Dapatkah Kecerdasan Buatan “Mengalahkan” Manusia?

Belakangan masyarakat tanah air dihebohkan dengan hadirnya ChatGPT. Linimasa di berbagai platform media sosial menjadikannya viral. Berbagai diskusi dari yang sangat formal ala dunia akademis hingga obrolan di kedai kopi membahasnya dari berbagai sisi.

Pelaku bisnis, profesional di berbagai level, dan mahasiswa begitu terlihat “kepo” dengan kemunculannya. Sebagian menyikapinya dengan begitu sangat optimis. Sebagian lagi menganggapnya biasa saja. Sisanya cemas bukan kepalang.

ChatGPT (Generative Pre-Training Transformer) merupakan kecerdasan buatan (AI) dengan cara kerja mengandalkan format percakapan. Dibesut pada tahun 2015, kehadirannya diklaim begitu membantu pekerjaan kita. Berkat ChatGPT, masyarakat mulai makin terbuka pandangannya dengan kecerdasan buatan meskipun ChatGPT “hanya” salah satu contoh terobosan AI.

Mungkinkah AI Mengalahkan Manusia?
Ketika dihadapkan dengan pesatnya pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan (AI), dunia bisnis tentu dimudahkan dengan proses otomatis yang membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih efisien. Di sisi lain, para karyawan tak bisa dipungkiri “kebakaran jenggot” karena takut kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh mesin.

Meskipun AI dirancang untuk menggantikan kerja manual dengan cara yang lebih efektif dan lebih cepat dalam melakukan pekerjaan; AI sampai kapan pun tidak dapat “mengalahkan” manusia. Mengapa demikian? Apa sisi lain AI yang perlu kita pahami lebih jauh?

Pertama, nihil (atau minim)nya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor pembeda yang membuat manusia selalu relevan di dunia kerja. Pentingnya kecerdasan emosional di ruang kerja tidak bisa dilebih-lebihkan, terutama saat berhadapan dengan klien.

Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan dasar manusia yang tak terbantahkan adalah kebutuhan akan hubungan emosional dengan orang lain. AI mencoba meniru kecerdasan manusia, tetapi kecerdasan emosional tidak semudah meniru kecerdasan intelektual. Mengapa? Karena itu membutuhkan empati dan pemahaman mendalam tentang pengalaman manusia, terutama rasa sakit dan penderitaan, dan AI sama sekali tidak merasakan sakit.

Pemilik bisnis yang cerdas dan eksekutif perusahaan memahami pentingnya menarik emosi staf dan klien mereka. Sebuah mesin tidak dapat mencapai tingkat koneksi sebaik manusia. Sementara itu sebagai manusia, ada cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita.

Terlepas dari seberapa baik mesin AI diprogram untuk merespons manusia, kecil kemungkinan manusia akan mengembangkan hubungan emosional yang kuat dengan mesin. Oleh karena itu, AI tidak dapat menggantikan manusia, terutama karena berhubungan dengan orang lain sangat penting untuk pertumbuhan bisnis.

Kedua, hanya dapat bekerja dengan data yang dimasukkan. AI hanya dapat berfungsi berdasarkan data yang diterimanya. Apa pun lebih dari itu akan membutuhkan lebih dari yang bisa ditangani, dan mesin tidak dibuat seperti itu. Jadi, ketika data yang dimasukkan ke dalam mesin tidak menyertakan area kerja baru, atau algoritmenya tidak menyertakan keadaan yang tidak terduga, mesin menjadi tidak begitu berfaedah.

Situasi ini biasa terjadi di industri teknologi dan manufaktur, dan pembuat AI terus-menerus mencoba mencari solusi sementara. Gagasan bahwa alat AI akan beradaptasi dengan situasi apa pun adalah salah satu dari beberapa mitos umum seputar kecerdasan buatan.

Oleh karena itu, jika kita takut AI dapat “menyusup” ke semua industri dan menghilangkan permintaan akan keterampilan profesional kita, yakinlah bahwa hal itu tidak akan terjadi. Penalaran manusia dan kekuatan otak manusia untuk menganalisis, membuat, berimprovisasi, bermanuver, dan mengumpulkan informasi tidak dapat dengan mudah ditiru oleh AI — setidaknya untuk saat ini.

Ketiga, proses kreatif yang terbatas. Saat melakukan brainstorming konsep kreatif dan cara melakukan pekerjaan, AI tidak memiliki kemampuan manusia ini karena, sebagaimana telah ditetapkan, AI hanya dapat bekerja dengan data yang diterimanya. Oleh karena itu, ia tidak dapat memikirkan cara, gaya, atau pola baru dalam melakukan pekerjaan dan terbatas pada “template” yang diberikan.

Pengusaha dan karyawan tahu betapa pentingnya kreativitas di ruang kerja. Kreativitas menawarkan sensasi menyenangkan dari sesuatu yang baru dan berbeda daripada tindakan berulang yang membosankan di mana AI dirancang untuk berfungsi. Kreativitas adalah fondasi inovasi.

Berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir out of the box. Sementara itu, mesin dirancang untuk “in the box”. Itu berarti  AI hanya dapat berfungsi dalam perintah data yang diberikan.

Di sisi lain, manusia dapat berpikir tanpa batas, mencari informasi dari berbagai cara dan menghasilkan solusi untuk masalah yang rumit dengan sedikit atau tanpa data yang tersedia. Karena AI tidak memiliki kemampuan untuk berpikir out of the box dan menghasilkan ide-ide kreatif untuk inovasi, AI tidak dapat mengambil alih manusia di ruang kerja.

Keempat, tak memiliki soft skill. Soft skill merupakan hal yang wajib dimiliki oleh setiap profesional di ruang kerja. Misalnya kerja tim, perhatian terhadap detail, berpikir kritis dan kreatif, komunikasi yang efektif, dan keterampilan interpersonal. Soft skill kita butuhkan di setiap industri, dan kita harus mengembangkannya untuk berhasil secara profesional.

Manusia diajarkan dan dituntut untuk memiliki soft skill, apa pun posisinya. Eksekutif perusahaan membutuhkan mereka untuk berkembang, seperti halnya tim pekerja lapangan di industri apa pun. Karenanya, soft skill ini memberi kita keunggulan di ruang kerja dibandingkan AI.

Namun, soft skill asing bagi mesin dengan kecerdasan buatan. AI tidak dapat mengembangkan soft skill yang penting untuk pengembangan dan pertumbuhan di tempat kerja. Mengembangkan keterampilan ini membutuhkan tingkat penalaran dan kecerdasan emosional yang lebih tinggi.

Kelima, manusia membuatnya beroperasi. Tidak akan pernah ada AI tanpa kecerdasan manusia. Istilah kecerdasan buatan berarti manusia yang merancangnya. Manusia menulis baris kode yang digunakan untuk mengembangkan AI. Data yang dioperasikan oleh mesin AI diinput oleh manusia. Dan manusialah yang menggunakan mesin ini.

Karena aplikasi AI terus berkembang, begitu pula layanan manusia. Seseorang harus merancang proses AI, membuat mesin AI, mengoperasikan, dan memeliharanya. Hanya manusia yang bisa melakukan ini. Berdasarkan fakta-fakta ini, kita dapat dengan berani menepis spekulasi AI yang bisa “mengalahkan” peran manusia. Kendati beberapa pekerjaan telah bisa “digantikan” olehnya.
Keenam, AI hanyalah pelengkap – bukan “pesaing” manusia. Aplikasi kecerdasan buatan memang mulai berkembang, dan akan menggantikan banyak pekerjaan yang dilakukan orang saat ini. Namun, pekerjaan yang dibutuhkan seringkali terbatas pada tugas berulang yang membutuhkan penalaran yang tidak terlalu intens. Selain itu, tuntutan tempat kerja yang berkembang akan menciptakan peran baru bagi manusia saat dunia bergerak menuju lanskap teknologi yang lebih terintegrasi.

Sebuah laporan oleh Forum Ekonomi Dunia menunjukkan bahwa meskipun mesin dengan AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025, sekitar 97 juta pekerjaan akan tersedia pada tahun yang sama berkat AI. Jadi, pertanyaan besarnya adalah: Bagaimana manusia bisa bekerja dengan AI alih-alih digantikan olehnya? Itu harus menjadi fokus kita.

Karena di zaman sekarang ini, akan sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk hidup tanpa AI—dan tanpa manusia, tidak akan ada kecerdasan buatan. Perusahaan yang berpikiran maju telah mengembangkan cara untuk menggabungkan kemampuan manusia dan AI untuk mencapai tingkat produktivitas dan inovasi yang lebih tinggi.

Ketujuh, akurasi data. Masalah besar dengan chatbot AI seperti ChatGPT adalah seringkali tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan fakta oleh moderator manusia. Memang, AI mampu belajar dengan sangat cepat, tetapi tidak memiliki akal sehat dan tidak mampu bernalar dan membantah fakta sejauh yang bisa dilakukan manusia. Itu sebabnya kita mungkin harus menghindari menanyakan AI chatbots hal-hal tertentu.

Kesimpulannya  adalah karena kecerdasan buatan tidak mampu mengawasi dirinya sendiri dan membutuhkan moderasi eksternal, “pengecekan fakta” kemungkinan besar akan menjadi karier utama di masa depan. Jadi, tak ada salahnya bagi kita untuk mulai meningkatkan kemampuan riset atau analisis data.

Saatnya Merangkul AI, Bukan MenakutinyaKecerdasan buatan (AI) bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Namun, kita harus meningkatkan kompetensi kita agar tidak tergantikan oleh AI.
Teruslah mengikuti tren terbaru di bidang kita, dan jadilah inovatif dan kreatif. Dengan cara ini, kita akan menjadi Talent nan kompetitif.

Artificial Intelligence (AI) dibuat oleh manusia, jadi hanya orang-orang pesimis yang merasa akan terkalahkan olehnya. Apakah Anda setuju?

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply