diselimuti rasa iri atau malah membuatkan diri kita “down”. Saat kita (merasa) bersaing dengan orang lain, kita akan berhenti menghargai kemajuan mereka, dan akan sulit bagi kita untuk mengenali dan menghargai upaya mereka.

    Persaingan yang sehat itu baik ketika kita belajar dari orang lain, tetapi ketika kita terlalu berfokus pada persaingan, kita akan mulai membandingkan diri kita dengan orang lain dan berhenti memandang upaya mereka sebagai keuntungan bagi mereka dalam mencapai nilai-nilai mereka. Seseorang yang tetap setia pada diri mereka sendiri dan berjuang untuk apa yang mereka yakini patut dirayakan.

    Kedua, menjaga hubungan baik. Ketika kita terlalu sibuk dengan gagasan untuk mengalahkan orang lain, sulit untuk membangun hubungan yang berkualitas dengan mereka. Jika kita akhirnya bisa bekerja sama dengan orang-orang dan fokus belajar satu sama lain, kita bisa berbagi pengetahuan dan berkembang.

    Alih-alih fokus untuk berkompetisi, lebih baik kita fokus untuk bisa berkolaborasi.

    Ketiga, menikmati proses. Kita mungkin adalah masyarakat yang sangat berorientasi pada hasil akhir. Orang suka berbicara tentang pencapaian mereka dan pencapaian yang mereka dapatkan. Apa yang benar-benar layak untuk dirangkul di sepanjang jalan adalah pelatihan dan pengetahuan yang kita kumpulkan saat kita mencapai suatu tujuan.

    Memfokuskan kembali pikiran kita untuk merangkul kekuatan dan pengetahuan yang telah kita bangun lebih penting daripada melihat hasil akhir.

    Contoh yang bagus untuk hal ini mungkin seseorang di tim sepak bola. Kita selalu mengharapkan seseorang untuk menggambarkan pencapaian mereka di tim sepak bola sebagai trofi dan kejuaraan yang telah mereka menangkan. Namun, seseorang yang telah bermain sepak bola selama bertahun-tahun dan tidak pernah memenangkan kejuaraan juga memiliki hak untuk berbicara tentang pengalaman yang mereka miliki, bagaimana mereka belajar tentang kerja tim, bagaimana mereka menjadi lebih kuat, dan bagaimana mereka membuat beberapa permainan hebat selama menggunakan keterampilan mereka.

    Keempat, fokus pada kekuatan diri sendiri. Ketika kita menghabiskan waktu untuk bersaing dengan diri kita sendiri daripada terus-menerus mengejar persaingan, kita dapat mempelajari keterampilan apa yang benar-benar berharga bagi kita dan apa yang kita kuasai. Mempelajari keterampilan baru memang penting, tetapi ketika kita terus-menerus bersaing dengan orang lain yang mungkin sudah memiliki keahlian dalam keterampilan itu, kita akan merasa frustrasi.

    Kita harus meningkatkan bidang yang kita kuasai dan fokus pada keterampilan baru yang dapat kita bangun tanpa menjadi frustrasi dalam mencapai tingkat ahli itu. Kita bisa saja berkompetisi dalam “keterampilan yang salah” hanya karena keterampilan itu berharga bagi orang lain. Asah keterampilan yang ingin kita tingkatkan sendiri.

    Kelima, meningkatkan rasa syukur. Akan selalu ada seseorang yang lebih baik dari kita. Saat kita menerima kenyataan bahwa akan selalu ada seseorang yang lebih baik dari kita, kita dapat berusaha untuk merasa lebih baik tentang peningkatan yang kita buat dari waktu ke waktu.

    Intinya, kita perlu menyadari bahwa setiap orang memperjuangkan apa yang menurutnya paling penting atau membahagiakan. Dan tentunya gol, target atau apa yang kita kejar dengan orang lain tidak pernah sama.
    Untuk menjaga hidup agar terus waras di abad ini, kita perlu meningkatkan kesadaran diri. Bahwa layaknya tata surya, setiap orang memiliki “orbit” masing-masing. Setiap individu memiliki “waktu suksesnya” sendiri-sendiri.
    Pada akhirnya, saya jadi teringat petuah dari Rando Kim yang merupakan penulis buku laris sekaligus profesor di Korea Selatan, bahwa:
    “Setiap bunga akan mekar ketika saatnya tiba; forsythia, kamelia, dan bunga-bunga lain. Bebungaan itu tahu kapan mereka akan mekar; tidak seperti kebanyakan dari kita yang selalu ingin mendahului yang lain. Apakah kamu merasa tertinggal dari teman-temanmu? Apakah kamu merasa telah menyia-nyiakan waktu sementara teman-temanmu mulai melangkah menuju kesuksesan? Jika kamu berpikir demikian, ingatlah bahwa kamu memiliki masa mekarmu sendiri, begitu juga dengan teman-temanmu. Musimmu belum datang. Namun, ia pasti akan datang ketika kuncupmu terbuka. Mungkin kuncup itu mekar lebih lama dari yang lain, tetapi ketika sampai pada waktunya, kamu akan mekar dengan begitu indah dan menawan seperti bebungaan lain yang telah mekar sebelum dirimu. Jadi, angkatlah kepalamu dan bersiaplah menyambut musimmu. Ingat, kamu begitu menakjubkan!”
  • Lebih dari Sekadar Menahan Lapar

    Bagi saudara-saudara kita umat Islam, Ramadhan senantiasa ditunggu-tunggu. Masjid maupun surau lebih ramai dari biasanya. Tradisi berbagai takjil, sahur on the road hingga buka bersama-sama bergema di mana-mana. Pedagang musiman kebanjiran rezeki.
    Bagi sebagian umat, puasa tidak lebih dari sekadar menjalankan kewajiban. Bagi sebagian lainnya, ibadah di bulan suci ini dimanfaatkan untuk memaksimalkan diet. Yang lainnya memaksimalkan untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Apapun niatnya, puasa memiliki segudang manfaat.
    Puasa tidak sekadar ritual ibadah tahunan masyarakat Islam. Namun temuan riset dari berbagai pendekatan sains menemukan fakta-fakta yang mengejutkan juga yang mungkin tidak pernah kita sadari.
    Berikut sejumlah manfaat puasa dilihat dari berbagai sudut padang.
    Pertama, mengendalikan keinginan. Puasa, pada dasarnya, adalah membantu kita mengendalikan keinginan atau hawa nafsu. Tidak sekadar menunda waktu untuk makan, minum, berhubungan badan bagi pasutri, atau yang lainnya.
    Kecanduan yang merusak dan perilaku sabotase lainnya itu begitu merusak. Dan semuanya perlahan tapi pasti menghancurkan hidup kita.
    Setiap keputusan yang kita buat adalah penting. Jika kita membenarkan keputusan yang buruk dari waktu ke waktu, kita bisa terhalang untuk membuat kebiasaan berkualitas. Lebih tepatnya, perilaku buruk yang konsisten sebenarnya adalah cerminan dari kebiasaan buruk.
    Dan kebiasaan buruk adalah jalur cepat menuju kehidupan yang buruk — yang akarnya adalah kurangnya pengendalian diri.

    Jika kita bahkan tidak dapat mengendalikan diri sendiri, apa yang dapat kita kendalikan?

    Tetapi saat kita berpuasa, kita secara sadar memilih untuk tidak makan — bahkan jika kita merasa lapar — untuk sesuatu yang lain. Dan tidak ada yang lebih mendasar untuk bertahan hidup selain makanan. Akibatnya, ketika kita belajar mengendalikan makan kita sendiri, kita mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan kecanduan yang kurang mendasar dan seringkali merusak.

    Puasa sejauh ini (mungkin) merupakan latihan kemauan paling canggih yang tersedia. Jika kita “bijak” berpuasa, kita bisa belajar mengendalikan setiap aspek lain dalam hidup . Jika dapat mengatasi kecanduan apa pun, tidak peduli seberapa dalam tertanam. Secara medis, puasa telah terbukti dengan cepat menghilangkan keinginan akan nikotin, alkohol, kafein, dan obat-obatan lainnya.

    Kedua, mendongkrak kepercayaan diri. Secara neurokimia, puasa meningkatkan kadar katekolamin — seperti dopamin — yang meningkatkan kebahagiaan dan kepercayaan diri sekaligus mengurangi kecemasan.
    Tapi ini lebih sederhana dari itu. Tanpa pengendalian diri, kita tidak dapat memiliki kepercayaan diri. Memang, kepercayaan diri mencerminkan pandangan kita tentang kemampuan kita sendiri. Dan jika kita terus-menerus melakukan sabotase diri, alih-alih percaya diri, kita akan mengalami konflik internal.

    Konflik internal merusak kemauan kita. Ini melelahkan dan membuat kita terus-menerus bersikap defensif  —  baik terhadap orang lain maupun diri Anda sendiri.

    Tetapi ketika kita melihat diri kita bertindak dengan cara yang kita inginkan, kepercayaan diri kita meningkat.  Kita mengembangkan kepercayaan yang lebih besar pada kemampuan kita sendiri, dan ini mendorong kita untuk mengambil tujuan, risiko, dan tantangan yang lebih besar di masa depan. Akhirnya, kita mengembangkan self-efficacy yang memungkinkan kita mengendalikan takdir dan masa depan kita.

    Ketiga, menyehatkan fungsi otak.  Puasa sebenarnya meningkatkan jumlah sel otak kita. Berikut adalah daftar singkat dari beberapa manfaat kognitif puasa yang didukung secara ilmiah:
    · Puasa jangka pendek menginduksi autophagy neuronal yang mendalam (misalnya, “makan sendiri,”), yang merupakan cara sel mendaur ulang bahan limbah, menurunkan proses pemborosan, dan memperbaiki diri. Kesehatan otak bergantung pada autofagi saraf. Studi lain menunjukkan bahwa gangguan autofagi saraf memicu degenerasi saraf. Sederhananya, tanpa proses autofagi, otak tidak berkembang dengan baik dan tidak berfungsi secara optimal.

    · Puasa meningkatkan kadar faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (brain-derived neurotrophic factor atau BDNF), protein yang berinteraksi dengan neuron di hippocampus, korteks, dan otak depan basal (bagian otak yang mengatur memori, pembelajaran, dan fungsi kognitif yang lebih tinggi) . BDNF membantu neuron yang ada bertahan hidup sambil merangsang pertumbuhan neuron baru dan pengembangan konektivitas neuro-sinaptik. Tingkat BDNF yang rendah terkait dengan Alzheimer, kehilangan ingatan, dan gangguan kognitif.

    · Temuan riset menunjukkan bahwa BDNF rendah berhubungan dengan depresi. Memang, antidepresan meningkatkan kadar BDNF. Dengan demikian, banyak dokter percaya puasa dapat mengurangi depresi.

    · Puasa mengurangi kemungkinan terkena stroke.

    · Puasa mengurangi stres oksidatif, disfungsi mitokondria, dan penurunan kognitif yang biasanya diakibatkan oleh trauma otak. Penelitian telah menemukan bahwa puasa 24 jam (tetapi bukan 48 jam) melindungi saraf terhadap trauma pada otak seperti gegar otak.

    · Puasa mengurangi stressor kognitif yang menyebabkan penuaan, penurunan kognitif, dan penyakit kronis.

    · Puasa mengurangi risiko kanker.

    · Puasa meningkatkan harapan hidup.

    · Puasa meningkatkan pembelajaran dan memori.

    · Puasa meningkatkan kemampuan kita untuk fokus dan berkonsentrasi.

    Jika kita pernah berpuasa sebelumnya, kita dapat membuktikan manfaat mental radikal dari puasa. Jika belum, silakan mulai menjalankan ibadah puasa secara rutin. Selama beberapa waktu, kita akan dikejutkan oleh hasil kognitif.

    Keempat, membantu menemukan tujuan hidup. Dengan peningkatan kejernihan dan fungsi kognitif yang dibawa oleh puasa, lebih mudah untuk menganalisis kebiasaan buruk kita dan membuat keputusan penting tentang arah hidup kita.
    Saat kita melepaskan diri dari kebisingan kecanduan  — bahkan kecanduan makanan untuk sementara waktu — kita dapat terdorong untuk menemukan kebenaran hakiki.

    Saat berpuasa, kita akan segera menyadari ketidaksesuaian dalam hidup kita. Kebiasaan buruk kita, kurangnya organisasi dan niat, dan jalan yang salah arah diletakkan di bawah mikroskop kognitif dan spiritual.

    Dengan peningkatan perspektif dan kemauan, kita dapat menggunakan puasa sebagai sarana untuk “melepaskan” kecanduan, perilaku, hubungan, masa lalu — apa pun yang kita inginkan — memulai kembali, dan bergerak maju. Secara fisik, kognitif, emosional, dan spiritual, puasa secara harfiah adalah pengaturan ulang. Ini memungkinkan tubuh kita untuk mengejar fungsi pencernaan yang dibutuhkan yang biasanya tertunda karena makan terus-menerus. Tetapi itu juga membantu kita mengatur ulang dengan cara lain.

    Puasa dapat menjadi pemicu kita untuk menjaga perspektif yang benar tentang apa yang paling penting dalam hidup kita, dan itu membantu memastikan kita tetap berada di jalur yang kita inginkan.

    Kelima, menjaga kesehatan. Sebagai masyarakat, otak kita telah salah dilatih tentang sifat sebenarnya dari rasa lapar, secara kimiawi menipu kita agar merasa lapar setiap 2–4 jam. Tapi ini sebenarnya menggelikan. Secara alami, tubuh kita tidak akan merasa lapar selama 12-24 jam setelah makan.
    Penelitian telah menunjukkan bahwa orang gemuk tidak menerima sinyal yang benar untuk memberi tahu mereka bahwa mereka kenyang karena pola makan yang berlebihan. Zat kimia saraf dan hormon mereka rusak karena pola makan yang tidak benar.

    Saat kita berpuasa, tubuh kita mengatur pelepasan hormon yang benar, sehingga kita bisa merasakan rasa lapar yang sesungguhnya. Selanjutnya, dengan aliran hormon yang tepat, kita akan lebih cepat kenyang.

    Manfaat kesehatan puasa lainnya yang didukung secara ilmiah termasuk:
    · Puasa dapat membalikkan gangguan “pesta makan”, dan membantu mereka yang merasa sulit untuk menetapkan pola makan yang benar karena pekerjaan dan prioritas lainnya.
    · Puasa dapat membersihkan kulit kita dari jerawat, memungkinkan kitaa untuk memiliki “aura” yang sehat.
    · Puasa “memulai kembali” sistem kekebalan tubuh kita dari kerusakan akibat radikal bebas, mengatur kondisi peradangan dalam tubuh dan membunuh pembentukan sel kanker.
    · Puasa menjaga tingkat tekanan darah.
    · Puasa menjaga kadar kolesterol.
    · Diabetes tipe 2 telah menjadi hal biasa dalam budaya kita yang tidak sehat. Puasa telah terbukti sangat mendukung resistensi insulin dan menyebabkan penurunan kadar gula darah yang mengesankan.
    · Demikian pula, tingkat darah insulin turun secara signifikan, yang memfasilitasi pembakaran lemak.
    · Tingkat darah hormon pertumbuhan dapat meningkat sebanyak 5X. Tingkat hormon pertumbuhan yang lebih tinggi membantu pembakaran lemak dan pembentukan otot, dan memiliki banyak manfaat lainnya.

    Fungsi tubuh kita tidak hanya akan meningkat saat kita berpuasa, tetapi pengambilan keputusan kita mengenai kesehatan dan kebugaran kita akan meningkat.

    Keenam, menguatkan keterampilan motorik dan ketelitian. Penelitian telah menemukan bahwa penurunan kemampuan kognitif dan motorik yang berkaitan dengan usia (seperti keseimbangan fisik) dapat dikurangi dengan puasa.
    Ketujuh, memperbaiki kualitas tidur. Jika kita sering bepergian atau memiliki siklus tidur yang kurang baik, penelitian menemukan bahwa puasa dapat mengatur ulang siklus tidur kita. Penelitian lain menemukan bahwa puasa dapat meningkatkan kualitas tidur kita secara keseluruhan.
    Kedelapan, meningkatkan produktivitas. Salah satu penulis best-seller keturunan India Robin Sharma pernah mengatakan, “Jika Anda ingin menyelesaikan lebih banyak dalam hidup, makanlah lebih sedikit.”
    Manusia bersifat holistik. Saat tubuh kita terlalu kenyang, terutama pada makanan olahan, tingkat energi kita rendah dan pikiran kita menjadi “tumpul”. Sebaliknya, penelitian di Yale menemukan bahwa perut kosong membantu kita berpikir dan fokus lebih baik.

    Dalam keadaan berpuasa, pikiran kita bisa menyempit pada pekerjaan kita. Pasalnya amplifikasi kognitif dan sensual dari puasa memaksa kita untuk fokus. Dengan kata lain, puasa membantu kita hidup menjadi lebih produktif.

    Kesembilan, membuat emosi stabil.  Puasa menstabilkan emosi kita. Ini terjadi dengan melepaskan diri dari ketergantungan emosional pada makanan, selain menghilangkan makanan yang merangsang secara berlebihan seperti kafein, gula olahan, atau asam lemak trans — yang semuanya berdampak negatif pada emosi kita.
    Puasa juga dapat mengatur ulang pola emosi negatif. Kita semua terkurung dalam siklus emosional yang aneh, dan puasa dapat membebaskan kita darinya — memungkinkan kita mengalami dunia dengan cara yang lebih sehat. Penting juga untuk dicatat bahwa emosi kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan kita  —  dan puasa memungkinkan kita untuk melihat ketidaksesuaian hidup kita dengan lebih jelas  —  sehingga menantang kita untuk membentuk kembali lingkungan kita.
    Kesepuluh, membantu tubuh “berenergi”. Puasa memberi kita perasaan “ringan” fisik, yang memberikan dorongan energi. Alasan lain lonjakan energi ini adalah karena, dalam pola makan normal, tubuh kita umumnya mengubah makanan melalui karbohidrat dan gula. Tapi puasa melatih tubuh kita untuk mengubah energi dari lemak, sehingga meningkatkan tingkat energi alami kita.
    Kesebelas, membantu diet.  Puasa memfasilitasi penurunan berat badan 3–8 persen dari total massa tubuh hanya dalam beberapa minggu. Selama jangka waktu yang sama, kita bisa kehilangan 4–7 persen lingkar pinggang kita.
    Puasa menurunkan kadar insulin, sekaligus meningkatkan kadar hormon pertumbuhan dan peningkatan jumlah norepinefrin (noradrenalin) — koktail hormonal yang memecah lemak tubuh dan memungkinkan penggunaannya untuk energi.

    Akibatnya, puasa sebenarnya meningkatkan laju metabolisme kita sebesar 4–14 persen, membantu kita membakar lebih banyak kalori.

    Kedua belas, meningkatkan kesadaran diri. Puasa membuat tingkat kesadaran diri kita membaik. Pengalaman saya dengan puasa bersifat fisik, emosional, kognitif, dan spiritual. Dan saya memanfaatkan puasa untuk semua nilainya.
    Jika kita sedang mencari terobosan mental dan spiritual  — atau sekadar peningkatan aliran kecerdasan — puasa teratur akan membantu kita dalam hal ini.
    Ketiga belas, memperbaiki penampilan. Puasa membersihkan kulit dan memutihkan mata. Adalah umum untuk melihat jerawat bersih saat berpuasa; dan bagian putih mata tidak pernah terlihat sejernih dan seterang setelah berpuasa.
    Alasannya adalah pelepasan hormon pertumbuhan manusia, yang diketahui dapat membuat kulit kita terlihat lebih muda dan lebih cerah.Tapi itu bahkan lebih sederhana dari itu. Saat kita menjalani kehidupan yang mengendalikan diri, kesehatan dan kepercayaan diri kita bersinar.
    Keempat belas, membantu proses pembelajaran.  Penelitian menegaskan bahwa berpuasa meningkatkan fokus, memori, dan kemampuan untuk memahami informasi. Sederhananya, puasa meningkatkan efisiensi dan efektivitas otak. Sehingga hal itu bisa membuat proses pembelajaran kita menjadi efektif.
    Di luar rasa, puasa juga meningkatkan ketajaman semua indera kita, termasuk pendengaran dan penciuman, dan terkadang bahkan penglihatan.
    Sebenarnya, itu bisa menjadi pengalaman yang mengejutkan ketika fungsi otak kita meningkat secara radikal selama puasa. Keterampilan mendengarkan kita meningkat, dan kita fokus pada setiap kata yang diucapkan orang lain. Pemikiran kita diasah dan kemampuan kita untuk merespons dengan cepat dan akurat begitu kuat.

    Secara keseluruhan, puasa menjadikan diri kita jauh lebih baik dalam segala aspek. Selamat menjalan ibadah puasa Ramadhan 1444 H bagi yang menjalankan.