Tag: Agung Setiyo Wibowo

  • Demi Waktu

    Waktu. Kadang-kadang disebut masa. Baru-baru ini  — khususnya sejak menikah dan memiliki keturunan – saya makin menyadari bahwa waktu merupakan aset paling berharga dalam hidup.
    Kita mungkin bisa kehilangan uang. Entah karena bisnis bangkrut, ditipu orang, atau lantaran berbagai musibah lainnya. Namun, jika uang nihil dalam genggaman; kita masih bisa mengejarnya untuk kembali bahkan meningkatkan nilainya.
    Lalu, bagaimana dengan waktu?
    Sayangnya, waktu tak bisa diputar ulang seperti video. Hari yang telah kita lewati tak mungkin kita “perbaiki”. Yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan “sisa” waktu yang kita sendiri tidak pernah tahu berapa lama.
    Kabar baiknya. Tuhan begitu adil. Kita semua mendapatkan 24 jam perhari. Tidak lebih, tidak kurang. Meskipun di sisi lain kita tak pernah tahu berapa jatah waktu hidup di dunia.
    Ya, kematian memang misteri. Kita tak mungkin bisa mempercepat kedatangannya. Kita pun tak pernah bisa meminta penundaan.
    Jika sudah begini, apa yang masih kita banggakan?
    Waktu memang benar-benar  tak terbeli. Sekali ia berlalu, ia tak pernah bisa kembali.
    Waktu adalah saksi yang hakiki. Tentang bagaimana hidup kita isi.
    Waktuku, waktumu, waktu kita. Semuanya telah tertulis dalam suratan takdir-Nya.
    Demi waktu. Demi masa.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega  Kuningan, 5 September 2019
  • Wong Gunong

    Baru-baru ini saya bertemu Cleo (bukan nama sebenarnya) di salah satu pusat perbelanjaan mewah di bilangan Senayan. Ia adalah seorang petani sukses dari Jawa Tengah yang penampilannya di Youtube telah ditonton oleh jutaan masyarakat Indonesia.
    Lantas, apa yang menarik dari Cleo?
    Sekilas tak banyak hal istimewa dari seorang Cleo. Terlahir dari orang tua petani di lereng Gunung Lawu, sejak kecil ia diajak ayah dan ibunya menggarap lahan di lereng gunung yang legendaris itu.
    Sebagaimana anak-anak pedesaan lain pada umumnya, Cleo “teracuni” oleh sistem pendidikan. Atas saran guru SD hingga SMA-nya, ia pergi kuliah di ibukota untuk mengejar apa yang disebut dengan sukses.
    Singkat cerita, Cleo hanya bertahan enam tahun di Jakarta. Ia tidak tamat kuliah karena menurutnya ia tak menemukan apa yang diinginkan dan dicarinya dalam hidup. Lagipula, sistem perkuliahan tidak cocok dengan jiwanya yang mendambakan kebebasan.
    Cleo berstatu mahasiswa hanya tujuh bulan. Sisa lebih dari lima tahun hidupnya di Jakarta dimanfaatkan untuk bekerja apa saja untuk mewujudkan apa yang disebut dengan sukses. Segala pekerjaan ia lakoni mulai dari agen asuransi, agen MLM, pedagang, supir, hingga penagih utang.
    Selama beberapa tahun bekerja, Cleo melihat nasib jutaan pekerja yang setiap hari memadati kota Jakarta. Pagi-pagi mereka berangkat bekerja ketika matahari belum terbit dan tiba di rumah ketika Isya telah dikumandangkan. Mereka memang mendapatkan gaji bulanan yang lumayan, namun uang yang diperoleh habis untuk menutupi berbagai cicilan. Di akhir pekan, para pekerja tersebut kebanyakan menghabiskan waktu di rumah atau “melarikan diri” ke malll guna  membeli barang-barang yang dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan.
    Selama di Jakarta, Cleo balik ke kampung halaman minimal dua kali. Biasanya pada libur lebaran dan tahun baru. Di dua momen itu ia menyempatkan diri mengamati kehidupan tetangganya di kaki gunung yang bersahaja namun “terlihat” bahagia.
    Setelah kembali ke kampung untuk selama-lamanya, Cleo menjadi petani full time. Ia menjadi pelopor di daerah sekitarnya untuk menanam sayur-mayur organik yang berorientasi ekspor. Hasilnya? Masyarakat di sekitarnya 90% mengikuti jejaknya karena lebih menguntungkan.
    Cleo mengaku ia lebih damai hidup di desa. Setiap hari ia bisa menghirup udara segar khas pegunungan. Ia bisa rutin sembahyang lima kali sehari dengan tepat waktu. Yang lebih penting lagi, ia bisa dekat dengan anak dan orang-orang terdekatnya. Tentu, ia juga tidak mendapati kemacetan gila yang dulu pernah ia alami di ibukota.
    Bagaimana dengan rumah? Apakah Cleo harus bertahun-tahun mencicil biaya rumah ke bank? Tidak dong. Ia membeli lahan lalu membangun sebuah rumah dengan bantuan tetangganya.
    Cleo memang memberikan saya begitu banyak pelajaran hidup. Namun dari itu semua ada satu yang begitu membekas di hati saya. Bahwa dalam hidup ini kitalah yang menentukan sendiri apa definisi kebahagiaan.
    Terkadang kita terperdaya dengan iklan di berbagai kanal media. Seringkali kita membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain yang “terlihat lebih”. Namun, kita terus-menerus lupa untuk mendengarkan kata hati. Untuk menyadari apa yang benar-benar penting untuk dikejar atau apa yang benar-benar kita inginkan. Karena energi itulah yang membuat diri kita bahagia.
    Sudahkah kamu bahagia? Apa arti kebahagiaan di matamu? Saatnya jujur dengan diri sendiri.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 5 September 2019
  • Hukum Tarik-Menarik

    Tuhan telah memang merancang dengan apik suratan takdir kita. Namun bukan berarti kita tidak lagi berupaya.
    Di dunia, manusia memang “cuma” dilahirkan untuk diuji. Kelak, barang siapa yang mampu melewati ujian dengan baik; akan mendapat kebahagiaan abadi. Itupun jika kita saya atau Anda percaya.
    Hukum tarik-menarik ialah salah satu hukum yang mampu menyadarkan kita akan arti ikhtiar. Hukum ini artinya bahwa kita sesungguhnya dapat menarik hal-hal positif maupun sebaliknya menggunakan pikiran dan tindakan. Konon, sejalan dengan teori energi yaitu segala sesuatu terbentuk dari energi. Maksudnya?
    Segala energi yang kita salurkan, pada akhirnya kembali kepada kita. Dengan kata lain, apabila kita memiliki keinginan apapun, kita hanya perlu untuk mengupayakannya.
    Sederhana saja kan? Jika kita ingin menjadi sosok dengan kualitas A, maka pikiran dan tindakan kita harus setara dengan kualitas A. Jika kita mengharapkan A tapi usaha kita hanya berkualitas C, maka hasilnya juga akan berbuah C.
    Hukum ini berlaku untuk segala aspek kehidupan. Dari urusan mencari nafkah, menemukan pasangan hidup, hingga menggapai karier yang kita inginkan.
    Apakah sesederhana demikian? Coba tanyakan saja kepada dirimu sendiri. Jawablah dengan jujur. Karena jika kita masih ingat dengan pelaran Fisika di bangku SD, energi itu bersifat kekal. Artinya, ia hanya berubah-ubah bentuk.
    Saya pun mengamini hal tersebut. Bahwa apa yang saya lalui atau dapati sejauh ini memang sejalan dengan energi yang saya salurkan.
    Kadang-kadang, kesibukan memang memecah kesadaran. Seringkali, masalah demi masalah memang membuat hati kita keruh. Tidak jarang, tekanan demi tekanan hidup membuat jiwa kita gersang.  Jika itu yang terjadi, serahkan saja diri kita kepada Dewata.
    Karena, bukankah semua hanya titipan? Apa yang kita miliki saat ini, tidak lebih dari sekedar ujian. Sehingga, semakin kita “merasa” memiliki, semakin sengsara kita karenanya. Karena kebahagiaan bermula dari melepaskan, tidak ada keterikatan dengan orang, kejadian, atau benda duniawi.
    Lantas, apa yang kita cari? Hukum tarik-menarik setidaknya menjadi pengingat bagi kita semua. Untuk fokus pada hal-hal penting yang mendekatkan diri kita pada-Nya. Dialah sumber kebahagiaan hakiki yang selama ini kita cari-cari.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 September 2019
  • Tepo Seliro

    Tepo seliro. Falsafah Jawa yang satu ini belakangan begitu mencuri perhatian saya. Pasalnya, akhir-akhir ini memiliki pengalaman yang berkaitan dengannya.
    Secara harfiah, tepo seliro bisa diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Artinya, seseorang seyogyanya dapat memahami perasaan orang lain dalam bertindak, berkata atau dalam segala gerak-gerik yang mempermainkan panca indra.
    Sekilas, falsafah ini begitu mudah dilaksanakan. Namun, apakah memang demikian?
    Jawabannya relatif. Di masyarakat yang secara budaya homogen mungkin lebih mudah diterapkan. Karena mereka memiliki nilai-nilai yang kurang lebih sama. Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan yang relatif lebih plural.
    Namun, definisi perkotaan versus pedesaan agaknya belakangan ini mulai bias. Karena geografis bukan serta-merta masalah ruang yang dapat diraba. Namun, lebih cenderung berkaitan dengan pandangan hidup.
    Tidak setiap orang yang tinggal di desa tidak materialistis. Sebaliknya, tidak setiap orang yang tinggal di kota tidak saleh. Ini berlaku untuk semua aspek kehidupan tentunya.
    Seperti yang saya alami sendiri. Lahir dan besar di lingkungan Jawa mataraman yang cukup kental, saya menyaksikan sendiri betapa dahsyatnya proses pergeseran nilai Jawa sebagai imbas globalisasi.
    Tepo seliro yang terlihat begitu sederhana diterapkan oleh masyarakat desa kini tidak sepenuhnya berlaku lagi. Tentunya karena pengaruh media, pendidikan, dan berderet benturan berbalut pengalaman hidup masing-masing insannya.
    Lantas, bagaimana solusinya? Apakah tepo seliro masih bisa dipertahankan ke depannya?
    Tentu, bisa dong. Kuncinya ialah dengan rendah hati mau membuka diri dalam menerima perbedaan kepribadian, karakter, dan budaya orang lain.
    Komunikasi  mungkin bisa menjadi jembatannya. Karena melalui proses inilah pesan dikirim dan diterima.
    Mungkin ada benarnya ungkapan ini. Bahwa, kenyataan tidak lain adalah persepsi yang dipancarkan oleh masing-masing individu. Apa yang Anda maksud sebagai kenyataan belum tentu berlaku bagi saya, dan sebaliknya.
    Lantas, bagaimana dengan praktik tepo seliro tadi? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 2 September 2019
  • Suratan Takdir yang Terlupakan

    Bahagia. Siapa sih yang tak ingin bahagia? Saya rasa semua orang mendambakannya. Dari presiden hingga pemulung, pedagang hingga jenderal, atau penyanyi hingga pemuka agama.
    Sadar atau tidak sadar, segala hal yang kita lakukan saat ini untuk mencapai apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan. Entah bekerja, beribadah, olahraga, berbelanja, jalan-jalan, menolong sesama, membaca atau sekedar istirahat di malam hari.
    Sayangnya, kita senantiasa sibuk untuk mengejar kebahagiaan dari luar diri. Entah uang, jabatan, ketenaran, atau apapun itu namaya.  Sebaliknya, kita sering lupa bahwa yang kita cari selama ini sesungguhnya sudah ada di dalam diri.
    Contohnya sederhana.  Mengapa kegalauan melanda jiwa kita semua? Bukankah segala sesuatu telah tertulis dalam suratan takdir?
    Kita seringkali mencemaskan apa yang belum terjadi. Gelisah dengan stabilitas penghasilan, perangai pasangan, masa depan anak, komentar orang lain tentang kita, hingga hal-hal negatif yang sesungguhnya bisa terjadi. Yang lebih membuat runyam, kita senantiasa membandingkan apa yang dicapai oleh orang lain dengan prestasi diri sendiri.
    Suratan takdir sungguh nyata adanya. Bukankah kita pernah tiba-tiba mendapatkan sesuatu meskipun kita tidak mengharap? Sebaliknya, bukankah kita seringkali tidak mendapatkan apa yang kita inginkan meski telah mati-matian berupaya untuk mendapatkannya?
    Jika segala sesuatu telah dituliskan oleh Dewata, mengapa harus galau?
    Jika segala sesuatu telah digariskan oleh Tuhan dalam rencana besarnya, mengapa kita mesti gundah?
    Jika kunci kebahagiaan sudah ada pada diri kita masing-masing, mengapa jiwa kita tidak kunjung menyadarinya?
    Mungkin, kita baru akan merasa ketika hayat berada pada detik-detik terakhir dikandung raga. Entahlah.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 3 September 2019
  • Gusti Mboten Sare

    Belum lama  ini hati saya bergetar. Pasalnya, ada begitu banyak perubahan yang saya alami dalam setahun terakhir.
    Lantas, apakah saya takut dengan perubahan? Ah, tidak juga. Justru, saya termasuk tipe orang yang bosan jika mendapati hal yang “itu-itu” saja.
    Perubahan memang tak bisa dihindari dalam hidup ini. Suka-tidak suka, mau-tidak mau kita mesti melewatinya. Dari yang skala mikro hingga makro.
    Perubahan tak hanya dalam lingkup pekerjaan atau bisnis. Namun, juga dalam segala aspek kehidupan. Seperti yang baru-baru ini saya alami sendiri dalam konteks sosial.
    Singkat cerita, saya dan ketiga saudara perempuan saya sedang berupaya untuk menenangkan orang tua. Masalahnya sepele, ia merasa “disakiti” oleh saudaranya sendiri.
    Diskusi di antara kami sekeluarga bersambut. Whatsapp, Video Call, hingga telepon menjadi saksinya. Ada satu pesan yang saya pelajari dalam proses ini. Tidak lain adalah sikap ayah saya yang berusaha mengalah dengan berujar, “Ya sudahlah. Gusti mboten sare (Tuhan tidak tidur).”
    Ungkapan di atas, begitu mengena dalam lubuk hati saya. Agar kita semua tidak takut untuk melangkah menaburkan kebaikan kepada sesama. Karena toh, pada akhirnya hukum karma tetap berlaku. Hukum tabur-tuai akan senantiasa berjalan.
    Sebagai milenial, sejujurnya saya sudah sejak lama memahami salah satu falsafah Jawa tersebut. Namun, dalam praktiknya memang sering terlupakan.
    Di tengah arus globalisasi seperti saat ini, agaknya perubahan sosiologis masyarakat pedesaan seperti di kampung halaman saya tak terhindarkan juga. Dulu, sifat kekeluargaaan atau kegotongroyongan masih mengakar dengan kuatnya.
    Bagaimana dengan kini?
    Agaknya hubungan transaksional seperti yang terjadi di perkotaan sudah hampir sama levelnya. Masyarakat mulai “hitung-hitungan” karena satu dan lain hal.
    Entah, sampai kapan nilai-nilai budaya Jawa bisa bertahan. Gempuran budaya Barat yang dipromosikan melalui segala corong media agaknya telah berhasil “mencuci otak” masyarakat.
    Bukan kesalahan mereka atau kita semua memang. Karena toh budaya bersifat dinamis. Senantiasa ada proses konstruksi sosial – entah alamiah maupun yang terprogramkan.
    Yang pasti, “Gusti mboten sare” akan senantiasa berlaku dari dulu hingga nanti. Melewati sekat-sekat waktu.
    Agung Setiyo Wibowo
    Mega Kuningan, 2 September 2019