Tag: Bahagia

  • Hidup Lo Capek? Mungkin Bukan Dunia yang Jahat, tapi Pikiran Lo yang Butuh Disembuhin

    Pernah nggak sih lo merasa udah berusaha keras, tapi tetep aja hidup kayak nge-prank?


    Gue pernah banget. Ada masa di mana gue ngerasa hidup itu unfair. Udah kerja keras, udah berusaha jadi orang baik, tapi tetep aja ada yang kurang. Kayak ada beban di dada, invisible tapi nyata. Gue pikir dulu, “Oh mungkin gue kurang usaha, kurang doa, atau kurang koneksi.” Ternyata bukan itu.

    (more…)

  • Apakah Internet Membuat Kita Lebih Bahagia?

    Mengejar kebahagiaan bisa jadi sulit dipahami, tetapi tetap menjadi cita-cita banyak orang.

    Sejak 2012, dunia telah merayakan kebahagiaan selama bulan Maret, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Kebahagiaan adalah pengalaman yang sangat manusiawi dan subjektif; namun, kajian ilmiah tentang kebahagiaan telah meledak. Psikolog tertarik untuk memahami bagaimana perasaan orang; ekonom ingin tahu apa yang dihargai orang; dan ahli saraf berusaha memahami bagaimana otak merespons penghargaan positif. Tak perlu dikatakan, kebahagiaan dapat diukur dengan berbagai cara sebagai hasilnya.

    Banyak yang telah ditulis tentang hubungan antara tempat kerja yang bahagia dan positif dengan karyawan yang efektif dan produktif. Tetapi definisi kebahagiaan dapat disalahpahami-seringkali dilihat sebagai adanya emosi positif dan tidak adanya emosi negatif, yang dapat mengarah pada budaya kerja yang menekan orang untuk berpura-pura emosi positif. Psikolog University of Frankfurt, Dieter Zapf telah menunjukkan “pemalsuan” itu dapat mengakibatkan penyakit fisik dan emosional jangka panjang.

    Mengaitkan keadaan bahagia hanya dengan ceria sepanjang waktu menciptakan tantangan lain karena, dalam kasus institusi akademik misalnya, kebahagiaan cenderung diklasifikasikan sebagai kurang serius, dangkal, dan ringan. Hal ini mengakibatkan universitas menghindari pembicaraan tentang pengembangan lulusan yang “bahagia” dan mengadopsi “agenda kebahagiaan” untuk pengembangan holistik mahasiswanya.

    Pada saat ini diperkirakan 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Itu tentu saja begitu mengganggu. Sebuah laporan baru-baru ini oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa jika tidak ada yang dilakukan, pada tahun 2030 depresi akan menjadi penyakit nomor satu di dunia.

    Langkah Menuju Kebahagiaan

    Kebahagiaan bukan hanya tentang mengembangkan emosi positif, tapi memiliki dua bagian penyusun lainnya: tujuan dan ketahanan. Memiliki tujuan yang jelas dan bermakna adalah elemen kunci dalam mempertahankan kebahagiaan jangka panjang. Dan karena emosi negatif merupakan bagian integral dari kehidupan, mengembangkan ketahanan adalah komponen kebahagiaan ketiga yang sangat esensial, karena memungkinkan kita untuk menangani emosi negatif secara efektif saat muncul.

    Pengusaha yang serius dalam mencapai efektivitas dan produktivitas melalui angkatan kerja yang bahagia perlu memastikan bahwa karyawan mereka diberi kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang menarik, bermakna, dan berorientasi pada tujuan, mampu mengembangkan hubungan yang baik, dan mengalami rasa pencapaian.

    Banyak indikator menunjukkan bahwa pekerjaan di masa depan akan membutuhkan lebih banyak kecerdasan emosional untuk melengkapi mesin canggih yang kita gunakan. Institusi akademik perlu secara serius mempertimbangkan untuk memainkan peran dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kesejahteraan mahasiswa untuk memastikan bahwa universitas tetap relevan di dunia di mana revolusi industri keempat menuntut integrasi sistem fisik, dunia maya, dan biologis serta otomatisasi pekerjaan yang meningkat. Dengan tingkat kompleksitas dan perubahan yang dihadapi masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat penting untuk mengeksplorasi bagaimana sistem pendidikan dapat berkembang untuk membantu kaum muda mengembangkan kesadaran diri dan kesadaran sosial jika mereka ingin berkembang dan mencapai potensi penuh mereka begitu mereka memasuki tempat kerja.

    Ruang Untuk Hubungan Antar Manusia

    Manusia membawa tiga dimensi ke pasar kerja: fisik, kognitif, dan emosional. Mesin telah melampaui kita baik dalam dimensi fisik (semakin sedikit pekerjaan manual yang diperlukan) dan dimensi kognitif (Kecerdasan Buatan atau AI semakin mampu melampaui manusia dalam tugas-tugas seperti catur dan diagnosis medis). Ini meninggalkan domain emosional, entah kita sadari atau tidak. Pasalnya, semakin banyak pekerjaan yang diotomatisasi, sifat nilai yang akan ditambahkan manusia akan berkembang menjadi fokus pada kreativitas, konektivitas dengan orang lain, dan pemenuhan diri.

    Psikolog Amerika Daniel Goleman mendefinisikan empat domain kecerdasan emosional sebagai: kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen diri, dan manajemen hubungan. Pada tahun 2013, Rektor Heriot-Watt University, Mushtak Al-Atabi mengembangkan kursus online tentang kecerdasan emosional yang diikuti oleh lebih dari 6.000 siswa dari 150 negara berbeda. Kursus ini memperkenalkan beberapa latihan yang bertujuan untuk mengembangkan empat domain Daniel Goleman.


    Siswa melakukan dua latihan harian: “brain rewiring” yang melibatkan pernyataan lima hal yang mereka syukuri, dan “my emotions today” di mana mereka mengartikulasikan perasaan mereka dengan membagikannya secara online dengan peserta kursus lainnya. Latihan rasa syukur dan kesadaran emosional ini dapat membantu menciptakan kebiasaan dasar untuk kecerdasan emosional.

    Siswa juga diperkenalkan dengan praktik meditasi dan didukung melalui pengembangan tujuan yang SMART (Spesifik, Terukur, Ambisius, Relevan, dan Tepat Waktu), pernyataan misi, dan pernyataan visi pribadi. Beberapa siswa melaporkan kemenangan pribadi seperti mampu mendaki gunung, memulai bisnis bahkan menikah dan mengatasi pikiran untuk bunuh diri.

    Lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan untuk menetapkan cara paling efektif untuk mengembangkan kecerdasan emosional pada kaum muda di semua lapisan masyarakat. Tetapi jika kita ingin menghadapi tuntutan, kompleksitas, dan tantangan lain yang berubah di era digital, kita akan membutuhkan orang-orang yang bahagia, puas, dan tangguh untuk menerimanya. Seperti halnya tempat kerja, di mana karyawan yang bahagia dan puas dapat berarti peningkatan produktivitas dan omset. Orang-orang yang berpura-pura bahagia di tempat kerja tidak bermanfaat bagi siapa pun.

     
    Kekuatan Koneksi

    Salah satu faktor yang teridentifikasi untuk memprediksi kebahagiaan dapat kita pelajari selama pandemi. Pasalnya, kita semua terbantu dengan penggunaan media digital untuk tetap terhubung. Di awal pandemi, berderet perusahaan bergegas mencari peralatan TI seperti laptop dan layanan TI seperti Zoom untuk memahami realitas digital baru yang tiba-tiba datang. Pada tingkat individu, beberapa penelitian menunjukkan peningkatan penggunaan komunikasi digital untuk terhubung.  Kaum muda, khususnya, meningkatkan penggunaan komunikasi digital mereka dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Demikian pula, data tahun 2020 dari survei Gallup/Knight Foundation menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap media sosial penting untuk tetap terhubung selama pandemi. Pada saat yang sama, kurangnya akses dan keterampilan menggunakan internet dari rumah tangga yang tidak memiliki akses ke Wi-Fi, atau orang dewasa yang lebih tua yang tidak terbiasa dengan teknologi navigasi, mungkin semakin memburuk selama pandemi yang membahayakan orang-orang ini. Ketidaksetaraan digital dapat menimbulkan risiko bagi kesejahteraan dan kebahagiaan selama pandemi.

    Teknologi Digital dan Kebahagiaan
    Temuan itu, dalam konteks pandemi, menggarisbawahi diskusi yang sedang berlangsung tentang teknologi digital dan kebahagiaan. Singkatnya, teknologi digital bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi sebagian orang, internet dapat menawarkan tempat yang aman dan tidak mengancam untuk memelihara dan memelihara hubungan sosial. Pada saat yang sama, semakin banyak bukti tentang pengawasan pengguna dan teknologi adiktif mendasari efek berbahaya dari teknologi digital terhadap kebahagiaan.

    Dalam laporan itu, beberapa bidang di mana teknologi digital dianggap memiliki efek positif pada kebahagiaan adalah dalam membantu menghubungkan orang satu sama lain, memanfaatkan kecerdasan penting secara real-time untuk memecahkan masalah kesehatan, keselamatan, dan ilmiah, dan dalam memberdayakan orang untuk meningkatkan dan menemukan kembali kehidupan mereka. Selain risiko kecanduan dan pengawasan digital, teknologi digital dianggap berdampak negatif pada kemampuan kognitif orang dalam hal kapasitas mereka untuk berpikir analitis, memori, fokus, dan kreativitas. Ketidakpercayaan dan perpecahan dapat menguat, dan informasi yang berlebihan serta desain antarmuka yang buruk dapat menyebabkan peningkatan stres, kecemasan, dan sulit tidur.

    Pada tahun 2018, Pew Research Center menanyai 1.150 pakar teknologi, cendekiawan, dan spesialis kesehatan tentang pertanyaan berikut: “Selama dekade berikutnya, bagaimana perubahan dalam kehidupan digital akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan secara fisik dan mental?  Hasilnya, sekitar 47% responden memperkirakan bahwa teknologi digital membawa dampak positif bagi kesejahteraan; sementara 32% percaya bahwa kesejahteraan masyarakat akan terkena dampak negatif. 21% sisanya memperkirakan sedikit perubahan dalam kesejahteraan dibandingkan dengan sekarang.   Laporan Pew Research Center 2018 memberikan ringkasan tentang hubungan positif dan negatif antara teknologi digital dan kesejahteraan yang muncul.

    Apakah teknologi digital membuat kita lebih bahagia atau tidak?
    Jelaslah bahwa teknologi dapat berdampak positif dan negatif pada kesejahteraan subjektif individu. Di sisi lain, teknologi digital memberi kita alat. Dan terserah kita untuk memutuskan bagaimana menggunakannya dengan tepat. Memang, kita memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan teknologi digital untuk mengurangi potensi dampak negatif terhadap kesejahteraan.

    Teknologi: Sumber Kebahagiaan yang Gratis

    Dalam kasus Action for Happiness (https://actionforhappiness.org/)-sebuah gerakan yang berkomitmen untuk membangun masyarakat yang lebih bahagia dan lebih peduli, perpindahan online dari bertemu langsung secara tatap muka membawa beberapa manfaat yang lebih besar dari perkiraan. Gerakan tersebut dapat menjangkau orang-orang yang lebih terpencil, terisolasi, atau cemas secara sosial; dan menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang/negara dalam ruang digital yang sama.

    Kendati demikian, CEO Action for Happiness, Dr. Mark Williamson mengingatkan kita bahwa banyak sumber kebahagiaan kita yang bebas teknologi. Dalam salah satu artikelnya, ia menunjukkan tiga tindakan non-digital sederhana yang telah terbukti membuat kita lebih bahagia:
    Pertama, aktiflah di luar ruangan – berjalan-jalan di taman, turun dari bus lebih awal, atau pergi untuk sekadar jalan-jalan dengan rekan kerja.
    Kedua, mengambil ruang bernafas – berhentilah secara teratur dan luangkan waktu 5 menit untuk bernapas dan berada di saat ini-perhatikan bagaimana perasaan kita dan apa yang terjadi di sekitar kita.
    Ketiga, buatlah orang lain bahagia-lakukan tindakan kebaikan secara acak, tawarkan bantuan, berikan kembalian kita, berikan pujian, atau beri tahu seseorang betapa berartinya mereka bagi kita.
    Apakah Anda setuju dengan pendapat Dr. Mark Williamson di atas?
    Kita hidup di era digital. Beberapa orang mengeluhkan gangguan terus-menerus dan penjelajahan internet tanpa akhir. Yang lain merayakan kebebasan dan kemampuan yang baru ditemukan.
    Filsuf kuno Epicurus berkomitmen pada empirisme, pandangan bahwa pengetahuan kita berasal dari indera kita dan dapat diuji terhadap pengalaman empiris lainnya. Ini adalah pandangan yang mendasari apa yang kemudian menjadi sains kontemporer. Sebagai bagian dari filosofinya, Epicurus membuat berbagai klaim berpengaruh tentang kebahagiaan manusia yang telah teruji oleh waktu.

    Salah satu wawasannya adalah bahwa pandangan yang dianut secara luas tentang apa yang membuat hidup paling memuaskan bisa disalahartikan. Banyak dari kita terpikat oleh keinginan “kosong”, termasuk keinginan akan ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan. Memuaskan keinginan tersebut bisa jadi menyenangkan. Tapi kenikmatan seperti ini bukanlah yang benar-benar penting untuk kebahagiaan.

    Masalahnya adalah keinginan kosong ini tidak terikat oleh batasan apa pun. Tidak peduli berapa banyak yang kita dapatkan, kita pada umumnya masih mungkin untuk memiliki dan menginginkan lebih.

    Kenikmatan kebahagiaan sejati, di sisi lain, adalah kenikmatan “statis” yang stabil dan bertahan lama. Itu muncul dari “persahabatan” yang lebih dalam dan aktivitas yang kita kejar karena kita secara otentik menganggapnya bermanfaat dan menarik.

    Untuk mencapai kebahagiaan seperti itu, kita harus mengembangkan dan melatih kemampuan untuk menunda kepuasan. Dengan melakukan itu, kita mengesampingkan kenikmatan jangka pendek untuk memuaskan hasrat kosong demi mengembangkan kapasitas untuk kesenangan yang bertahan lebih lama dalam hidup.

    Menunda Kesenangan di Zaman Internet
    Penelitian psikologis membantu kita lebih memahami cara orang berinteraksi dengan teknologi digital. Pemahaman seperti itu akan menjadi bagian penting untuk mencari tahu bagaimana kita bisa sebahagia mungkin saat era digital terbentang.

    Misalnya, para peneliti di Temple University merancang sebuah penelitian yang bertujuan untuk lebih memahami hubungan antara kepuasan yang tertunda dan penggunaan ponsel cerdas. Para peneliti memberikan kuesioner dan tes kognitif kepada 91 mahasiswa .

    Para peneliti bertanya kepada peserta studi tentang penggunaan aplikasi media sosial seluler mereka sehari-hari, termasuk Facebook, Twitter, Instagram, Vine, dan Snapchat. Mereka ditanya seberapa sering mereka memposting pembaruan status publik, seberapa sering mereka memeriksa ponsel mereka untuk aktivitas baru, dan seberapa sering mereka mendapati diri mereka memeriksa ponsel mereka selama percakapan atau saat bergaul dengan teman-teman.

    Untuk mengetahui peserta penelitian mana yang paling mungkin menunda kepuasan, para peneliti meminta mereka untuk membuat pilihan hipotetis antara sejumlah kecil uang yang ditawarkan segera, versus sejumlah besar uang yang ditawarkan pada enam penundaan waktu yang berbeda. Penundaan ini berkisar dari satu hari hingga satu tahun. Pada titik satu tahun, peserta dapat menerima jumlah maksimum, $1000.

    Mereka yang memiliki keterlibatan teknologi seluler yang lebih tinggi – dengan posting dan pemeriksaan yang lebih sering-ditemukan cenderung tidak menunda kepuasan demi imbalan yang lebih besar di kemudian hari.

    Dalam menganalisis hasilnya, para peneliti dapat menarik kesimpulan yang lebih jauh dan menarik. Mereka menemukan bahwa kontrol impuls merupakan mediator yang signifikan dari hubungan antara keterlibatan teknologi dan kepuasan yang tertunda. Kebiasaan teknologi seluler yang terkait dengan kecenderungan yang lebih rendah untuk menunda kepuasan tampaknya didorong oleh impuls yang tidak terkendali.

    Epilog
    Mengetahui tentang hubungan seperti itu antara penggunaan teknologi seluler, kontrol impuls, dan kepuasan yang tertunda adalah penting bagi kita semua saat kita mencoba memahami cara terbaik untuk menciptakan kehidupan yang memuaskan di zaman sekarang.

    Dan mereka yang berjuang dengan kontrol impuls memiliki alasan yang sangat kuat untuk mengingat poin Epicurus tentang manfaat mencari kesenangan jangka pendek yang statis daripada kosong. Yang terbaik adalah meletakkan telepon jika menggunakannya hanya memberikan kepuasan sementara dan tidak nyaman.

    Juga benar bahwa generasi muda menjadi terbiasa dengan teknologi digital di awal kehidupan mereka. Ini mungkin semakin menjadi sarana utama sosialisasi mereka. Generasi digital di masa depan akan membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kontrol impuls. Jika tidak, mereka mungkin menemukan bahwa mereka benar-benar tersesat dalam upaya mereka untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup.

  • Jalan Menuju Kebahagiaan

    Saya rasa ini adalah satu kata yang mewakili semua orang.
    Apa yang saya, Anda, dan kita semua lakukan saat ini mencerminkan apa yang membuat kita bahagia.
    Ada yang bahagia ketika banyak harta. Sebagian bahagia jika punya tahta. Tak sedikit yang bisa bahagia jika punya banyak pengikut di jagad maya
    Sayangnya, tidak semua orang menyadari apa yang benar-benar membuatnya bahagia. Akibatnya, meski semua pencapaian duniawi telah digapai, yang mereka dapatkan hanyalah kesenangan semu.
    Setiap individu memiliki persepsi, makna, dan standar masing-masing akan kebahagiaan. Jadi, tentu saja kebahagiaan setiap orang tidak dapat diperbandingkan.
    Apa yang membuat Anda bahagia, belum tentu membuat saya bahagia. Dan sebaliknya.
    Karena kebahagiaan itu sendiri sangat subyektif.
    Namun, secara umum kebahagiaan dapat kita capai jika kita menerima apa yang ditawarkan oleh semesta tanpa banyak menghakimi. Bersyukur adalah kata kuncinya. Yaitu merayakan semua pengalaman yang menghampiri diri kita.
    Banyak pakar mengatakan bahwa rumus kebahagiaan = realita – ekspektasi. Artinya apa? Mensyukuri segala hal yang terjadi. Ikhlas alias menerima segala hal yang ditawarkan oleh semesta.
    Rumus ini sepertinya begitu sederhana. Tapi toh dalam praktiknya masih banyak orang yang belum berhasil menerapkannya. Karena mereka masih kalah dengan ego atau hawa nafsunya.
    Kebahagiaan bisa kita wujudkan dengan begitu banyak cara. Berikut adalah sejumlah cara terpopuler yang bisa kita coba terapkan dalam keseharian.
    Pertama,  berbagi. Dalam semua ajaran agama, berbagi senantiasa dianjurkan. Entah dalam bentuk materi, waktu, tenaga, pikiran atau lainnya.
    Kedua, membuat jurnal syukur. Caranya gampang, setiap hari kita menuliskan apa yang dapat kita syukuri. Tidak harus muluk-muluk, namun dapat kita mulai dari yang kecil-kecil.
    Ketiga, berolahraga. Selain membuat fisik kita bugar, berolahraga juga dapat menjaga kebahagiaan kita. Karena dalam prosesnya, tingkat stres dapat menurun.
    Keempat, membantu orang lain. Bantuannya bisa berupa apa saja. Semakin orang lain merasa terbantu, semakin berbahagialah kita.
    Nah, bagaimana dengan Anda hari ini?
    Sudahkah Anda bahagia?
    Agung Setiyo Wibowo
    Depok, 8 Mei 2023
  • Opo Depe, Opo Colote

    Bahagia.
    Satu kata ini adalah yang paling didambakan oleh seluruh orang dunia. Tua muda, di desa maupun di kota, apapun latar belakangnya; setiap orang tentu berjuang sekuat tenaga untuk menggapainya.
    Ya, apa yang kita lakukan saat ini mencerminkan apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan. Berbisnis agar makin cuan, melanjutkan pendidikan di jenjang tertinggi agar makin prestis, mengejar kursi di Senayan agar makin terpandang, membeli barang bermerek agar dianggap kaya, mati-matian membuat konten agar menarik banyak pengikut, dan seterusnya.
    Sayangnya, kebanyakan manusia salah memahami esensi dari kebahagiaan itu sendiri. Alih-alih mendapati kebahagiaan, kebanyakan dari kita justru berakhir dengan kekecewaan, ketakutan, kelelahan, kerisauan atau kegalauan.
    Mengapa itu terjadi?
    Karena entah diakui atau tidak, bahagia versi kita senantiasa dengan syarat. Ada orang yang baru bahagia ketika mendapatkan cuan setrilyun. Sebagian orang baru bahagia ketika mendapatkankan 1 juta Subscribers di YouTube. Tak sedikit yang baru bahagia ketika mampu mengunjungi destinasi wisata yang diimpikan.
    Kita seringkali lupa bahwa bahagia itu sejatinya tanpa syarat. Karena bahagia itu merupakan pilihan. Karena segala kejadian yang kita alami sesungguhnya bersifat netral. Kita sendirilah yang melabeli, menghakimi, atau memberikan penilaian.
    Itu mengapa memiliki sikap yang bijak begitu mutlak diperlukan. Karena kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar diri kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita.
    Kebanyakan orang “gagal” bahagia karena senantiasa melihat hasil akhirnya. Mereka lupa bahwa kebahagiaan itu ada di setiap momen. Mereka mengabaikan bahwa hal-hal kecil di sepanjang kita sebenarnya juga bisa memberikan kebahagiaan.
    Kebahagiaan Hakiki
    Kebahagiaan sejati sesungguhnya datang di dalam diri kita. Bukan dari luar diri. Itu mengapa hal-hal yang tampak dari luar seperti harta, tahta, ketenaran, barang bermerek, dan pengakuan dari orang lain pada dasarnya bersifat netral. Kalaupun kita belum bisa menggapainya, bukan berarti kita tidak berhak bahagia.
    Jika kebahagiaan saya ibaratkan sebagai sumber cahaya, kebanyakan orang justru mengejar bayang-bayangnya. Sehebat apapun mereka mengejar bayangan sendiri, mereka tidak akan pernah berhasil. Karena sumbernya ada di dalam dirinya.
    Mayoritas orang ibarat mengejar kupu-kupu. Semakin mereka mengejarnya, maka semakin menjauhlah binatang nan cantik itu. Mereka mungkin lupa untuk menyediakan taman bunga agar kupu-kupu tersebut bisa sesering mungkin hinggap.
    Kebahagiaan bisa digapai oleh siapa saja yang menerima takdirnya tanpa syarat. Menerima bukan berarti pasif atau pasrah tanpa upaya. Namun, berusaha menerima segala hal yang menghampiri hari-hari kita.
    Kebahagiaan bisa direguk oleh siapa saja yang “hidup di saat ini”, apapun situasi dan kondisinya. Bukan milik orang yang terus-menerus menyesali masa lalu dan merisaukan masa depan.
    Akhir kata, saya langsung teringat oleh petuah Guru saya di sebuah pondok modern di Nganjuk, Jawa timur; “Opo depe, opo colote.” Yang artinya, apa yang memang perlu dihadapi, hadapilah dengan ikhlas. Karena esensi hidup adalah menjalani apa yang telah digariskan-Nya se-apa-adanya.
    Selamat berkarya sahabatku. Jangan lupa bahagia.
  • Bahagia Itu . . .

    Bahagia.

    Satu kata ini saya yakin paling didambakan setiap orang. Dari tukang parkir hingga presiden. Yang jomblo, yang beranak. Yang di pedesaan ataupun yang di megapolitan.

    Ya. Segala hal yang kita lakukan merupakan cerminan dari itu. Karena bukankah kita mengerjakan apa saja yang menurut kita bisa membawa kebahagiaan?

    Sayangnya, kita sering terbuai dengan kebahagiaan palsu. Benda mewah yang kita beli, jabatan yang kita duduki, ketenaran yang dapat, cuan yang kita raih, dan seabrek hal duniawi lain ternyata tidak serta merta menjadikan diri kita bahagia.

    Bahagia itu pilihan. Tidak ada hubungannya dengan benda atau kejadian yang menghampiri kita. Bahagia justru bergantung dengan sikap kita.

    Bahagia bisa kita raih di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja. Karena kuncinya adalah ikhlas dengan apa yang terjadi pada diri kita. Tidak lain adalah menerima apapun yang Tuhan berikan kepada kita. Jika kita runut lagi ujungnya adalah bersyukur.

    Nah. bagaimana dengan Anda? Apakah saat ini Anda bahagia?

    Jika ya, selamat ya. Tapi jangan lengah, karena kebahagiaan itu diperjuangkan. Itu sejalan dengan ujian yang kita lalui, masalah yang kita selesaikan, atau tindakan yang kita tunaikan.

    Jika belum? Teruslah berjuang, kawan. Karena hidup adalah perjalanan. Tidak ada yang abadi. Semua serba sementara. Karena segalanya datang silih berganti, datang dan pergi.

    Selamat menyelami kebahagiaan.

     

    Agung Setiyo Wibowo

    Jakarta, 7 Juni 2022

  • Mengapa Banyak Orang Tidak Bahagia?

    Hidup ini hanya sekali, guys. Tatkala kita mati, kita tidak bisa mengulagi apa yang telah terjadi. Kecuali, kamu percaya dengan reinkarnasi.

    Entah kamu sadari atau tidak, apa yang kamu kejar selama ini untuk menggapai apa yang disebut dengan kebahagiaan. Harta, tahta, ketenaran, atau apapun itu namanya.

    Sayangnya, kebanyakan orang fokus pada hasil akhir. Mereka lupa dengan prosesnya. Jadi, di sepanjang hidupnya mereka justru tidak bahagia.

    Yang lebih lucu, kebanyakan orang tidak bisa membedakan kesenangan dengan kebahagiaan. Bedanya apa, dong?

    Kesenangan itu bersifat sesaat, guys. Naik jabatan, senang. Mendapatkan cuan, senang. Bisa beli barang mewah, senang. Bisa keliling dunia, senang. Bisa berhubungan badan, senang. Dan seterusnya, tak berujung.

    Lalu, apa kebahagiaan itu guys? Kebahagiaan itu tidak berhubungan dengan benda atau peristiwa yang terjadi di luar diri kita. Namun, justru datang dari dalam diri, guys.

    Kebahagiaan itu adalah pilihan. Jadi, ketika kita mendapatkan “ujian”, kita bisa bahagia. Tatkala kita mendapatkan “keberuntungan”, kita pun bisa bahagia. Mengapa begitu?

    Karena hidup ini tentang keseimbangan, guys. Tak selamanya hidup kita senantiasa diliputi yang indah-indah. Tak seterusnya hidup kita diliputi rasa malang. Semuanya bersifat sementara. Tak ada yang abadi. Semua terjadi silih berganti.

    So, apa dong kunci untuk bisa berbahagia Mas Agung?

    Sederhana saja kok. Pertama, banyak bersyukur guys. Karena semua yang kita alami ini tidak ada yang kebetulan. Jadi, kita harus bisa menyadari hal ini. Jangan lupa menghitung anugerah yang Tuhan berikan dari detik ke detik.

    Kedua, jangan membanding-bandingkan guys. Di era digital ini, kita gampang sekali melihat linimasa orang lain. Sepertinya kehidupan orang lain lebih wah. Nampaknya mereka lebih dan lebih dari kita. Padahal, apa yang mereka tampilkan seringkali belum tentu sesuai kenyataan guys. Ingat ya. Akan selalu ada orang yang lebih kaya, lebih cantik, lebih tampan, lebih cuan, lebih terkenal, lebih hebat, lebih pintar, lebih berkuasa, lebih berpengaruh, dan seterusnya. Jadi, yang benar adalah bukan membandingkan diri kita dengan orang lain guys. Tapi membandingkan diri kita hari ini dengan diri kita hari kemarin. Apakah diri kita sudah lebih baik atau belum? Apakah sudah ada progress dalam mewujudkan mimpi? Catet ya guys.

    Ketiga, teruslah berupaya guys. Kalau kata salah satu Guru saya, bahagia itu kita dapatkan ketika kita memperjuangkan sesuatu yang kita yakini. So, lakukan saja apa yang membuatmu bisa bahagia guys. Tak usah risaukan hari esok, dan tak usah sesali apa yang telah terjadi. Hiduplah di saat ini, apapun yang terjadi. Terimalah segalanya, jalani saja. Jangan banyak menghakimi. Tak usah banyak mengeluh. Karena pada akhirnya segala hal yang kita lakukan nanti akan dinilai oleh Tuhan. Ingat ya, fokus pada prosess atau progress; bukan hasil akhir ya guys. Karena kita tidak akan pernah tahu, kapan garis akhir kita tiba. Selama kita hidup, masalah akan selalu ada. Semua yang terjadi pada diri kita adalah ujian untuk “naik kelas”. Selama kita tidak mampu menyelesaikan atau melaluinya dengan baik, kita akan senantiasa dihadapkan pada masalah serupa.

    Keempat, perbanyak berbagi guys. Ini bentuknya bermacam-macam. Bisa uang, tenaga, waktu, pikiran atau yang lainnya. Intinya, kita membagikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Tak percaya? Buktikan sendiri.

    Kelima, ingat mati guys. Mungkin ini terdengar aneh ya? Tapi, percayalah bahwa dengan mengingat mati kita akan senantiasa ingat bahwa hidup ini singkat guys. Kita akan terdorong untuk melakukan hal yang baik dan benar. Kita akan termotivasi untuk nothing to loose. Kita akan terangsang untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Pada akhirnya, kita akan senantiasa mengevaluasi diri untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.

    Di luar itu, masih ada seabrek tips untuk menjadi bahagia. Karena kita semua tahu kan ya, versi bahagia kita tidak mungkin sama. Setiap orang memiliki makna masing-masing.

    Yang pasti, hidup ini begitu singkat guys. Temukan apa yang membuatmu bahagia. Fokuslah memperjuangkan apa yang membuatmu bahagia. Karena kebahagiaan adalah perjalanan hidup kita itu sendiri.

    Selamat mengarungi kebahagiaan guys.

    Agung Setiyo Wibowo

    Depok. 6 Juni 2022.