Baru-baru ini saya bertemu Cleo (bukan nama sebenarnya) di salah satu pusat perbelanjaan mewah di bilangan Senayan. Ia adalah seorang petani sukses dari Jawa Tengah yang penampilannya di Youtube telah ditonton oleh jutaan masyarakat Indonesia.
Lantas, apa yang menarik dari Cleo?
Sekilas tak banyak hal istimewa dari seorang Cleo. Terlahir dari orang tua petani di lereng Gunung Lawu, sejak kecil ia diajak ayah dan ibunya menggarap lahan di lereng gunung yang legendaris itu.
Sekilas tak banyak hal istimewa dari seorang Cleo. Terlahir dari orang tua petani di lereng Gunung Lawu, sejak kecil ia diajak ayah dan ibunya menggarap lahan di lereng gunung yang legendaris itu.
Sebagaimana anak-anak pedesaan lain pada umumnya, Cleo “teracuni” oleh sistem pendidikan. Atas saran guru SD hingga SMA-nya, ia pergi kuliah di ibukota untuk mengejar apa yang disebut dengan sukses.
Singkat cerita, Cleo hanya bertahan enam tahun di Jakarta. Ia tidak tamat kuliah karena menurutnya ia tak menemukan apa yang diinginkan dan dicarinya dalam hidup. Lagipula, sistem perkuliahan tidak cocok dengan jiwanya yang mendambakan kebebasan.
Cleo berstatu mahasiswa hanya tujuh bulan. Sisa lebih dari lima tahun hidupnya di Jakarta dimanfaatkan untuk bekerja apa saja untuk mewujudkan apa yang disebut dengan sukses. Segala pekerjaan ia lakoni mulai dari agen asuransi, agen MLM, pedagang, supir, hingga penagih utang.
Selama beberapa tahun bekerja, Cleo melihat nasib jutaan pekerja yang setiap hari memadati kota Jakarta. Pagi-pagi mereka berangkat bekerja ketika matahari belum terbit dan tiba di rumah ketika Isya telah dikumandangkan. Mereka memang mendapatkan gaji bulanan yang lumayan, namun uang yang diperoleh habis untuk menutupi berbagai cicilan. Di akhir pekan, para pekerja tersebut kebanyakan menghabiskan waktu di rumah atau “melarikan diri” ke malll guna membeli barang-barang yang dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan.
Selama di Jakarta, Cleo balik ke kampung halaman minimal dua kali. Biasanya pada libur lebaran dan tahun baru. Di dua momen itu ia menyempatkan diri mengamati kehidupan tetangganya di kaki gunung yang bersahaja namun “terlihat” bahagia.
Setelah kembali ke kampung untuk selama-lamanya, Cleo menjadi petani full time. Ia menjadi pelopor di daerah sekitarnya untuk menanam sayur-mayur organik yang berorientasi ekspor. Hasilnya? Masyarakat di sekitarnya 90% mengikuti jejaknya karena lebih menguntungkan.
Cleo mengaku ia lebih damai hidup di desa. Setiap hari ia bisa menghirup udara segar khas pegunungan. Ia bisa rutin sembahyang lima kali sehari dengan tepat waktu. Yang lebih penting lagi, ia bisa dekat dengan anak dan orang-orang terdekatnya. Tentu, ia juga tidak mendapati kemacetan gila yang dulu pernah ia alami di ibukota.
Bagaimana dengan rumah? Apakah Cleo harus bertahun-tahun mencicil biaya rumah ke bank? Tidak dong. Ia membeli lahan lalu membangun sebuah rumah dengan bantuan tetangganya.
Cleo memang memberikan saya begitu banyak pelajaran hidup. Namun dari itu semua ada satu yang begitu membekas di hati saya. Bahwa dalam hidup ini kitalah yang menentukan sendiri apa definisi kebahagiaan.
Terkadang kita terperdaya dengan iklan di berbagai kanal media. Seringkali kita membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain yang “terlihat lebih”. Namun, kita terus-menerus lupa untuk mendengarkan kata hati. Untuk menyadari apa yang benar-benar penting untuk dikejar atau apa yang benar-benar kita inginkan. Karena energi itulah yang membuat diri kita bahagia.
Sudahkah kamu bahagia? Apa arti kebahagiaan di matamu? Saatnya jujur dengan diri sendiri.
Agung Setiyo Wibowo
Mega Kuningan, 5 September 2019