Benarkah Duta Wisata Sekadar Pajangan?

“Setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi.”
“Salam berbudaya, salam pariwisata.”
Dua slogan itu mungkin terdengar asing bagi Anda. Namun, tidak bagi yang sedang menjabat atau sudah menjadi alumni duta wisata. Mungkin Anda bertanya-tanya, apa dan siapa duta wisata?
Duta wisata adalah para pemuda/i yang berhasil memenangkan kontes duta wisata yang diselenggarakan secara resmi oleh pemerintah daerah. Sebutan pemenang pemilihan duta wisata menyesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Setiap provinsi, bahkan kabupaten/kota memiliki nama unik yang mencerminkan bahasa daerahnya.
Sebagai contoh, pemenang duta wisata di tingkat Jawa Timur disebut dengan Raka-Raki. Sementara itu, gelar pemenang di kabupaten/kotanya adalah Bagus-Dyah (Kabupaten Magetan), Cak-Ning (Kota Surabaya), Joko-Roro (Kabupaten Malang), Dimas-Diajeng (Kabupaten Ngawi), Kacong-Jebbing (Kabupaten Bangkalan), Guk-Yuk (Kabupaten Sidoarjo), Inu-Kirana (Kabupaten Kediri), Jatmiko-Puspito (Kabupaten Tulungagung), dan seterusnya. Di provinsi lain tentu saja gelar pemenangnya tidaklah selalu sama. Misalnya Mas-Mbak (Jawa Tengah), Abang-None (DKI Jakarta), Kang-Nong (Banten), Agam-Inong (Aceh), Uda-Uni (Sumatera Barat), Nyong-Noni (Sulawesi Utara), Jegeg-Bagus (Bali), Mojang-Jajaka (Jawa Barat), Nou-Uti (Gorontalo), dan Nanang-Galuh (Kalimantan Selatan). Sebutan pemenang duta wisata tersebut mencerminkan keragaman budaya nusantara yang begitu kaya.
Setiap tahun, pemenang pertama kontes di tingkat kabupaten/kota memperebutkan gelar duta wisata di tingkat provinsi masing-masing. Dan pemenang di tingkat provinsi tentu saja dipercaya untuk berkompetisi di tingkat nasional.
Saat ini, terdapat tidak kurang 514 kabupaten/kota yang tersebar di 38 provinsi. Setiap tahunnya ratusan peserta di setiap kabupaten/kota tersebut memperebutkan gelar duta wisata. Dengan kata lain, ada puluhan ribu generasi harapan bangsa yang setiap tahun terpanggil untuk mempelajari akar budaya maupun potensi pariwisata masing-masing – terlepas mereka kalah atau menang.
Mengingat begitu besarnya animo pemuda/i dalam kontes tersebut dapat dikatakan bahwa pemilihan duta wisata adalah salah satu program pengembangan dan pemberdayaan pemuda terbaik di negeri ini. Hal itu tidak berlebihan karena selama kontes diberikan pembekalan dengan berderet topik menarik. Mulai dari sejarah kabupaten/kota/provinsi, tata busana daerah, potensi pariwisata, grooming, komunikasi, kepemimpinan, kepribadian, seni & budaya, anti narkoba, dan seterusnya.
 
Benarkah Mereka Sekadar Pajangan?
Harus diakui bahwa program pemilihan duta wisata tidak terlepas dari kritik. Salah satunya adalah stigma “sekadar pajangan”. Nah, apakah hal itu benar?
Sebagai orang yang pernah memenangkan kontes pemilihan duta wisata dan aktif di paguyuban duta wisata nasional, dapat saya katakan bahwa hal itu tidak benar. Pasalnya, baik para peserta yang dinyatakan sebagai pemenang atau finalis di setiap daerah, biasanya tergabung di asosiasi atau perkumpulan duta wisata. Setiap tahunnya, mereka memiliki berbagai program konkret yang mampu mengasah jiwa kepemimpinan, sosial, kemampuan berkomunikasi, bermasyarakat, berwirausaha, ataupun pendidikan.
Stigma “sekadar pajangan” muncul lantaran seringkali pemenang kontes tersebut senantiasa menjadi penerima tamu di event-event akbar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Di luar itu, mereka memiliki kinerja nyata di lapangan untuk mempromosikan potensi pariwisata maupun membuat program pemberdayaan masyarakat selama setahun menjabat — bahkan tidak sedikit yang berlanjut hingga mereka mengakhiri amanahnya.
Di tengah arus globalisasi yang diwarnai oleh tren “go international”, kontes pemilihan duta wisata tidak berlebihan jika layak disebut sebagai (salah satu) “solusi” untuk mengenalkan generasi muda dengan akar budayanya sendiri. Terlebih lagi dengan isu “klaim budaya” Indonesia oleh negeri jiran yang tidak berkesudahan, membuat urgensi program ini semakin tak terbantahkan.
Duta Wisata adalah Agent of Change
Para pemuda/i yang memenangkan gelar duta wisata biasanya berumur antara 18-25 tahun.  Itu artinya, ketika memegang “selempang kebesaran” mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, fresh graduate atau sedang merintis karier.
Memenangkan kontes pemilihan duta wisata membuka peluang mereka untuk menjadi agen perubahan  (dan meniti karier) dengan cara masing-masing. Tak mengejutkan, bila alumni atau “jebolan” kontes tersebut di kemudian hari berhasil mewarnai berbagai sektor strategis di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.
Bekal pengetahuan, pengalaman selama menjabat, jejaring yang dibangun, dan tempaan mental sebagai duta wisata mengantarkan mereka menjadi Public Figure yang menginspirasi generasinya atau generasi-generasi selanjutnya.
Di antara alumni duta wisata yang kini dikenal luas oleh publik  antara lain sebagai berikut. Airin Rachmi Diany (Mojang Jawa Barat – mantan Wali Kota Tangerang Selatan), Maudy Kusnaedi (None Jakarta – Artis), Vena Melinda (None Jakarta – mantan anggota DPR RI), Azis Nurwahyudi (Dimas Yogyakarta – Diplomat), Sartika Dian Nuraini (Dyah Magetan – Pegiat Sastra), Hijrah Saputra (Agam Aceh – Cofounder The Leader), Andre Wijaya Binarto (Mas Jawa Tengah – Food Influencer), Agus Gazali Rahman (Nanang Barito Kuala – Pengusaha), Tina Talisa (Mojang Jawa Barat – Komisaris Tvone), Yuliandre Darwis (Uda Sumatera Barat – mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia), Tommy Tjokro (Abang Jakarta Pusat – Cofounder Buddyku), Ishakkan Karim (Mekhanai Lampung – News Anchor Jak TV), Miftah Faridl Widhagdha (Putra Solo – Managing Director Prospect Institute), Selvi Ananda (Putri Solo – istri Wali Kota Solo), Haidhar Wurjanto (Jajaka Kota Bogor – Founder Es Teh Indonesia), Stebby Julionatan (Kang Kota Probolinggo – Novelis), Danis Kirana (Raki Jawa Timur – Cofounder Dako Brand & Communication) dan masih banyak lagi.
Sudah semestinya pemerintah “melirik” para duta wisata untuk turut menyukseskan kemajuan pariwisata tanah air. Karena mereka adalah pemuda/i berprestasi yang penuh potensi dah haus prestasi namun tidak jarang masih harus didampingi untuk membuatnya terbang lebih tinggi lagi.
Sudah waktunya masyarakat untuk mendukung keberadaan mereka. Karena mereka mengikuti kontes pemilihan duta wisata bukan sekadar untuk mendapatkan selempang atau menjadi “pajangan”, namun sebagai “batu loncatan” untuk mengembangkan (dan memantaskan) diri.
“Setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi”. Agaknya slogan tersebut tidaklah berlebihan.
Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply