Tag: Sabbatical

  • Pelajaran dari Sabbatical

    Passion? Apa itu Passion?

    Aku pertama mendengar istilah ini seingatku ketika berada di semester akhir kuliah. Kebetulan waktu itu sedang booming salah satu buku Mas Rene Suhardono mengenai karier.

    Singkat cerita, sejak itu aku benar-benar tertarik dengan topik tersebut. Apalagi ketika aku mendapati diriku sendiri tidak menikmati pekerjaan di awal merintis karier.

    Drama pun resmi kumulai. Aku menjadi kutu loncat. Keluar-masuk pekerjaan dengan frekuensi yang sangat sering. Oh seberani itukah aku?

    Ya, benar. Namanya juga belum ada tanggungan haha. Belum mikir cicilan guys.

    Singkat cerita, di hari terakhir tahun 2015 aku memutuskan untuk mengambil keputusan ekstrem. Aku resign. Lalu aku memutuskan untuk Sabbatical di sepanjang tahun 2016.

    Keputusan itu mungkin dianggap gila oleh sebagian orang. Karena aku nekad keluar pekerjaan tanpa “planning”.

    2016 ngapain Mas Agung?

    Aku mengerjakan banyak hal random. Mulai dari membaca buku, merenung, bertemu ribuan orang, dan mencoba hal-hal baru.

    Apakah aku menyesal karena telah mengambil jeda selama setahun?

    Tidak sama sekali.

    Aku merasa itu salah satu episode terbaik dalam hidupku.

    Mungkin ratusan juta memang melayang. Tapi itu kuanggap sebagai “investasi” untuk mengenal diri sendiri. Karene bagiku itulah yang paling mahal.

    Berkat sabbatical, aku jadi mengerti apa yang membuatku bahagia. Dan apa kesuksesan versi diri sendiri.

    Bagaimana? Tertarik untuk mengikuti jejakku mengambil Sabbatical?

     

     

  • Mengapa Sabbatical itu Penting?

    Di sepanjang tahun 2016 hingga awal 2017, saya mengambil Sabbatical. Sebuah “keputusan berani” yang saya ambil di awal perjalanan karier saya. Sebuah keputusan yang belakangan ini begitu saya syukuri karena mengubah drastis cara saya memandang diri sendiri dan dunia. 
     
    Selama saya mengarungi Sabbatical, berderet kegiatan saya lakukan. Mulai dari membaca ribuan buku, bertemu ribuan orang, mencoba hal-hal baru, mencoba puluhan self-assesment, menjadi sukarelawan hingga traveling ke beberapa pulau terpencil di Indonesia dengan misi “mencari jati diri”.
     
    Tidak seperti sebagian besar teman-teman saya pada umumnya yang terus-menerus ambisius mengejar target demi target hidup, saya memberanikan diri mengambil jeda panjang karena ingin mengetahui apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Sebuah keputusan tidak populer yang awalnya mengundang cibiran dari berbagai pihak, namun tidak pernah saya sesali karena saya merasa “terlahir kembali” menjadi pribadi yang baru. 
     
    Sebenarnya apa itu sabbatical? Di Indonesia sendiri memang belum begitu populer sebagaimana di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris. Namun belakangan saya amati sudah semakin banyak masyarakat Indonesia yang menjalaninya dengan durasi bervariasi dari satu bulan, tiga bulan, hingga lebih dari setahun seperti yang saya pernah alami. 
     
    Sabbatical sendiri berasal dari bahasa Ibrani yaitu “Sabat” yang berarti istirahat dari pekerjaan. Istilah tersebut awalnya merujuk bagi para pemeluk Yahudi di Tanah Israel yang mengambil cuti bekerja selama setahun setiap tujuh tahun sekali. Dalam perkembangannya mulai tahun 1880 yang dipelopori Universitas Harvard, banyak universitas dan lembaga penelitian menawarkan kesempatan cuti panjang berbayar sebagai tunjangan karyawan. 
     
    Kebijakan cuti akademik tersebut awalnya dirancang untuk membantu para akademisi untuk beristirahat, melakukan riset, menulis untuk jurnal internasional, tugas belajar atau mengajar di kampus lain. Di kemudian hari Sabbatical tidak lagi dimonopoli oleh kalangan akademisi karena popularitasnya meningkat di abad ke-21. Menurut temuan Society For Human Resource Management, setidaknya 17% perusahaan menawarkan semacam kebijakan cuti panjang kepada karyawan mereka pada tahun 2017. Mereka dapat dibayar atau tidak dibayar dengan jangka waktu yang bervariasi, dari beberapa minggu hingga lebih dari satu tahun.
     
    Di Indonesia sendiri, Sabbatical lebih dikenal dengan istilah Cuti Besar atau Sabbatical Leave. Menurut pengamatan saya, cuti besar tersebut sudah mulai diberlakukan di kalangan dosen di perguruan tinggi, PNS, pekerja NGO, dan sejumlah perusahaan ternama. 
     
    Cuti panjang adalah “istirahat panjang” dari pekerjaan. Seseorang yang mengambil cuti panjang masih menjadi karyawan suatu institusi, tetapi mereka tidak harus melapor untuk bekerja atau menyelesaikan tugas harian mereka meskipun kebijakannya berbeda-beda di setiap lembaga. Beberapa individu menggunakan cuti panjang mereka untuk beristirahat dan bersantai. Perusahaan biasanya menawarkan cuti panjang kepada karyawan level tinggi yang telah menjadi bagian dari organisasi setidaknya selama lima tahun.

    Lantas, mengapa Sabbatical itu penting? Berdasarkan pengalaman pribadi dan temuan riset dari berbagai lembaga, berikut adalah beberapa manfaat mengambil Sabbatical  atau cuti panjang. 
     
    Pertama, memenuhi goal pribadi. Sabbatical adalah kesempatan besar bagi seseorang untuk memenuhi tujuan pribadi. Mereka dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang mereka tidak pernah punya waktu untuk mengeksplorasi sebelumnya. Misalnya, mereka mungkin mendapat kesempatan untuk menjadi sukarelawan di negara asing atau melakukan penelitian independen. Jika seseorang menggunakan cuti panjang mereka untuk terlibat dalam kegiatan produktif bukan hanya relaksasi, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang berharga dan meningkatkan pengetahuan mereka. Hal ini dapat menyebabkan kepuasan pribadi yang besar. Keterampilan dan pengetahuan ini juga terbukti berguna di tempat kerja, membuat mereka lebih berharga. Dalam konteks saya, saya berhasil merampungkan lima naskah buku selama masa jeda. Dua di antaranya adalah The Calling: Rahasia Menyadari Apa yang Benar-Benar Anda dan Tuhan Inginkan, dan c yang keduanya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. 
     
    Kedua, mengasah keterampilan. Secara umum, sebagian besar perusahaan menawarkan Sabbatical kepada karyawan yang lebih berpengalaman. Ketika karyawan yang berpengalaman berada jauh di berbagai negara untuk mengeksplorasi minat lain, karyawan yang lebih muda dapat mengambil lebih banyak tanggung jawab di dalam perusahaan. Mereka dapat mengembangkan keterampilan mereka, menerima tugas baru dan bahkan mengambil peran kepemimpinan. Karyawan yang lebih muda mungkin menjadi lebih percaya diri karena mereka memperoleh lebih banyak tanggung jawab. Mereka mungkin dapat menangani ketidakhadiran yang tidak terduga jika terjadi di masa mendatang. Perusahaan juga dapat melakukan perencanaan suksesi ketika posisi kosong tersedia di perusahaan. Secara keseluruhan, cuti panjang memungkinkan tenaga kerja perusahaan untuk beradaptasi dan menjadi lebih fleksibel.
     
    Ketiga, menemukan jati diri. Dalam konteks saya, inilah yang paling penting. Dengan mengambil jeda, saya memiliki lebih banyak waktu untuk bereksplorasi. Saya meminta bantuan psikolog, hypnotherapist, career coach, dan konselor untuk memberikan nasehat kepada saya. Dengan mempertimbangkan kekuatan, minat, bakat, keterampilan, dan passion; Sabbatical menjadi titik balik yang memandu saya untuk menyadari panggilan hidup. Berkat Sabbatical, saya semakin yakin dengan peta jalan atau ‘”cetak biru” karier di masa depan. 
     
    Keempat, memberikan perspektif baru. Sabbatical menawarkan waktu yang lebih panjang untuk bereksplorasi. Dalam konteks saya; dengan mencoba berbagai hal baru, bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, menjadi sukarelawan, traveling ke pulau-pulau terpencil yang jauh dari keriuhan megapolitan seperti Jakarta menyadarkan saya pentingnya hidup yang bermakna. Cara pandang saya melihat dunia berubah drastis. Saya menjadi semakin menyadari apa yang benar-benar membuat saya bahagia dan bermakna — bukan sekadar meraih keberhasilan semua di dunia yang fana ini. 
     
    Kelima, mengajarkan hakekat hidup. Jika ada ungkapan, “Pengalaman itu tidak bisa dinilai dengan uang”, saya sangat mengamininya. Kebanyakan orang di dunia ini mengejar cuan untuk bisa membeli barang-barang bermerek, jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, meraih popularitas atau kedudukan tertentu. Tidak ada yang salah memang menjadi manusia seperti itu. Namun yang keliru adalah ketika kebanyakan dari kita menunggu semua itu tercapai sebagai syarat untuk berbahagia, padahal kebahagiaan itu tanpa syarat alias tidak ditentukan oleh apa yang ada di luar diri kita. Sabbatical benar-benar mengajarkan saya untuk berdamai dengan diri sendiri, lebih berempati kepada orang lain, lebih menghargai waktu, dan lebih berkontribusi untuk dunia yang lebih baik. 
     
    Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah sudah mempertimbangkan untuk mengambil Sabbatical? Jika ya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. 
     
    Pertama, biaya. Pastikan Anda benar-benar cermat merencanakan anggaran biaya selama cuti panjang. Jangan sampai Sabbatical membuat cashflow Anda hancur. Alokasikan dana khusus untuk cuti panjang tanpa mengganggu anggaran biaya bulanan Anda. 
     
    Kedua, durasi. Tidak semua orang memiliki “privilege” menikmati Sabbatical selama lebih dari setahun seperti saya. Pastikan Anda mengetahui kebijakan di tempat kerja Anda sebelum mengambil cuti panjang. Pastikan Anda sudah memahami risiko sekaligus peluang yang akan Anda peroleh selama menikmati jeda. 
     
    Ketiga, goal. Setiap orang memiliki goal unik. Begitu pun Anda. Pastikan Anda memiliki alasan yang kuat dan goal yang jelas sebelum mengambil Sabbatical. Jangan sampai waktu yang Anda akan “investasikan” terbuang bercuma. Jangan sampai Anda menyesali keputusan Anda di kemudian hari. 
     
    Akhir kata, mengambil Sabbatical adalah pilihan. Karena hidup adalah memilih; tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri  Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.”
     
     
     
  • Sabbatical: Seni Menemukan Makna Hidup Dalam Jeda

    Jeda ialah kemewahan yang sepertinya sulit dicapai oleh manusia modern. Sebuah masyarakat yang identik dengan kejar-mengejar  kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran. Sebuah sistem sosial yang memuja-muja kesibukan, kecepatan, dan kompetisi di segala lini.

    Di Indonesia, jeda sepertinya masih dipandang tabu. Berhenti sejenak dari rutinitas nampaknya dianggap aib. Cuti agak panjang seringkali jadi bahan omongan. Karena katanya sukses identik dengan “bergerak”. Laksana mesin-mesin di pabrik.

    Namun, manusia bukanlah robot. Itu mengapa di  negara-negara Barat para lulusan SMA banyak yang “menunda perkuliahan” (Gap Year). Mereka menikmati satu tahun penuh untuk mencari apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup sebelum masuk ke jenjang perguruan tinggi.   Begitupun dengan kaum profesional. Lumrah saja mereka mengambil cuti yang berkisar dua bulan hingga setahun (Career Break). Biasanya diisi dengan traveling, volunteering, menekuni hobi, mencoba hal-hal baru, atau sekedar kontemplasi.

    Buku ini menuturkan kisah nyata penulis mengambil Sabbatical. Suatu fase yang dimanfaatkan untuk mencari jati diri. Suatu masa yang diisi untuk menemukan apa  yang disebut dengan kebahagiaan. Suatu periode yang membawanya mewawancarai lebih dari 1200 orang dari semua strata sosial untuk menceritakan apa makna hidup. Dari pengamen sampai presiden. Dari bhiksu sampai jenderal. Dari penyanyi sampai profesor.

    Disajikan dengan gaya bertutur tanpa menggurui, buku ini mengajak pembaca melihat kehidupan dari sisi lain. Berhenti sejenak dari kesibukan untuk menemukenali diri sendiri (self-discovery), mencari tahu apa yang paling dianggap penting dalam hidup, dan mendatangkan kebahagiaan tanpa syarat. Lebih dari itu, memoar ini menyadarkan pentingnya mencari jati diri sebelum mematok goal yang lekat dengan be, do, dan have.

     

    Apa Yang Dibahas Dalam Buku Ini?

    • Mengedukasi pentingnya mengambil Sabbatical yang belum jamak dilakukan oleh masyarakat Indonesia
    • Menyadarkan para pelajar dan mahasiswa mengapa mengambil Gap Year penting sebelum menentukan jurusan dan profesi
    • Menuturkan manfaat Career Break dari perspektif individu dan profesional
    • Memaknai keberhasilan dan kebahagiaan dari beragam sudut pandang
    • Mengulas “seni mencari jati diri” melalui berderet metafora sederhana
    • Menemukenali minat, bakat, kekuatan, potensi, passion dan panggilan hidup
    • Mengajak pembaca mempertanyakan tujuan hidup

     

    Keunggulan Naskah

    • Belum ada satupun buku asli Indonesia yang membahas Sabbatical, Gap Year, atau Career Break. Sehingga, buku ini menjadi rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mengambil “masa jeda” dalam hidupnya.
    • Menawarkan “intisari” penulis selama lebih dari setahun menikmati masa jeda.
    • Menguraikan pemaknaan hidup lebih dari 1200 orang di 50 kota dan 10 negara yang penulis temui selama masa jeda. Dari beragam latar belakang mulai dari Presiden, Menteri, Bupati, anggota DPR, Jenderal, dokter, pengacara, pemuka agama, artis, jurnalis, bankir, praktisi SDM, motivator, pembawa acara berita, PR, agen asuransi, petani, dosen, pelaut, programmer, pengusaha, dll.
    • Mengajak pembaca mempertanyakan tujuan hidup dengan metafora sederhana. Suatu hal yang sejatinya dibutuhkan oleh setiap orang tapi terabaikan.
    • Membantu pembaca memaknai kembali apa yang benar-benar diinginkan, dicari, diperjuangkan, dan dianggap penting dalam
    • Memberikan perspektif lain dalam memandang keberhasilan, kebahagiaan, kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran.
    • Menyadarkan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dari aspek spiritual, finansial, emosional, intelektual, keluarga, sosial, karir dan kesehatan.

     

    Apa Kata Mereka?

    “Hidup ini singkat. Itu mengapa sah-sah saja kita terus berpacu dengan waktu untuk mencapai target demi target. Namun kita sering lupa bahwa goal yang kita anggap bisa membuat bahagia tersebut ternyata hanya sementara. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk menjalani kemewahan yang tak bisa dibeli dengan Rupiah: Sabbatical. Saya rekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang ingin serius mengenal dirinya sendiri.”

    Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, M.M., CPHCM

    Guru Besar Manajemen SDM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

     

    “Sederhana tapi berisi. Mencerahkan tapi tidak menggurui. Nampaknya dua kalimat tersebut dapat mewakili memoar buku Mas Agung ini.”

    Muqsith Ahmadi

    Co-Founder & CEO of Authentic Guards Pte Ltd

     

    Career Break harus diakui belum populer di tanah air. Mungkin karena orang Indonesia pada umumnya tidak ingin dilihat do nothing. Bisa jadi karena persepsi  masyarakat kita yang menganggap kesuksesan harus identik dengan sibuk, bergerak, dan berpacu dengan waktu. Saya salut dengan penulis yang berani menyuarakan hal berbeda dari orang kebanyakan. Untuk Anda yang punya “nyali” dan berani menantang hidup, saya rekomendasikan buku ini.  Anda WAJIB membacanya!”

    Vita Harsono

    Grapho-Therapist – Transformational Coach – Healing Practitioner

    Founder of Grapho Solution

     

    Intro-spectare yang lazim diucapkan orang menjadi introspeksi, sesungguhnya sebuah proses spiritual penuh makna dan mendalam di mana seseorang bukan saja harus berhenti, tetapi juga menyelami dalamnya samudera jiwa dengan satu tujuan utama mencari jati diri murni, apa dan siapa kita sesungguhnya, dan mau ke mana jiwa dan diri ini akan diarahkan. tulisan Mas Agung ini memberikan banyak pencerahan sekaligus tuntunan bagaimana melakukan perjalanan spiritual untuk mencari dan menemukan ulang arah diri dan jiwa kita. Bravo Mas Agung dan tetaplah mencerahkan…”

    Haris Herdiansyah, M.Si

    Dosen Psikologi, Penulis dan Peneliti Kualitatif

     

    Break kerja setahun, gilaa…! Itu pikiran banyak orang. Namun mengambil jeda sejenak sesungguhnya aktivitas bermanfaat untuk membuat Anda tidak sekedar merilekskan fisik dan hati. Tapi kesempatan berharga memperoleh hal-hal yang takkan anda dapati ketika tetap bekerja dan bekal untuk membuat anda melambung lebih tinggi dalam prestasi. Tidak percaya? Simak memoar ini. Siapa tahu Anda jadi terinspirasi dan tergoda mengikuti jejaknya.”

    Nunki Nilasari

    Konsultan dan Pendiri Subconsious Communication Academy

    (Handwriting, Body Languange, Physiognomy & Intuition)

     

    “Buku apik yang ditulis oleh sahabat Agung Setiyo Wibowo ini mengantarkan kita ke daratan kebahagiaan. Tema Sabbatical, Gap Year atau Career Break yang diangkatnya menurut saya laksana pitstop dalam arena perlombaan kebaikan dalam akhirat (fastabiqul khairat). Siapapun membutuhkannya. Dengan gaya bertutur, kita akan diajak untuk memahami renyahnya kata dan kalimat yang disajikan dalam buku ini. Karena itu, milikilah dan bacalah agar apa yang Anda harapkan dapat terwujud.”

    Abdul Muin Badrun SE, ME

    Passion for Improving Life Trainer dan Founder www.akubisaberbuatbaik.com

     

    “Original!!! Inilah buku pertama tentang “sabbatical” yang ditulis oleh penulis Indonesia. Penuh hikmah dan pengalaman. Karya “riset bertutur” yang cair dan mendalam. Teman ideal bagi Anda yang tengah menggali makna hidup di rimba peradaban modern.”

    Guru Kepribadian, Inventor PRiADI Psychological Fingerprints (P2F)

     

    Career Break harus diakui belum populer di tanah air. Mungkin karena orang Indonesia pada umumnya tidak ingin dilihat do nothing. Bisa jadi karena persepsi masyarakat kita yang menganggap kesuksesan harus identic dengan sibuk, bergerak, dan berpacu dengan waktu. Saya salut dengan penulis yang berani menyuarakan hal berbeda dari orang kebanyakan.”

    Guruh Taufan, M.Kom

    Trainer dan Penulis Buku Statement Analysis

     

    “Sebuah buku yang syarat dengan inspirasi fresh, ringan, applicable dan sangat masuk akal sehingga  mudah dicerna. Sebuah ‘Kitab Suci’, khususnya untuk kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai pegangan dasar. Baca, pahami, gali dan lakukan. Buku yang syarat ide. Pak Agung mampu menceritakan dalam bahasa sehari-hari yang sangat lugas dan simple.”

    Alfa Maulana, MBA., CEC

    Sales & Leadership Professional Trainer

     

    “Buku ini memberikan perspektif yang berbeda tentang Sabbatical Leave. ‘Kekosongan’ selama periode sabbatical bisa memberi pencerahan, inspirasi, kreativitas dan penemuan yang belum terbayangkan sebelumnya.”

    Rudy Efendy, CPCC, ACC, NLP, CWM, CHRM

    Executive Coach, Facilitator & Trainer

     

    Jangan engkau mendayung perahumu terus-menerus tetapi berhentilah sejenak untuk melihat arah. Itu kata bijak yang sangat sesuai menggambarkan buku ini. Pelita bagi kita semua yang larut dengan berderet aktivitas. Ambilah jeda itu … dan buku ini sangat saya rekomendasikan untuk Anda.”

    Nur Fannie Prasetyo, MBA, ACC

    Life, Business & Corporate Coach

    Learning Development Consultant  & Corporate Trainer

     

     

    Mau Pesan?

    Gampang! Hubungi +62 819- 0861-2832 (Krishna).

  • Buah Semedi Itu Bernama Life Mantra

    Mungkin semua orang pernah menikmati liburan. Tapi saya yakin belum tentu semua orang berani keluar dari pekerjaan hanya untuk “semedi”. Satu aktifitas yang dianggap buang-buang uang, waktu, tenaga dan pikiran.

    Gw sendiri memutuskan “bertapa” selam 1 (satu) tahun penuh. Meninggalkan karir yang cukup baik (untuk ukuran kelas menengah Indonesia). Menjalani hari demi hari tanpa perlu menunggu perintah bos, aturan waktu yang mengikat, dan gaya hidup yang nyaman. Satu fase yang penuh dengan hal-hal paling mengejutkan dalam hidup.

    So, apa yang didapatkan selama semedi? Ada banyak. Tapi salah satunya ya buku kecil berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life CrisisHanya butuh 2 minggu menuliskan “bocah” ke-8 saya ini. Tapi, isinya tidak main-main.

     

    So, apa sih pesan dari “jabang bayi” ini?

    1. Saripati (>) 1/4 abad petualangan, pergumulan bathin dan kontemplasi menjalani hidup.
    2. “Oleh-oleh” 1 tahun penuh masa Sabbatical (Gap Year) melintasi lebih 16 provinsi, ratusan kota dan ribuan desa. Termasuk 6 bulan “semedi” di sebuah pulau (surga) di bibir Selat Malaka 😛
    3. Riset saya pribadi yang menghabiskan wawancara face to face (maupun virtual) lebih dari 500 orang di 20 provinsi, 35 kota, dan 7 negara. Mulai dari Profesor, CEO, Menteri, Juru Bicara Presiden, Rektor, anggota DPR, bankir, penulis, artis, dokter, pengacara, pedagang, bhiksu, motivator, penyanyi, Pemimpin Redaksi, Panglima TNI, ilmuwan, politisi, PR, akuntan, petani, hingga profesional dari berbagai bidang.
    4. Studi literatur yang “memakan” lebih dari 1300 buku. Sebagian besar terbitan USA dengan perspektif (peradaban dan pemikiran) gado-gado. Mulai dari Islam, Barat, Kejawen, Yahudi, Persia, Tiongkok, dan Hindi.

    Baca Juga:  Ngapain Aja Gue Selama “Semedi”? —– Apa Yang Gue Dapet Selama Gap Year? —– 4 Hal Yang Harus Lho Pikirkan Sebelum Sabbatical

     

    Mengapa buku ini gw tulis?
    Simple saja. Gw pernah berada di titik terendah dalam hidup bertajuk Quarter-Life Crisis. Mencoba berdamai diri sendiri dengan mendatangi para bijak bestari, yogi, dan mencari “diri yang hilang” melalui beragam cara. Memakai jasa hipnoterapis, Life Coach, psikiater, grafolog, hingga psikolog. > 50 Self-Assesment multipendekatan (dan teknologi) telah gw coba.

    Gw nggak ingin adik-adik generasi di bawah gw mengalami hal yang sama. So, buku ini tidak berisi bualan. Bukan curhatan sampah. Bukan pula rangkaian kata-kata untuk (sok) memotivasi. Buku ini murni hasil perenungan berbasis riset ilmiah.

    Buku ini nggak berisi kutipan sono-sini yang penuh teori. Tapi sarat dengan Work Book. So, rugi banget kalau hanya sekedar membaca tapi nggak mau mengerjakan “tugas” dari gw.

    Dan . . . . buku ini dilengkapi dengan berderet pendekatan untuk mengenali diri pembacanya. Self-Discovery paripurna. Inshaallah.

    Gw ucapkan banyak terima kasih untuk para Guru Kehidupan yang telah memberikan testimoni. Bapak Asep Saefuddin, Kang Dedi Priadi, Mas Kemal Gani. dan Coach Andrew Tani.

     

    13 Maret 2017 bisa didapatkan di Gramedia terdekat di seluruh Indonesia. Semoga nggak molor ya hehe.

  • Apa Pelajaran Selama Masa Sabbatical?

    Sepanjang 2016 hidup saya bak drama. Betapa tidak. Rutinitas 9-5 tiada. Tiada bos, tiada bawahan. Yang ada hanyalah menjadi anak bolang. Seorang yang dengan sadar memilih untuk jeda sejenak dari hiruk-pikuk kejar-mengejar target hidup.

    Itulah Sabbatical. Satu pengalaman yang mungkin tidak terulang dua kali. Satu episode perjalanan yang sarat dengan hikmah.

    Lantas, apa yang kamu dapat Mas Agung? Bukannya kamu buang-buang waktu dan uang saja? Nggak sayang tuh tidak bekerja selama setahun?

    Heiiii, hidup memang butuh uang. Tapi bukan berarti semua aktivitas kita bisa dinilai dengan uang toh?

    Oke deh. Kali ini saya beberkan apa saja sih yang saya pelajari selama masa jeda. Yuk mareee …..

     

    Baca juga: Mau Jalani Sabbatical? Pikir-Pikir Dulu Deh . . .  *** Apa Yang Saya Lakukan Selama Masa Sabbatical?

    Hidup Adalah Perjalanan

    Klise sekali bukan? Yes, apa boleh buat. Begitulah kenyataannya. Manusia bisa berencana sekece badai apapun. Tapi toh kita nggak akan tahu persis apa yang benar-benar mengisi setiap episode hidup ini. Yang paling simple deh, bisa nggak lho menentukan kapan waktu lahir dan mati, nikah dan beranak, atau menghindari sakit? Mungkin merencanakan bisa aja ya. Tapi, hasil bukanlah wewenang kita.

    Seperti saya sendiri. 2016 ini harusnya saya sudah berada di negeri orang. Bergumul dengan buku dan jurnal lagi dalam misi Strata Tiga jika dicocokkan dengan rencana 2015.  Kenyataannya, saya justru mengurungkan niat untuk sekolah lagi karena satu dan lain hal. Hanya ikhlas yang menjadi obat untuk bahagia di titik  ini.

     

    Waktu Takkan Pernah Terbeli

    Yes, Tuhan paling adil kalau yang satu ini. Siapapun diberi jatah waktu yang sama. Satu hari ada 24 jam kan? Mana ada orang yang hanya diberi 20 jam atau 12 jam hanya karena Tuhan marah kepada mereka? Ehhehehe.

    Eh beneran deh. Waktu itu mahal sob. Makin banyak urusan, makin tinggi jabatan, makin besar pengaruh; waktu berasa begitu kurang.

    So, buat setiap detik bermakna dalam hidupmu. Apapun rencana, target, dan tujuan hidupmu. Karena waktu yang telah berlalu nggak akan bisa diputar ulang. Lantaran waktu nggak bisa dibeli. Misal gini deh, lho ditakdirkan Tuhan di usia 90 tahun. Sebanyak apapun uang yang kau miliki mana bisa lho membeli 1 atau 5 tahun untuk menunda kematian? Ya kali . . . . .

     

    Hidup Adalah Pilihan

    Setiap saat kita dihadapkan pada pilihan. Entah dari yang remeh temeh seperti mau makan apa, mau rapat jam berapa, atau mau pakai baju apa di pesta. Hingga urusan njlimet sekelas menentukan pekerjaan, rumah, dan jodoh. Kenyataannya, hidup memang serangkaian dari pilihan yang seakan tak berujung.

     

    Tujuan Hidup Itu Kompas

    Hidup ini singkat saudara-saudara. Kita nggak akan pernah tahu di usia berapa Tuhan mencabut nyawa ini. So, kalau mau hidupmu bermakna ya harus tahu tujuan hidup. Jika tidak ada tujuan, hidup kita akan “muter-muter” saja bak benang kusut.

    Misalnya gini deh. Lho sekarang lagi ada di Kota Jakarta. Lagi bingung nih mau balik ke mana. Sampai 1 abad pun lo akan muter-muter di Jakarta jika tak tahu arah pulang. Berbeda ceritanya jika lo udah mantap mau pulang ke Surabaya. Cara menuju ke Kota Pahlawan bisa via udara, darat, dan laut. Lewat darat pun masih bisa memilih dengan mobil pribadi, kereta api, jalan kaki, bus, hingga sepeda motor.

    Jadi, nggak berlebihan kan kalau tujuan hidup itu seperti kompas? Ya penunjuk arah ketika kita tersesat. Ia menjadi cahaya ketika kita berada dalam kegelapan. Ia menjadi energi ketika kita sedang terpuruk. Ia penunjuk jalan yang mengantarkan langkah-langkah kecil kita setiap hari.

     

    Bahagia Itu Sederhana

    Sebenarnya apa sih yang kita cari di dunia ini? Kita rela banget capek macet-macetan di jalan hingga berjam-jam. Di akhir pekan, tak jarang kita masih kejar setoran agar bisa lebih cepat memiliki A, agar bisa mencapai X, agar bisa mencapai G. Kita seringkali menggadaikan waktu-waktu emas bersama keluarga hanya untuk mengejar angan-angan yang seperti tak ada ujungnya. Apa sih yang kita mau sebenarnya?

    Golongan Satu mungkin sekarang berapi-api ingin bebas secara finansial. Karena menurut mereka jika harta sudah mencapai titik tertentu, mereka tinggal ongkang-ongkang kaki, kipas-kipas cantik sambil, berleha-leha di pantai sambil minum bir? Sesederhana itukah? Kayaknya nggak deh. Saya nggak percaya tuh dengan “kebebasan finansial”. Karena setajir apapun orang, nggak ada tuh ceritanya menganggur. Nggak ada tuh kata malas. Yang ada mereka bergerak, apapun yang dikerjakan.

    Sama seperti Bapak saya deh. Di usianya yang sudah mendekati 70, harusnya beliau nggak usah ngoyo. Diam saja di rumah. Tapi faktanya, beliau sebaliknya. Bekerja ialah panggilan hidupnya. Jadi mau bagaimanapun tiap saat harus ada yang dilakukan. Setali tiga uang dengan donor S1 saya. Beliau adalah salah satu dari 30 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Dengan pencapaian itu, mungkin kita pikir dia hanya menikmati masa tuanya dengan males-malesan di kasur, tidur-tiduran di pantai, atau foya-foya menghabiskan uangnya yang nggak terhitung jumlahnya. Kenyataannya tidak. Justru beliau makin rajin berderma. Menyumbangkan rizkinya untuk amal. Memberi beasiswa, menyantuni kaum miskin, dan memajukan gurita bisnisnya.

    So, omong kosong deh kalau bahagia itu mahal. Karena yang sebenarnya justru sebaliknya. Bahagia begitu sederhana. Nikmati aja apa yang kamu miliki sekarang. Nikmati saja peran kamu sekarang. Nikmati saja perjalanan hidupmu sekarang. Nggak perlu menunggu mencapai ini itu, memiliki ABC, atau menduduki kursi XYZ.

     

    Kunci Sukses

    Yes, setiap orang saya yakin pasti mau sukses. Lihat saja sejak kecil kita sudah bersaing ketat untuk meraih peringkat pertama di kelas. Menjadi yang terbaik! Ketika menjadi karyawan, berjuang mati-matian agar bisa segera naik ke level CEO. Ketika bisnis sendiri, kita berambisi seperti api agar usaha makin menggurita dengan keuntungan tak terbatas.

    Singkat kata, detik demi detik kita seperti dalam perlombaan. Seperti kesetanan dikejar anjing galak di tengah hutan rimba. Ya kali . . .

    Manusiawi memang. Setiap individu menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Entah kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan.

    Masalahnya, apa sih sukses itu? “Makanan” macam apa tuh? Apakah definisi suksesku sama dengan suksesmu? Apa parameter sukses?

    Yes, kunci sukses itu satu teman-teman. Menjadi diri sendiri. Bagi saya, sukses ialah ketika dari waktu ke waktu kita makin menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat kepada sesama, lebih menciptakan dampak positif, lebih dapat memberikan nilai tambah. Dan tentunya menjadi seseorang yang dari hari ke hari makin dicintai oleh Tuhan.

    Itu artinya apa? Sukses nggak perlu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Nggak ada parameter universalnya. Sukses adalah perjalanan hidup kita itu sendiri. Bagaimanapun alur ceritanya.

     

    Pada akhirnya, Sabbatical merupakan salah satu keputusan terbaik di usia 20an saya ini. Memang ya sih, ia tidak menawarkan materi yang berlimpah. Tidak pula menawarkan gaya hidup yang glamor. Tapi ia mengajarkan makna hidup nan hakiki. Juga menunjukkan kompas hidup  yang tidak bisa ditukar dengan Rupiah.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 3 Desember 2016

  • Apa Yang Saya Lakukan Selama Masa Sabbatical?

    30 Desember 2015 menjadi awal petualangan saya. Di hari itu, untuk kesekian kalinya saya berpisah dengan orang-orang terbaik di lingkaran pekerjaan. Ada perasaan gembira, sedih, bangga, puas, jatuh, kecewa, takut, gamang, sekaligus bebas. Ibarat pancaroba, babak kehidupan saya berikutnya resmi dimulai.

    Sabbatical memang telah saya rencanakan. Mengambil jeda setelah bertahun-tahun kuliah dan kerja. Menikmati petulangan yang sarat dengan ketidakpastian dan kejutan. Kedengarannya menarik ya liburan berhari-hari bahkan berbulan-bulan? Kenyataan tidak selamanya demikian.

    Lalu, apa aja yang lho lakuin Mas Agung? Ada banyak. Buaanyakkkk. Jika disebutkan, ada beberapa kegiatan utama:

    Pertama, traveling. Ini mah nggak usah diomongin lagi ya.  Di masa ini saya berkesempatan menjelajahi beberapa pulau cantik Indonesia. Tak tanggung-tanggung ada banyak pulau yang saya singgahi. Bertemu dengan orang-orang baru di jalanan. Mencicipi kulinernya. Dan tentu saja menghadapi hal-hal di luar dugaan yang mendewasakan.

    Kedua, research. Kedengarannya berat sekali kan melakukan riset? Tapi tunggu dulu. Riset yang saya lakukan saya buat semenarik mungkin. Lagian juga dari, oleh, dan untuk saya. Apa gunanya dibuat garing?

    Ketiga, networking. Yes, ini tak boleh dilewatkan. Kendati nggak terikat dengan pekerjaan bukan berarti membina hubungan manusia terhenti. Itu mah bukan tipe saya. Di masa ini saya memiliki privilege untuk bertemu orang dari berbagai kalangan. Mulai dari panglima TNI, menteri, motivator, rektor, pengusaha, CEO, profesional PR, Ketua DPRD, petani, nelayan, pedagang asongan, pemulung, pengemis, suhu pemasaran, agen asuransi, agen properti, polisi, kuli bangunan, karyawan pabrik, supir, Office Boy, pembantu rumah tangga, dan masih banyak lagi. Saya anggap mereka semua guru saya dalam kehidupan. Makanya saya mau bertemu hehe.

    Keempat, spirituality. Nggak boleh terlewatkan ini mah. Ketika runitinas normal ditinggalkan, mencari ketenangan bathin sudah tidak bisa ditawar lagi. Ini pengalaman yang mungkin paling dramatis dalam hidup ketika saya harus up and down mencari jati diri untuk “berkenalan dengan Tuhan”. Singkat katanya sih memperbaiki dirilah. Kembali ke “jalan yang benar” lagi. Kalau boleh jujur, ini merupakan pengalaman paling berharga di masa Sabbatical mengalahkan atribut pencapaian duniawi lainnya.

    Kelima, reading. Yup, saya menghabiskan hampir 1000 buku terbitan Barat dan lokal di masa ini. Semua bacaan saya lahap. Genre apapun. Dari yang serius banget sampai yang nggak penting.

    Keenam, family gathering. Saya berkumpul dengan orang tua dengan rekor terlama sejak saya pertama merantau. Biasanya kalau liburan paling lama satu atau dua minggu. Ini mah lama banget. Jadi nostalgia masa kecil deh. Kapan lagi bisa ada waktu berlama-lama di rumah kalau nggak pas Sabbatical?

    Ketujuh, volunteering.  Mungkin kalau ketika di hari biasa terlalalu disibukkan dan dipusingkan dengan rutinitas, masa jeda harus dimanfaatkan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Salah satunya dengan menjadi sukarelawan. Apapun bidangnya. Saya sendiri melakukan beberapa hal sekaligus.

    Kedelapan, contemplating. Yang  ini mah nggak usah ditanya. Semua orang yang menjalani career break, dengan sendirinya pasti berkontemplasi. Memperbanyak me time. Meningkatkan “interaksi” dengan diri sendiri. Membuat rencana-rencana aksi ketika sudah kembali ke “kehidupan normal”

    Kesembilan, projects. Rugi banget kalau ambil masa jeda tapi do nothing. Nah, mending emang fokus mengerjakan proyek yang sesuai dengan hati. Jangan terlalu mikirin Rupiah deh. Kalau kita ngerjain dengan hati, biasanya kan hasil nggak menghianati usaha to?

     

    Di luar sembilan hal di atas, masih ada beberapa kegiatan minor yang mengisi sela-sela waktu. Semuanya saling mendukung untuk self-discovery, mewujudkan personal fulfillment, dan mereguk kedamaian bathin yang tak mudah tereguk. Jadi kalau ditanya apakah menyesal atau tidak mengambil Sabbatical, jawaban saya TIDAK!  Selamat mencoba sendiri kawan.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Bintan, 23 Oktober 2016