“Gue capek tampil di depan orang, tapi kok gak ngerasa jadi diri sendiri ya?”

Kalimat itu pernah gue dengar dari seorang teman yang sebenarnya cukup populer di dunia profesional. Followers-nya ribuan, tampil di berbagai podcast, tapi waktu ngobrol santai, dia jujur bilang, “Gue merasa kayak hidup buat perform, bukan buat berkembang.”

Dan, jujur aja… gue relate banget.
Kita hidup di era di mana semua orang berlomba build their personal brand. Tapi ironisnya, semakin keras kita membangun citra, semakin jauh kita dari diri sendiri.

Nah, di titik itu gue menemukan buku “You Are The Brand” karya Mike Kim.
Dan buat gue, buku ini bukan sekadar panduan personal branding — tapi semacam “wake up call” bahwa branding itu bukan tentang siapa yang paling terlihat, tapi siapa yang paling berarti. 

Kebanyakan orang (termasuk gue dulu) mikir kalau personal branding itu soal “how to look good” — posting foto profesional, pakai kata-kata keren, biar orang bilang “wah.”

Tapi Mike Kim langsung ngebantah itu dari halaman pertama.
Dia bilang:

“Personal branding is not about positioning yourself as an expert. It’s about helping others by sharing your journey, your lessons, and your voice.”

Artinya, bukan tentang siapa yang paling jago — tapi siapa yang paling tulus berbagi.
Dan itu mind-blowing banget.

Karena selama ini, kita sibuk ngerancang “persona” yang keren tapi lupa ngebangun connection yang jujur.
Padahal, orang gak beli produk atau jasa kita karena kita “sempurna.”
Mereka beli karena mereka ngerasa nyambung. 

Bayangin lo lagi berdiri di depan cermin yang udah lama gak dibersihin.
Debunya tebal. Gambar lo kelihatan samar, gak jelas.
Itu kayak hidup banyak orang hari ini — sibuk menampilkan versi terbaiknya di luar, padahal di dalamnya masih kabur.

Nah, personal branding versi Mike Kim itu bukan soal “memoles cermin biar kinclong,” tapi membersihkan debu biar pantulannya jujur.

Dia ngajarin kita buat bukan sekadar bikin logo, konten, atau tagline, tapi buat mengenali diri:

  • Siapa kita sebenarnya

  • Apa yang kita perjuangkan

  • Nilai apa yang kita bawa ke dunia

Dan baru dari situ kita bisa mulai “membangun brand” yang autentik.

Pelajaran #1: Kita Bukan Produk, Tapi Cerita

Mike Kim nulis, “People buy your story before they buy your product.”

Artinya: personal branding itu bukan tentang jualan jasa atau skill, tapi tentang menceritakan perjalananmu.
Karena manusia suka cerita.
Cerita bikin kita connect lebih dalam daripada CV atau portofolio mana pun.

Contohnya, bayangin dua orang sama-sama penulis lepas:

  • Penulis A bilang, “Saya menulis konten SEO-friendly dengan pengalaman 10 tahun.”

  • Penulis B bilang, “Saya dulu benci nulis, tapi setelah ngalamin krisis identitas, menulis jadi cara saya menemukan makna hidup — dan sekarang saya bantu brand lain menemukan suaranya juga.”

Kira-kira siapa yang lebih nyentuh hati?
Yang kedua, jelas. Karena dia punya soul.

Jadi, kalau lo mau bangun brand diri, mulai dari cerita.
Apa luka lo, apa misi lo, apa nilai yang pengen lo bagi ke dunia.
Orang gak pengen lihat yang sempurna — mereka pengen lihat yang jujur tapi terus tumbuh. 

Pelajaran #2: Jangan Takut Jadi Niche

Mike Kim juga bilang, “The riches are in the niches.”

Maksudnya, jangan coba-coba jadi “semuanya untuk semua orang.”
Karena begitu lo coba nyenengin semua orang, lo gak akan berarti buat siapa pun.

Lo harus punya sudut pandang yang spesifik.
Misalnya lo bukan sekadar “konsultan bisnis,” tapi “konsultan bisnis yang bantu UMKM Muslim tumbuh dengan prinsip syariah yang adil.”
Atau bukan sekadar “content creator,” tapi “content creator yang bantu Gen Z membangun karier dengan mindful mindset.”

Itu yang bikin lo stand out.
Dan menariknya, semakin spesifik lo, semakin kuat daya tarik lo.
Karena orang akhirnya tahu: “Oh, ini orangnya gue banget!

Pelajaran #3: Bangun Brand dari Dalam Keluar

Menurut Mike Kim, “Personal brand is an extension of your identity, not your image.”

Kita sering mulai dari luar — logo, warna, template, dan tagline.
Padahal yang harusnya duluan itu inner work.

Gue suka bagian ketika Mike ngajak kita refleksi lewat pertanyaan-pertanyaan kayak:

  • Apa yang gue perjuangkan?

  • Nilai apa yang gue gak akan kompromikan?

  • Apa yang bikin gue marah, sedih, atau termotivasi?

Dari situ baru kita bisa nemuin “core message.”

Misalnya, Simon Sinek terkenal dengan “Start with Why.”
Brene Brown dikenal dengan “The power of vulnerability.”
Mike Kim sendiri dengan “You are the brand.”

Nah, lo juga punya “Why” lo sendiri — lo cuma belum menggali cukup dalam aja.
Dan begitu lo nemuin itu, semua aspek hidup lo (kerja, relasi, bahkan gaya komunikasi) bakal terasa lebih align. 

Pelajaran #4: Jangan Bangun Audience, Bangun Komunitas

Mike ngingetin bahwa followers bukan segalanya.
Yang penting bukan jumlah orang yang lihat konten kita, tapi berapa banyak yang resonate dan stay.

Dia ngajarin konsep “building tribe.”
Artinya, lo bikin ruang buat orang-orang yang punya visi serupa, dan tumbuh bareng.

Contohnya, lo bukan cuma bikin postingan inspiratif, tapi juga ruang diskusi, atau workshop kecil di mana orang bisa saling dukung.
Karena kalau lo cuma broadcast, lo cuma dikenal.
Tapi kalau lo build community, lo diingat.

Pelajaran #5: Branding yang Sehat Bikin Hidup Bahagia

Gue suka banget ketika Mike bilang:

“Your brand should serve your life, not the other way around.”

Artinya, jangan sampai kita jadi budak dari brand kita sendiri.
Kalau lo harus terus perform sampai kehilangan kebahagiaan, berarti ada yang salah.

Brand lo seharusnya ngasih lo kebebasan — bukan tekanan.
Karena kalau lo hidup otentik, your brand will breathe authenticity too. 

Aplikasi Nyata: Dari Buku ke Hidup

Gue mulai menerapkan prinsip Mike Kim ini pelan-pelan:

  1. Gue berhenti overthink tentang image.
    Sekarang gue fokus berbagi insight dan perjalanan yang real — termasuk kegagalan.
    Ternyata engagement-nya malah naik, karena orang ngerasa “gue juga pernah di situ.”

  2. Gue bikin konten yang fokus pada nilai, bukan narsis.
    Setiap kali mau posting, gue tanya diri sendiri:
    “Apakah ini bikin orang lain nambah insight, atau cuma pengen bikin gue kelihatan keren?”

  3. Gue mulai membangun komunitas kecil.
    Bukan sekadar followers, tapi orang-orang yang punya value sejalan.
    Kami sering tukar pikiran, kolaborasi, bahkan saling promosi.

  4. Gue hidup lebih ringan.
    Karena branding bukan lagi topeng, tapi cermin diri.
    Gue gak takut terlihat rapuh, karena itu bagian dari proses manusiawi.

Dan anehnya, dari situ justru karier gue berkembang lebih cepat — bukan karena gue berusaha kelihatan hebat, tapi karena gue jujur dengan siapa diri gue.

Kesimpulan

Mike Kim menulis:

“You don’t build a brand, you become one.”

Artinya, perjalanan kita bukan tentang menciptakan versi palsu yang sempurna, tapi tentang menjadi versi diri yang paling bermakna.

Personal branding sejati bukan soal popularitas, tapi tentang kontribusi.
Bukan soal kesempurnaan, tapi keaslian.
Dan bukan soal tampil di panggung, tapi tentang menyalakan cahaya di ruang yang kita masuki.

Kalau lo pengen sukses dan bahagia, mulai dengan becoming you — sepenuhnya.
Karena ketika lo jujur pada diri sendiri, dunia akan percaya pada lo.

Jadi, lain kali ketika lo ngerasa minder karena belum punya “brand keren,” ingat:
Yang paling berharga bukan siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling tulus berbagi.
Karena pada akhirnya, brand terbaik adalah hidup yang bermanfaat.


Nah, bagaimana dengan diri lo? Sudah dapet banyak manfaat dari LinkedIn belum? Sudah tahu cara main LinkedIn yang efektif? Sudah paham jurus jitu dapet kerjaan tanpa melamar, dapet klien tanpa pitching, dapet orderan tanpa jualan, dapet investor tanpa proposal, atau dapet mitra bisnis tanpa menawarkan diri? Ikutin solusi gue ini:

#LinkedInHacks #LinkedInStorytelling #LinkedInThatWorks #Networking #PersonalBranding #YouAreTheBrand #MikeKim #PersonalBranding #Authenticity #CareerGrowth #MindfulSuccess #BrandingWithHeart #SelfDevelopment #LinkedInIndonesia #Storytelling #Leadership #ProfessionalGrowth

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *