Beberapa tahun lalu, gue sempat masuk fase di mana setiap kali mau nulis, tangan gue berhenti setengah jalan. Gue tahu apa yang mau gue sampaikan, tapi tetap aja rasanya ada yang salah. Kayak tulisan gue “benar,” tapi nggak “hidup.” Terstruktur? Iya. Informasinya lengkap? Iya. Tapi kosong. Nggak ada denyutnya.
Sampai akhirnya gue ketemu buku Wired for Story karya Lisa Cron. Dan jujur, buku ini bukan cuma bikin gue jago nulis. Buku ini bikin gue ngerti cara kerja otak manusia… termasuk otak gue sendiri.
Dari situ gue sadar satu hal yang bikin gue agak malu:
Gue selama ini belajar nulis dari sudut pandang teknis, bukan dari sudut pandang manusia.
Dulu gue selalu ngerasa harus bikin tulisan yang rapi, pintar, dan efisien.
Lama-lama gue sadar, tulisan gue jadi kayak laporan rapat.
Orang baca karena terpaksa, bukan karena mereka pengen.
Sampai suatu hari gue dapat DM yang nyentil:
“Bang, tulisan lo informatif sih… tapi gue nggak ngerasa ‘ikut’ di dalam ceritanya.”
Itu masuk kayak tendangan kung-fu ke ego gue.
Karena selama ini gue bangga banget sama kemampuan gue nulis cepat, rapi, dan padat. Tapi apa gunanya kalo orang nggak ngerasa apa-apa?
Di titik itu gue sadar:
Orang bukan mencari informasi. Orang mencari diri mereka di dalam informasi.
Dan buku Wired for Story ngejelasin hal itu secara ilmiah.
Banyak orang percaya bahwa storytelling adalah seni liar:
seni rasa, seni insting, seni ketukan hati.
Tapi Lisa Cron bilang hal yang berlawanan:
storytelling adalah sains sebelum jadi seni.
Otak manusia itu diprogram untuk cerita.
Secara evolusioner, cerita adalah alat bertahan hidup.
Cerita adalah cara kita memprediksi bahaya, mempelajari moral, memahami dunia, dan memahami diri sendiri.
Dia bahkan menulis begini:
“Story is the brain’s flight simulator.”
Gila nggak?
Cerita itu kayak game VR untuk otak manusia.
Makanya kita bisa nangis nonton film, padahal kita tahu itu nggak nyata.
Otak kita nggak peduli.
Selama ceritanya menyentuh “apa yang dipertaruhkan,” otak akan menganggapnya penting. s… yang Selalu Cari “Why”
Lisa Cron kasih satu analogi yang gue modifikasi dalam versi gue sendiri.
Bayangin otak kita kayak Google Maps.
Kalau lo masukkan “tujuan,” Maps jalan.
Kalau lo masukin “arah selatan,” Maps cuma muter-muter bingung.
Nah, tulisan tanpa STORY — tanpa konflik, tanpa alasan kenapa pembaca harus peduli — itu kayak lo nyetir tanpa tujuan.
Otak pembaca langsung nyerah:
“Ini gue harus peduli apanya?”
Dan di titik itu, tulisan mati.
Pelajaran Besar dari Wired for Story yang Mengubah Cara Gue Nulis dan Cara Gue Hidup
Gue akan bagi pelajarannya dalam beberapa bagian yang gampang lo cerna dan gampang lo terapkan.
1. Otak Butuh “Masalah” untuk Peduli
Ini yang bikin gue kaget:
Otak manusia aktif kalau ada masalah.
Bukan masalah gede — masalah apa pun.
Contoh gampang:
Scroll TikTok atau IG Reels.
Video yang bikin lo berhenti biasanya video yang dimulai dengan:
-
“Gue baru sadar hal ini: …”
-
“Lo nggak akan percaya apa yang barusan terjadi.”
-
“Ada satu kesalahan kecil yang bikin gue…”
-
“Gue dulu mikir gini, tapi ternyata salah.”
Mulai dengan masalah = otak pembaca auto aktif.
Aplikasi buat nulis?
Jangan mulai dari pembukaan cantik. Mulai dari pembukaan jujur.
Aplikasi buat hidup?
Jangan sembunyikan masalah. Masalah itu bagian dari cerita hidup kita.
2. Otak Nggak Punya Time for Basa-Basi
Lisa Cron bilang:
“Every sentence must move the story forward.”
Dalam hidup pun sama.
Kalo lo komunikasi tanpa arah, orang capek.
Lo jadi nggak memorable.
Makanya storytelling yang kuat itu kayak nembak laser: fokus, jelas, dan menuju satu titik.
3. Emotional Truth Mengalahkan Informasi
Otak lebih peduli “perasaan apa yang muncul” dibanding “fakta apa yang disampaikan.”
Contoh:
Tulisan “cara membuat konten bagus” kalah jauh dibanding cerita seseorang:
“Gue pernah posting konten yang cuma dapat 1 like dari akun bot…”
Emotional truth > fakta polos.
4. Tulisan Bagus Harus Mengungkap Perubahan
Cerita bukan tentang kejadian.
Cerita tentang PERUBAHAN.
Lisa Cron bilang:
“Story is about how what happens affects someone pursuing something.”
Apply ke nulis:
Tunjukin bagaimana karakter berubah.
Apply ke hidup:
Tanya diri sendiri,
“Perubahan apa yang sedang gue jalani sekarang, dan apa maknanya?”
5. Hook yang Kuat Bukan Clickbait, Tapi “Konflik yang Relevan”
Contoh hook biasa:
“Storytelling sangat penting dalam komunikasi.”
Contoh hook yang sesuai brain science:
“Gue pernah kehilangan peluang kerja karena gue nggak bisa cerita tentang diri gue.”
Mana yang bikin otak aktif?
Yang ada konflik personalnya.
6. Pembaca Selalu Bertanya: “Kenapa Gue Harus Peduli?”
Ini adalah kalimat paling penting dari Wired for Story.
Setiap paragraf harus menjawab pertanyaan ini.
Aplikasi buat hidup?
Waktu lo komunikasi, pitch, atau presentasi, pastikan selalu jawab pertanyaan itu.
7. Storytelling Bukan Tentang “Aku Hebat,” Tapi Tentang “Aku Pernah Gagal dan Ini yang Gue Pelajari”
Lisa Cron ngasih tahu satu hal yang bikin tulisan hidup:
kerentanan.
Otak manusia nempel pada kerentanan, bukan kesempurnaan.
Makanya sekarang tulisan-tulisan gue selalu gue mulai dengan hal jujur:
takut, salah langkah, kalah, malu.
Karena itu bikin tulisan gue punya nadi.
Contohnya?
Gue pernah temenin seorang teman yang mau presentasi pitch deck.
Slide-nya rapi.
Data kuat.
Tapi tidak ada yang menggugah.
Sampai gue bilang:
“Lo mulai aja dari cerita waktu lo hampir bangkrut dan kenapa lo bikin startup ini.”
Hasilnya?
Investor langsung hidup, mulai nanya, mulai engage.
Kenapa?
Karena otak manusia wired buat peduli sama perjalanan seseorang.
Orang Tidak Mengingat Informasi. Orang Mengingat Cerita. Termasuk Cerita tentang Kita.
Tulisan hidup karena otak manusia hidup untuk cerita.
Dan hidup kita jadi lebih dalam ketika kita berani menceritakan diri kita apa adanya.
Nah, sudahkah lo mampu bercerita di LinkedIn secara efektif?
Masalahnya, banyak orang masih mikir LinkedIn tuh cuma tempat pamer CV. Padahal sekarang, orang lebih pengen baca cerita jujur yang ngena — bukan caption sok profesional yang kaku dan nggak ada rasanya.
Kalau kamu pernah:
- Bingung mau nulis apa di LinkedIn
- Ngerasa punya cerita tapi takut “nggak penting”
- Udah posting, tapi nggak ada yang engage
- Pengen dapet cuan dari personal branding…
Berarti kamu wajib ikut sesi ini!
LinkedIn Storytelling: Menyulap Cerita Menjadi Peluang
Dalam 2 jam, kita bakal bahas:
- Gimana nulis cerita yang bikin orang ngeh dan nempel
- Formula storytelling yang nyambung ke goal (kerjaan, cuan, klien)
- Rahasia bikin CTA yang nggak maksa tapi ngena
- Studi kasus konten yang viral & hasilin proyek
Kamu nggak perlu jago nulis. Cukup punya niat bercerita, sisanya kita pelajari bareng-bareng.
DAFTAR SEKARANG DI SINI ya, kursi terbatas. Karena cuan dimulai dari cerita — dan cerita kamu belum tentu bisa nunggu minggu depan.
#WiredForStory #StoryScience #LisaCron #NeuroStorytelling #ContentCreator #WritingTips #GenZWriter #PersonalBranding #ThoughtLeadership #LinkedInNewsletter
Leave a Reply