Opo Depe, Opo Colote

Bahagia.
Satu kata ini adalah yang paling didambakan oleh seluruh orang dunia. Tua muda, di desa maupun di kota, apapun latar belakangnya; setiap orang tentu berjuang sekuat tenaga untuk menggapainya.
Ya, apa yang kita lakukan saat ini mencerminkan apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan. Berbisnis agar makin cuan, melanjutkan pendidikan di jenjang tertinggi agar makin prestis, mengejar kursi di Senayan agar makin terpandang, membeli barang bermerek agar dianggap kaya, mati-matian membuat konten agar menarik banyak pengikut, dan seterusnya.
Sayangnya, kebanyakan manusia salah memahami esensi dari kebahagiaan itu sendiri. Alih-alih mendapati kebahagiaan, kebanyakan dari kita justru berakhir dengan kekecewaan, ketakutan, kelelahan, kerisauan atau kegalauan.
Mengapa itu terjadi?
Karena entah diakui atau tidak, bahagia versi kita senantiasa dengan syarat. Ada orang yang baru bahagia ketika mendapatkan cuan setrilyun. Sebagian orang baru bahagia ketika mendapatkankan 1 juta Subscribers di YouTube. Tak sedikit yang baru bahagia ketika mampu mengunjungi destinasi wisata yang diimpikan.
Kita seringkali lupa bahwa bahagia itu sejatinya tanpa syarat. Karena bahagia itu merupakan pilihan. Karena segala kejadian yang kita alami sesungguhnya bersifat netral. Kita sendirilah yang melabeli, menghakimi, atau memberikan penilaian.
Itu mengapa memiliki sikap yang bijak begitu mutlak diperlukan. Karena kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar diri kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita.
Kebanyakan orang “gagal” bahagia karena senantiasa melihat hasil akhirnya. Mereka lupa bahwa kebahagiaan itu ada di setiap momen. Mereka mengabaikan bahwa hal-hal kecil di sepanjang kita sebenarnya juga bisa memberikan kebahagiaan.
Kebahagiaan Hakiki
Kebahagiaan sejati sesungguhnya datang di dalam diri kita. Bukan dari luar diri. Itu mengapa hal-hal yang tampak dari luar seperti harta, tahta, ketenaran, barang bermerek, dan pengakuan dari orang lain pada dasarnya bersifat netral. Kalaupun kita belum bisa menggapainya, bukan berarti kita tidak berhak bahagia.
Jika kebahagiaan saya ibaratkan sebagai sumber cahaya, kebanyakan orang justru mengejar bayang-bayangnya. Sehebat apapun mereka mengejar bayangan sendiri, mereka tidak akan pernah berhasil. Karena sumbernya ada di dalam dirinya.
Mayoritas orang ibarat mengejar kupu-kupu. Semakin mereka mengejarnya, maka semakin menjauhlah binatang nan cantik itu. Mereka mungkin lupa untuk menyediakan taman bunga agar kupu-kupu tersebut bisa sesering mungkin hinggap.
Kebahagiaan bisa digapai oleh siapa saja yang menerima takdirnya tanpa syarat. Menerima bukan berarti pasif atau pasrah tanpa upaya. Namun, berusaha menerima segala hal yang menghampiri hari-hari kita.
Kebahagiaan bisa direguk oleh siapa saja yang “hidup di saat ini”, apapun situasi dan kondisinya. Bukan milik orang yang terus-menerus menyesali masa lalu dan merisaukan masa depan.
Akhir kata, saya langsung teringat oleh petuah Guru saya di sebuah pondok modern di Nganjuk, Jawa timur; “Opo depe, opo colote.” Yang artinya, apa yang memang perlu dihadapi, hadapilah dengan ikhlas. Karena esensi hidup adalah menjalani apa yang telah digariskan-Nya se-apa-adanya.
Selamat berkarya sahabatku. Jangan lupa bahagia.
Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply