Honestly, ada masa di hidup gue ketika networking itu kerasa kayak kerja rodi. Setiap kali hadir di acara, gue kayak orang bingung: tangan dingin, mulut kaku, mata cari-cari siapa yang bisa diajak ngobrol. Kadang pulang cuma bawa name card tapi nggak pernah follow up. Bener-bener awkward.
Lucunya, di dunia profesional, orang sering bilang “networking itu segalanya.” Ironi banget, kan? Di satu sisi gue tahu gue butuh jaringan, tapi di sisi lain gue ngerasa networking itu melelahkan, penuh basa-basi, dan kadang terasa fake.
Tapi pelan-pelan gue sadar sesuatu: ternyata bukan networking yang salah. Yang salah cara pandang gue. Networking bukan soal kumpulin kartu nama atau koleksi kontak di WhatsApp. Networking itu soal koneksi yang beneran bermakna.
Dan ini makin jelas pas gue baca buku Judy Robinett, How to Be a Power Connector. Dari situ gue belajar satu hal penting: bukan soal seberapa banyak orang yang lo kenal, tapi seberapa dalam lo terkoneksi.
Sekarang coba jawab jujur:
- Apakah ribuan koneksi di LinkedIn benar-benar kenal lo?
- Atau justru, hidup lo lebih banyak ditolong sama 5–10 orang terdekat yang bener-bener care?
Pertanyaan itu jadi hook yang ngebukain mata gue.
Kenalan Dulu Sama Konsep 5+50+100
Robinett ngenalin framework yang kelihatannya simpel, tapi dalem banget: The 5+50+100 Rule.
-
5 orang paling dekat: ini lingkaran inti lo. Bisa keluarga, sahabat, atau partner kerja yang bener-bener jadi support system. Mereka tahu lo luar-dalam, siap jadi tempat curhat, bahkan pas lagi down.
-
50 orang inner circle: ini kayak extended family. Orang-orang yang sering lo temui, punya hubungan mutual, dan bisa saling support dalam hal karier maupun pribadi.
-
100 orang koneksi luas: mereka mungkin nggak sering ketemu, tapi tetap punya nilai. Lo bisa reach out kalau butuh insight, peluang, atau kolaborasi.
Di luar itu? Ya sekadar kenalan, bukan koneksi.
Framework ini bikin gue mikir: selama ini gue capek-capek nyari “kenalan baru”, tapi malah lupa merawat yang udah ada.
Dari Networking Basa-basi ke Koneksi Bermakna
Salah satu insight paling ngena dari Robinett adalah: “Don’t collect contacts, connect people.”
Artinya, koneksi terbaik justru lahir bukan dari “apa yang bisa gue dapet?”, tapi dari “siapa yang bisa gue bantu?”
Contoh realnya gini:
Dulu gue pernah ikut konferensi bisnis. Biasanya kalau acara gitu, orang sibuk promosi diri. Tapi kali ini gue coba pakai pola Robinett. Ada satu pengusaha muda yang cerita lagi kesulitan cari investor. Daripada gue kasih pitch tentang diri gue, gue bilang, “Eh, gue kenal mentor yang suka bantu startup di tahap awal. Lo mau gue kenalin?”
Percakapan itu sederhana, tapi efeknya panjang. Dia inget gue bukan sebagai “orang yang jualan diri”, tapi sebagai “orang yang nyambungin dia ke solusi.” Dari situlah lahir relasi jangka panjang yang mutual.
Networking Itu Bukan Event, Tapi Lifestyle
Dulu gue mikir networking itu event-based: datang ke acara, kumpulin kartu nama, selesai.
Sekarang gue ngerti, networking itu lifestyle.
Robinett ngajarin: rawat circle lo dengan konsisten. Bukan berarti lo harus chat tiap hari kayak pacaran, tapi cukup dengan touch point kecil. Misalnya:
-
Ngucapin ulang tahun.
-
Share artikel yang relevan dengan bidang mereka.
-
Nanya kabar tanpa ada maksud tersembunyi.
Hal-hal kecil ini bikin koneksi tetap hidup. Dan percayalah, ketika lo butuh bantuan, orang nggak akan merasa lo “muncul cuma pas ada maunya.”
Sukses Bukan Cuma Soal “Siapa Lo”, Tapi “Siapa yang Mau Berdiri di Belakang Lo”
Ada satu afirmasi terbalik dari buku ini yang gue suka: kita sering diajarin “jadilah orang yang pintar, kerja keras, dan mandiri.” Itu bagus, tapi incomplete. Karena dalam kenyataannya, sukses jarang lahir dari individu doang. Sukses lahir dari ekosistem.
Coba inget cerita-cerita sukses yang lo tahu. Elon Musk? Nggak mungkin jalan sendirian tanpa tim. Jokowi? Naiknya dia ke kursi presiden nggak mungkin tanpa jaringan relawan, partai, dan orang-orang yang percaya sama dia. Bahkan seorang artis sekalipun nggak bisa populer tanpa tim manajemen, fans, dan media.
Jadi kalau lo masih ngerasa harus “bisa sendiri” biar dianggap hebat, mungkin lo perlu ngerombak mindset. Dunia sekarang nggak butuh lone wolf. Dunia butuh connector.
Bahagia Itu Punya Inner Circle yang Sehat
Ini sisi yang sering nggak kebayang. Networking bukan cuma soal duit atau karier. Networking juga soal kebahagiaan.
Lo mungkin punya ribuan followers, tapi kalau nggak punya 5 orang yang bisa lo telepon jam 2 pagi pas lagi krisis, itu sama aja kayak kesepian di tengah keramaian.
Robinett bikin gue sadar: kualitas hidup kita ditentukan oleh kualitas koneksi terdekat kita. Bukan hanya profesional, tapi juga personal. Lingkaran inti (5 orang itu) adalah fondasi kesehatan mental kita.
Cara Aplikatif Bangun 5+50+100 Versi Lo
Biar lebih praktis, gue coba breakdown gimana kita bisa aplikasikan framework ini:
-
Mapping jaringan lo sekarang. Coba list: siapa 5 orang terdekat lo? Siapa 50 orang yang lo anggap cukup dekat? Siapa 100 orang yang masih keep-in-touch?
-
Isi gap yang kosong. Misalnya, kalau circle 50 lo isinya semua teman sekampus, mungkin perlu diversifikasi dengan kenalan dari industri lain.
-
Beri nilai duluan. Jangan nunggu orang bantu lo. Mulai dengan hal kecil: kasih rekomendasi, share peluang, atau sekadar dengerin.
-
Rawat dengan tulus. Ingat, orang bisa bedain mana perhatian asli dan mana basa-basi.
Contoh Aplikasi Nyata
Gue punya temen yang dulu struggling banget cari kerja. Dia rajin banget ikut job fair, apply sana-sini, tapi hasilnya nihil. Sampai suatu hari dia iseng reconnect sama dosennya lewat WhatsApp. Ternyata dosennya lagi butuh asisten riset. Dari situ, dia dapat kerjaan pertama, lalu koneksi baru ke perusahaan.
Semuanya bukan dari ratusan lamaran online, tapi dari satu koneksi yang dirawat dengan tulus.
Cerita lain: ada influencer yang rajin banget nyambungin brand dengan creator kecil. Awalnya nggak ada untung langsung. Tapi lama-lama, brand jadi percaya sama dia sebagai “jembatan.” Sekarang dia malah jadi konsultan brand besar.
Networking Bukan Tentang Ekstrovert vs Introvert
Banyak orang ngerasa networking itu cuma buat ekstrovert. Padahal nggak juga. Justru orang introvert sering kali lebih jago bikin koneksi bermakna karena mereka cenderung dengerin lebih banyak.
Robinett nunjukin kalau power connector bukan soal cerewet, tapi soal strategi. Soal siapa yang lo rawat, bukan seberapa rame lo ngomong.
Saatnya Jadi Power Connector
Dari buku How to Be a Power Connector, gue belajar bahwa networking bukan aktivitas tambahan, tapi fondasi sukses dan kebahagiaan. Framework 5+50+100 bukan sekadar angka, tapi cara kita menata hubungan dalam hidup.
Sekarang, coba lo pikir: siapa aja 5 orang inti lo? Apakah circle 50 lo sehat dan beragam? Apakah 100 orang koneksi luas lo masih merasa dekat dengan lo?
Kalau belum, mungkin ini waktunya lo berhenti sibuk cari kenalan baru, dan mulai serius merawat koneksi lama. Karena pada akhirnya, bukan ribuan follower yang bikin lo bertahan, tapi lingkaran kecil yang bener-bener care.
Dan percayalah, jadi power connector bukan cuma bikin lo lebih sukses. Tapi juga bikin lo lebih bahagia.
#Networking #PowerConnector #JudyRobinett #5x50x100Rule #PersonalGrowth #KarierAnakMuda #HidupBahagia #Ghostwriter #Storytelling #LinkedInCommunity
Leave a Reply