Kadang kita percaya banget sama kalimat ini:
“Ah, personal branding itu cuma buat influencer.”
“Gue mah orang biasa, siapa juga yang mau peduli?”
Tapi makin gue pikir, makin kerasa: justru karena ngerasa “biasa”, kita perlu ngerti siapa diri kita — sebelum dunia menentukan versi palsunya untuk kita.
Kalimat afirmasi terbalik yang sering kita ucapin tanpa sadar adalah:
Padahal, ini bukan kerendahan hati. Ini bentuk lain dari minder yang dikemas manis.
Dan gue dulu salah satu penganutnya.
Dulu gue percaya bahwa personal branding itu kegiatan narsis yang dilakukan orang-orang haus panggung. Sampai suatu hari gue baca You Are The Brand karya Mike Kim yang ngejewer pikiran gue.
Mike Kim bilang:
Dan itu bukan soal jualan barang.
Itu tentang trust.
Tentang kesan pertama.
Tentang bagaimana orang mengingat nama kita ketika peluang datang.
Di titik itu gue sadar:
personal branding bukan pamer; personal branding adalah kejelasan.
Kejelasan tentang siapa diri kita, apa nilai kita, dan bagaimana kita bisa bantu orang lain.
Lama-lama, gue semakin ngerti:
Orang bukan butuh kita jadi keren. Mereka butuh kita jadi jelas.
Bayangin dua restoran berdampingan.
Yang pertama kelihatan muram:
Nggak ada signage, nggak ada menu jelas, kaca agak buram, nggak keliatan ada kehidupan di dalamnya.
Yang kedua terang, bersih, ada tulisan jelas:
“Spesialis Ayam Geprek Level Pedas Sesuai Mood.”
Pertanyaannya:
Lo milih masuk yang mana?
Semua orang, termasuk lo dan gue, akan pilih yang kedua.
Bukan karena yang pertama jelek.
Bukan karena masakannya nggak enak.
Tapi karena kita nggak ngerti apa yang dia tawarkan.
Nah, sekarang jujur aja:
Dalam kehidupan profesional, kita itu restoran nomor berapa?
Kalau profil kita, gaya komunikasi kita, atau kehadiran digital kita nggak kasih sinyal yang jelas…
orang nggak akan masuk.
Bukan karena kita nggak punya kemampuan;
tapi karena mereka nggak tahu apa yang bisa kita bantu.
Dan inilah inti besar dari You Are The Brand:
branding itu bukan soal keliatan keren, tapi soal memudahkan orang memahami kita.
Pelajaran yang Gue Dapat, Disajikan dengan Bahasa Manusia
Di bawah ini adalah pelajaran-pelajaran penting dari buku Mike Kim yang gue cerna selama perjalanan gue sebagai penulis, konsultan, dan trainer.
Gue sajikan dengan bahasa yang bisa langsung kamu praktekkan, bukan teori doang.
1. “Your Brand is an Identity, Not a Costume.”
(Brand itu identitas, bukan kostum.)
Banyak orang mikir personal brand itu topeng.
Padahal versi Mike Kim:
Brand itu cermin — bukan topeng.
Brand bukan dibuat-buat; brand adalah kejelasan dari apa yang emang sudah ada.
Pertanyaan kunci yang dia sarankan:
-
Apa yang orang selalu minta bantuan dari kamu?
-
Apa yang bikin kamu kesal (biasanya itu tanda nilai yang penting buat kamu)?
-
Apa hal yang kamu bisa jelasin dalam 5 menit tapi orang lain butuh 2 jam?
Contoh aplikatif:
Temen gue si Riko. Dia kerja di IT, tapi tiap ada teman curhat soal karier, dia selalu jago banget ngasih arahan.
Setelah dia sadar ini bagian dari dirinya, dia mulai nulis konten soal career clarity. Sekarang?
Dia udah sering diminta jadi pembicara mentoring karier.
Brand dia bukan dibentuk dari keahlian “dibikin-bikin”, tapi dari identitas yang udah ada.
2. “People Follow Stories, Not Skills.”
Mike Kim percaya bahwa skill itu penting, tapi cerita itu penggeraknya.
Gue buktiin sendiri.
Dulu waktu gue cuma share tips nulis, engagement biasa aja.
Tapi ketika gue mulai cerita tentang pengalaman gue di-PHK, burnout, salah ambil klien, salah bikin keputusan, atau momen-momen rapuh gue…
Orang tiba-tiba bilang:
“Gue ngerasa relate, gue pernah ngerasain itu juga.”
Ternyata cerita kita itu pintu masuk empati.
Dan empati adalah mata uang tertinggi dalam branding.
Cara aplikasi:
Mulai kumpulin story bank.
Setiap kejadian hidup, catat:
-
Apa yang kejadian
-
Apa yang lo rasain
-
Apa pelajarannya
-
Bagaimana itu hubungannya dengan value lo
Cerita bukan buat melebih-lebihkan diri. Cerita adalah jembatan supaya orang ngerti siapa lo sebenarnya.
3. “Clarity > Creativity.”
Ini bagian yang keras tapi penting.
Branding yang bagus itu bukan (hanya) kreatif, tapi jelas.
Mike Kim bahkan nulis:
“If you confuse people, you lose people.”
Gue pernah ngalamin fase “multi-hyphenate syndrome”:
Writer – Trainer – Strategist – Communication Consultant – Transformation Advisor – Creative Director – Content Specialist – Speaker – Podcast Host – Business Mentor.
Orang yang baca bisa pusing duluan.
Karena gue sendiri nggak jelas, akhirnya orang juga ikut nggak jelas.
Setelah baca You Are The Brand, gue simplifikasi menjadi:
Titik.
Lebih sederhana.
Lebih mudah diingat.
Aplikasi untuk lo:
Tanya ke diri sendiri:
“Kalau gue bisa ditemani satu kata, kata apa itu?”
(Writer? Designer? Problem Solver? Connector? Storyteller?)
Kejelasan bikin kita bersinar.
4. Formula 8-P dari Mike Kim (disederhanakan versi gue)
Ini bagian yang krusial, karena Mike Kim bikin framework yang sangat actionable.
Gue ringkas jadi gaya ngobrol:
1. Purpose: why you do what you do
2. People: siapa audiens utama lo
3. Platform: tempat lo hadir
4. Positioning: lo beda karena apa
5. Product: apa value yang lo kasih
6. Promotion: cara lo bikin orang tau
7. Partnership: kolaborasi yang bikin naik kelas
8. Proposition: janji lo yang paling penting
Framework ini bisa jadi kerangka hidup—bukan cuma bisnis.
Bahkan buat hubungan pertemanan dan percintaan pun bisa masuk.
5. “Be the Guide, Not the Hero.”
Ini salah satu konsep yang bikin gue diam beberapa menit.
Kata Mike Kim:
“People don’t want a hero. They want someone who helps them become the hero.”
Gue langsung keinget masa-masa awal jadi penulis dan trainer.
Kadang tanpa sadar kita pengen terlihat pintar, paling keren, paling tau banyak.
Padahal klien atau audiens nggak butuh kita jadi superhero — mereka butuh kita jadi pembuka jalan.
Contoh aplikatif:
Kalau lo designer:
Jangan jual “keahlian desain”.
Jual “gimana desain lo bikin bisnis mereka keliatan profesional dan dipercaya.”
Gue pun ubah pendekatan:
Dulu gue jual “jasa menulis”.
Sekarang gue jual “cara bikin orang lain memahami pesanmu dengan lebih kuat.”
Be the guide.
Not the hero.
6. “Your Brand Should Feel Like You.”
Ada kalimat sederhana dari Mike Kim tapi ngena banget:
Gue pernah ngerasain ini.
Ketika gue bikin persona yang “rapi banget”, “serius banget”, “profesional banget”, lama-lama gue capek.
Karena itu bukan gue.
Sejak itu gue mulai santai aja.
Nggak takut pakai kata-kata gaul.
Nggak takut nunjukin cerita vulnerable.
Nggak takut bilang “gue belajar” bukan “gue tau segalanya”.
Dan anehnya, justru sejak jadi diri sendiri, followers gue naik.
Engagement lebih hangat.
Koneksi makin dalam.
Aplikasi:
Coba cek konten lo.
Kalau lo ketemu orang offline dan orang itu bilang
“Loh kok beda banget sama Instagram/LinkedIn?”
Itu tanda ada jarak antara brand dengan diri lo.
Potong jaraknya.
7. “Show Up Consistently—Even When It’s Quiet.”
Ini pelajaran paling pedih tapi paling penting.
Kesuksesan branding bukan datang dari viral, tapi dari konsistensi sepi.
Gue butuh 3 tahun buat akhirnya ngerasain momentum di dunia penulisan konten dan storytelling.
Selama 3 tahun itu, banyak banget hari di mana engagement cuma 5 likes.
Banyak konten gue yang tenggelam.
Banyak momen gue ngerasa,
“Ngapain sih gue nulis tiap hari?”
Tapi lama-lama, orang mulai percaya.
Orang mulai notice.
Orang mulai refer nama gue.
Kenapa?
Karena gue muncul terus.
Di timeline, di DM, di komentar, di percakapan.
Dan ini sesuai pesan Mike Kim:
“Action builds clarity; clarity builds confidence; confidence builds influence.”
Tiap nulis satu postingan, satu email, satu DM — itulah batu bata branding lo.
8. “Your Brand Is a Promise.”
Brand bukan logo.
Brand bukan fonts.
Brand bukan tone-of-voice doang.
Janji bahwa kalau orang kerja atau terhubung sama lo, mereka dapat pengalaman tertentu.
Contoh:
-
Kalau kerja sama gue, mereka tahu gue bakal teliti dan cepat.
-
Kalau kerja sama mantan bos gue, mereka tahu dia bakal nge-push jadi lebih baik.
-
Kalau kerja sama temen gue yang designer, mereka yakin hasilnya selalu on-time dan clean.
Apa janji lo ke dunia?
Itu inti branding lo.
Aplikasi Praktis untuk Hidup Kita (Checklist yang Bisa Langsung Dipakai)
Tentukan satu nilai utama yang mau lo pegang
(Keaslian? Pelayanan? Profesionalisme? Kreativitas?)
Bikin cerita hidup lo dalam 3 bab
-
Masa lalu yang ngebentuk nilai
-
Turning point
-
Kenapa lo peduli sama hal yang lo lakukan sekarang
Pilih 1 platform utama
Instagram? LinkedIn? TikTok?
Tentukan “3 konten utama”
Supaya orang tau lo siapa dalam 5 detik.
Bikin janji brand
Satu kalimat sederhana:
“Gue bantu orang untuk ____ dengan cara ____.”
Apa yang Gue Pelajari Tentang Kebahagiaan dari Buku Ini
Pelajaran paling lembut tapi paling ngena dari You Are The Brand adalah:
“Kita bahagia ketika kita menjadi versi diri kita yang paling jujur — dan itu terlihat oleh dunia.”
Branding yang autentik bukan bikin kita terkenal.
Branding yang autentik bikin kita lega.
Karena kita nggak perlu pura-pura.
Kita nggak perlu nandingin diri dengan orang lain.
Kita nggak perlu takut “ketahuan”.
Branding itu bukan tentang menjadi seseorang.
Branding adalah tentang mengakui siapa kita sebenarnya.
Dan kalau kita bisa hidup dari versi diri yang paling jujur…
kita sudah menang, bahkan sebelum dunia tepuk tangan.
Closing
Buku You Are The Brand bukan sekadar tentang marketing atau positioning.
Ini adalah buku tentang kejelasan diri, keberanian menjadi apa adanya, dan komitmen membantu orang lain lewat nilai kita.
Kalau lo lagi nyari arah, karier, atau identitas profesional…
buku ini bukan hanya mencerahkan —
tapi bisa jadi kompas hidup.
Dan ingat:
lo bukan produk. Lo pengalaman.
Dan pengalaman terbaik selalu punya cerita yang layak diingat.
Sekarang, bagaimana dengan lo? Sudahkah lo mampu menerapkannya di LinkedIn?
Apakah lo masih posting di LinkedIn tapi nggak dilirik recruiter, client, apalagi investor?
Mungkin akun lo bukan magnet, tapi poster pengumuman doang.
Biar gak sekadar eksis, lo harus eksponensial. LinkedIn itu ibarat etalase—kalau tampilannya berantakan, siapa yang mau mampir?
Yuk upgrade cara main lo di webinar ini: LinkedIn That Works: Personal Branding that Attracts Recruiters, Clients, & Investors
Di sini lo bakal belajar:
- Cara membangun first impression yang bikin HR langsung klik “Connect”
- Strategi konten biar client & investor yang datang, bukan lo yang ngejar
- Personal branding yang tetap otentik tapi powerful
- Studi kasus akun-akun LinkedIn yang beneran works dan closing deals
Kalau lo pengin karier dan bisnis naik kelas, lo gak bisa asal posting. Harus posting yang nyangkut dan nancap.
This is not another webinar—this is your roadmap to jadi orang yang disebut di ruang meeting saat ada kesempatan besar.
Daftar sekarang sebelum kursi penuh.
Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:
Leave a Reply