Masyarakat Penyembah Hasil

“Anda termasuk orang yang mengedepankan hasil atau proses”?

Kalimat di atas nampaknya sering kita dengar dalam keseharian. Terlebih lagi dalam ranah bisnis. Dari Salesman bau kencur sampai para taipan kelas wahid saya rasa tidak pernah absen melontarkan pertanyaan yang satu ini.

Ngomong-ngomong, saya jadi teringat masa SMA. Satu fase yang begitu membekas di hati saya ketika menyikapi pertanyaan sederhana di atas.

Ceritanya begini.

SMA saya notabennya ialah sekolah berasrama yang mengedepankan nilai-nilai sufisme. Jadi, seluruh siswa benar-benar digembleng untuk mengharapkan hasil yang terbaik dengan proses yang benar. Sekilas mungkin terdengar  mudah, tapi prakteknya berbanding terbalik.

Teman-teman saya pada masa itu, sebagian besar berpikiran sempit. Ingin mendapatkan nilai ujian terbaik tapi tidak pernah belajar. Ingin menjuarai perlombaan, tapi mengabaikan persiapan (atau latihan). Ingin menjadi siswa cerdas nan pandai tapi tidak pernah membaca buku.

Selidik demi selidik, hampir 100% salah mengartikan fatwa yang dilontarkan para guru. Pasalnya, siswa memang diwanti-wanti untuk tidak mengejar nilai, tapi lebih ditekankan pada proses. Dari sini sudah cukup jelas sebenarnya.

Mungkin karena anak SMA, jadi pola pikirnya belum ‘terbentuk’. Yang terjadi ialah budaya belajar yang sangat menyedihkan. Malasnya minta ampun  . . .

Menginjak dunia profesional saya juga mendapati fenomena di masyarakat. Banyak salesman yang ingin mendapatkan komisi tinggi, tapi takut ditolak. Banyak anak muda ingin mendapatkan beasiswa di luar negeri tapi belajar bahasa Inggris saja ogah-ogahan. Banyak pula orang di luar sana ingin menjadi penulis tapi tidak pernah mencicil menulis. Dan masih banyak lagi contohnya.

Apa yang ingin saya tekankan di sini?

Masyarakat kita mungkin tergolong “penyembah” hasil. Dalam artian lebih menghargai hasil daripada proses. Jadi, tidak sedikit yang tidak mau tahu bagaimana upaya yang dikeluarkan. Yang penting hasil, hasil, dan hasil. Akibatnya?

Anda bisa lihat sendiri di sekitar kita.

Para Caleg, Cagub, atau Cabup ada yang dilarikan ke rumah sakit jiwa karena tidak kuat menghadapi kenyataan Pilkada. Para artis dan penyanyi banyak yang mengonsumsi obat-obatan terlarang karena ingin hasil yang prima di panggung. Beberap siswa lulusan SMA unggulan mengakhiri hidup karena tidak terima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi favorit. Para politisi merapat ke dukun untuk meraup suara yang diinginkan. Para biduan memakai susuk agar order mengalir manis. Dan berderet contoh lain.

Mengapa itu terjadi?

Mungkin mentalnya yang bermasalah. Banyak yang ingin menjadi pemenang, tapi tidak siap kalah. Banyak yang ingin sukses tapi tidak mau membayar harga “prosesnya”. Banyak yang ingin berhasil dalam hidup tapi hanya mau yang instan. Duh . . .

Lumrah sebenarnya. Karena saya sendiri pun pernah mengalaminya sebelum masa Sabbatical. Sebelumnya saya tidak terlalu percaya dengan yang namanya takdir. Karena saya pikir kalau kita mau berusaha, hasil pasti selalu berbanding lurus. Toh  kata pepatah “barang siapa menanam, pasti memanen”.

Sebenarnya ungkapan di atas benar. Tapi tidak sepenuhnya tepat. Karena ternyata porsi manusia ialah ada pada sisi proses, alias usaha, bin upaya. Hasil bukan pada kendali kita.

Saya ingat betul, 2 (dua) tahun “gagal” menembus PhD. Satu kenyataan yang sangat menyedihkan, memalukan, dan membuat kepercayaan diri saya hilang tak bersisa. Seakan-akan puluhan juta Rupiah yang saya keluarkan sia-sia. Sekonyong-konyong ribuan buku dan jurnal yang saya baca mubadzir. Dan tentu saja tidak terhitung berapa jam saya berkutat untuk berpikir. Berapa energi yang saya keluarkan untuknya.

Setelah berinteraksi dengan rekan-rekan. Apa yang saya lakukan belumlah apa-apa. Saya pernah berjumpa dengan seorang mahasiswa Indonesia di NTU yang memutuskan berhenti dari PhD karena kehilangan motivasi. Saya pernah bertemu dengan pemimpin daerah di kota saya yang menghabiskan ber-M-M (baca: ratusan Miliar) tapi tak terpilih dalam Pilkada. Saya pun teringat dengan kisah nyata seorang Rasul yang hanya mendapatkan pengikut belasan saja kendati sudah berdakwah puluhan tahun.

So, apa moral story?

Masyarakat penyembah hasil sulit untuk mencapai titik bahagia dalam hidup. Karena penghargaan seorang individu kepada sesamanya hanya dilihat dari apa yang terlihat. Seperti kepemilikan harta, exposure di media, atau jabatan tertentu yang sifatnya sementara.

Masyarakat penyembah hasil sulit untuk berdamai dengan diri sendiri. Karena mereka masih memerlukan pengakuan, validasi, atau persetujuan dari orang lain.

Masyarakat penyembah hasil lebih cenderung menghalalkan segala cara untuk mengejar titik yang menurut mereka bahagia. Para PNS atau politisi yang mencuri uang rakyat, para karyawan di perusahaan yang tidak amanah, para pedagang yang mengakali timbangan, para pengusaha yang menyuap pemerintah, atau para siswa yang tidak jujur dalam mengikuti Ujian Nasional.

Masyarakat penyembah hasil terbukti hanya fokus pada dunia. Memenuhi syahwat nafsu yang bermuara pada kekayaan, kekuasaan dan ketenaran.

Masyarakat penyembah hasil lupa dengan esensi hidup. Bahwa di Hari Akhir, Tuhan tidak akan mempertanyakan hasil. Melainkan proses. Karena setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban yang termaktub pada “rapor”. Serinci apapun proses yang ditempuh akan tercatat.

Jadi, rumus bahagia di dunia ini sederhana sih. Berusaha saja sebaik mungkin dalam mengejar apa yang menjadi mimpi kita. Tapi jangan sekali-kali melihat hasil karena itu di luar dari kendali kita.

Jadi, apakah Anda termasuk dalam golongan masyarakat penyembah hasil? Semoga saja tidak ya.

 

Agung Setiyo Wibowo

Mega Kuningan, 29 April 2017

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

One thought on “Masyarakat Penyembah Hasil

Leave a Reply