Tag: Kebagusan

  • Pantun Di Kebagusan  

     

    Merantau ke Ibukota

    Tidak lupa mampir ke Kota Tua

    Hei kawan-kawanku semua

    Mari bersihkan hati dan jiwa

     

    Mampirlah awak ke Tanjungpinang

    Meski sebentar senangnya bukan kepalang

    Ayo saudaraku waktu jangan sampai terbuang

    Karena tak mungkin diputar ulang

     

    Ane tinggal di Tanah Abang

    Surganya tekstil semua orang

    Jika ragamu terasa meriang

    Itu saatnya rehat dengan yang tersayang

     

    Berkompetisi di Surabaya

    Sambil pelesiran ke Kota Malang

    Kebahagiaanlah tujuan utama

    Bukan senang yang cepat meradang

     

    Menjadi santri di Kabupaten Nganjuk

    Tinggal di asrama yang begitu menawan

    Jika adik-kakak mengantuk

    Itu pertanda segera ke peraduan

     

    Untuk apa Anda hidup

    Jika kebahagiaan jauh dari kenyataan

    Jika jantung Anda sering berdegup

    Saatnya Anda perhatikan kesehatan

     

    Kebagusan, 11 Oktober 2018

  • Kupu-Kupu Atau Permata?  

     

                     Berinteraksi dengan orang ialah “hobi bawaan” yang dimiliki oleh seorang ekstrovert. Bertemu, bertukar pikiran, atau sekedar mengobrol santai menjadi keasyikan tersendiri.

    Tak terkecuali dengan diri saya. Berinteraksi dengan sesama ibarat baterai yang sedang diisi (charging). Pasalnya, saya bisa “menyerap energi” orang yang saya ajak bicara. Jadi, berapapun lamanya saya berbincang-bincang, tidak pernah merasa lelah.

    Sebaliknya, orang ekstrovert akan merasa “loyo” ketika sendirian. Energi seakan-akan habis. Sehingga, tidak akan betah jika berlama-lama menyendiri.

    Menyadari sifat alamiah ini, saya berusaha bertemu dengan kawan lama atau kenalan sesering mungkin. Karena selain menambah dan merekatkan hubungan persaudaraan, aktivitas ini memang membawa banyak positif. Itu mengapa benar-benar membuat ketagihan.

    Belum lama ini saya bersua dengan Mahatma (bukan nama sebenarnya). Beliau merupakan salah satu “resi” yang cukup tersohor di nusantara. Maksud kedatangan saya tidak lain ialah untuk mewawancarainya guna memperkaya riset saya.

    Sesungguhnya ada begitu banyak pelajaran hidup yang saya “curi” dari Mahatma. Namun, ada satu hal yang paling saya ingat. Yakni analogi kupu-kupu dan permata.

    Maksudnya apa Mas Agung? Sebagian besar manusia di dunia ini fokus mengejar kupu-kupu. Sehingga, semakin lama mereka mengejar, kupu-kupu malah semakin menjauh.

    Sebaliknya, hanya segelintir saja manusia yang menggali permata. Padahal, semakin lama permata digali dari dalam tanah, maka semakin banyak “keindahan” yang diterima. Semakin dalam galiannya, peluang untuk mendapatkan permata berkualitas prima semakin besar.

    Kupu-kupu dan permata hanyalah simbol. Bahwa sebagian besar orang cenderung mengejar kupu-kupu yang merupakan perumpamaan dari kebahagiaan. Mereka sulit untuk mendapatkannya karena mengejar apa yang ada di luar dirinya. Itu mengapa banyak orang yang tidak bahagia meski kekayaan, ketenaran dan kekuasaan dalam genggaman. Karena manusia memang merasa kurang, kurang, dan kurang.

    Hanya sedikit manusia yang mau menggali “permata” di dalam dirinya. Padahal kebahagiaan sejati ada di dalam diri sendiri. Lantaran kebahagiaan ialah perihal hati yang menyatu jiwa dan ilahi.

    Jadi, selama ini mana yang Anda dambakan? Mengejar kupu-kupu atau menggali permata? Hidup adalah pilihan.

    Kebagusan, 7 Oktober 2018

     

  • Otak Sampul

                    Belum lama ini saya berjumpa dengan “emak-emak”. Sebut saja bernama Mawar. Ia merupakan salah satu “teman setia” jogging pagi di sebuah taman di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan.

    Saya: “Nggak terasa sudah tanggal 1 Oktober aja ya bu.”

    Mawar: “Ya. Cepet banget ya. Kayaknya hari berlari aja. Ngomong-ngomong kamu tinggal sebulan lagi ya dik nikahnya?”

    Saya: “Benar bu. Mohon doanya aja bu.”

    Mawar: “Kamu sudah tidak bekerja lagi di H** ya? Trus ngapain aja tiga bulan terakhir?”

    Saya: “Saya penulis penuh waktu bu. Sesekali mengajar di salah satu perguruan tinggi. Pekerja lepas lah intinya mah.”

    Mawar: “Wah, ntar mau kamu kasih makan apa anak dan istrimu? Mau nikah kok malah nggak kantoran?”

    Saya: “Ehmmm mohon doanya aja ya bu. Saya kurang cocok bekerja di perusahaan besar ehhehe.”

    ***

    Percakapan saya dengan Mawar ini nyata. Tidak saya buat-buat. Saya yakin banyak kawula millennial yang pernah mengalami hal serupa.

    Era telah berubah. Generasi juga berbeda. Apa yang dikatakan Mawar memang sangat masuk akal menurut Baby Boomer dalam dalam tingkat tertentu Gen X. Namun belum tentu berlaku untuk Gen Y.

    Mawar merupakan potret dari orang yang “berotak sampul”. Maksudnya, orang-orang yang menilai sesuatu seperti sampul. Mempersepsikan apapun dari kulit atau apa yang tampak dari luar.

    Bekerja dalam benaknya mungkin harus menjalani ritual 8-5. Berkarya sepertinya harus “kantoran” dalam benaknya.

    Otak sampul ada di mana-mana. Mereka ada di sekitar saya dan Anda. Orang-orang yang menilai sesuatu dari apa yang terlihat oleh mata telanjang.

    Sebagai “orang visual”, saya sih sama sekali tidak tersinggung. Ya wajarlah ya. Bagaimanapun, “penampilan” atau “kemasan” masih dianggap lebih seksi dari “isi”.

    Saya ambil saja sisi positifnya. Di dunia yang sangat disruptif seperti dewasa ini, terkadang kita perlu “memoles” sebaik mungkin agar dipandang dengan nilai tertentu. Agar apa yang kita suarakan lebih mudah diterima.

    Mungkin Anda memiliki pendapat berbeda?

     

    Kebagusan, 6 Oktober 2018

  • Bukan Sumber (Air) Mencari Timba

                      Belum lama ini saya bertemu dengan Maharishi (bukan nama sebenarnya). Beliau merupakan salah satu “guru spiritual” saya. Kami bertemu di padepokannya yang begitu asri. Lebih tepatnya di sebuah desa kecil di lereng Gunung Lawu.

    Percakapan kami dimulai dengan basa-basi. Beliau menanyakan kesibukan saya selama dua tahun terakhir. Sementara itu, saya penasaran apa resep awet muda beliau. Karena meskipun beliau sudah berusia 50an, wajahnya seakan-akan masih seperti pria di pertengahan 30.

    Sebenarnya  tidak cukup untuk menuliskan obrolan kami yang hampir memakan waktu 3 jam. Namun, jika boleh saya sarikan, di bawah ini poin utamanya.

     

    Saya                       :  Romo, mengapa panjenengan tidak mempromosikan diri seperti para pemuka agama  lainnya? Mengunggah kajian di Youtube, menyebarkan tulisan di blog, mengirim                      pemikiran ke media massa, atau menyewa praktisi kehumasan untuk “melambungkan                            nama?”Bukankah itu  akan mendongkrak citra pesantren ini? Sehingga, makin banyak                            santri yang belajar di sini. Makin besar pula manfaat yang romo berikan?

    Maharishi            :  Buat apa? Jika demikian apa bedanya saya dengan para “pelacur ilmu?” Timba itu    mencari sumber (mata air). Bukan sebaliknya.

    Saya                       :  Hemmmm. Benar juga ya. Jadi, kalau banyak kaum cendekia yang mem-PR-kan dirinya bagaimana dong? Apakah itu salah? Kan maksudnya baik juga?

    Maharishi            :  Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung niatnya. Agung pikirkan saja sendiri.

     

    ***

    Apakah Anda bisa menangkap pesan dari guru spiritual saya di atas? Jika ya, bagaimana pendapat Anda?

    Di abad informasi ini, pengetahuan jauh lebih mudah diperoleh. Hanya dengan modal sentuh, klik, dan share; siapapun bisa mengaku menjadi ahli meski kapasitas keilmuannya diragukan.

    Bisa jadi sosok seperti Maharishi, guru spiritual saya di atas kini semakin langka. Orang yang sangat berilmu tapi tidak mempromosikan dirinya habis-habisan. Karena beliau berpikir, oran-orang yang butuh ilmunyalah yang akan mendekat kepadanya.

    Di sisi lain, bisa jadi 99% orang yang Anda anggap sebagai pakar, guru atau suhu di luar sana sebaliknya. Barangkali keilmuannya masih “setetes.” Namun, dorongan untuk menjadi terkenal dan cepat kaya raya; membuat mereka berani melacurkan pengetahuan.

    Pada akhirnya, semua memang bergantung pada niatnya. Saya dan Anda hanya bisa membuat persepsi dari apa yang terlihat dari permukaan. Sementara itu, hanya Sang Penciptalah yang benar-benar mengetahui hatinya.

    Jadi, apakah Anda yakin selama ini telah berguru kepada orang yang tepat? Atau justru percaya pada para pelacur ilmu? Bukan sumber (air) mencari timba . . .

     

    Kebagusan, 5 Oktober 2018