Melihat Ke Bawah

Sejak belia, kita mungkin sudah terprogram untuk bermimpi besar, mematok target setinggi mungkin, dan menjadi yang terbaik. Tak mengherankan, hari demi hari kita berjalan di atas rel untuk mengejar apa yang dinamakan kesuksesan.
Seiring berjalannya waktu, kita tersadarkan juga. Bahwa keinginan manusia tak ada batasnya. Sehebat apapun pencapaian, kita sering kali merasa kurang, kurang, dan kurang.

Kita mudah sekali tergiring opini. Bahwa untuk mencapai titik tertentu kita harus memiliki tolok ukur yang wow. Tak mengerankan, entah disadari atau tidak, kita selalu membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain – khususnya dengan siapapun yang berada “di atas” kita.

Belum lama ini saya menikmati jogging pagi. Rutenya anti-arusutama yaitu pinggiran rel kereta api di bilangan Senen, Jakarta Pusat yang menurut orang banyak lekat dengan kumuh, padat penduduk, dan kurang aman.

Dan benar saja, persepsi sebagian orang tidak keliru. Langkah kaki saya yang gontai dibuat tercengang oleh banyaknya orang jompo, anak kecil, remaja, hingga pria maupun wanita paruh baya yang hidup memprihatinkan. Hidup berdempetan di gang-gang kecil yang “dihiasi” dengan kardus, tempat sampah, kucing, monyet, dan gubuk.

Tidak terhenti di situ. Saya dibuat terenyuh dengan banyaknya rumah petak berukuran sangat kecil. Sehingga, bisa terlihat betapa pengapnya ruangan. Berjejalan manusianya.

Ini berbeda dengan rute jalan santai selama ini di kawasan yang katanya elit. Sebut saja GBK Senayan, Mega Kuningan, Lapangan Monas, Kebun Binatang Ragunan, dan Kawasan Rasuna.

Selepas lari, saya pun merasa malu. Bahwasannya selama ini menghabiskan waktu dengan mengeluh atau tidak percaya diri karena merasa “kurang” dan “remah-remah”.

Saya seperti “ditampar” oleh Tuhan. Untuk mulai juga memandang ke bawah – bukan hanya ke atas.

Pada akhirnya, saya diingatkan oleh Semesta untuk hidup seimbang. Melihat ke atas boleh untuk memacu motivasi bekerja keras. Melihat ke bawah tidak ada salahnya untuk menempa rasa syukur.

Hidup itu sederhana saja sebenarnya. Terkadang kita tidak perlu liburan keliling dunia, membeli barang dengan merek ternama, menanamkan modal tanpa batas, atau memiliki jabatan paling mentereng untuk bahagia. Kita hanya perlu menerima diri kita apa adanya – tanpa menghakimi. Cukup dengan bersyukur. Hidup di saat ini, di mana pun tempatnya.

Kramat, 27 Oktober 2018

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply