Tag: Menulis

  • Kapan dan Mengapa Anda Membutuhkan Ghostwriter — Bahkan Jika Anda Merasa Jago Menulis

    Pernahkah Anda merasa punya banyak ide, tetapi waktu Anda habis sebelum sempat menuliskannya dengan rapi? Atau Anda sudah menulis, tetapi hasilnya terasa biasa-biasa saja, tidak sepadan dengan reputasi besar yang Anda miliki?

    (more…)

  • Menulis Buku Itu Sulit, Tapi Bukan Berarti Tidak Mungkin

    Pernahkah Anda punya keinginan kuat untuk menulis buku, tapi selalu terhenti di pertanyaan yang sama: “Harus mulai dari mana, ya?”
    Mungkin Anda sudah mencoba menulis beberapa paragraf, lalu berhenti karena bingung bagaimana melanjutkannya. Atau ide-ide sudah menumpuk di kepala, tapi ketika jari-jari mulai mengetik di laptop, semuanya mendadak hilang. Bahkan ada juga yang sudah menyiapkan outline dengan rapi, namun akhirnya terbengkalai karena rutinitas pekerjaan yang tak ada habisnya.
    (more…)

  • Konsistensi dalam Berkarya: Kunci Sukses Penulis Best-Seller

    “Bro, gimana sih caranya lo bisa jadi penulis best-seller? Gua nulis baru sebulan udah bosen banget, ide mentok terus!”

    Pertanyaan kayak gini sering banget mampir di DM gue. Jawabannya selalu sama: konsistensi, cuy! Bukan cuma soal bakat atau ide brilian, tapi seberapa tahan lo untuk tetap nulis walau lagi gak mood, gak laku, atau bahkan gak tahu bakal dibaca siapa.

    Lo tau gak, J.K. Rowling dapat 12 kali penolakan sebelum Harry Potter diterima penerbit? Bahkan Stephen King pernah buang naskah Carrie ke tempat sampah karena merasa gak pede. Tapi mereka terus nulis. Itu yang bikin mereka beda: konsisten.


    Apa Itu Konsistensi? Kenapa Penting?

    Konsistensi itu sederhananya “tetap jalan walau lagi susah.” Menurut penelitian dari European Journal of Social Psychology, butuh waktu rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Tapi kalau bicara karya, itu soal lifetime commitment.

    Banyak yang nyerah di tengah jalan karena ngerasa progress lambat. Padahal, menurut Creative Artists Agency (2022), 95% penulis sukses itu mencapai puncak kariernya setelah 5–10 tahun berkarya terus-menerus. Konsistensi itu kayak menanam pohon: lo siram tiap hari, tumbuhnya pelan, tapi lama-lama jadi kokoh.


    Tantangan dalam Konsistensi

    Tapi, siapa sih yang gak pernah ngerasa stuck? Gue juga pernah. Ada masa-masa gue cuma jual belasan buku di awal karier. Kadang mikir, “Apa gue mending balik kerja kantoran aja?”

    Kalau lo lagi ada di fase ini, inget kata-kata Angela Duckworth dalam bukunya Grit: “Success is a marathon, not a sprint.” Orang yang sukses bukan yang paling berbakat, tapi yang paling gigih.


    Tips Menjaga Konsistensi Berkarya

    Gue paham, konsisten itu gak gampang. Tapi coba deh, lo praktekin hal-hal ini:

    1. Bikin Jadwal Nulis Rutin
      “Disiplin ngalahin motivasi, bro.” Lo gak bakal nunggu mood datang, karena mood itu gak bisa diandalkan. Bikin target harian: 500 kata sehari, misalnya.
    2. Fokus ke Proses, Bukan Hasil
      Banyak penulis pemula yang terlalu mikirin “Bakal laku gak ya?” sampai lupa menikmati proses nulis. Nikmati aja. Tulisan jelek hari ini bakal jadi pelajaran buat tulisan besok.
    3. Ikut Komunitas
      Bergabung dengan orang-orang yang punya visi sama bakal bikin lo tetap semangat. Cari feedback, ikut diskusi, dan temuin support system.
    4. Evaluasi Diri
      Tiap bulan, coba lihat progress lo. Kalau hasilnya gak sesuai target, jangan kecewa. Cari tahu apa yang bisa diperbaiki.

    Konsistensi Itu Berbuah Manis

    Gue butuh hampir 10 tahun sampai akhirnya bisa bikin buku best-seller. Sebelum itu, gue jualan buku sendiri, door-to-door. Kadang laku, kadang enggak. Tapi semua itu jadi pelajaran.

    Statistik dari Forbes bilang, hanya 1% penulis yang bisa hidup dari menulis di tahun pertama. Tapi, angka ini naik ke 25% setelah 5 tahun konsisten. Apa artinya? Lo cuma kalah kalau berhenti.

    Jadi, kalau sekarang lo lagi ngerasa jalan di tempat, inget: yang penting terus jalan. Lambat gak apa-apa, asal gak berhenti.


    Penutup: Lo Siap Konsisten?

    Sukses itu gak datang semalam. Tapi kalau lo konsisten, percayalah, hasilnya gak bakal bohong.

    “Mending lo mulai lagi dari sekarang, bro. Siapa tahu karya lo yang berikutnya bakal jadi best-seller. Ayo, gas pol nulis lagi!”

  • Pentingnya Kemampuan Menulis di LinkedIn

    Rina: “Eh, kamu kok rajin banget nulis di LinkedIn sekarang? Aku suka, sih, baca postingan kamu. Tapi jujur, aku sering bingung mau nulis apa. Rasanya kayak nggak pede gitu, takut nggak ada yang baca.”

    Ardi: “Iya, awalnya aku juga ngerasa gitu, Rina. Tapi ternyata, konsisten menulis di LinkedIn itu bikin aku makin dikenal. Nggak cuma soal engagement, tapi juga banyak yang mulai kontak aku untuk kolaborasi dan proyek. Ternyata, kemampuan menulis itu powerful banget buat bangun trust dan branding, apalagi di platform profesional kayak LinkedIn.”

    Pentingnya Kemampuan Menulis di LinkedIn: Kunci Membangun Hubungan, Trust, dan Kesuksesan

    Di era digital ini, LinkedIn menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan untuk networking profesional. Bukan cuma tempat cari kerja atau update CV, LinkedIn adalah tempat kita bisa membangun personal branding, menambah koneksi, hingga mempromosikan bisnis. Salah satu cara terbaik untuk mencapai itu semua adalah dengan menulis.

    Banyak orang berpikir, menulis di LinkedIn itu ribet, susah, dan hanya untuk mereka yang “jago nulis”. Padahal, kemampuan menulis itu bisa dipelajari, dan manfaatnya sangat besar bagi karier dan bisnis kita.

    Mengapa Menulis di LinkedIn Penting?

    1. Meningkatkan Personal Branding

      Dalam teori Personal Branding dari Tom Peters, membangun personal brand adalah tentang bagaimana kita memperkenalkan diri dan membedakan diri dari orang lain. Di LinkedIn, menulis secara konsisten adalah cara yang efektif untuk menunjukkan keahlian kita dan memperkuat citra diri. Melalui tulisan, kita bisa membagikan pengetahuan, pengalaman, dan opini kita terhadap tren industri. Ini membantu audiens memahami siapa kita, apa keahlian kita, dan apa yang kita perjuangkan.

    2. Membangun Koneksi yang Lebih Kuat

      Menulis di LinkedIn bukan cuma soal “mendapatkan likes” atau “views”, tapi juga membangun hubungan. Saat kita membagikan pengalaman atau insight, kita membuka ruang diskusi dengan audiens yang punya minat yang sama. Menurut teori Reciprocity dari Robert Cialdini, ketika kita berbagi sesuatu yang bermanfaat, orang lain merasa terdorong untuk merespons atau memberikan timbal balik. Menulis konten yang relevan dan bermanfaat bisa memicu interaksi yang lebih mendalam, dan pada akhirnya membantu kita membangun jaringan yang kuat.

    3. Meningkatkan Trust dan Kredibilitas

      Menulis secara konsisten di LinkedIn tentang topik yang kita kuasai bisa membuat orang melihat kita sebagai thought leader atau ahli di bidang tertentu. Menurut teori The Trust Equation dari Charles Green, kepercayaan dibangun melalui kredibilitas (apa yang kita katakan dan tulis), keandalan (konsistensi kita), dan keintiman (seberapa kita bisa connect dengan audiens). Dengan berbagi wawasan, pengalaman, atau pandangan kita, kita menunjukkan bahwa kita memiliki pemahaman yang mendalam dan dapat dipercaya di bidang tersebut.

    4. Melejitkan Karier dan Membuka Peluang Bisnis

      Banyak orang yang memulai menulis di LinkedIn tanpa ekspektasi tinggi, tapi akhirnya mendapatkan peluang karier atau bisnis yang tak terduga. Ketika kita membagikan konten yang bermanfaat dan relevan, kita menarik perhatian bukan hanya dari audiens biasa, tetapi juga dari perekrut, pemilik bisnis, atau calon klien yang mencari seseorang dengan keahlian tertentu. Menulis bisa menjadi “pintu masuk” yang membuka kesempatan baru dalam karier atau bisnis kita.

    Tips Efektif Menulis di LinkedIn

    1. Pahami Audiensmu

      Sebelum mulai menulis, pahami siapa target audiensmu. Apakah mereka profesional muda, pengusaha, atau pekerja di industri tertentu? Mengetahui siapa yang akan membaca tulisan kita membantu kita menentukan topik dan gaya bahasa yang tepat. Cobalah menulis konten yang bisa memberikan nilai tambah bagi mereka, misalnya tips karier, tren industri, atau insight dari pengalaman pribadi.

    2. Gunakan Gaya Bahasa yang Natural dan Relatable

      LinkedIn memang platform profesional, tapi bukan berarti kita harus selalu kaku dan formal. Cobalah menulis dengan gaya yang lebih natural, seolah-olah kamu sedang berbicara dengan teman. Ini membuat tulisan kita lebih mudah dicerna dan lebih enak dibaca. Cerita yang relatable juga lebih disukai karena orang bisa merasa terhubung dengan pengalaman kita.

    3. Berikan Nilai dalam Setiap Tulisan

      Pastikan setiap tulisan yang kamu buat memberikan nilai bagi pembaca. Misalnya, kalau kamu bercerita tentang kegagalan, sertakan pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman itu. Tulisan yang memberikan insight atau tips yang bermanfaat lebih mungkin untuk dibagikan dan mendapatkan engagement yang tinggi.

    4. Konsisten Menulis

      Konsistensi adalah kunci. Mungkin awalnya kamu tidak akan mendapatkan banyak likes atau komentar, tapi jangan menyerah. Seiring waktu, jika kamu konsisten dan kontenmu relevan, audiens akan mulai mengenali dan mengikuti tulisanmu. Konsistensi ini juga menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang dedicated dan serius dalam membangun personal branding.

    Contoh Nyata: Kesuksesan Melalui Menulis di LinkedIn

    Salah satu contoh yang inspiratif adalah Rizky Aditya, seorang marketing strategist yang awalnya hanya berbagi insight tentang digital marketing di LinkedIn. Dengan konsistensi dan fokus pada topik yang ia kuasai, Rizky berhasil mendapatkan ribuan followers. Melalui tulisan-tulisannya, ia membangun reputasi sebagai ahli di bidangnya dan mendapatkan banyak tawaran kerja sama bisnis, bahkan diundang sebagai pembicara di berbagai acara.

    Kesimpulan

    Kemampuan menulis adalah keterampilan yang bisa sangat berharga, terutama di LinkedIn. Dengan menulis secara konsisten dan berkualitas, kita bisa membangun personal branding yang kuat, menjalin hubungan yang lebih baik dengan audiens, dan meningkatkan trust serta kredibilitas di mata profesional lainnya. Menulis di LinkedIn bukan hanya soal berbagi pengetahuan, tetapi juga tentang membangun network, membuka peluang baru, dan melejitkan karier maupun bisnis kita.

    Jadi, apakah kamu sudah siap untuk mulai menulis di LinkedIn? Jangan ragu untuk berbagi cerita, insight, atau pengalamanmu. Ingat, setiap tulisan yang kamu bagikan bisa menjadi langkah kecil menuju kesuksesan besar. Selamat menulis dan sukses selalu!

  • Mengapa Menulis bisa Menyembuhkan dan Membahagiakan?

    Banyak orang memiliki trauma, fobia, luka batin dan berderet penyakit yang berhubungan dengan emosi lainnya. Sayangnya, tidak setiap orang mau dan mampu mengekspresikan atau melepaskannya. Setelah sekian lama dipendam, semua itu akan “meledak” menjadi penyakit yang berdampak fatal. Seperti jantung, ginjal, kanker, diabetes, paru-paru dst.
    Kabar baiknya, kita semua mampu mengatasi itu semuanya dengan cara yang mudah. Salah satunya melalui terapi menulis.
     
    Menulis (secara ekspresif) memang tidak hanya dapat membantu kita memproses apa yang telah kita lalui dan membantu kita saat kita membayangkan jalan ke depan. Namun, itu juga dapat menurunkan tekanan darah kita, memperkuat sistem kekebalan kita, dan meningkatkan kesejahteraan umum kita. Menulis ekspresif dapat mengurangi stres, kecemasan, dan depresi; meningkatkan tidur dan kinerja kita; dan memberi kita fokus dan kejelasan yang lebih besar.


    Efek menulis sebagai alat untuk penyembuhan bukanlah pepesan kosong, namun sudah dibuktikan oleh para pakar. James Pennebaker, seorang psikolog sosial di University of Texas di Austin, mempelajari dampak dari jenis tulisan tertentu pada kesehatan mental pada tahun 1986. Sejak itu, lebih dari 200 penelitian telah melaporkan bahwa “menulis  emosional” dapat meningkatkan kesehatan fisik dan emosional seseorang. . Dalam studi klasik, subjek yang menulis tentang pergolakan pribadi selama 15 menit sehari selama tiga atau empat hari mengunjungi dokter untuk masalah kesehatan lebih jarang dan melaporkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Menurut sebuah studi 2019, intervensi menulis enam minggu meningkatkan ketahanan, dan mengurangi gejala depresi, stres yang dirasakan, dan perenungan di antara mereka yang melaporkan trauma pada tahun lalu. Tiga puluh lima persen peserta yang memulai program dengan indikator kemungkinan depresi klinis mengakhiri program tidak lagi memenuhi kriteria ini.
     

    Mengapa intervensi menulis berhasil? Meskipun mungkin tampak berlawanan dengan intuisi bahwa menulis tentang pengalaman negatif memiliki efek positif, beberapa orang berpendapat bahwa menceritakan kisah peristiwa negatif masa lalu atau kecemasan yang sedang berlangsung “membebaskan” sumber daya kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa trauma merusak jaringan otak, tetapi ketika orang menerjemahkan pengalaman emosional mereka ke dalam kata-kata, mereka mungkin mengubah cara mengaturnya di otak.

     

    Tetapi apa yang mungkin sulit untuk diungkapkan dengan lantang dapat dengan mudah diberikan suara melalui tulisan.

    Penyembuhan sangat penting untuk kesehatan kolektif kita, dan tulisan ekspresif telah terbukti menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan pekerja penuh waktu lainnya. Menurut pracetak Juli 2020 dari sebuah studi oleh peneliti Emily Round, Mark Wetherell, Vicki Elsey, dan Michael A. Smith, kursus “penulisan ekspresif positif,” yang berarti menulis secara khusus tentang pengalaman yang sangat positif selama tiga hari berturut-turut, tidak hanya mengurangi “kecemasan keadaan” segera setelah menulis tetapi meningkatkan kesejahteraan terkait pekerjaan dan kepuasan kerja empat minggu kemudian. Para peneliti meminta penelitian lebih lanjut tentang efek penulisan ekspresif pada hasil organisasi, menunjukkan bahwa menulis bahkan dapat meningkatkan kualitas kerja dan kreativitas di tempat kerja.

     
    Saya jadi teringat dengan isi buku Writing as a Way of Healing: How Telling Our Stories Transforms Our Lives karya Louise DeSalvo, sebuah buku yang terkenal berdasarkan berbagai studi ilmiah tentang kemanjuran menggunakan tulisan sebagai alat restoratif. Jadi, seperti apa praktiknya, dan bagaimana kita bisa menerapkan alat yang ampuh ini?
     

    Menulis yang Menyembuhkan
    Menulis ekspresif secara luas didefinisikan sebagai tulisan yang membantu kita memahami pikiran dan emosi kita. Menulis ekspresif dapat mengambil banyak sekali bentuk, termasuk jurnal, memoar, puisi, bahkan opini atau pemikiran. Tapi apa yang kita tulis kurang penting daripada bagaimana menuliskannya.

    Tulisan yang paling menyembuhkan, menurut peneliti, harus mengikuti seperangkat parameter kreatif. Dan yang paling penting, itu bisa hanya untuk diri kita sendiri. Itu harus mengandung detail konkret, otentik, eksplisit. Penulis harus menghubungkan perasaan dengan peristiwa. Tulisan seperti itu memungkinkan seseorang untuk menceritakan sebuah cerita yang lengkap, kompleks, koheren, dengan awal, tengah, dan akhir. Dalam penceritaan, tulisan seperti itu mengubah penulis dari korban menjadi sesuatu yang lebih kuat: narator dengan kekuatan untuk mengamati. Singkatnya, ketika kita menulis untuk mengekspresikan dan membuat masuk akal, kita mendapatkan kembali kekuatan untuk memegang kendali dalam hidup. Kita akan lebih menyadari bahwa bahagia atau tidaknya diri kita bergantung cara kita merespon peristiwa atau keadaan.

     
    Setelah Holocaust, misalnya, banyak orang yang selamat menulis cerita tentang pengalaman mereka. Victor Frankl, yang bukunya tahun 1946 Man’s Search for Meaning ditulis selama sembilan hari menjadi salah satu buktinya. Jenis proses penulisan reflektif yang mendalam ini dapat membantu kita menyatukan kembali diri kita sendiri bahkan setelah masa-masa yang paling tak terbayangkan.

    Dalam menulis cerita kita, kita mempertahankan kepengarangan atas hidup kita.
     
    Teknik Menulis yang Menyembuhkan dan Membahagiakan

    Untuk mencoba menulis sebagai alat untuk penyembuhan dan kebahagiaan, berikut adalah tiga teknik yang dapat kita coba. 

     

    Pertama, jangan menahan diri. Karena tulisan itu memang untuk diri kita. Jangan khawatir tentang tata bahasa atau ejaan. Jangan khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan orang lain atau apakah itu ditulis dengan baik atau baik atau adil. Atur penghitung waktu selama sepuluh menit, gerakkan tangan kita, dan “tulis bebas” sebagai respons terhadap perintah tertentu. Tanpa terlalu memikirkannya, tuliskan kata, catatan, frasa, kalimat — apa pun yang muncul ketika kita memikirkan momen dramatis dari suatu peristiwa, momen yang tetap ada, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Jika kita kehabisan hal untuk dikatakan, tulislah itu (“kehabisan hal untuk dikatakan”) sampai sebuah pikiran baru muncul di benak kita.

     
    Kedua, tulis sedetail mungkin. Untuk mendapatkan perasaan dan kebenaran dari pengalaman kita, biarkan pikiran kita pergi ke saat-saat tertentu yang terperinci. Kekuatan ada dalam detail karena mereka membuatnya nyata bagi kita. Akses apa yang sebenarnya terjadi dengan kembali ke momen-momen kecil, hal-hal kecil, yang mendasari kita dalam pengalaman itu. Kita mungkin menemukan bahwa detail terkecil memunculkan kebenaran atau perasaan terbesar. Berikan ruang untuk semua itu, dan tangkap pengalaman kita dalam luas dan dalamnya.  
     

    Ketiga, ambil hikmah dari setiap momen.Karena dunia telah berubah di sekitar kita, kita juga telah berubah. Kita mungkin telah belajar tentang apa yang penting, apa yang tidak, atau apa yang membuat kita berhasil. Kita mungkin telah belajar tentang diri kita sendiri. Raihlah pelajaran-pelajaran itu saat kita menulis. Manusia adalah mesin pembuat makna, dan menulis adalah cara alami untuk mencapainya. 

     
    Epilog

    Rumi, yang merupakan seorang mistikus dan penyair sufi abad ke-13 menulis, “Luka adalah tempat cahaya memasukimu.” Pemikir dari Freud hingga Brené Brown telah mempopulerkan gagasan bahwa ada kekuatan dalam merangkul kerentanan kita. Ketika kita menggunakan tulisan untuk mengungkapkan kebenaran kita, kita tetap menjadi protagonis dalam hidup kita, bukan korban dari keadaan di luar kendali kita.

    Tentu saja, menulis ekspresif bukanlah obat mujarab yang langsung “cespleng” dalam sekali praktik. Kendati demikian, menulis secara ekspresif dapat membantu kita menerima tanpa syarat takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan kepada kita. 

     
    Pemulihan juga tidak selalu menjadi tujuan. Seperti yang dibuktikan oleh banyak penulis memoar terkenal, kita menulis tentang pengalaman menyakitkan untuk tidak melewatinya tetapi untuk melewatinya tanpa dihancurkan.

    Menulis secara ekspresif juga bisa membawa kita menuju harapan.  Kita dapat menulis perjalanan hidup kita untuk diingat, dihormati, ditampilkan, disaksikan, dan  dibayangkan kembali secara utuh di kemudian hari. Kita dapat menulis untuk duduk bersama dan menentukan makna dari pengalaman dan keberadaan manusiawi kita yang mendalam.
     

    Mari kita tidak hanya menulis jalan keluar kita; mari kita menulis jalan kita ke arah yang baru.

    Bagaimanapun, kita semua berubah. Dan setelah kita menulis untuk diri kita sendiri, mungkin kita bisa membagikan tulisan kita secara selektif untuk berhubungan kembali secara autentik yang lebih dalam dengan rekan kerja, keluarga, teman, serta dengan diri kita sendiri. 
     
    Kita tidak harus menjadi penulis profesional untuk menggunakan tulisan guna membantu kita memahami kontur pengalaman kita, menyembuhkan, dan akhirnya berkembang, memulihkan, memperbaiki, memperbarui. Kita hanya perlu mengambil pena kita dan mulai.
  • Menulis itu Membuat Bahagia, Bener Nggak?

    Menulis itu membahagiakan. Bener nggak sih?

    Kalau pengalaman pribadi saya sih, iya! Menulis membuatku bahagia. Karena saya bisa mengekspresikan diri dengan leluasa tanpa takut dikritik oleh orang lain.

    Dari 16 tahun pengalaman menulis sejauh ini, ada begitu banyak momen yang semakin membuat saya yakin bahwa menulis itu membahagiakan.

    Pertama, mendapatkan “tiket” beasiswa S1. Berkat menerbitkan buku selepas SMA, saya mendapatkan “keberuntungan” untuk mendapatkan beasiswa penuh senilai Rp 110 juta dari Pak Theodore Permadi Rachmat (Mantan CEO PT Astra International Tbk dan Pendiri Triputra Group). Sebuah kesempatan yang mengantarkan saya bisa belajar Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Paramadina.

    Kedua, membantu saya keluar dari Quarter-Life Crisis. Di usia 27 saya merasa “stuck” dalam hidup. Sehingga mendorong saya untuk Resign dari pekerjaan untuk saya manfaatkan menikmati #CareerBreak selama setahun penuh dalam misi #Sabbatical. Berkat membaca ribuan buku dan (belajar) menulis buku secara otodidak, saya bisa keluar dari masa yang penuh turbulensi tersebut.

    Ketiga, membantu saya keluar dari jeratan utang. Karena pernah terlilit utang yang tidak sedikit, saya mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Segala upaya telah saya kerahkan untuk mewujudkannya. Dan pada akhirnya, bukulah yang membantu saya keluar dari “lingkaran setan” bernama utang.

    Berkat menulis bukulah saya bisa meraup ratusan juta dalam hitungan beberapa bulan saja. Bukan tidak mungkin kelak bisa mencapai milyaran bahkan trilyunan dari #menulis. Suatu hal yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.

    Keempat, kesempatan berbagi. Berkat menulis saya telah menjelajahi berbagai negara, kota, dan pulau. Sebagai orang yang ketika masih kecil ingin sekali menjadi guru, rasanya menjadi penulis adalah salah satu pencapaian terbaik bagi diri saya meskipun saya akui bahwa saya bukan penulis sempurna. Berkat menulis, saya diundang untuk mengisi berbagai acara seperti pelatihan, seminar, lokakarya, atau event terkait.

    Kelima, meraih pengakuan. Sejujurnya, tujuan saya menulis hanyalah berbagi. Namun tak bisa saya pungkiri, di awal merintis karier menulis, tujuan saya memang mendapatkan pengakuan dari orang lain. Seiring berjalannya waktu, saya merasa tujuan menulis untuk mendapatkan pengakuan itu menyesatkan. Karena itu begitu egois. Dan bisa menjadi bumerang jika tidak tercapai.

    Dalam enam tahun terakhir, saya sama sekali tidak berniat mendapatkan pengakuan sebagai tujuan saya. Namun, ketika saya menulis sebaik mungkin, lalu ada orang yang mengapresiasi itu lain soal, bukan? Saya begitu percaya bahwa biarlah karya yang akan “bersuara” sendiri.  Kalau karya kita bermanfaat untuk orang banyak, bukankah itu lebih dari cukup?

    Keenam, membuat saya terus-menerus membaca. Sejak kecil hobi saya memang membaca. Dari bangku SD sampai perguruan tinggi, saya selalu menjadi pelajar yang paling banyak meminjam buku. Tidak percaya? Silakan cek sendiri ke almamater-almamater saya. Semoga mereka masih menyimpan rekapnya ya 🙂

    Bagi saya, membaca itu membuat kecanduan dalam arti positif. Dan memang sebagai penulis,  hobi membaca itu menurut saya sebuah keharusan – bukan paksaan.

    Ketujuh, membuat saya terus merasa bodoh. Jika Anda menuliskan nama lengkap saya di Google, Anda akan menemukan bahwa topik buku yang saya tulis maupun yang saya tuliskan untuk klien begitu beragam.

    Nah, itu artinya saya terpacu untuk terus belajar berkat menulis. Dan itu membuat saya bahagia bukan main. Karena bukankah jika merasa pintar kita tidak bisa #LevelUp?

    Kedelapan, mendapatkan ucapan terima kasih. Saya rasa inilah yang paling utama. Mendapatkan ucapakan terima kasih dari orang lain tidak pernah terlintas dari pikiran saya.

    Namun, sudah tidak terhitung orang yang mengucapkan terima kasih karena mereka merasa mendapatkan “sesuatu” dari buku saya. Dari yang menjadikan buku saya sebagai referensi tesis, skripsi, maupun disertasi di kampus-kampus dalam negeri dan luar negeri; hingga tiba-tiba mendapatkan surat elektronik, SMS maupun pesan singkat di Whatsapp karena buku saya dianggap “mengubah hidup?

    Karena menulis membuat saya bahagia, saya akan terus melakukannya. Karena harta tak dibawa mati, namun buku akan membuat nama kita abadi.

     

    Setiabudi, 24 November 2023

    Agung Setiyo Wibowo